• Tidak ada hasil yang ditemukan

MURABAHAH DAN ISTISHNA'

Dalam dokumen BAB I SEJARAH PERBANKAN SYARIAH (Halaman 75-84)

Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam sehingga dicarilah solusi yang tepat sesuai ajaran Islam salah satunya yaitu

pembiyaan murabahah.Bab ini selain membahas konsep dan aplikasi Murabahah juga menguraikan pengertian Istisna' dalam praktek perbankan Syariah. Tujuan akhir dari pembelajaran bab ini adalah kemampuan memahami teori dan praktek akad Murabahah dan

Istishna' dalam perbankan Syariah.Tujuan mempelajari bab ini mampu membedakan jenis pembiayaan Murabahah dan Istishna’

6.1. Pendahuluan

Pada umumnya Bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima Simpanan, Giro, Tabungan dan Deposito. Kemudian Bank dikenal juga sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu bank juga dikenal untuk menukar uang, atau menerima segala bentuk pembayaran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah dan sebagainya.

Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masayarakat serta memberikan jasanya dalam lalulintas pembayaran dan peredaran uang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga fungsi utama Bank yaitu:

◦ Bank sebagai lembaga yang mungumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan.

◦ Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk lainnya

◦ Bank sebagai lembaga yang memperlancar transaksi perdagangan dan predaran uang. Berdasarkan pemahaman fungsi Bank tersebut dapat dipastikan bahwa penyaluran kredit merupakan bisnis utama Bank, sehingga sebagian terbesar dari asset Bank berupa kredit. Begitu juga halnya dengan pendapatan Bank sebagian besar berasal dari pendapatan bunga kredit.

Lazimnya suatu usaha ekonomi yang terorganisir bertujuan mendapatkan laba maksimum dan kelangsungan hidup usaha dalam jangka waktu yang lama.

Tujuan tersebut pada dasarnya dapat dicapai malalui usaha mempertahankan dan meningkatkan kemampuan perusahaan, baik dalam menghadapi pesaing-pesaing maupun dalam mengefesiensikan usaha secara inovatif dan kreatif. Untuk itulah suatu usaha ekonomi harus mempunyai strategi perusahaan yang mantap guna merebut peluang-peluang pasar potensial.

Kredit dalam ekonomi Islam dikenal dengan pembiayaan, menurut undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Yang menjadi perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh Bank syariah terletak pada keuntungan yang akan diharapkan, bagi Bank yang berdasarkan prinsip konvensional keuntungan yang akan diperoleh berupa tingkat suku bunga yang ditetapkan diawal, sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah keuntungan yang akan diperoleh berupa imbalan atau bagi hasil.

6. 2. Murabahah dan Istishna 6.2.1. Murabahah

6.2.1.1. Definisi

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (ُُحْثِشنا), yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu, murabahah ialah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakikatnya, ialah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga –misalnya- penjual mengatakan, modalnya adalah seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank Syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang

membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.

6.2.1.2. Landasan hukum

AL Quran

 ‖Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba‖ (QS (2):275).

 ―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu‖. QS. An Nisaa‘ (4) : 29

AL Hadist

 ―Pedagang yang jujur dan terpercaya, maka dia bersama nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada‖. (HR. Tarmidzi)

 ―Dari Suhaib ArRumi r.a bahwa Rasulullah bersabda, ―tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.‖

◦ Rukun murabahah  Ba‘I penjual

 Musytari awal ( pembeli pertama ).  Musytari tsani ( pembeli kedua ).  Ma‘qud alaih ( objek jual beli )  Sighat ( ucapan serah terima).

Syarat Murabahah

 Barang yang diperjual-belikan (Mabi‘) tidak termasuk barang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.

 Harga barang (Tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas.

 Pernyatan serah-terima (Ijab-Qabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang berakad.

Ketentuan diperbolehkannya murabahah:

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli

murabahah ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa‟adah diperbolehkan dengan tiga hal:

o Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.

o Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. pembiyaan Murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok :

 Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA (Unrestricted Investment Account= investasi tidak terikat )

 Pembiayaan murabahah yang di danai dengan RIA (restricted Investment Account = investasi terikat )

 Pembiayaan murabahah yang dimodali oleh Modal Bank.

Prinsip dan Ketentuan Umum Murabahah.

Adapun yang menjadi prinsip dan ketentuan umum dalam pembiyaan murabahah yaitu:

 Akad murabahah bebas riba

 Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan

 Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang

harus dan bebas riba

 Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian

 Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya

 Bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan

 Nasabah membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu

Untuk mencegah penyalahgunaan atau kerusakan akad, bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah

 Jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.

Skema akad murabahah

6.3. Tujuan dan Manfaat

Sebagaimana kita ketahui, dalam skim Murabahah fungsi Bank adalah sebagai Penjual barang untuk kepentingan Nasabah, dengan cara membeli barang yang diperlukan Nasabah dan kemudian menjualnya kembali kepada Nasabah dengan harga jual yang setara dengan harga beli ditambah keuntungan Bank dan Bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok Barang berikut biaya yang diperluan dan menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian Barang kepada Nasabah. Namun demikian, sebagai Penyedia Barang dalam prakteknya Bank Syariah kerap kali tidak mau dipusingkan dengan langkah-langkah pembelian Barang. Karenanya Bank Syariah menggunakan media ‖akad Wakalah‖ dengan memberikan kuasa kepada Nasabah untuk membeli barang tersebut. dalam pembiyaan murabahah,terdapat manfaat yang tidak saja semata diperoleh oleh bank tetapi juga dapat dirasakan oleh nasabah seperti yang disebutkan berikut ini :

Bagi Bank:

 Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli, dari penjual dengan harga jual kepada nasabah

Bagi Nasabah:

 Membiayai kebutuhan nasabah dalam hal pengadaan barang konsumsi seperti rumah, kendaraan atau barang produktif seperti mesin produksi, pabrik dan lain-lain.

 Nasabah dapat mengangsur pembayarannya dengan jumlah angsuran yang tidak akan berubah selama masa perjanjian.

 Dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi baik domestik maupun luar negeri.

6. 4. ISTISHNA

ISTISHNA’ merupakan akad jual-beli antara pemesan/pembeli dengan pihak

produsen/penjual atas suatu barang tertentu yang harus dipesan terlebih dahulu, dengan spesifikasi dan harga yang disepakati. Sementara pembayarannya dapat dilakukan dimuka, ditengah atau pada saat penyerahan barang.

ISTISHNA’ PARALEL merupakan gabungan dari dua transaksi Istishna‘ yang dilakuka secara simultan. Pihak penjual pada transaksi Istishna‘ yang pertama bukanlah produsen yang sesungguhnya dan karenanya membuat akad serupa dengan pihak lain (produsen) untuk memenuhi pesanan pembeli.

Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama:

Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh

para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.

Pendapat kedua:

Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila

memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i.

Pendapat ketiga:

Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut

mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang.

6.4.1. Landasan syariah

 Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta'ala:

َُّشَحََُٔغٍَْجْناُُ َّاللََُّّمَحَأَٔبث

ُِّشناَُو

"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.

 ―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya‖. QS. Al Baqarah (2) : 282

 Ibnu Abbas r.a. mengungkapkan : ―Aku bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya‖, seraya membaca ayat tersebut diatas.

 Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : ―Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui‖.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.

ُ ٌَبَكُىهعٍُُّٔهػُاللَُّىهصُِ َّاللَُّ َّىِجََُ ٌََّأُُّػُاللًَُّظسٍُظَََأُ ٍَْػ

َُُّنُ َمٍِمَفُ ِىَجَؼْناُىَنِإُ َتُزْكٌَُ ٌَْأَُداَسَأ

ُ ىِربَخٍَُِّْهَػُبًثبَزِكَُّلاِإُ ٌَُٕهَجْمٌََُلاَُىَجَؼْناُ ٌَِّإ

ُ.

ٍُخَّعِفُ ٍِْيُبًًَربَخَُغََُطْصبَف

ُ.

ُىهغيُِأسُُ َلبَل

ُُشُظََْأُىََِّأَك

ُِِِذٌَُىِفُِِّظبٍََثُىَنِإ.

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka

beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat

Muslim) Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.

 Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah

bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

Para ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:

اُءبٍشلأاًُفُمصلأبًٌشحزناُىهػُمٍنذناُلذٌُىزحُ،خح

بثلإ

"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."

 Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu

barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu

taisir (memudahkan):

- ُ شْغٌُُ ٌٍَِّذناُ ٌَِّإُ-ُيسبخجناُِأس.

"Sesungguhnya agama itu mudah." (Riwayat Bukhari)

 Akad istishna' dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak

mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan

dan tidak dilarang.

◦ Rukun Istishna

 Produsen / Penjual (Shaani‘)

 Pemesan / Pembeli (Mustashni‘)

 Barang / Jasa yang dipesan (Mashnu‘)

 Harga Barang / Jasa (Tsaman)

 Sighot (Ijab-Qabul) ◦ Syarat Istishna

 Produsen dan pemesan (Shaani‘ & Mustashni‘) cakap hukum, tidak dalam keadaan terpaksa dan tidak ingkar janji.

 Produsen (Shaani‘) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat/mengadakan barang yang dipesan.

 Barang yang dipesan (Mashnu‘) harus jelas spesifikasinya dan tidak termasuk yang dilarang syariah. Sedangkan waktu penyerahannya sesuai kesepakatan.

 Harga barang (Tsaman) harus dinyatakan secara jelas dan pembayarannya dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

◦ Skema Istishna

Peme

Dalam dokumen BAB I SEJARAH PERBANKAN SYARIAH (Halaman 75-84)