commit to user
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang Moral 1.Tinjauan tentang Moral
4. Tinjauan tentang Narapidana Residivis a.Pengertian Narapidana Residivis a.Pengertian Narapidana Residivis
dikenai hukuman atau pidana atau terpidana yang telah menerima putusan
Selanjutnya Lin Song dan Roxanne (1994: 3) dalam jurnal internasional menyebutkan bahwa,
Dari kutipan dalam jurnal internasional tersebut dapat diartikan bahwa, pengulangan tindak pidana (residive) didefinisikan penangkapan kembali, pemulihan kembali, atau pulang kembali seseorang.
Menurut Kartini Kartono (2001: 130) mengatakan bahwa,
merupakan penjahat-penjahat yang berulang-ulang keluar masuk penjara. Selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang berbeda
Sedangkan Elliot dalam Simadjuntak (1981: 75)
narapidana sebagai penjahat ialah orang yang telah membuang atau tidak mengakui nilai-nilai masyarakat dimana masih berkeliaran di luar penjara yaitu residivis yang tertangkap. Mereka itu
benar-orang yang selalu mengulangi perbuatan seperti perampok, pengemis, dan pencuri. Dan perbuatannya tertera dalam pasal 104 sampai 485 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia. Mereka termasuk the habitual criminal
Menurut pendapat dari R. Achmad Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita (1979: 14) mengenai pengertian residivis dan bukan residivis adalah sebagai berikut:
1) Residivis yaitu seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana dan sebelumnya telah mendapat putusan hakim atas kejahatan lain yang telah dilakukan.
2) Bukan residivis yakni seseorang yang dijatuhi putusan pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana yang pertama dilakukan.
Tindak pidana yang terjadi dalam hal seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi putusan hakim yang bersifat tetap
(in kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi.
Pengertian residive hampir sama dengan seseorang yang melakukan lebih dari satu tindak pidana (concursus realis), tetapi perbedaannya ada pada
ditetapkannya putusan hakim yang bersifat tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan terdahulu atau sebelumnya (Winarno Budyatmojo, 2000: 71).
Menurut Djoko Prakoso (1991: 30) dinyatakan bahwa,
merupakan pelaksana perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. Kepentingan hukum adalah hak-hak, hubungan-hubungan, keadaan-keadaan dan
gangguan-Berdasarkan pengertian menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa narapidana residivis yaitu seseorang dijatuhkan hakim dengan kekuatan hukum tetap diberikan pidana kepadanya karena suatu perbuatan melanggar hukum atas perbuatan kejahatan atau tindak pidana yang diulanginya.
b.Pengelompokkan Narapidana Residivis menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia
Winarno Budiyatmojo (2000: 72-78) Sistem KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia menganut residive khusus yang diatur dalam Buku II tentang Kejahatan yaitu: residive sejenis dan residive kelom
Penjabaran mengenai residive sejenis dan residive kelompok adalah sebagai berikut:
1) Residive sejenis
Residive sejenis meliputi pasal 144 (2) KUHP tentang penghinaan kepada kepala negara sahabat yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 157 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 161 (2) KUHP tentang perbuatan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 163 (2) KUHP tentang penawaran/sarana melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 208 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, pasal 216 (3) KUHP tentang penyalahgunaan jabatan atau wewenang atau menghalangi pejabat untuk
melaksanakan tugas guna menjalankan ketentuan perundang-undangan, pasal 321 (2) KUHP tentang penghinaan yang dilakukan pada saat menjalankan mata pencaharian, pasal 393 (2) KUHP tentang menjual, menawarkan atau mengedarkan dan sebagainya barang-barang yang bermerk palsu, dan pasal 303 bis (2) tentang perjudian.
Syarat residive sejenis adalah sebagai berikut:
a) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan terdahulu.
b) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus ada keputusan hakim.
c) Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yaitu 5 tahun sejak ada keputusan hakim tetap.
2) Residive Kelompok
Residive kelompok terbagi atas 3 bagian sebagai berikut:
a) Pasal 486 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan terdiri dari pemalsuan mata uang (pasal 244 KUHP sampai pasal 248 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 sampai Pasal 264 KUHP), pencurian (pasal 362, 363, dan 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pengancaman (pasal 369 KUHP), penggelapan (pasal 372, 374,375 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), kejahatan jabatan (pasal 415, pasal 417, pasal 432 KUHP), penadahan (pasal 480, pasal 481 KUHP).
b) Pasal 487 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap orang terdiri dari Penyerangan dan makar kepala negara (pasal 131, pasal 140, pasal 141 KUHP), pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana (pasal 338, pasal 339, 340 KUHP), pembunuhan anak (pasal 341, pasal 342 KUHP), abortus (pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (pasal 351, pasal 353, pasal 354, pasal 355 KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (pasal 438 KUHP, pasal 443 KUHP), dan insubordinasi (pasal 459 sampai pasal 460 KUHP).
c) Pasal 488 mengenai kejahatan penghinaan yang berhubungan dengan penerbitan atau percetakan terdiri dari penghinaan terhadap kepala negara sahabat (pasal 142 sampai pasal 144 KUHP), penghinaan terhadap penguasa atau badan umum (pasal 207 KUHP, pasal 208 KUHP), penghinaan terhadap orang pada umumnya (pasal 310 dan pasal 321 KUHP), kejahatan penerbitan dan percetakan (pasal 483 KUHP dan pasal 484 KUHP).
Syarat residive kelompok adalah sebagai berikut:
(1) Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu.
(2) Dengan adanya kelompok jenis residive yang telah dikemukakan, seseorang bisa dikatakan melakukan pengulangan apabila ia mengulangi tindak pidana dalam satu kelompok jenis yang sama. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan kemudian melakukan tindak pidana lagi yang dijerat dengan Pasal 338 tindak pidana pembunuhan, dapat dikatakan sebagai residive karena tindak pidana tersebut masih termasuk dalam satu kelompok jenis yaitu kejahatan terhadap orang dan diatur dalam pasal 487 KUHP.
(3) Antara kejahatan yang diulangi dengan yang pertama atau terdahulu harus sudah ada putusan hakim dengan kekuatan hukum tetap.
(4) Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.
(5) Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah
(a) Belum lewat 5 tahun sejak menjalani untuk seluruh atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu atau sejak pidana tersebut sama sekali telah terhapuskan.
(b) Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu.
Berdasarkan uraian di atas makadapat disimpulkan bahwa menurut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia terdapat dua kelompok residive yaitu residive yang sejenis dan residive kelompok sejenis.
Syarat berlakunya narapidana residivis adalah sebagai berikut:
1) Mengulang kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama. Misalnya kali ini ia mencuri lain kali ia mencuri lagi walaupun benda yang dicuri berbeda dan juga mengenai waktu maupun cara mencurinya tidak sama.
2) Antara perbuatan yang satu dengan yang lain pernah ada keputusan hakim yang menjatuhkan pidana secara sah.
3) Pernah menjalani pidana baik untuk seluruh maupun sebagian.
4) Waktu melakukan tindak pidana yang diulang itu kewajiban melaksanakan pidana terhadap perbuatan yang pertama belum kadaluarsa. Misalnya setelah dijatuhi pidana maka terpidana melarikan diri kemudian dalam waktu tertentu melakukan tindak pidana lagi sedangkan yang diadili dan dipidana untuk perkara yang diulang itu dan waktu untuk melaksanakan pidana yang pertama belum daluwarsa.
5) Yang bersalah atau terpidana melakukan tindak pidana ulangan belum 5 tahun berselang sejak bebas menjalankan pidana dari perbuatan yang sama. c. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan oleh Narapidana Residivis
Kejahatan adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan memberi sanksi berupa pidana negara. Perbuatan itu diberi hukuman karena melanggar norma-norma
(Abdulsyani, 1987: 13).
Pendapat lain oleh Simadjuntak (1981: 71) menyebutkan bahwa,
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, kejahatan yang dilakukan oleh narapidana residivis merupakan suatu perbuatan yang tidak boleh dibiarkan sebab menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Gejala munculnya kejahatan dalam masyarakat ternyata disebabkan oleh banyak
faktor. Untuk menjawab mengenai faktor sebab-sebab timbulnya kejahatan maka, peneliti mengemukakan beberapa teori dalam ilmu kriminologi.
Menurut Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 19-64) menyebutkan bahwa, untuk mencari kejelasan mengenai sebab kejahatan dalam peradaban manusia lahirlah
teori-spiritualis, teori differential organization, teori ekonomi, teori sosial bond, dan teori mental disorder
Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori-teori tersebut: 1) Teori spiritualis menurut George B Vold.
Dalam teori spiritualis dijelaskan bahwa, seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena bujukan setan (evil
atau demon). Sehingga orang berbuat jahat karena lepasnya iman yang dimiliki oleh manusia sehingga mudah terpengaruh oleh roh jahat. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan karena sistem keyakinan atau iman seseorang yang lemah.
2) Teori differential organization menurut Sutherland
Teori ini menjelaskan bahwa, pergaulan seseorang berperan terhadap pembentukan tingkah laku. Dari lingkungan tertentu lahir norma tertentu. Jika seseorang bergaul dengan pencuri, maka lama-kelamaan menganggap bahwa mencuri adalah hal wajar. Kejahatan dipelajari dalam pergaulan manusia. Kejahatan hanya ada dalam masyarakat diantara pergaulan individu. Orang belajar jahat dalam masyarakat, tanpa ada masyarakat tidak ada kejahatan. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan atau pergaulan yang salah.
3) Teori ekonomi menurut Marx
Penganut teori ini adalah Marx, pengikutnya William Bonger, dan Mr.H Calkoen. Dalam teori ini dijelaskan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan. Kemiskinan mendorong kepada kejahatan. Orang miskin meminum alkohol diluar batas, akibatnya tidak langsung adalah kejahatan. Miskinnya masyarakat erat sekali dengan hubungannya dengan rendahnya
penghasilan. Mereka tidak puas dengan penghasilannya yang sah. Selanjutnya Mr.H.Calkoen menambahkan bahwa, kemiskinan dan pengangguran dipandangnya sebagai sebab utama dari kejahatan ekonomi. Sebagai bukti kejahatan para orang Yahudi di Amsterdam. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa penyebab seseorang melakukan kejahatan karena kemiskinan, rendahnya penghasilan, dan pengangguran.
4) Teori sosial bond menurut Travis Hirchi
Menurut teori ini menjelaskan bahwa, seseorang melakukan perbuatan menyimpang disebabkan karena hilangnya ikatan kontrol sosial dalam diri seseorang. Ikatan kontrol sosial tersebut meliputi: a) commitment yaitu hilangnya keterikatan seseorang pada sub sistem seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan kelompok sosial, b) beliefs yaitu hilangnya aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial.
5) Teori mental disorder menurut James C.Prichard
Dalam teori ini dijelaskan bahwa seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena terjadi kekacauan mental. Berdasarkan hasil penelitian oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental). Menurutnya penyakit mental tadi disebut dengan psychopathy atau
antisocial personality yaitu suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman,
kurang keramahan dan perasaan tidak bersalah. Seorang psychopath telihat memiliki kesehatan mental yang bagus tetapi sebenarnya hanyalah suatu
mask of sanity (topeng kewarasan) Seorang psychopath ditandai dengan
tidak menghargai kebenaran, tidak tulus, tidak merasa malu, bersalah atau terhina. Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada keraguan. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa sebab seseorang melakukan kejahatan karena penyakit mental.
Jadi, teori-teori di atas digunakan peneliti untuk menganalisis faktor penyebab pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori tersebut berupa teori
spiritualis, teori differential organization, teori ekonomi, teori sosial bond, dan teori mental disorder.
d.Upaya Penanggulangan Kejahatan
Menurut Abdulsyani (1987: 28) menyebutkan tentang beberapa metode untu Metode moralistik, abolisionalistik dan
Berikut ini penjelasan mengenai metode tersebut:
1) Metode moralistik artinya pembinaan yang dilakukan dengan cara bentuk mental-spiritual ke arah yang positif misalnya dilakukan oleh para pendidik, para ahli agama, dan ahli jiwa.
2) Metode abilasionalistik artinya pembinaan dilakukan dengan cara konseptual yang harus direncanakan atas dasar hasil penelitian kriminologis dengan menggali sumber-sumber penyebabnya dari faktor-faktor yang berhubungan dengan perbuatan kejahatan.
3) Metode operasional artinya metode pencegahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Reckless dalam Abdulsyani (1987: 135) mengemukakan tentang konsep penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut:
Konsepsi umum dalam penanggulangan kejahatan yang berhubungan dengan mekanisme peradilan pidana dan partisipasi masyarakat yang meliputi pemantapan aparatur penegak hukum, perundang-undangan, mekanisme peradilan pidana, koordinasi aparatur penegak hukum dan pemerintah, dan partisipasi masyarakat.
Reckless
dilakukan melalui treatment (perlakuan) dan punishment (penghukuman) (Abdulsyani, 1987: 138-142).
Penjelasan mengenai treatment (perlakuan) dan punishment
(penghukuman) adalah sebagai berikut:
1) Treatment (perlakuan) menitikberatkan kepada usaha perlakuan dengan
tidak Menerapkan sanksi pidana. Perlakuan ini bertujuan supaya pelaku kejahatan dapat kembali sadar akan kekeliruan atau kesalahan dan dapat bergaul kembali di dalam masyarakat .
2) Punishment (pengukuman) merupakan tindakan untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku kejahatan yang sebanding atau mungkin lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, baik berupa hukuman pemenjaraan atau hukuman yang bersifat penderaan. e. Penanggulangan Kejahatan berdasarkan Pemasyarakatan
Abdulsyani (1987: 27) menyebutkan tentang upaya penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut:
Penanggulangan terhadap kejahatan mencakup aktivitas preventif yang berupaya memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (terhukum) di lembaga pemasyarakatan. Upaya perbaikan terhadap perilaku kejahatan tersebut dilaksanakan dengan mengubah cara-cara penyiksaan dan isolasi sebagai ganjaran atas penebus kesalahan ke arah suatu sistem pembinaan dan pendidikan serta penyadaran sehingga tidak terulang kembali.
Sedangkan menurut pendapat Stephan Hurwitz tentang upaya menanggulangi kejahatan adalah sebagai berikut:
Kejahatan yang dipandang sebagai kebiasaan seseorang yang menjadi kebiasaan (berulang-ulang) bahkan menjadi mata pencaharian misalnya pencurian, pencopetan, pencurian dengan kekerasan dan penadahan dengan cara diberikan pemidanaan adalah sia-sia. Sebab diperkirakan mereka akan meneruskan cara hidup kriminal sehingga tindakan-tindakan keras demi keamanan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu upaya yang lebih berat dari sekedar pidana terhadap pelaku kejahatan (Abdulsyani, 1987: 141)
Bertitik tolak pada upaya penanggulangan kejahatan yang diuraikan di atas, bahwa upaya penanggulangan kejahatan menekankan pada usaha pembinaan yang tidak lepas dari pemidanaan sebab, dengan pemidanaan yang sifatnya penghukuman saja tidak efektif mengurangi angka kejahatan.
Saharjo dalam Abdulsyani (1987: 141) mengatakan bahwa:
na penjara ialah pemasyarakatan. Artinya, masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana tetapi juga orang-orang yang tersesat (terpidana) juga diayomi dengan memberikan bekal hidup
Berdasarkan uraian di atas maka, penulis menyimpulkan bahwa cara yang paling efektif dilakukan untuk menanggulangi pengulangan tindak pidana
yang dilakukan oleh narapidana residivis adalah pembinaan (treatment) dari pada sekedar penghukuman (punishment). Penganggulangan diserahkan salah satu diantaranya oleh lembaga pemasyarakatan dalam kerangka hukum pidana.
5. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Berdasarkan Sistem