• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEOR

A. Ajaran Islam

3. Nilai-nilai dalam Ikon Verbal

Menurut Sudaryanto (2008:31), nilai adalah kekuatan, setidak-tidaknya dalam perspektif kelestarian dan pelestarian identitas. Sebagai kekuatan, nilai menghasilkan, mengakibatkan, dan mendampakkan pula kekuatan. Ungkapan-ungkapan “ada nilai x-nya”, “memiliki nilai plus”,

“mengembangkan nilai-nilai”, “mengorbankan nilai x”—nilai apa pun—terkait dengan fakta nilai semacam itu.

Apabila pokok bahasan yang dipaparkan adalah mengenai nilai ikon, hal itu berarti bahwa yang dibicarakan adalah kekuatan yang dimiliki oleh ikon. Dalam hal ini, khususnya ikon verbal, ikon yang bersifat kebahasaan, yang tidak lain juga bahasa itu sendiri. Adapun macam nilai yang dimaksud meliputi antara lain nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

Ikon merupakan istilah dalam disiplin semiotik. Dalam kajian semiotik, pemaparan tentang bahasa dan tanda menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan agar posisi dan peran ikon tampak jelas.

Dalam wacana linguistik, bahasa merupakan sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok

manusia untuk melahirkan pikiran dan perasaan (Wibowo, 2001:3).

Bahasa merupakan sesuatu yang maujud atau entitas yang berwujud kata, frasa, kalimat, alinea, wacana, atau satuan lingual lain yang lebih kecil, mula-mula ialah dengan cara diucapkan. Dengan demikian, bahasa dikenal karena terdengar(kan). Adapun fungsi, peran, tugas, atau

manfaatnya ialah untuk meng-anu-kan apa pun, segala hal, yang memang dapat di-anu-kan. Meng-anu-kan yang dimaksud adalah kinerja manusia pencipta, pemilik, dan pemakai bahasa. Meng-anu-kan itu identitasnya bermacam- macam. Secara acak, berikut merupakan sebagian kecil dari kinerja meng-anu-kan yang dimaksud: mendakwahkan, menyantuni, mendoakan, menamakan, menetapkan, mengatakan, menyatakan, memerinci, mengulas, merumuskan, menawar, menggertak, membantah, menyepakati, mengakses, menjanjikan, menyarankan, mengivestigasi, meminta, menceritakan, menjelaskan, mempersoalkan; mengumpat, mengakui, membual; dan masih banyak lagi lainnya (Sudaryanto , 2008).

Sebagaimana bentuk kinerja, yang bila dicatat secara saksama ada bermacam-macam itu, satu sama lain saling menghubungkan secara spektral dan prismatik. Dikatakan sebagai hubungan “spektral” jika yang melaksanakan kinerja itu berbagai jenis satu lingual (linguistic unit), yang rinciannya ialah (1) menyebut: dengan kata; (2) menentukan: dengan frasa; (3) menguraikan: dengan kalimat; (4)

menerangkan atau menjelaskan: dengan alinea; dan (5)

menceritakan: dengan wacana. Dikatakan “prismatik”, jika yang melaksanakan kinerja itu satu jenis satuan lingual yang

sama dengan wujud yang berbeda, misalnya: (1) mengajak, membujuk, merayu; (2) memungkiri, mengingkari, berkelit; (3) mengiyakan, menyetujui, menyepakati, menerima; (4) menguraikan, mempaparkan, membeberkan. Kinerja yang spektral dan prismatik yang bermacam-macam itu dapat disebut “tindakan membahasakan” (Sudaryanto , 2008).

Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa itu berfungsi membahasakan apa pun yang memang dapat dibahasakan. Dengan tujuan untuk: mengomunikasikan apa pun yang yang memang dapat dikomunikaskan; menarasikan apa pun yang memang dapat dinarasikan; mendeskripsikan apa pun yang memang adapat dideskripsikan; memaparkan apa pun yang memang dapat dipaparkan; dan seterusnya.

Dalam kaitannya dengan fungsi atau kegunaannya, bahasa yang adanya dengan diucapkan itu, keadannya sama dengan entitas lain, sama-sama memiliki kegunaannya masing-masing. Entitas yang dimaksud antara lain lukisan, patung, klakson, kentongan, bendera, bagian tubuh tertentu yang digerakkan, pakaian, rambu-rambu, dan yang lain, yang pada umumnya ditangkap oleh indera pendengar atau penglihat.

Lukisan yang adanya dengan kuas bercat yang disapukan pada kanvas (dan sejenisnya), berguna untuk

melukiskan apa pun yang dapat dilukiskan.Patung yang adanya dengan dipahat berguna untuk mematungkan apa pun yang dapat dipatungkan (orang, binatang, benda-benda tertentu lainnya). Klakson yang dibunyikan dengan dipencet atau ditiup berguna untuk menyatakan dengan klakson apa- apa yang dapat di-klakson-kan (dinyatakan dengan bunyi klakson: peringatan, panggilan, dan sebagainya). Kentongan yang dibunyikan dengan dipukul berguna untuk menyatakan apa pun yang dapat dinyatakan dengan bunyi kentongan (pencurian, kebakaran, undangan rapat, dan sebagainya). Bendera yang adanya dengan dipasang di tempat tertentu atau dikibarkan berguna untuk menyatakan dengan bendera apa pun yang dapat di-bendera-kan (kematian, penyerahan diri identitas kelompok yang sedang melakukan tindakan yang penuh arti, dan sebagainya). Kepala yang dianggukkan berguna untuk menyatakan apa pun yang dapat diwujudkan dengan anggukan (persetujuan, kecocokan, dan sebagainya). Tangan yang dapat digerakkan berguna untuk menyatakan apa pun yang dapat diwujudkan dengan gerakan tangan (selamat tinggal, selamat jalan, pujian, ejekan, ancaman, dan sebagainya). Pakaian yang dikenakan di badan berguna untuk menyatakan apa pun (wanita, mahasiswa, muslimah, dan sebagainya) yang dapat dinyatakan dengan kain yang

dipakai. Rambu-rambu yang dipasang di pinggir jalan berguna untuk menyatakan larangan atau anjuran yang layak diperhatikan oleh pengguna jalan raya (Sudaryanto , 2008).

Dengan pengamatam saksama akan berbagai gejala yang ada, dapatlah dikatakan bahwa entitas yang memiliki kegunaannya masing-masing yang khas itu sangat banyak jumlahnya. “Apa pun” ternyata memiliki kegunaannya masing-masing, apakah yang disebut “apa pun” itu sebagai suatu keutuhan atau sebagai sesuatu yang yang terdiri atas bagian-bagian; dan bagian-bagian itulah yang menampakkan kegunaan khasnya. Dalam hal ini, kegunaan itu apa, sesungguhnya manusialah yang menentukan melalui penafsiran. Kumandang suara adzan ditentukan manusia sebagai pertanda bahwa waktu salat tertentu telah tiba. Lampu lalu lintas berwarna merah sebagai perintah bahwa pengendara harus berhenti. Langit mendung sebagai pemberitahuan akan turun hujan. Sungai yang biasanya mengalir tenang dengan air jernih mendadak banjir dengan air keruh, ditentukan oleh menusia sebagai petunjuk bahwa di hulu telah terjadi hujan lebat. Kokok ayam di pagi buta ditentukan oleh manusia sebagai isyarat bahwa fajar akan segera menyingsing (Sudaryanto , 2008).

Bahasa yang membahasakan apa pun yang memang dapat dibahasakan, patung yang dapat mematungkan apa

pun yang memang dapat dipatungkan, bendera yang membenderakan apa pun yang dapat dibenderakan, serta maujud-maujud lain yang memang dapat mamaujudkan apa pun yang dapat dimaujudkan tersetujui bersama untuk disebut dengan satu istilah yang mempersatukan, yaitu

tanda. Dengan demikian, apa pun—objek apa saja—yang dapat dihubungkan dengan tanda itu dapat disebut yang ditandai, tertanda, atau tinanda. Memungut dari bahasa Yunani, kata tanda disebut semeîonn (de Saussure dalam Sudaryanto, 2008:33).

Ada hal yang khas mengenai bahasa beserta ilmu tentang bahasa. Jika dikaitkan dengan tanda-tanda yang lain, bahasa mampu menggantikan fungsi setiap tanda yang bukan bahasa. Artinya, apa yang dapat dikerjakan oleh tanda yang lain dapat dikerjakan pula oleh bahasa, tetapi tidak berlaku sebaliknya (van Zoest, 1992:2). Ada hal-hal yang khas yang tidak mampu digantikan oleh tanda yang lain kecuali oleh bahasa. Contohnya, “mengangguk” tanda setuju dapat diganti dengan tanda bahasa, yaitu kata sepakat, cocok, setuju, ya, okey. . Sebaliknya, “menggeleng” tanda tidak setuju dapat diganti dengan tanda bahasa, yaitu kata

tidak setuju, tidak, jangan, dan sebagainya. Nyala lampu merah tanda berhenti dapat diganti dengan tanda bahasa,

yaitu kata berhenti atau stop. Bendera terpancang di pinggir pertigaan atau perempatan jalan tanda ada kematian atau ada orang yang meninggal dunia. Dalam tradisi Jawa, jika ada hiasan dari daun kelapa muda (janur mlengkung) yang juga terpancang di pinggir pertigaan atau perempatan jalan merupakan tanda penunjuk arah lokasi resepsi pernikahan (Sudaryanto , 2008).

Akan tetapi, tanda bahasa berupa kata yang antara lain berfungsi menamakan, kalimat yang antara lain berfungsi berjanji atau menyatakan, wacana yang antara lain berfungsi untuk diskusi atau mendiskusikan, tidak dapat diganti dengan tanda lain yang bukan berupa bahasa. Oleh karena itu, bahasa sebagai tanda memiliki tempat yang khas jika dibandingkan dengan tanda-tanda yang berwujud lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan tanda yang memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena memiliki kelebihan-kelebihan dibanding tanda-tanda yang lain. Singkatnya, semua tanda dapat dibahasakan, sedangkan semua bahasa belum tentu dapat diganti dengan tanda.

Berdasarkan kekhasan bahasa dan ilmu bahasa sebagaimana diuraikan di atas, menjadikan orang dapat bertumpu pada keduanya ketika berbicara tentang tanda dalam kerangka semiotik. Dalam semangat memberi sumbangan inspiratif bagi pengkajian tanda dalam kerangka

semiotik itu pulalah uraian tentang nilai-nilai dalam ikon verbal ini penting untuk disampaikan kepada para pemerhati studi semiotik.

Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian berikut bertumpu dan mengenai nilai yang khusus dimiliki bahasa. Dalam hal ini, konsep nilai mengingatkan pada konsep

“valuer” atau “valensi” yang diperkenalkan oleh Saussure dalam Kridalaksana (1988:17-21), “…sifat pertama valensi

atau nilai yaitu menyangkut substitusi atau penggantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya berlainan, uang adalah contoh yang jelas…”. “…valensi dapat ditukar dengan segala sesuatu yang sifatnya berlainan yang dianggap bernilai sama (misalnya, uang dengan roti) dan dapat dibatasi melalui hal-hal yang serupa (misalnya, Dollar Amerika dibandingkan dengan Poundsterling Inggris)”.

Dokumen terkait