• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA"

Copied!
238
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS

DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA

SKRIPSI

Oleh:

ROSIANA RAHAYU K6407011

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

(2)

ii

PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS

DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA

Oleh

ROSIANA RAHAYU K6407011

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v ABSTRAK

Rosiana Rahayu. PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS

DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN

NEGARA KLAS 1 SURAKARTA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. November 2011.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan. (2) Mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. (3) Mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa, tempat atau lokasi, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data, trianggulasi metode dan

review informan. Analisis data menggunakan analisis data model interaktif yaitu

pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hanya sebatas pemahaman moral saja sedangkan sebagian narapidana residivis belum memiliki perasaan moral dan tindakan moral juga belum terbentuk. (2). Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak berhasil membentuk narapidana residivis menjadi warga negara yang baik (good citizen) sebab sebanyak 70 % narapidana residivis tidak terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral. Hal tersebut diketahui bahwa dari 10 narapidana residivis yang mempunyai kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari tindakan moral hanya 2 orang (20%). Selain itu, masih terjadi pengulangan tindak pidana sehingga arah pembinaan moral yang sesuai tujuan pemasyarakatan tidak tercapai. (3). Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan, peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan, sarana dan prasarana yang menunjang, motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat, dan pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis terkait pembentukan good citizen meliputi: perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah, terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan, belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis, dan stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis.

(6)

vi ABSTRACT Rosiana Rahayu.

CREATING GOOD CITIZEN IN THE FIRST CLASS OF SURAKARTA PENITENTIARY. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Sebelas Maret University. October 2011.

moral in the First Class of Surakarta penitentiary relative to the crime

building in creating good citizen in the First Class of Surakarta Penitentiary, and

moral building in the First Class of Surakarta Penitentiary relative to creating good citizen.

This study employed a descriptive qualitative method with a single embedded research strategy. The data source used consisted of informant, event and document. The sampling technique used was purposive sampling and snowball sampling. Techniques of collecting data used were interview, observation, and document analysis. Data validity was obtained using data and method triangulation techniques and review informant. The data analysis was done using an interactive analysis encompassing data reduction, data display and conclusion drawing.

Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the recurrent ry is only limited to moral conception. It is because their moral feeling and moral action have not been established. (2) The implementation of moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary has not successfully created the recurrent prisoners into good citizens because any 70% the recurrent

prisoners formed as a education morality person. Is known that 10 people

who has morality consciousness while only 40 % whereas in term of moral only 2 people (20%). In addition, some recurrent prisoners still repeat the criminal action so that the direction of moral building consistent with the objective of moral building has not been achieved. (3) The factors supporting the moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary

supporting the implementation of building, supporting infrastructures, moral r the negative stigma among the society, and good supervision during the building process.

moral building relative to the good citizen creation includes the recurrent s not-good behavior during building process, the difference of

(7)

vii MOTTO

Kotornya akhlak itu lebih besar bahayanya dari pada kotornya materi. Maka, wajib bagi setiap individu untuk membersihkan jasmani dan rohaninya sebelum

memasuki kehidupan baru (Dr. Kasis Karel)

Sesungguhnya kerendahan moral itu adalah tantangan yang paling besar yang sangat ditakuti manusia. Dan, keutamaan moral itu adalah suatu harapan yang

paling besar yan

(Plato)

Mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, mereka yang menyuruh mungkar dan bersegera mengerjakan berbagai kebaikan. Maka, mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh

(Al- Surat Ali-Imron: 114)

Akhlak yang baik bergantung pada kesiapan diri untuk berakhlak. Manusia menjadi adil karena menegakkan keadilan, menjadi bijaksana karena menekuni

kebijaksanaan, dan menjadi berani karena bertindak berani. Untuk mewujudkannya, perlu niat, usaha keras, dan pembiasaan maka, hasil yang

diperoleh akan memuaskan (Penulis)

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan restu dalam setiap perjalanan hidup

Kakak-kakak kandung tersayang, Eko Rosdianto dan Windi Rosdiana yang telah memberikan doa dan motivasi Priema Ariz Setiawan yang selalu mendokan dan memberikan dukungan

Teman-teman PPKn angkatan 2007 yang selalu memberikan semangat

Sahabat terbaik Nur Aprilia, Indriyani, Rizki Tri. K, dan Sri Sulastri yang selalu membantu dan memberikan semangat Almamater

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.

2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

4. Dr. Winarno, S.Pd, M.Si., selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Triana Rejekiningsih, SH, KN, MP.d., selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. E. Sunar Ardinarto, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan.

7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(10)

x

8. Petugas dan penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang dengan senang hati membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang membantu penulis baik moril maupun materiil yang tidak

bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, November 2011

Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Tinjauan tentang Moral ... 10

2. Tinjauan tentang Pembinaan Moral ... 27

3. Tinjauan tentang Teori Pemidanaan... 32

4. Tinjauan tentang Narapidana Residivis ... 38

5. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan ... 47

6. Tinjauan tentang Good Citizen ... 59

7. Hubungan antara Warga Negara yang Baik dengan Moral ... 64

8. Hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pembinaan Moral di Lembaga Pemasyarakatan ... 66

(12)

xii

B. Kerangka Berfikir ... 71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 74

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 74

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 75

C. Sumber Data ... 77

D. Teknik Sampling ... 80

E. Teknik Pengumpulan Data ... 82

F. Validitas Data ... 86

G. Analisis Data ... 89

H. Prosedur Penelitian ... 92

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 94

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 94

1. Sejarah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 94

2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .. 98

3. Proses Penerimanaan, Pendaftaran dan Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 102

4. Kondisi Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 105

5. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 108

6. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan Berbagai Instansi yang Terkait dengan Pelaksanaan Pembinaan ... 111

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian ... 112

1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan ... 112

2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 138

3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait Pembentukan Good Citizen ... 172

C. Temuan Studi ... 194

(13)

xiii

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 214

A. Kesimpulan ... 214

B. Implikasi ... 217

C. Saran ... 218

DAFTAR PUSTAKA ... 221

LAMPIRAN ... 225

(14)

xiv 2. Jumlah Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta

per Bulan Juni 2011 ... 3. Daftar Nama Narapidana Residivis per Bulan Juni 2011 di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 4. Petugas Pembinaan atau Pembina Rumah Tahanan Negara Klas

1 Surakarta. ... 5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan

Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 6. Hasil Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang

Dilakukan oleh Narapidana Residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011. ... 7. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1

Surakarta yang Didasarkan pada Tingkat Pendidikan Tahun 2011. ... 8. Faktor Penyebab Narapidana Residivis di Rumah Tahanan

Negara Klas 1 Surakarta Melakukan Tindak Pidana ... 9. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kesadaran Agama

Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ... 10. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kemandirian di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ... 11. Metode dan Wujud Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas

1 Surakarta ... 12. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap

Narapidana Residivis Terkait dengan Pembentukan Good Citizen. ... 13. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.

Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan ... Skema Kerangka Berfikir ... Analisis Data Model Interaktif ... Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ...

53 73 92

99

(16)

xvi 4. Hasil Evaluasi Perkembangan Diri Narapidana Residivis

yang Belum Menunjukkan Perilaku yang Baik Ditinjau dalam Laporan Perkembangan Warga Binaan Pemasyarakatan Tahun 2011... 5. Pedoman Wawancara ... 6. Catatan Lapangan dengan Narapidana residivis ... 7. Catatan Lapangan dengan Petugas Rumah Tahanan

Negara Klas 1 Surakarta... 8. Catatan Lapangan dengan Pembina Rumah Tahanan

Negara Klas 1 Surakarta... 9. Catatan Lapangan dengan Perwakilan dari Narapidana

Residivis ... 16. Surat Permohonan Pengantar Ijin Penelitian Kepada

(17)

xvii Lampiran

Lampiran

Lampiran

Jawa Tengah di Semarang ... 17. Surat Ijin Penelitian dari Kepala Kantor Wilayah

Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah di Semarang ... 18. Surat Ijin Masuk untuk Mengadakan Penelitian di Rumah

Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ... 19. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Rumah

Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ... 333

334

335

336

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum atau rechstaat. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) disebutkan dengan tegas bahwa

Pasal tersebut mengandung arti bahwa, hukum memegang kekuasaan tertinggi. Setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan berhak untuk memperoleh persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Hal tersebut dipertegas dalam bunyi pasal 27 ayat (1)

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib

Selanjutnya, dalam bunyi pasal 28 D ayat (1) yang disebutkan bahwa

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,

memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan keadilan.

Hukum merupakan salah satu pranata yang dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam kehidupan manusia yang menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh serta dilarang dalam rangka menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat. Selain itu, hukum diperlukan guna mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat. Timbulnya kejahatan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu saja melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan masyarakat. Pada awalnya, manusia dalam melangsungkan kehidupan berawal dari hasrat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan seseorang dalam keadaan ekonomi buruk akan kesulitan memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, manusia terdorong melakukan perbuatan menyimpang yaitu melakukan kejahatan. Kejahatan tersebut menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat pada khususnya dan kehidupan negara pada umumnya. Pada dasarnya, segala macam bentuk kejahatan menimbulkan dampak buruk yang merugikan baik terhadap diri pelaku kejahatan tersebut maupun masyarakat luas. Oleh sebab

(19)

itu, diperlukan sanksi pidana dalam upaya menanggulangi kejahatan. Sanksi pidana merupakan salah satu sarana yang paling efektif yang digunakan dalam menanggulangi kejahatan. Sebab, sanksi pidana diberikan agar pelanggar jera atas perbuatan pidana yang dilakukan dan tidak mengulangi kejahatan kembali. Sanksi pidana diatur dalam pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang menyebutkan tentang pidana pokok dan pidana tambahan.

meliputi: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan meliputi: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim . (Moelyatno, 2003: 5-6). Penerapan sanksi pidana tersebut diatur dalam sistem hukum di Indonesia yang dikenal dengan pemidanaan.

Seiring dengan perkembangan masalah-masalah pemidanaan yang terjadi di dunia barat, pandangan dan sikap hidup bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah dalam negara khususnya kepenjaraan baru diwujudkan pada tahun 1963 dengan mengubah sistem kepenjaraannya menjadi sistem pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah salah satu pranata hukum yang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka besar bangunan hukum di Indonesia, khususnya dalam kerangka hukum pidana. Tujuan pembinaan dalam pemidanaan adalah agar narapidana tidak mengulangi kembali perbuatannya dan bisa menemukan kembali kepercayaan dirinya serta dapat diterima kembali menjadi bagian dari anggota masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dwidja Priyatno (2006: 53-54) mengatakan bahwa, danaan meliputi pencegahan, pembinaan, keseimbangan masyarakat, dan pembebasan rasa bersalah Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pencegahan berarti mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Pembinaan berarti memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang baik dan berguna. Pembinaan dilakukan dengan merehabilitasi tetapi juga meresosiliasi terpidana dan mengintegrasikan yang bersangkutan ke dalam masyarakat.

(20)

3. Keseimbangan dalam masyarakat berarti penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak pidana yang telah dilakukan.

4. Pembebasan rasa bersalah berarti membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Tujuannya bersifat spiritual yang dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, disebutkan pula dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa:

Tujuan pemasyarakatan adalah sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga negara binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. (Dwidja Priyatno, 2006: 180).

Pola pembinaan terhadap narapidana di Indonesia didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan alenia kedua ditegaskan bahwa:

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun warga negara yang meyakini pribadinya masih memiliki potensi produktif bagi pembangunan bangsa (Ismail Sholeh, 1990: 3).

Berdasarkan peraturan tersebut maka, pola pembinaan di lembaga pemasyarakatan diberikan melalui pembinaan mental seperti pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti. Arah pembinaan di lembaga pemasyarakatan harus dimulai dengan membentuk moral narapidana sebab, moral yang baik akan menangkal seseorang untuk melakukan perbuatan jahat. Sebagaimana yang diungkapkan menurut filosof Jerman Kenith dalam Miqdad Yaljan (2004:21) menyatakan bahwa:

(21)

Sesungguhnya manusia tidak akan sampai pada kesempurnaan, kecuali melalui pendidikan. Melalui pendidikan dapat mencerdaskan dan membuat hati baik. Jadi akhlak tidak hanya berbicara tentang tingkah laku (perbuatan) yang telihat dengan kasat mata, tetapi lebih dari pada itu membersihkan jiwa dari segala perbuatan hina dan jahat bahkan menghiasinya dengan segala sisi keutamaan secara lahir dan batin.

Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan warga binaan sangat tergantung oleh faktor narapidana itu sendiri, bentuk pembinaan, dan pranata hukum. Selama ini, perhatian banyak diberikan terhadap lembaga-lembaga hukum yang bergerak langsung dalam penegakan hukum baik di lembaga pembuat undang-undang maupun pihak yang bertanggung jawab dalam hal pelaksanaannya seperti polisi, hakim ataupun jaksa. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah peran serta masyarakat yang diharapkan dapat membantu pelaksanaan pembinaan narapidana. Masyarakat memiliki peranan yang sangat berarti dalam proses resosialisasi narapidana yang saat ini masih sulit dilaksanakan. Hal ini dikarenakan, setelah narapidana selesai menjalani hukumannya kemudian siap kembali ke masyarakat, tidak jarang muncul permasalahan misalnya dikarenakan kurang siapnya masyarakat menerima mantan narapidana serta sulitnya narapidana memperoleh pekerjaan. Perhatian tersebut dirasa kurang oleh lembaga pemasyarakatan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberhasilan dalam suatu lembaga pemasyarakatan yang masih kurang. Salah satu diantaranya masih ditemukan residivis atau pelaku pidana yang pernah menjalani pemidanaan dalam suatu lembaga pemasyarakatan dan kemudian mengulangi kembali tindak pidana.

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari berbagai sumber informasi ternyata, masih banyak residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana setelah keluar dari dari lembaga pemasyarakatan khususnya di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Adapun data-data narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana adalah sebagai berikut:

Operasi Sikat Lindas Bandar (Silindar) yang digelar dalam setahun terakhir, terdapat 117 pengedar dan pengguna narkotika dan obat terlarang (narkoba) ditangkap petugas Polresta Surakarta. Ratusan tersangka yang berasal dari berbagai kelompok sindikat maupun perseorangan yang diringkus polisi.

(22)

Termasuk di dalamnya seorang mantan narapidana residivis. (Suara Merdeka, tanggal 13 Maret 2011 dikutip dalam http://suaramerdeka.com/v1/indeks Php/read/news).

Fakta lainnya dalam sebuah media massa yang menyebutkan ditemukan seorang residivis di Solo, Jawa Tengah, kembali berurusan dengan polisi karena mencuri beberapa handphone tempat counter di kawasan Sumber, Banjarsari pada hari Selasa (10/2/2011). Tersangka bernama, Agus Waluyo sebenarnya baru saja keluar dari penjara satu bulan lalu karena mencuri. (Antara News, tanggal 10 Maret 2011 dikutip dalam http://antaranews.hileud.com/ hileudnews

/title=residivis kembali berurusan dengan polisi &id =226380).

Fakta selanjutnya menyebutkan seorang residivis kembali diciduk aparat Satuan Reskrim Polres Karanganyar, Jawa Tengah, karena memiliki 0,2 gram shabu. Tersangka bernama Sardi Haryanto alias Penguk, ditangkap di rumahnya di Dusun Jumog, Desa Jaten, Karanganyar. Sebelumnya, Sardi pernah mendekam di Rumah Tahanan Klas 1 Surakarta karena kasus narkoba pada tahun 2005. (Harian Joglo Semar, tanggal 12 April 2010 dikutip dalam http://harian.joglosemar.com).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat diketahui bahwa banyak kejahatan yang dilakukan residivis. Hal ini menunjukkan bahwa, para pelaku tindak pidana yang dikategorikan residivis belum jera setelah mereka menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. Kenyataan ini kemudian mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan bahwa, bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembinaan yang diberikan lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana residivis selama ini. Sampai dimanakah efek positif yang di dapat dari proses pembinaan yang pernah diberikan petugas pemasyarakatan kepada pelaku kejahatan khususnya narapidana residivis. Tindak kejahatan yang dilakukan berulang-ulang oleh residivis mungkin ada yang salah dalam mekanisme pembinaan sehingga tujuan dari pemidanaan dalam upaya mencegah narapidana residivis untuk tidak mengulangi tindak pidana kembali belum tercapai. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh residivis menunjukkan bahwa residivis mengalami masalah moral. Dikatakan demikian sebab, mereka masih tetap melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma

(23)

hukum. Oleh sebab itu, perlu mengetahui bagaimana moral residivis selama ini. Apa yang menyebabkan residivis melakukan tindakan tidak bermoral yaitu pengulangan tindak pidana.

Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi khususnya Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk melaksanakan pembinaan moral bagi narapidana residivis dalam upaya membentuk perilaku moral yang baik sehingga pada akhirnya setelah ia keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mampu menjadi manusia normal yang mengemban tugasnya sebagai warga negara yang baik dalam memajukan pembangunan nasional. Pembinaan terhadap narapidana residivis diharapkan menjadi perhatian khusus oleh pembina pemasyarakatan. Pembina pemasyarakatan diharapkan memiliki metode pembinaan yang tepat bagi narapidana kambuhan seperti residivis.

Narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya di lembaga pemasyarakatan merupakan insan dan sumber daya manusia yang masih memiliki potensi untuk dikembangkan dalam kemajuan pembangunan negara. Dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (1) berbunyi bahwa etiap warga negara , setiap warga negara berhak mendapat pendidikan tidak terkecuali bagi narapidana residivis. Dengan harapan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, ia dapat melaksanakan perannya sebagai warga negara yang baik (good citizen) untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk menjadi warga negara yang baik, memerlukan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang meliputi pengetahuan kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, dan nilai warga negara (civic knownladge, civic skills, dan civic value). Bagi narapidana, penguasaan mengenai kompetensi kewarganegaraan dapat diperoleh melalui pembinaan yang diberikan lembaga pemasyarakatan.

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai lembaga pemasyarakatan melaksanakan pembinaan moral berdasarkan pemasyarakatan. Tujuan pembinaan diarahkan agar narapidana dapat memperbaiki diri, dan tidak mengulangi kembali perbuatan tindak pidana, serta mampu berintegrasi dengan masyarakat. Pelaksanaan pembinaan moral diberikan dengan berbagai program

(24)

pembinaan. Salah satu program pembinaan yang diselenggarakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah pembinaan kesadaran agama islam. Pada awal tahun 2009 Rutan mendirikan pondok pesantren dalam Rutan sebagai bentuk kegiatan pembinaan kesadaran agama islam.

Menurut keterangan Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rumah Tahanan Negara Klas I Surakarta, Bapak Agustiyar Ekantoro di Solo menjelaskan bahwa, pondok pesantren yang didirikan di dalam Rutan Klas 1 Surakarta merupakan yang pertama di Indonesia. Pendirian pesantren tersebut, merupakan proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM dalam pembinaan narapidana. Program dari pesantren diharapkan dapat sinergi dengan proram rehabilitasi yang dimiliki Rutan. Sementara itu, pendiri Yayasan Wisata Hati, Ustad Mansur mengatakan bahwa pendirian pesantren di dalam Rutan ini, merupakan keinginan dari para narapidana yang menjadi warga binaan Rutan Klas I Surakarta. Respon untuk mendirikan pesantren tersebut oleh pihak Rutan dan Departemen Hukum dan HAM sangat berguna sekali dalam membantu narapidana agar lebih bisa diterima kembali oleh masyarakat ketika masa pidana narapidana telah berakhir. (Antara News, tanggal 13 Oktober 2009 halaman 7).

Pembinaan yang diberikan kepada narapidana bertujuan membentuk mental narapidana agar memiliki moral yang baik diharapkan dapat membentuk watak dan mampu menyerap nilai-nilai positif dari program-program pembinaan yang telah diberikan. Watak yang dimaksud disini merupakan kualitas individu dalam mengaktualisasikan potensinya berupa sikap atau perilaku sesuai tuntutan hidup atas dasar nilai, norma, dan moral yang menjadi komitmennya. Menurut W. L Dewarant dalam Miqdad Yaljan (2004: 76) menyampaikan bahwa -faktor yang dapat membangun dan menjaga peradaban adalah akhlak. Andaikata faktor-faktor ini hilang dapat dipastikan bahwa dasar-dasar peradaban atau negara tersebut mengandung arti bahwa, untuk dapat membangun suatu peradaban dalam hal ini negara maka, harus dimulai dari akhlak atau moral yang baik yang dimulai dari setiap warga negara atau masyarakat.

Bertitik tolak dari uraian di atas maka, penulis merasa tertarik untuk mengambil skripsi dengan judul Moral Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1

(25)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dan untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian sehingga sasaran yang hendak dicapai jelas dan tegas maka, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan?

2. Bagaimana pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam

membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ?

3. Faktor apa sajakah yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian tentunya mempunyai tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa tujuan maka, penelitian yang dilakukan tidak akan memberikan manfaat. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. 3. Untuk mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat

pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut:

(26)

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan wawasan dan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dalam mengimplementasikan mata kuliah yang berhubungan dengan pendidikan budi pekerti seperti mata kuliah Dasar dan Konsep Pendidikan Moral (DKPM) dan Hukum Pidana.

b. Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pembinaan moral terhadap narapidana residivis untuk memperbaiki akhlak atau moral sehingga tidak mengulangi tindak pidana kembali dan mampu berbaur dengan masyarakat.

b. Dengan penelitian ini, diharapkan akan lebih meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kepada narapidana residivis agar lebih efektif. Sehingga arah pembentukan good

citizen dapat terwujud yaitu narapidana residivis mampu mengembangkan

kompetensi kewarganegaraan yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

c. Memotivasi para residivis agar lebih percaya diri untuk berintegrasi dengan masyarakat setelah keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.

a.Tahap-Tahap Perkembangan Moral

Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels)

berturut-Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional

Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan buruk. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh

(27)

faktor-faktor dari luar. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan dua tahap yaitu:

a) The punishment and obidience orientation (orientasi hukuman dan

kepatuhan) yaitu patuh karena tata hukuman. Seorang anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua atau guru) dan atas hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh.

b) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan

orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.

2). Tingkat konvensional

Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-normanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap:

a) Interpersonal concordance good boy-nice girl orientation

(penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis). Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah.

b) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban).

Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang

(28)

berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melakukan aturan-aturan tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial jelas bersalah.

3). Tingkat pascakonvensional

(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai

penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu:

a) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis).

Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-nilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial.

b) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang

universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki pemahaman moral sehingga dalam perilaku mereka selalu memperhatikan

(29)

aturan-aturan yang ada. Namun, apabila perkembangan moral seseorang tidak mencapai pada tingkat sesudah konvensional maka, akan mengakibatkan seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang bermoral.

Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.

(30)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A.Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang Moral b. Pengertian Moral

Menurut Bambang Daroeso (1988: 22) menjelaskan pengertian moral adalah sebagai berikut:

mos mores

yang berarti adat istiadat, kebiasaan, atau tingkah laku. Dalam bahasa Yunani moral dikenal dengan kata ethos

yang selanjutnya dikenal dengan budi pekerti. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku baku dalam hidup.

Menurut Magnis Suseno dalam Asri Budiningsih (2008: 24) disebutkan bahwa

manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari

Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 3) dinyatakan bahwa:

Kata moral selalu dipandang memiliki makna yang tumpang tindih dengan kata akhlak, etika, budi pekerti dan nilai. Namun, pada hakekatnya ada beberapa perbedaan diantara kelima istilah ini. Akhlak menekankan perbuatan baik yang dilakukan dalam berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam untuk mencari keridhoan Allah. Etika adalah bagian dari filsafat yang membicarakan perbuatan baik dan buruk. Budi pekerti adalah kumpulan tata krama yang dipandang baik dalam budaya tertentu. Nilai merupakan rujukan dalam menentukan keputusan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan moral adalah perbuatan baik yang mensejahterakan kehidupan manusia. Persamaan kelima istilah ini terletak pada inti pembicaraannya tentang perbuatan terpuji yang seharusnya dilakukan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Menurut Kaelan (2004: 93) dinyatakan bahwa

ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan

(31)

peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup

Definisi lain menurut Poerwodarminta dalam Hamid Darmadi (2009: 50) mengatakan bahwa,

Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Halim yang mengutip para pakar ilmu-ilmu sosial dalam Sabar Budi Raharjo (2010: 233) dinyatakan bahwa akhlak atau moral mempunyai empat makna yaitu:

1) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang.

2) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat.

3) Moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan menurut filsafat.

4) Tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental, yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, moral adalah kumpulan peraturan tentang bagaimana manusia harus bertingkah laku yang baik dalam hidup atau dengan kata lain perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik dan buruk. Moral pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam pergaulan dengan sesama manusia dan masyarakat, akhirnya terbentuklah moral dengan melalui tahap-tahap perkembangan.

c. Tahap-Tahap Perkembangan Moral

Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels)

berturut-Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional

Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan buruk. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh

(32)

faktor-faktor dari luar. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan dua tahap yaitu:

c) The punishment and obidience orientation (orientasi hukuman dan

kepatuhan) yaitu patuh karena tata hukuman. Seorang anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua atau guru) dan atas hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh.

d) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan

orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.

2). Tingkat konvensional

Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-normanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap:

c) Interpersonal concordance good boy-nice girl orientation

(penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis). Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah.

d) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban).

Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang

(33)

berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melakukan aturan-aturan tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial jelas bersalah.

3). Tingkat pascakonvensional

(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai

penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu:

c) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis).

Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-nilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial.

d) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang

universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki pemahaman moral sehingga dalam perilaku mereka selalu memperhatikan

(34)

aturan-aturan yang ada. Namun, apabila perkembangan moral seseorang tidak mencapai pada tingkat sesudah konvensional maka, akan mengakibatkan seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang bermoral.

Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.

d.Pribadi yang bermoral

Ronal Durka menyebutkan tentang ciri-ciri orang yang matang secara moral (morally nature person) adalah sebagai berikut:

1) Mampu memperbaiki situasi moral dan memposisikan diri atas perbuatan

yang telah disepakati sehingga mereka akan bertindak sesuai dengan norma dalam masyarakat.

2) Mengetahui perbuatan mana yang baik dan buruk sehingga seseorang mampu memberikan keputusan moral.

(35)

3) Memiliki karakter baik atas perbuatan yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama.

4) Mengetahui perbuatan yang paling baik tentang apa yang akan atau seharusnya dilakukan.

5) Kemampuan untuk mengolah sebab-sebab moral (Hamid Darmadi, 2009: 30-31).

Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seseorang yang matang secara moral adalah orang yang bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Dalam hal ini, berarti orang tersebut sudah menjadi pribadi yang terdidik secara moral.

Menurut Cheppy Haricahyono (1988: 110-111) disebutkan bahwa, Pribadi yang terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan cita-cita

Higgins dan Gilingan dalam Hamid Darmadi (2009: 31) dikemukakan bahwa:

Ciri orang bermoral ialah selalu merasakan adanya moral basesand

(tuntutan dan keharusan moral) untuk selalu bertanggung jawab terhadap atau akan adanya yaitu 1) Needs and welfare of the individual and others,

2) The involpment and implication of the self and consequences of outher,

3) Intrinsik value of sosial relationships.

Jadi, inti dari kutipan di atas bahwa, ciri orang yang bermoral adalah orang yang selalu bertanggung jawab terhadap kebutuhan dan kesejahteraan individu dan masyarakat, bertanggung jawab terhadap perkembangan, dan implikasi diri dan konsekuensi dari masyarakat, serta bertanggung jawab terhadap nilai intrinsik dari hubungan sosial. Nilai intrinsik yang dimaksud disini adalah nilai dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum. Orang dikatakan bermoral apabila orang tersebut tidak melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.

e. Nilai Moral

(36)

Hamid Darmadi (2009: 27-28) berpendapat bahwa,

sesuatu yang berharga baik menurut standar logika (benar-salah), estetika (baik-buruk), etika (adil atau tidak adil), agama (dosa dan haram-halal) dan

value am bidang kajian filsafat.

Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda

worth goodness

dan kata kerja yang artinya suatu kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. (Fransena dalam Hamid Darmadi, 2009: 67).

Menurut Winarno (2006: 5) menyatakan bahwa,

Dalam dictionary of sosiology and related sciences dikemukakan

Jadi, nilai itu pada hakekatnya sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri.

yang mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa, nilai adalah suatu kualitas yang melekat pada suatu hal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Setelah mengetahui pengertian nilai, selanjutnya dikemukakan mengenai pengertian moral. Hamid Darmadi (2009: 50) mengatakan bahwa,

Sedangkan Sjarkawi (2006: 29) menyatak

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai moral adalah suatu nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat dan memberikan penilaian terhadap tingkah laku manusia. Tidak semua nilai adalah nilai moral, tetapi nilai moral berkaitan dengan perilaku manusia tentang hal yang baik dan buruk. Sehingga terdapat ciri-ciri terkait dengan nilai moral.

(37)

Menurut K. Bertens (2007: 143-147) mengemukakan bahwa, -ciri nilai moral yaitu berkaitan dengan tanggung jawab kita, hati nurani, Ciri-ciri moral tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Berkaitan dengan tanggung jawab kita.

Nilai moral ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Dengan nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang dianggap bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab.

2) Berkaitan dengan hati nurani.

Salah satu ciri khas nilai moral berkaitan dengan hati nurani. Nilai ini menimbulkan suara dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.

3) Mewajibkan.

Nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga, nilai moral ini harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima bila seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.

4) Bersifat formal.

Nilai moral bersifat formal artinya bahwa kita merealisasikan nilai-nilai moral tersebut dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu tingkah laku moral.

Jadi, dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ciri khas dalam menandai nilai moral adalah tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara mau, dan mengetahui bahwa tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi manusia (person) dan masyarakat. Dengan demikian, perlu ditanamkan nilai moral supaya manusia mempunyai moral yang baik. Nilai moral mengacu pada perilaku manusia yang diwujudkan dalam bentuk tindakan baik disengaja maupun tidak. Tindakan tersebut berkaitan dengan manusia sebagai pribadi maupun manusia dalam masyarakat. Sehingga, nilai moral ini perlu ditanamkan agar manusia menjadi

(38)

pribadi yang bermoral yang tidak hanya mengetahui benar atau salah namun, mampu bertindak secara moral.

Menurut Lickona di dalam bukunya yang berjudul educating for

character yang dikutip oleh Asri Budiningsih (2008: 6) mengatakan

pentingnya menekankan tiga unsur dalam menanamkan nilai moral yaitu, Pengertian atau pemahaman moral (moral knowing), perasaan moral (moral

feeling), dan tindakan moral (moral action

Berikut ini penjelasan mengenai pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral.

1) Pengertian atau pemahaman moral

Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu atau suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Pengetahuan atau pemahaman moral ini merujuk kepada aspek kognitif tentang moraliti (akhlak) yang melibatkan pemahaman tentang apa yang betul dan baik. Penalaran moral sebagai unsur pengetahuan moral (moral knowing) artinya penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu, atau kelompok terhadap hal-hal yang lain.

2) Perasaan moral

Perasaan moral adalah perasaan yang lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik dengan perasaan empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan moral. Menurut Hoffman (1984) mengatakan bahwa, tingkat empati muncul ketika seseorang sanggup memahami kesulitan-kesulitan yang ada dalam lingkungannya dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupannya menjadi sumber beban stres dan merasakan kesengsaraan orang lain. Seseorang dapat dikatakan memiliki perasaan moral yang baik apabila ia memiliki kemampuan untuk memahami perasaan orang lain sehingga mampu mengkomunikasikan perasaan disebut underlying feelings.

(39)

3) Tindakan moral

Tindakan moral adalah kemampuan untuk melakukan keputusan-keputusan moral ke dalam perilaku nyata.

Menurut Thomas Lickona dalam Winarno (2009: 13) dinyatakan bahwa,

baik (knowing the good), menginginkan hal yang baik (describing the good) dan melakukan hal yang baik (doing the good

Terkait dengan hal tersebut, Asri Budiningsih (2008: 71) mengatakan bahwa:

Tingkat empati seseorang akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan moralnya. Moral selain dapat didekati dari segi kognitif (penalaran moral) juga dapat dapat didekati dari segi afektif (perasaan moral). Secara terintegrasi aspek-aspek tersebut akan mendorong terjadinya tindakan moral

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai moral diperlukan untuk membentuk manusia yang berkarakter yaitu individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (desiring and loving the good), dan melakukan kebaikan

(acting the good). Dalam penelitian ini, peneliti menekankan pada unsur

pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui moral seseorang, apabila sudah memiliki pemahaman tentang moral, dan seseorang akan mempunyai rasa cinta terhadap perbuatan yang baik ketika mereka memiliki perasaan moral, sehingga setelah seseorang memiliki pengetahuan dan perasaan moral maka ia akan mampu melakukan keputusan dan perasaan moralnya kedalam perilaku nyata yang berupa tindakan moral. Tindakan moral diartikan sebagai tindakan manusia yang muncul melalui pertimbangan rasional yang mandiri, sehingga selalu dilakukan secara sadar, bebas, bukan paksaan. Dengan demikian, ia pasti bertanggung jawab atas apa yang telah ia pilih dan menetapkannya sebagai sesuatu yang pasti dilakukan dan menjadikannya sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya.

(40)

Sesuai dengan rumusan masalah yang terkait dengan moral narapidana residivis berarti bahwa, seberapa jauh tingkat kematangan pemahaman moral dan perasaan moral serta tindakan moral yang dimilikinya. Pengetahuan moral narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan dapat diketahui melalui pemahaman mereka terhadap konsep tindak pidana yang telah dilakukannya. Seberapa jauh narapidana residivis mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan melanggar norma-norma masyarakat khususnya norma hukum. Kemudian, perasaan moral dapat diketahui melalui tingkat kesadaran moral narapidana atas perbuatan yang dilakukan serta kepekaan mereka terhadap kesulitan yang dialami oran g lain dalam hal ini korban. Winarno (2006: 9) berpendapat bahwa,

adalah kesadaran dalam diri manusia bahwa perbuatannya didasarkan atas rasa

mengenai tindakan tidak bermoral narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana. Untuk menilai tindakan narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana, peneliti akan menjabarkan teori tentang penilaian tindakan moral. Dengan demikian, akan diketahui bagaimana sebenarnya tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis jika ditinjau dari segi moral

f. Teori tentang Penilaian Tindakan Moral

Dalam Cheppy Haricahyono (1995: 107) menyebutkan teori moral Pentingnya pertimbangan moral sebagai alat penilaian atau evaluasi moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan-tindakan seseorang. Pertimbangan moral tersebut menunjuk pada tindakan-tindakan yang merupakan kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan non trival

Penjelasan mengenai kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan

non trival adalah sebagai berikut:

1) Tindakan sebagai kewajiban moral adalah tindakan yang benar kalau diwujudkan dan salah kalau tidak diwujudkan.

2) Tindakan sebagai larangan moral adalah tindakan-tindakan yang salah kalau diwujudkan dan benar kalau tidak diwujudkan.

(41)

3) Tindakan sebagai non trival adalah tindakan-tindakan yang mempunyai konsekuensi penting. Artinya tindakan tindakan-tindakan yang ada dibalik apa yang secara moral memang dituntut, meskipun mengandung resiko dan pengorbanan moral.

Menurut Elisa (2011: 2) yang dimuat dalam

http://www.scribd.com/doc 58523585/teorijeremy-bentham menyebutkan

mengenai teori tindakan moral menurut Jeremy Bentham adalah sebagai berikut:

1) Teori egois etis

Tindakan dari setiap orang pada dasarnya adalah untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egois dianggap bermoral karena kebahagiaan dan kepentingan pribadi dalam bentuk hidup, hak dan keamanan. Secara moral dianggap baik dan untuk dilakukan.

2) Teori utilitarianisme

Tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika tindakan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi masyarakat. Tindakan yang mempunyai manfaat terbesar adalah tindakan yang baik.

Teori di atas digunakan peneliti dalam menilai tindakan narapidana residivis terkait dengan pengulangan tindak pidana. Sebelum dilakukan penilaian moral, peneliti perlu menyelidiki tindakan narapidana residivis dengan beberapa pendekatan etika.

Menurut K. Bertens (2007:

4-etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku manusia moral tetapi ada cara untuk mempelajari moralitas atau pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral.

Menurut K. Bertens (2007: 15) menyebutkan tiga pendekatan tentang etika yaitu Etika deskriptif, etika normatif, dan etika metaetika. Dimana ketiga pendekatan tersebut sebagai dasar untuk mempelajari moralitas seseorang

Penjelasan mengenai ketiga pendekatan tentang etika adalah sebagai berikut:

1) Etika deskriptif

(42)

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat dalam individu tertentu, dalam kebudayaan tertentu, atau subkultur yang tertentu dalam suatu periode sejarah dan sebagainya. Sebab, etika ini tidak memberikan penilaian moral. 2) Etika normatif

Etika normatif merupakan bagian penting dari etika karena menitikberatkan pada diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Di sini ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, tetapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Penilaian itu dibentuk atas dasar norma-norma. Etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Untuk itu, ia mengemukakan argumentasi-argumentasi yang bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak dapat ditawar-tawar.

3) Etika metaetika

Metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari bahasa etika itu. Misalnya penggunaan kata baik dalam menafsirkan sesuatu memiliki pengertian yang sama.

Dari ketiga pendekatan etika yang telah dipaparkan di atas, peneliti menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan normatif. Pendekatan deskriptif digunakan peneliti untuk mendeskripsikan moralitas narapidana residivis mengenai anggapan-anggapan tentang perbuatan baik dan buruk sehingga muncul keputusan moral misalnya anggapan tentang tindak pidana yang telah dilakukan (pemahaman moral), perasaan empati dalam diri narapidana residivis atas tindak pidana yang telah dilakukan (perasaan moral), dan latar belakang pendidikan moral yang telah diterima. Jadi, pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan moralitas dalam

(43)

diri narapidana residivis yang terkait dengan pemahaman dan perasaan moral atas tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan etika normatif digunakan penelti guna menilai tindakan moral narapidana residivis atas dasar teori-teori penilaian tindakan moral.

g.Norma Moral

Winarno (2006: 6) mengatakan bahwa,

manusia sebagai perwujudan dari nilai tentang bagaimana seyogyanya manusia Sedangkan Kaelan (2004: 92) mengatakan bahwa,

Sementara itu,

norma merupakan petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan berdasarkan

nilai-Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma merupakan perwujudan dari nilai yang berisi anjuran, perintah, pengaturan, larangan untuk berbuat atau tidak berbuat bagi manusia.

Ukuran atau pedoman itu dinamakan norma. Norma bisa berbentuk tertulis atau tidak tertulis yang dapat digolongkan menjadi berbagai macam. Menurut Winarno (2006: 6-7) Norma-norma yang berlaku di masyarakat secara umum digolongkan menjadi 4 macam yaitu

Penjelasan mengenai keempat norma tersebut adalah sebagai berikut: 1) Norma agama yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan

larangan yang berasal dari Tuhan.

2) Norma moral/kesusilaan adalah peraturan/kaidah yang bersunber dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia.

3) Norma kesopanan dalah peraturan/kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antar sesama manusia.

4) Norma hukum adalah peraturan/kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa.

(44)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa norma dapat berupa norma agama, moral/kesusilaan, kesopanan dan hukum. Sehingga semua perilaku moral harus selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ada.

Menurut Asri Budiningsih (2008: 24) -norma moral adalah

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa, norma moral adalah kaidah atau patokan yang dijadikan manusia sebagai tolok ukur untuk menentukan baik buruknya perilaku manusia dan untuk menjadikan seseorang menjadi bermoral maka diperlukan suatu pendidikan yang dapat memperbaiki moral tersebut.

h.Teori Teori tentang Etika

Menurut K. Bertens (2007: 235-260) mengemukakan teori tentang etika

Hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontologi

Keempat teori etika dijelaskan sebagai berikut:

1) Hedonisme

Hedomisme berasal dari bahasa Yunani (hedone) berarti kesenangan yaitu

baik apa yang memuaskan keinginan. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksud egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa seseorang tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain dari pada yang terbaik bagi dirinya sendiri.

2) Eudemonisme

Berasal dari filsuf Aristoteles. Teori ini menegaskan bahwa, setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Karena itu, manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya dan tidak cukup dengan melakukan beberapa kali saja, namun sebagai suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia yang baik dalam arti

Gambar

Gambar 1. Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan .......................................
Gambar 1. Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir Residivis
Tabel 1.  Jadual Kegiatan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor penghambat internal dalam pembinaan narapidana meliputi: adanya Narapidana yang berlatar belakang penyalahguna narkotika (pecandu) di Rutan yang kondisi fisik dan mentalnya

Permasalahan penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana persepsi narapidana terhadap pembinaan yang dilakukan oleh Rumah Tahanan negara klas II-B Sidikalang.. Untuk

ini bertujuan untuk mengetahui (1) kondisi dan situasi Lembaga Permasyarakatan yang ada di Surakarta, (2) pembinaan yang ada di Lembaga Permasyarakatan di Surakarta, dan

Dampak yang ditimbulkan dengan adanya sistem pembinaan narapidana adalah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dapat melakukan kerja sama dengan lembaga – lembaga

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembinaan keagamaan narapidana wanita muslim di Rumah Tahanan (RUTAN) Kelas I Surakarta meliputi pengajaran Al Qur‟an,

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan bimbingan agama Islam yang ada di Rumah Tahanan Negara Klas IIB Purwodadi Grobogan sudah berjalan dengan baik

Peneliti berusaha mengumpulkan informasi dari berbagai pihak terutama dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) berkaitan dengan pola pembinaan narapidana dalam upaya

Negara Klas 1 Surakarta ini dibantu oleh para pembina yang ditugaskan untuk membina.