• Tidak ada hasil yang ditemukan

Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan

commit to user

HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian

1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan

Moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana seseorang telah memiliki pemahaman moral yang kemudian mampu mengaplikasikan dalam tindakannya. Tindakan yang dilakukan, tentu saja harus sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Apabila seseorang telah melanggar norma maka, ia dikatakan tidak bermoral. Hal tersebut nampak pada narapidana residivis yang melakukan perbuatan tindak pidana. Mereka dikatakan tidak bermoral disebabkan melakukan tindakan yang dilakukan melanggar norma hukum. Sebutan narapidana residivis berarti seseorang yang pernah menjalani pemidanaan dalam lembaga pemasyarakatan, kemudian setelah keluar ia mengulangi perbuatan tindak pidana baik yang sejenis maupun tidak, sehingga harus menjalani pemidanaan kembali.

Penelitian dalam rumusan masalah ini, dimaksudkan untuk mengetahui moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan. Sesuai dengan kajian pustaka, peneliti akan mengkaji beberapa aspek yang meliputi a. Identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Pengetahuan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, c. Perasaan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, d. Latar belakang pendidikan moral yang diperoleh

113

narapidana residivis, e. Perilaku narapidana residivis terkait pengulangan tindak pidana (tindakan moral). Berikut ini penjelasan mengenai aspek-aspek tersebut: a. Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana atau Kejahatan yang Dilakukan

Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta

Identifikasi dilakukan guna mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan apa saja yang dilakukan narapidana residivis. Setelah peneliti melakukan melakukan obeservasi pada Sub Seksi Administrasi dan Perawatan, peneliti mendapatkan data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana residivis. Adapun data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.

Tabel 5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta

No. Nama Residivis Tindak pidana yang pernah dilakukan 1 Bayu Waluyo Pencurian dan Penipuan

2. Afif Solokhin Pencurian

3 Pradana Setiawan Pencabulan dan Pencurian 4 Tedy Surahman Pencurian dan Penggelapan 5. Handoko Sri Hartanto Pencurian

6. Suwandi Pencurian

7. Ramlan Butar Pencurian

8 Rohadi Penipuan, Kekerasan, dan Pencurian 9 Dwi Martanto Pencurian dan Pembunuhan

10 Iwan Kekerasan dan Pencurian

11 Marcus Sudarmo Penganiayaan dan Pencurian 12. Agus Waluyo Pencurian dan Kekerasan

13 Boro Enteng Pencurian dan Kekerasan

14 Ardi Eli.L Pencurian

15 Eko Tri Hartanto Pencurian

16 Triyadi Pencurian

17 Siswanto Pencurian

18 Kusnadi Penipuan dan Kekerasan

19 Puji hariyanto Pencurian

20 Dedi rosadi Pencurian

Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Bulan Juli 2011.

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, tidak semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana dengan jenis tindak pidana yang

114

sama artinya seorang narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana dapat berbeda jenis tindak pidananya. Misalnya narapidana residivis bernama Pradana Setiawan sebelum kasus terakhir tindak pidana pencurian, sebelumnya ia pernah terjerat kasus pencabulan. Dari 20 narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana tidak sejenis adalah 10 orang. Selebihnya, narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana sejenis yaitu melakukan tindak pidana pencurian.

Hal senada juga diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 menjelaskan yang mengenai tindak pidana narapidana residivis adalah sebagai berikut:

Untuk tahun 2011 kasus yang dilakukan oleh narapidana residivis lebih banyak pada kasus pencurian. Data tersebut diperoleh dari Sub Seksi Administrasi dan Perawatan. Setiap narapidana yang melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak melakukan jenis tindak pidana yang sama. Bisa saja ia masuk kembali ke Rutan karena melakukan tindak pidana yang berbeda misalnya kasus Bayu Waluyo, sebelum kasus penipuan dahulu ia pernah terjerat kasus pencurian. (Catatan lapangan 11).

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis menjalani pemidanaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak selalu dengan tindak pidana yang sama.

Setelah peneliti mengetahui tindak pidana apa saja yang pernah dilakukan narapidana residivis, selanjutnya peneliti melakukan identifikasi dengan menggolongkan bentuk-bentuk tindak pidana pada kasus terakhir yang dilakukan narapidana residivis. Adapun hasil identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada bulan Juni 2011.

115

Tabel 6. Hasil Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011.

No. Tindak Pidana atau Kejahatan Terakhir Jumlah

1 Penipuan 1 orang

2. Pencurian 15 orang

3. Kekerasan 2 orang

4. Pembunuhan 1 orang

5. Penggelapan 1 orang

Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat 5 bentuk tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bulan Juni tahun 2011. Kasus pencurian menduduki posisi terbanyak dengan jumlah 15 orang, disusul kasus kekerasan berjumlah 2 orang, kemudian kasus penipuaan 1 orang, dan kasus penggelapan 1 orang serta kasus pembunuhan 1 orang. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa masih ditemukan narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Tindak pidana tersebut berupa penipuan, pencurian, kekerasan, pembunuhan dan penggelapan. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta didominasi dengan tindak pidana pencurian.

b. Pengetahuan Moral Narapidana Residivis atas Tindak Pidana yang Dilakukan

Pemahaman moral diartikan dengan kesadaran rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu. Penalaran moral sebagai unsur pengetahuan moral dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai moral yang merujuk pada aspek kognitif tentang yang baik atau buruk dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban dan keterlibatan individu atau kelompok. Pengetahuan moral yang dimiliki oleh narapidana residivis mengandung arti seberapa jauh mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Apakah selama ini

116

mereka menyadari bahwa tindak yang dilakukan telah melanggar norma hukum. Dengan demikian, dapat diketahui seberapa jauh tingkat pemahaman moralnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP) hasil wawancara pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut:

Kekerasan yang saya tahu adalah menyakiti atau melukai badan atau fisik orang lain baik yang di sengaja maupun tidak. Saya tahu bahwa perbuatan kekerasan itu melanggar norma hukum. Tetapi karena emosi akhirnya terpaksa melakukan kekerasan. Setelah melakukan perbuatan tersebut baru saya sadari bahwa saya salah. (Catatan lapangan 7).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Agus Waluyo yang melakukan tindak pidana kekerasan peneliti menyimpulkan bahwa, informan memahami mengenai kekerasan yang dilakukan. Menurut pendapatnya, kekerasan berarti tindakan menyakiti seseorang yang dilakukan secara sengaja sehingga menimbulkan sakit atau penderitaan. Selain itu, informan menyadari bahwa perbuatan tindak pidana tersebut melanggar norma hukum.

Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis benama Bayu Waluyo (narapidana residivis kasus penipuan pasal 378 KUHP) pada

tanggal 8 Juli 2011:

Penipuan menurut saya, kalau kita dengan sengaja membohongi orang lain misalnya kita janji pinjem uang trus ndak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Kalau tindakan saya dengan dengan mencampur pewarna pada makanan kok bisa dibilang menipu. Saya orang miskin, harusnya hukum juga mengerti kondisi saya. Saya ndak ada niatan meracuni orang. Tetapi saya ikhlas berada di Rutan. (Catatan lapangan 1).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bambang Waluyo yang melakukan tindak pidana penipuan peneliti menyimpulkan bahwa, informan telah memahami tentang konsep penipuan. Namun, ia sendiri kurang mengetahui bahwa perbuatan menipu bertentangan dengan norma hukum. Bahkan, ia mencoba mencari kenyamanan dan membela diri atas tindak pidana penipuan yang dilakukan.

117

Dengan demikian, dikatakan bahwa pengetahuan moral yang dimilikinya masih rendah.

Selain kasus kekerasan dan penipuan, peneliti juga melakukan wawancara dengan narapidana residivis atas tindak pidana pencurian. Hasil wawancara dengan Afif Solikhin (narapidana residivis kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP)

mengambil barang milik orang lain. Saya sadar bahwa mencuri sepeda motor adalah salah karena memang bukan hak saya. Perbuatan yang saya lakukan

Hasil wawancara berikutnya dengan Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, menuturkan hal yang sama adalah sebagai berikut:

Mencuri berarti seseorang yang memang dalam keadaan mendesak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Seseorang yang mencuri pasti karena ia berada dalam posisi yang sulit misalnya kebutuhan ekonomi. Saya sendiri terpaksa mencuri karena yang faktor ekonomi. Niatnya ingin cari kerja tetapi tidak mempunyai keterampilan. Mau usaha nggak ada modal. Ya sudah jadi mencuri saja. (Catatan lapangan 4).

Hasil wawancara lainnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan:

Mencuri adalah mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Saya sudah 7 kali masuk Rutan. Petugas Rutan sampai bosan melihat saya bolak-balik masuk sini. Sejak kecil saya sudah hidup merantau. Kehidupan yang keras membuat saya harus melakukan perbuatan tersebut. Tujuan hidup saya adalah bahagia. Mengenai urusan akherat nanti belakangan. Saya sendiri sadar bahwa perbuatan mencuri dilarang, tetapi saya merasa nyaman dengan pekerjaan tersebut. (Catatan lapangan 6).

Hasil wawancara juga dilakukan dengan narapidana residivis bernama Ardi Eli.L kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP pada hari Kamis tanggal 15 Juli 2011 sebagai berikut:

(Catatan lapangan 8).

118

Hasil senada disampaikan oleh narapidana residivis yang bernama Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) wawancara pada hari berarti mengambil barang milik orang lain misalnya uang, barang-barang berharga seperti emas, elektronik, dan yang bisa diuangkan. Perbuatan tersebut dilakukan tanpa ada orang

(Catatan lapangan 9).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh narapidana residivis yang bernama

(Catatan lapangan 10).

Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, hampir seluruh narapidana residivis dengan kasus pencurian mengetahui mengenai perbuatan mencuri. Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Alasan mereka mencuri karena minimnya keahlian atau keterampilan. Lebih parahnya lagi adalah perbuatan mencuri sebagai bagian dari mata pencaharian dengan alasan menompang biaya hidup. Terdapat 2 narapidana residivis yang mengatakan demikian. Tuntutan ekonomi dan kehidupan yang keras menyebabkan narapidana residivis melakukan pencurian.

Peneliti kemudian melakukan wawancara dengan narapidana residivis bernama Dwi Martanto (pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut:

Membunuh berarti menghilangkan nyawa orang lain, baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak. Kasus pembunuhan yang saya lakukan terhadap isteri dipicu karena api cemburu. Saya sangat menyesal melakukan perbuatan tersebut sebab selalu dihantui rasa bersalah. Saya berhak mendapat hukuman yang seberat-beratnya untuk menebus dosa. Namun, jika diberi kesempatan saya ingin insyaf. (Catatan lapangan 5).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Dwi Martanto dapat diketahui bahwa, ia memiliki pemahaman moral yang baik sebab memahami tentang konsep

119

perbuatan membunuh. Ia juga memahami bahwa membunuh melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana.

Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan narapidana residivis bernama Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut:

Saya kurang tau makna penggelapan itu apa. Hanya saya sering dengar istilah itu. Menurut saya, penggelapan merupakan bagian dari korupsi. Saya dijatuhi pidana oleh hakim bilangnya karena kasus penggelapan pasal 372 KUHP atas tuduhan telah menggelapkan uang tunjangan para pegawai. (Catatan lapangan 3).

Hasil wawancara dengan Tedy Surahman, peneliti menyimpulkan bahwa ia belum memahami mengenai konsep tidak pidana penggelapan bahkan ia tidak menyadari bahwa tindak pidana penggelapan yang dilakukan melanggar norma hukum.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 narapidana residivis di atas peneliti menyimpulkan bahwa, sebanyak 9 orang (90%) narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah memiliki pemahaman atau pengetahuan moral. Hal tersebut diketahui bahwa mereka memahami mengenai perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan. Pada kasus pencurian misalnya, hampir semua narapidana mengetahui tentang konsep pencurian. Mereka

mengatakan bahwa: ng atau sesuatu

dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Selain itu, mereka mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, hampir keseluruhan narapidana residivis memiliki pengetahuan atau pemahaman moral yang sangat baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis

120

yang belum mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan itu merupakan tindak pidana yaitu narapidana residivis kasus penggelapan.

c. Perasaan Moral Narapidana Residivis Terkait dengan Tindak Pidana yang Dilakukan

Perasaan moral merupakan kesadaran akan hal-hal yang baik atau tidak baik. Salah satu wujud perasaan moral adalah empati. Empati mengandung makna bahwa, seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagaimana orang tersebut mengertinya. Dengan adanya sikap empati seseorang mampu memahami kesulitan-kesulitan yang ada di lingkungannya, memahami situasi seseorang, dan mampu merasakan kesengsaraan orang lain.

Perasaan moral dari narapidana residivis yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan mengandung arti bahwa, bagaimana narapidana residivis memahami perasaan orang lain khususnya korban sebagai akibat perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Perasaan moral ini mengukur seberapa jauh narapidana residivis memiliki kepekaan untuk memposisikan dirinya terhadap kondisi kesulitan yang dialami korban jika hal yang sama terjadi pada dirinya sendiri. Artinya apabila kondisi yang dialami korban atas perbuatan tindak pidana itu berbalik kepadanya. Untuk mengetahui perasaan moral narapidana residivis, peneliti mengajukan pertanyaan yang menunjukkan perasaan moral yaitu: g telah saudara lakukan merugikan orang lain (korban)? Bagaimana perasaan saudara jika hal

Beberapa narapidana residivis menunjukkan perasaan moral melalui perasaan empati untuk mengerti kondisi korban atas tindak pidana yang dilakukan. Selain itu, telah nampak kesadaran moral dalam diri narapidana residivis. Kesadaran moral timbul ketika mereka menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan telah menimbulkan beban atau kesulitan bagi korban tindak pidana seperti yang disampaikan oleh narapidana residivis bernama Ramlan Butar

121

(pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, adalah sebagai berikut:

Saya sadar sekali bahwa perbuatan yang saya lakukan membahayakan. Bahkan, saya sendiri malu untuk membaur orang-orang sekitar. Setelah keluar dari Rutan ini, semoga masyarakat mau menerima kehadiran saya kembali. Sebab kasihan orang tua sendiri dirumah tidak ada yang mengurusi. Padahal saya mencuri sedikit tetapi kenapa hukuman yang dijalani begitu berat. Saya hanya bisa pasrah. (Catatan lapangan 4).

Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Ramlan Butar, peneliti menyimpulkan bahwa informan tersebut telah memiliki perasaan moral yang baik sebab ia menyadari bahwa perbuatannya telah membahayakan jiwa korban.

Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP) pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut:

Saya sadar perbuatan yang saya lakukan (kekerasan) membuat korban terluka. Bahkan, saya harus menanggung resiko ganti rugi biaya Rumah Sakit. Saya juga kasihan melihat kondisi korban bisa separah itu. Pada waktu saya berkelahi saat itu dalam keadaan tidak sadarkan diri sebab mabuk berat sehingga tidak mampu mengontrol emosi. Saya tidak akan mengulangi kembali perbuatan tersebut karena kapok mbak. Saya sadar telah melakukan kesalahan sebab jika hal tersebut dialami saya sendiri pasti tidak enak rasanya. (Catatan lapangan 7).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Agus Waluyo, peneliti menyimpulkan bahwa perasaan empati dalam dirinya telah ada. Akibat tindak pidana yang dilakukan, membuat dirinya merasa iba dan ikut merasakan penderitaan yang dialami korban. Dengan harapan bahwa, hal tersebut (perbuatan tindak pidana kekerasan) tidak akan menimpa dirinya. Ketika peneliti melakukan wawancara terlihat ekspresi wajah yang menunjukkan penyesalan yang mendalam atas perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan. Ia berusaha meyakinkan diri untuk berubah menjadi orang yang baik.

122

Berdasarkan hasil wawancara dengan Afif Solikhin (narapidana residivis

adalah sebagai berikut:

Saya mencuri karena terpaksa. Sebenarnya tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Namun, tujuan saya mencuri karena ingin membahagiakan orang terdekat khususnya orang tua. Saya sadar bahwa, mencuri telah merugikan orang lain dalam hal ini korban. Saya merasa perbuatan tersebut tidak disukai banyak orang. Saya tidak pernah berfikir jika hal tersebut menimpa saya, sebab belum pernah mengalaminya. Tau sendiri mbak saya orang tidak mampu. Apa yang mau dicuri dari saya (sembari tertawa). (Catatan lapangan 2).

Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Afif Solikhin peneliti menyimpulkan bahwa, ia tampak terbuka dan tenang ketika memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh pembicara (peneliti). Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam diri narapidana residivis ini telah memiliki perasaan empati. Perasaan empati ditunjukkan dengan mengungkapkan bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan korban dan tidak disukai oleh masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa ia telah memiliki perasaan moral.

Hasil wawancara selanjutnya dengan Dedi Rosadi (pencurian pasal 365

Saya sadar bahwa mencuri telah menimbulkan penderitaan dan menyebabkan susah orang lain. Tetapi hidup saya juga serba susah. Penghasilan saya gak

cukup untuk kebutuhan anak dan isteri. Saya berharap jangan sampai anak saya nantinya mengikuti jejak saya. Walaupun bapaknya mantan penjahat tetapi saya tidak pernah mengajarkan hal-hal tidak baik kepada mereka. (Catatan lapangan 10).

Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Dedi Rosadi, peneliti menyimpulkan bahwa, perasaan moral dalam diri narapidana dikatakan baik. Ia sangat peka terhadap kesulitan orang lain. Muncul kesadaran moral bahwa perbuatan yang dilakukannya (mencuri) menimbulkan penderitaan bagi korban.

123

Wawancara berikutnya dengan narapidana residivis bernama Dwi Martanto (pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) adalah sebagai berikut:

Setiap orang pasti menganggap bahwa membunuh adalah perbuatan paling jahat. Saya sadar bahwa perbuatan yang saya lakukan menjijikkan dan tidak terampuni. Akibat perbuatan ini, membuat hidup saya menjadi tidak tenang. Jiwa selalu diselimuti gelimang dosa berkepanjangan. Seandainya saya mampu mengendalikan emosi mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. Saya sangat menyayangi istri saya. Entah bagaimana jadinya jika hal tersebut menimpa saya sendiri. Pasti mertua dendam sekali dengan saya karena membunuhnya anaknya. Saya hanya bisa mengelus dada. (Wawancara: Senin, 11 Juli 2011). (Catatan lapangan 5).

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis yang bernama Dwi Martanto telah memiliki perasaan moral. Ia mampu memposisikan dirinya untuk berusaha mengerti keadaan yang dialami isterinya Perasaan moral timbul setelah ia menyadari bahwa isterinya telah meninggal dunia sehingga muncul penyesalan yang mengakibatkan dirinya terbebani atau stres. Perasaan moral ditunjukkan dengan perasaan rasa bersalah, perasaan empati, dan perasaan sabar. Ia nekad membunuh sebab tidak mampu menahan emosi karena cemburu isterinya berselingkuh.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Puji Hariyanto (pencurian dengan

berikut:

Saya sadar mencuri telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perasaan tidak tega sewaktu mengambil uang. Rasa takut dan cemas kerap muncul. Saya tidak ingin mengulangi kembali cukup dengan masuk penjara sekarang menjadi pengalaman terpahit dan terakhir dalam hidup saya. Sebab takut karma tidak mau hal tersebut menimpa saya sendiri. Saya ingin tobat. (Catatan lapangan 9).

Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Puji Hariyanto, peneliti menyimpulkan bahwa informan telah menunjukkan perasaan moral. Informan sadar bahwa tindak pidana yang dilakukan telah menimbulkan

124

kerugian bagi orang lain. Informan mengatakan bahwa ia melakukan perbuatan tersebut bertentangan dengan hati nurani sebab ada perasaan tidak tega, cemas dan takut sewaktu mencuri.

Disisi lain, perasaan moral belum ditunjukkan dalam diri narapidana residivis dimana nampak ketidakpedulian mereka terhadap orang lain khususnya korban. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo (narapidana residivis

sebagai berikut: Gimana ya mba, saya juga tidak ingin berbuat menipu dengan menjual terasi palsu. Saya sadar bahwa perbuatan saya salah tetapi saya butuh

1).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo peneliti menyimpulkan bahwa belum terlihat perasaan empati dalam dirinya sebab, ketika dilakukan wawancara informan terkesan tidak fokus pada pertanyaan yang diajukan pembicara (peneliti).

Hasil wawancara lainnya dengan seorang narapidana residivis bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP) pada hari Kamis tangal 15 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Gak peduli dengan orang lain. Saya mencuri karena butuh sekali uang untuk operasi bapak. Melihat dia sehat merupakan kebahagiaan

Catatan lapangan 8).

Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Ardi Eli. L, peneliti menyimpulkan bahwa ia tidak memiliki perasaan moral. Hal tersebut tampak dari rasa ketidakpeduliaannya terhadap perasaan orang lain atas perbuatan tindak pidana (pencurian) yang dilakukan. Sifat egois menyebabkan informan tidak memiliki perasaan moral.

Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal