• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESAN-PESAN KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Semiotik dan Semantik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PESAN-PESAN KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Semiotik dan Semantik)"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PESAN-PESAN KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL

NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI

(Kajian Semiotik dan Semantik)

Oleh

Drs. Bahroni, M.Pd.

NIP. 196408181994031004

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN

MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2014

PENELITIAN RUMPUN ILMU

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Drs. Bahroni, M.Pd.

NIP : 196408181994031004

Pangkat/Golongan : Pembina (IVa) / Lektor Kepala

menyatakan bahwa naskah penelitian dengan judul PESAN-PESAN

KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD

FUADI (Kajian Semiotik dan Semantik), secara keseluruhan adalah hasil

penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian-bagian yang dirujuk

sumbernya dan telah saya susun sesuai dengan kaidah dan etika

penelitian.

Salatiga, 22 Desember

2014

Yang Menyatakan

(3)

NIP.

(4)

ABSTRAK

Bahroni. 2014. Pesan-pesan Keislaman dalam Trilogi Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi (Kajian Semiotik dan Semantik). Penelitian Rumpun Ilmu. Konsultan: Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag.

Kata kunci: keislaman, semiotik, semantik

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; (2) bagaimanakah pesan tentang aqidah, ibadah, dan akhlak dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; dan (3) bagaimanakah pesan tentang jihad dan dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; (2) mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang aqidah, ibadah, dan akhlak dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; dan (3) dan mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang jihad dan dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

Sumber data dalam penelitian berupa dokumen yakni trilogi novel N5M, R3W, dan R1M. Bentuk dan makna pesan-pesan keislaman dideskripsikan dengan menelaah novel-novel tersebut dengan bantuan referensi-referensi lain yang relevan dan opini publik yang berupa

(5)

(insaniyah) yang terdiri dari (a) ukhuwah (persaudaraan), misalnya ketika kawan-kawan Alif berkelahi, Amak memanfaatkan momentum itu untuk mendidik Alif tentang contoh-contoh perilaku yang termasuk dalam nilai-nilai persaudaraan, misalnya mengucapkan salam dan bersikap ramah terhadap sesama (tersenyum); (b) persamaan, misalnya ketika Alif kurang disiplin dalam mengikuti pelajaran Kesenian, Amak memberi nilai tidak bagus, yakni nilai 5 meskipun Alif adalah anak kandungnya sendiri; (c) kebebasan, misalnya para santri di PM dibebaskan dalam mengikuti kegiatan pengembangan bakat masing-masing santri. Demikian pula, para santri juga bebas membaca buku apa saja tetapi tentu dibatasi dengan aturan bahwa buku yang dibaca harus buku-buku yang bermanfaat; (3) prinsip universalitas (syumul), misalnya para mahasiswa ITB melengkapi ilmu tekniknya yang diperoleh melalui perkuliahan dengan ilmu keislaman dengan cara mengadakan diskusi-diskusi di luar jam perkuliahan., (4) prinsip moderat (al-wasthiyyah), misalnya ajaran keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Alif belajar secara sungguh-sungguh pada malam hari meskipun harus menahan rasa kantuknya. Sementara itu, Alif yang berdoa kepada Allah setelah belajar merupakan bentuk tawakal setelah berikhtiar secara maksimal; (5) prinsip kontekstual (Al-Waqi’iyyah): prinsip ajaran Islam yang bersifat kontekstual benar-benar ditemukan di PM yang direpresentasikan dengan sejumlah mata kegiatan yang dapat membekali para santri untuk menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat baik sekarang maupun yang akan datang; (6) prinsip kejelasan (al-wudhuh): kejelasan dalam tujuan beragama yang utama, yakni hanya untuk beribadah dan mencari ridha Allah dengan penuh keikhlasan.

Kedua, pesan-pesan tentang aqidah, meliputi: beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Malaikat Allah, beriman kepada Kitab Allah, beriman kepada Rasul Allah, dan beriman kepada qodho dan qodar Allah. Pesan-pesan tentang ibadah mahdhoh meliputi: wudhu, adzan, shalat, membaca Alquran, dan puasa; ibadah ghoiru mahdhoh meliputi: berdoa, membaca/belajar, sedekah, beristighfar, dan mengajar. Adapun pesan-pesan tentang akhlak meliputi: bersyukur, menjaga atau menundukkan pandangan, tawadhu’, berbakti kepada orangtua (birrul walidain), meminta maaf dan memaafkan kesalahan orang lain, berprasangka baik (huznudzon), dan memuliakan tamu.

(6)
(7)

KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT Jl. Tentara Pelajar No.2 Telp. (0298) 323706, Fax 3233433

Salatiga 50721

http://www.stainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PESAN-PESAN KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL

NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI

(Kajian Semiotik dan Semantik)

Peneliti : Drs. Bahroni, M.Pd.

NIP : 196408181994031004

Jenis Penelitian : Penelitian Rumpun Ilmu

Tema : Keislaman dan Bahasa

Salatiga, 22 Desember

2014

Konsultan Kepala P3M

Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag. Mufiq, S.Ag, M.Phil

NIP. 196806131994031004 NIP.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kontribusi dari

berbagai pihak, penyusunan laporan penelitian unggulan judul

”PESAN-PESAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD

FUADI (Kajian Semiotik dan Semantik) ” dapat terselesaikan dengan baik.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan

rujukan dalam upaya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan,

terutama dalam bidang kajian sastra yang dikaitkan dengan

pesan-pesan keislaman.

Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif

dari berbagai pihak terhadap kekurangan-kekurangan dalam penelitian

in untuk perbaikan karya-karya peneliti di masa-masa mendatang.

Akhirnya, semua kebenaran mutlak dan kesempurnaan hanyalah

milik Allah, segala kekurangan dan kesalahan tentu dari peneliti

sebagai manusia biasa. Mudah-mudahan karya yang jauh dari

kesempurnaan ini ada manfaatnya. Amin.

Salatiga, 22 Desember

(9)

Peneliti

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ___i

PERNYATAAN KEASLIAN ___ ii

ABSTRAK ___ iii

LEMBAR PENGESAHAN ___ v

KATA PENGANTAR ___ vi

DAFTAR ISI ___vii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ___1

B. Rumusan Masalah ___5

C. Tujuan Penelitian ___ 5

D. Manfaat Penelitian ___5

E. Metode Penelitian ___ 7

1. Pendekatan dan Strategi Penelitian ___ 7

2. Data dan Sumber Data Penelitian ___ 7

3. Teknik Pengumpulan Data ___8

4. Validitas Data ___ 8

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ___8

BAB II : LANDASAN TEORI

A. Ajaran Islam ___ 10

B. Semiotik ___ 14

(11)

D. Pesan Agama dalam Karya Sastra ___ 37

BAB III :BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG PRINSIP UMUM

KEISLAMAN

A. Prinsip Ketuhanan (Rabbaniyah) ___ 38 B. Prinsip Kemanusian (Al-Insaniyah) ___ 39 C. Prinsip Universalitas (Syumul) ___ 45

D. Prinsip Moderat (Al-Wasthiyyah) ___ 46

E. Prinsip Kontekstual (Al-Waqi’iyyah) ___ 48

F. Prinsip Kejelasan (Al-Wudhuh) ___ 50

BAB IV : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG AQIDAH

A. Beriman kepada Allah SWT. ___ 51 B. Beriman kepada Malaikat Allah ___ 52 C. Beriman kepada Kitab Allah ___ 53 D. Beriman kepada Rasul Allah ___ 53

E. Beriman kepada Qodho dan Qodar Allah ___ 54

BAB V : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG IBADAH

A. Wudhu ___ 57 B. Adzan ___ 57 C. Shalat ___ 58

D. Membaca Alquran ___ 59 E. Berpuasa ___ 62

F. Berdoa ___ 64

G. Membaca/belajar ___ 66 H. Bersedekah ___ 68

I. Beristighfar ___ 70

J. Mengajar ___ 73

BAB VI : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG AKHLAK

A. Bersyukur ___ 77

(12)

C. Tawadhu’ ___ 82

D. Berbakti kepada Orangtua (Birrul Walidain) ___ 84

E. Meminta Maaf dan Memaafkan Kesalahan Orang Lain __87 F. Berprasangka Baik (Huznudzon) ___ 89

G. Memuliakan Tamu ___ 90

BAB VII : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG JIHAD

DAN DAKWAH

A. Jihad ___ 93 B. Dakwah ___ 97 BAB VIII : PENUTUP

A. Kesimpulan ___ 101

B. Saran ___ 103

DAFTAR PUSTAKA ___ 105

LAMPIRAN-LAMPIRAN ___108

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(13)

pesan-pesan keislaman dapat dilakukan dengan berbagai strategi sebagai berikut.

Pertama, dakwah fardiah, yakni strategi dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman sekerja, teguran, anjuran memberi contoh. Termasuk dalam hal ini pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara tahniah

(ucapan selamat), dan pada waktu upacara kelahiran (tasmiyah).

Kedua, dakwah ‘ammah, merupakan strategi dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato). Dakwah ‘ammah ini kalau ditinjau dari segi subjeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-soal dakwah.

(14)

efektif bila penyampaiannya bertepatan dengan hari ibadah seperti khutbah Jumat atau khutbah hari raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.

Keempat, dakwah bil-haal, yakni strategi dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah mengikuti jejak dan hal ikhwal dari pendakwah. Strtegi dakwah ini biasanya lebih efektif dan mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima dakwah. Pada saat pertama kali Rasulullah saw tiba di kota

Madinah, beliau mencontohkan dakwah bil-haal ini dengan mendirikan Masjid Quba dan mempersatukan kaum Anshor

dan kaum Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.

(15)

ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada". Tentunya, tinta para sastrawan yang menulis novel yang mengandung pesan-pesan keislaman juga termasuk kedalam makna sabda Rasulullah saw tersebut.

Oleh karena biasanya para pembeca novel itu atas kemauan sendiri, maka pesan-pesan keislaman yang diserap dari bacaan novel itu lebih menyentuh hatinya. Hal yang demikian ini terjadi karena para pembaca novel tidak merasa digurui oleh penyampai pesan keislaman (penulis). Agaknya strategi dakwah ini dapat dikategorikan sebagai dakwah bil hikmah yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain, penyampaian pesan-pesan keislaman melalui novel merupakan suatu strategi komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif.

(16)

merespon permasalahan yang muncul mengingat novel erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw (1988:20) bahwa novel sebagai salah satu jenis karya sastra diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya.

Dewasa ini, kesadaran akan pentingnya penyebaran pesan-pesan keislaman melalui penciptaan novel semakin meningkat yang ditandai dengan terbitnya novel-novel inspiratif karya penulis-penulis muda berbakat. Misalnya, Trilogi novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra, Kemuning Senja di Beranda Mekah karya Abu Umar Basyir, Dalam Mihrab Cinta karya Habirrahman El-Shirazy, Di Jamuan Cinta-Mu di Arafah karya Ratna Januarita,

Jangan Biarkan Surau ini Roboh karya Taufiqurrahman Al-Azizy,

Kutemukan Engkau dalam Sujudku karya Rizma Nurani, dan masih banyak lagi novel-novel sejenis.

(17)

bagi masyarakat. Dengan membaca novel-novel islami tersebut, masyarakat banyak yang mengalami perubahan ke arah kebaikan karena tersentuh pesan-pesan keislaman yang ada di dalam novel-novel tersebut.

Trilogi novel Negeri 5 Menara yang terdiri dari (1) Negeri 5 Menara/N5M (2009), (2) Ranah 3 Warna/R3W (2011), dan (3)

Rantau 1 Muara/R1M (2013) karya Ahmad Fuadi dengan latar cerita masyarakat Sumatera Barat yang terkenal tradisional dan Pondok Modern Gontor yang terkenal religius-modern merupakan novel yang patut diapresiasi, dibaca, dan diteliti agar pesan-pesan keislaman yang terkandung di dalamnya lebih tersebar luas di masyarakat.

Untuk itulah, penelitian dengan judul Pesan-pesan Keislaman dalam trilogi novel N5M karya Ahmad Fuadi (Kajian

Bentuk dan Makna) layak untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

(18)

3. Bagaimanakah pesan tentang jihad dan dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang aqidah, ibadah, dan akhlak dalam trilogi novel Negeri 5 Menara? 3. Mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang jihad dan

dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian bentuk dan makna yang terkait dengan pesan-pesan keislaman.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi Dunia Pendidikan

Makna pesan-pesan keislaman yang dideskripsikan dan dijelaskan dalam penelitian ini diharapkan dapat:

(19)

2) Menjadi bahan pertimbangan bagi para guru Bahasa dan Sastra Indonesia dalam memilih bahan bacaan yang berupa novel, agar novel yang disarankan untuk dibaca para peserta didik yang beragama Islam (mayoritas) adalah novel-novel yang mengandung pesan-pesan keislaman, mengingkat pentingnya internalisasi nilai-nilai keislaman bagi pembetukan generasi muslim-muslimah yang shalih-shalihah dan unggul.

b. Bagi Masyarakat

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah apresiasi yang mendalam terhadap karya sastra Indonesia kontemporer, khususnya trilogi novel

Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang mengandung pesan-pesan keislaman.

2) Dengan mengetahui dan mengamalkan pesan-pesan keislaman yang terdapat dalam trilogi novel Negeri 5 Menara diharapkan masyarakat dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan peduli pada sesamanya.

E. Metode Penelitian

(20)

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, yakni bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data tersebut (Sutopo, 2002:111). Penelitian ini berusaha mendeskripsikan secara kualitatif bentuk dan makna pesan-pesan keislaman dalam aspek aqidah, ibadah, dan akhlak/muamalah.

2. Data dan Sumber Data Penelitian

a. Data Penelitian

Data penelitian kebahasaan adalah fenomena lingual khusus yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian (Sudaryanto, 2002:5-6). Data penelitian ini berupa data kebahasaan, yakni pemakaian bentuk-bentuk kata, frasa, kalimat, paragraf, idiom, dan tanda-tanda linguistik lain yang dapat dikamaknai secara semantik maupun semiotik.

b. Sumber Data

(21)

novel-novel tersebut dengan bantuan referensi-referensi lain yang relevan dan opini publik yang berupa tulisan-tulisan di media tentang tanggapan pembaca terhadap isi trilogi novel N5M.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, yakni teknik pengambilan data dari berbagai sumber tertulis beserta konteks lingual yang mendukung analisis data. Berbagai tulisan dipilih yang mencerminkan pemakaian potensi bahasa yang khas (Subroto,1992:42).

4. Validitas Data

Agar data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan dapat menjadi landasan dalam penarikan kesimpulan, maka sebelum informasi dijadikan data penelitian perlu dicermati validitas dan reliabiltasnya. Untuk menjamin keabsahan dan kredibilitas data penelitian, digunakan tekni trianggulasi, yang lazim dipakai dalam penelitian kualitatif.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(22)
(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Ajaran Islam

Menurut Nurdin, dkk (1995) Islam berasal dari kata

aslama yuslimu yang berarti tunduk, menyerah, patuh, dan damai. Secara etimologis, Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia yang ajaran-ajarannya disampaikan lewat rasul-Nya (utusan-Nya). Jadi, Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah kepada manusia dan ajaran-ajarannya disampaikan oleh rasul yang berakhir dengan Nabi Muhammad saw.

Senada dengan pendapat di atas, Suryana, dkk (1996) menyatakan bahwa secara bahasa Islam berasal dari kata

aslama yang berarti tunduk, patuh, dan berserah diri. Secara etimologis, Islam adalah nama agama wahyu yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya yang berisi aturan-aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Islam dalam pengertian ini adalah amanat yang dibawa oleh rasul sejak Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad saw.

(24)

berasal dari bahasa Arab, yakni aslama-yuslimu yang artinya menyerahkan. Kata tersebut bentukan dari salima, yang berarti selamat. Dari kata itu pula lahir kata-kata baru seperti

istislam (menyerahkan diri), salaam (sejahtera), silm (damai), dan sullam (tangga). Secara terminologis, Islam adalah ketundukan kepada wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW., sebagai hukum atau aturan Allah yang membimbing manusia ke jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia-akhirat.

Nama agama pada umumnya berasal atau bersandarkan nama penyeru atau nama asal munculnya. Misalnya, Budha diambil dari nama pencetusnya, yaitu Budha (Sidharta Gautama), Kristen dari Kristus atau nama lainnya Nasrani (karena Yesus lahir di daerah Nazaret). Adapun nama Islam adalah pemberian langsung dari Allah, yakni dienul Islam

(Takariawan, dkk., 2003:79).

(25)

Takariawan, dkk., (2003:81) menjelaskan bahwa Islam memiliki karakteristik, di antaranya:

1. Rabbaniyah (ketuhanan)

Rabbaniyah (ketuhanan) adalah berorientasi kepada Allah dalam segala aspeknya. Orientasi tersebut meliputi: (1) rabbaniyah ghayah wa mijhah (orientasi ketuhanan dalam tujuan dan sudut pandang), yakni bahwa Islam menjadikan tujuan akhir dan sasarannya jauh ke depan, yaitu menjaga hubungan dengan Allah secara baik demi mencapai ridha-Nya. (2) rabbaniyah masdar wa manhaj

(orientasi ketuhanan dalam sumber hukum dan sistem), yakni bahwa sistem yang telah ditetapkan oleh Islam guna mencapai sasaran dan tujuan itu adalah sistem rabbani

yang murni, yang berasal dari Allah. 2. Al-insaniyah (kemanusiaan)

Selain berorientasi ketuhanan, ternyata Islam adalah ajaran yang sangat manusiawi. Islam itu istimewa dengan kecenderungan kemanusiaannya yang jelas, tetap, dan asli dalam akidah, syariat, dan akhlak. Buah dari insaniyah

(26)

dasar persaudaraan yang mengikat kaum muslimin di manapun berada.

3. Syumul (universal)

Risalah Islam adalah risalah yang panjang terbentang sehingga meliputi semua abad sepanjang zaman, terbentang luas sehingga meliputi semua cakrawala umat, dan begitu mendalam sehingga memuat urusan-urusan dunia-akhirat. Risalah Islam memuat risalah sampai akhir zaman, risalah bagi alam semesta, dan risalah untuk segala sektor kehidupan.

4. Al-Wasthiyyah (moderat)

(27)

5. Al-Waqi’iyyah (kontekstual)

Islam adalah serangkaian kalam Allah yang abadi bagi manusia. Allah menjamin Islam sebagai ajaran yang sesuai dengan kondisi manusia di mana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja. Kontekstual dalam Islam meliputi kontekstual dalam akidah, kontekstual dalam ibadah, kontekstual dalam akhlak, dan kontekstual dalam syariat. 6. Al-Wudhuh (jelas)

Islam adalah risalah yang jelas, baik berhubungan dengan asas-asanya, sumber hukumnya, sasaran dan tujuan, maupun kejelasan sistem dan jalan penyelesaiannya. Kejelasan dalam Islam meliputi kejelasan dalam ibadah, kejelasan dalam akhlak/ adab, kejelasan dalam hukum, kejelasan dalam tujuan beragama, serta kejelasan sistem dan jalan penyelesaian masalah.

(28)

dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Syariat terdiri dari ibadah dan muamalah. Sedangkan akhlak berkaitan dengan perilaku manusia.

B. Semiotik

1. Pengertian Semiotik

Larsen (2009:1) menulis satu kalimat cukup panjang yang penuh makna. Kalimat itu berbunyi, “Sebagai manusia, kita bisa menentukan untuk tidak makan atau tidak minum, tidak berkomunikasi, atau bahkan mungkin untuk tidak hidup; tetapi, di sepanjang hidup kita, kita tidak dapat memilih untuk tidak menyampaikan makna ke dunia sekeliling kita.” Artinya, dalam menjalani kehidupan ini sebenarnya kita diberi kebebasan oleh Allah untuk berbuat apa pun.

(29)

Menurut Larsen dalam Baryadi (2007:46), semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Semiotik berarti ilmu yang mempelajari tentang tanda, baik struktur maupun proses tanda. Istilah lain dari semiotik adalah semiologi. Kedua istilah tersebut tidak mengandung perbedaan konseptual. Perbedaannya terutama terletak pada wilayah pemakaiannya, yaitu semiotik yang pada mulanya digunakan oleh Charles Sanders Peirce lebih lazim dipakai di dunia Anglo-Sakson, sedangkan semiologi yang pada awalnya digunakan oleh Ferdinand de Saussure lebih lazim di Eropa Koninental. Agaknya perbedaan penggunaan dua istilah tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dua tokoh tersebut. Peirce (1834 – 1914, berkebangsaan Amerika Serikat, berbahasa Inggris) yang lebih suka menggunakan istilah semitik merupakan seorang ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure (1857 – 1913, berkebangsaan Swiss, berbahasa Prancis) yang lebih suka menggunakan istilah semiologi merupakan seorang peneliti/ilmuwan bahasa (linguis), pelopor linguitik modern.

(30)

tipe unsur—verbal , nonverbal, natural, artifisial—yang membawa makna. Dengan kata lain, semiotik adalah studi tentang berbagai struktur tanda dan aneka proses tanda. Ada dua jenis pendapat mengenai hakikat tanda. Pendapat pertama dikenal sebagai pendapat formal. Pendapat ini ditokohi oleh Saussure. Pengertian tanda bertitik tolak dari pengertian tanda bahasa, kemudian hal itu diterapkan untuk tanda yang lain. Pendapat ini, sesuai dengan namanya, lebih mementingkan ciri-ciri formal tanda. Oleh karena itu, pendapat ini disebut aliran strukturalisme. Pendapat kedua berasal dari aliran pragmatis. Pelopor aliran ini adalah Peirce, yang berpendapat bahwa hakikat tanda itu tidak hanya terletak pada struktur internalnya, tetapi juga penggunaannya (Larsen, 1994:3824).

(31)

khusus” yang terdiri atas jejaring tetanda. Ketiga, bagaimana kita ”berkomunikasi” dan ”bertindak” melalui tetanda agar ranah ini menjadi dunia kultural yang diikutsertakan secara kolektif (Larsen, 2009:2).

2. Jenis-jenis Tanda

Dilihat dari sifat hubungannya, kadang tanda itu mirip dengan yang ditandai, maka tanda yang semacam ini disebut ikon (icon), hubungannya bersifat ikonik (iconic), misalnya patung, foto, peta, denah, karikatur, dan sebagainya. Jika antara tanda dengan yang ditandai ada kedekatan eksistensi, maka tanda semacam ini disebut indeks (index), hubungannya bersifat indeksikal (indexical), misalnya asap sebagai tanda ada api; panah sebagai tanda arah kiblat; mak tekluk sebagai tanda mengantuk, dan sebagainya. Selanjutnya, jika antara tanda dengan yang ditandai merupakan kesepakatan/konvensional maka disebut simbol (symbol), hubungannya bersifat simbolik (symbolic), misalnya jilbab sebagai tanda kemuslimahan seseorang; blankon sebagai tanda orang Jawa; dan sebagainya.

(32)

dominan hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya. Hubungan antara tanda dan yang ditandai dapat menampakkan kemiripan; artinya tanda mirip dengan objek yang ditandai. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud “bertindak” mewakili dengan modus kemiripan terhadap objek objek yang ditandai itu. Tanda yang demikian itu disebut ikon dan tentu saja bersifat ikonik.

Hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya dapat pula menampakkan diri “karena ada kedekatan eksistensi”. Artinya, keberadaan tanda itu “sinambung” dengan yang ditandai, meskipun menurut kesadaran pemakainya keduanya berbeda. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud menjadi pengacu bagi si objek yang ditandai. Tanda yang demikian itu disebut indeks dan tentu saja bersifat indeksikal.

(33)

potensi mirip atau “sinambung” dengan objek teracunya. Sesuatu itu berstatus sebagai tanda semata-mata karena dikaidahkan atau ditentukan serta saling disetujui antar pemakainya. Jadi, merupakan konvensi dan konsesus yang status “ke-wakil-an” dan pengacunya diperoleh karena ditentukan bersama secara arbitrer. Tanda yang demikian itu disebut simbol dan tentu saja bersifat simbolik.

Patut dicatat, meskipun tanda itu ada tiga macam, akan tetapi terasumsikan tidak ada tanda yang sepenuhnya bersifat ikonik, sepenuhnya bersifat indeksikal, sepenuhnya bersifat simbolik. Di dalam satu sifat terkandung pula salah satu atau kedua sifat yang lain.

Dari ketiga jenis tanda tersebut, ikon merupakan tanda yang utama karena berkaitan dengan proses mewujudkan fungsi tanda. Dengan ikon, fungsi tanda dapat diwujudkan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, uraian tentang tanda semiotik berikut ini akan difokuskan pada ikon.

(34)

dengan objek yang diacunya. Atau, tanda yang bentuk fisiknya memilki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya (Sudaryanto dalam Baryadi, 2007:1).

Frasa ”kaitan yang erat” dalam definisi di atas, berart ”mirip” atau ”mencerminkan”, dan frasa ”apa yang diacunya” berarti realitas, isi tuturan, isi wacana, atau situasi. Oleh karena itu, pengertian ikon dalam linguistik dapat diformulasikan dengan lebih jelas, yaitu satuan bahasa yang bentuknya mirip dengan realitas yang diacunya atau satuan bahasa yang bentuknya mencerminkan realitas yang diacunya.

Dalam dunia pendidikan terutama yang terkait dengan ilmu bahasa, kajian yang terpenting mengenai ikon adalah mengenai ikon verbal atau bahasa yang ikonik. Oleh karena itu, bahasan berikut ini lebih ditujukan pada berbagai hal yang terkait dengan ikon verbal tersebut.

3. Nilai-nilai dalam Ikon Verbal

(35)

“mengembangkan nilai-nilai”, “mengorbankan nilai x”—nilai apa pun—terkait dengan fakta nilai semacam itu.

Apabila pokok bahasan yang dipaparkan adalah mengenai nilai ikon, hal itu berarti bahwa yang dibicarakan adalah kekuatan yang dimiliki oleh ikon. Dalam hal ini, khususnya ikon verbal, ikon yang bersifat kebahasaan, yang tidak lain juga bahasa itu sendiri. Adapun macam nilai yang dimaksud meliputi antara lain nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

Ikon merupakan istilah dalam disiplin semiotik. Dalam kajian semiotik, pemaparan tentang bahasa dan tanda menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan agar posisi dan peran ikon tampak jelas.

Dalam wacana linguistik, bahasa merupakan sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok

manusia untuk melahirkan pikiran dan perasaan (Wibowo, 2001:3).

(36)

manfaatnya ialah untuk meng-anu-kan apa pun, segala hal, yang memang dapat di-anu-kan. Meng-anu-kan yang dimaksud adalah kinerja manusia pencipta, pemilik, dan pemakai bahasa. Meng-anu-kan itu identitasnya bermacam-macam. Secara acak, berikut merupakan sebagian kecil dari kinerja meng-anu-kan yang dimaksud: mendakwahkan, menyantuni, mendoakan, menamakan, menetapkan, mengatakan, menyatakan, memerinci, mengulas, merumuskan, menawar, menggertak, membantah, menyepakati, mengakses, menjanjikan, menyarankan, mengivestigasi, meminta, menceritakan, menjelaskan, mempersoalkan; mengumpat, mengakui, membual; dan masih banyak lagi lainnya (Sudaryanto , 2008).

Sebagaimana bentuk kinerja, yang bila dicatat secara saksama ada bermacam-macam itu, satu sama lain saling menghubungkan secara spektral dan prismatik. Dikatakan sebagai hubungan “spektral” jika yang melaksanakan kinerja itu berbagai jenis satu lingual (linguistic unit), yang rinciannya ialah (1) menyebut: dengan kata; (2) menentukan: dengan frasa; (3) menguraikan: dengan kalimat; (4)

menerangkan atau menjelaskan: dengan alinea; dan (5)

(37)

sama dengan wujud yang berbeda, misalnya: (1) mengajak, membujuk, merayu; (2) memungkiri, mengingkari, berkelit; (3) mengiyakan, menyetujui, menyepakati, menerima; (4) menguraikan, mempaparkan, membeberkan. Kinerja yang spektral dan prismatik yang bermacam-macam itu dapat disebut “tindakan membahasakan” (Sudaryanto , 2008).

Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa itu berfungsi membahasakan apa pun yang memang dapat dibahasakan. Dengan tujuan untuk: mengomunikasikan apa pun yang yang memang dapat dikomunikaskan; menarasikan apa pun yang memang dapat dinarasikan; mendeskripsikan apa pun yang memang adapat dideskripsikan; memaparkan apa pun yang memang dapat dipaparkan; dan seterusnya.

Dalam kaitannya dengan fungsi atau kegunaannya, bahasa yang adanya dengan diucapkan itu, keadannya sama dengan entitas lain, sama-sama memiliki kegunaannya masing-masing. Entitas yang dimaksud antara lain lukisan, patung, klakson, kentongan, bendera, bagian tubuh tertentu yang digerakkan, pakaian, rambu-rambu, dan yang lain, yang pada umumnya ditangkap oleh indera pendengar atau penglihat.

(38)
(39)

dipakai. Rambu-rambu yang dipasang di pinggir jalan berguna untuk menyatakan larangan atau anjuran yang layak diperhatikan oleh pengguna jalan raya (Sudaryanto , 2008).

Dengan pengamatam saksama akan berbagai gejala yang ada, dapatlah dikatakan bahwa entitas yang memiliki kegunaannya masing-masing yang khas itu sangat banyak jumlahnya. “Apa pun” ternyata memiliki kegunaannya masing-masing, apakah yang disebut “apa pun” itu sebagai suatu keutuhan atau sebagai sesuatu yang yang terdiri atas bagian-bagian; dan bagian-bagian itulah yang menampakkan kegunaan khasnya. Dalam hal ini, kegunaan itu apa, sesungguhnya manusialah yang menentukan melalui penafsiran. Kumandang suara adzan ditentukan manusia sebagai pertanda bahwa waktu salat tertentu telah tiba. Lampu lalu lintas berwarna merah sebagai perintah bahwa pengendara harus berhenti. Langit mendung sebagai pemberitahuan akan turun hujan. Sungai yang biasanya mengalir tenang dengan air jernih mendadak banjir dengan air keruh, ditentukan oleh menusia sebagai petunjuk bahwa di hulu telah terjadi hujan lebat. Kokok ayam di pagi buta ditentukan oleh manusia sebagai isyarat bahwa fajar akan segera menyingsing (Sudaryanto , 2008).

(40)

pun yang memang dapat dipatungkan, bendera yang membenderakan apa pun yang dapat dibenderakan, serta maujud-maujud lain yang memang dapat mamaujudkan apa pun yang dapat dimaujudkan tersetujui bersama untuk disebut dengan satu istilah yang mempersatukan, yaitu

tanda. Dengan demikian, apa pun—objek apa saja—yang dapat dihubungkan dengan tanda itu dapat disebut yang ditandai, tertanda, atau tinanda. Memungut dari bahasa Yunani, kata tanda disebut semeîonn (de Saussure dalam Sudaryanto, 2008:33).

Ada hal yang khas mengenai bahasa beserta ilmu tentang bahasa. Jika dikaitkan dengan tanda-tanda yang lain, bahasa mampu menggantikan fungsi setiap tanda yang bukan bahasa. Artinya, apa yang dapat dikerjakan oleh tanda yang lain dapat dikerjakan pula oleh bahasa, tetapi tidak berlaku sebaliknya (van Zoest, 1992:2). Ada hal-hal yang khas yang tidak mampu digantikan oleh tanda yang lain kecuali oleh bahasa. Contohnya, “mengangguk” tanda setuju dapat diganti dengan tanda bahasa, yaitu kata sepakat, cocok, setuju, ya, okey. . Sebaliknya, “menggeleng” tanda tidak setuju dapat diganti dengan tanda bahasa, yaitu kata

(41)

yaitu kata berhenti atau stop. Bendera terpancang di pinggir pertigaan atau perempatan jalan tanda ada kematian atau ada orang yang meninggal dunia. Dalam tradisi Jawa, jika ada hiasan dari daun kelapa muda (janur mlengkung) yang juga terpancang di pinggir pertigaan atau perempatan jalan merupakan tanda penunjuk arah lokasi resepsi pernikahan (Sudaryanto , 2008).

Akan tetapi, tanda bahasa berupa kata yang antara lain berfungsi menamakan, kalimat yang antara lain berfungsi berjanji atau menyatakan, wacana yang antara lain berfungsi untuk diskusi atau mendiskusikan, tidak dapat diganti dengan tanda lain yang bukan berupa bahasa. Oleh karena itu, bahasa sebagai tanda memiliki tempat yang khas jika dibandingkan dengan tanda-tanda yang berwujud lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan tanda yang memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena memiliki kelebihan-kelebihan dibanding tanda-tanda yang lain. Singkatnya, semua tanda dapat dibahasakan, sedangkan semua bahasa belum tentu dapat diganti dengan tanda.

(42)

semiotik itu pulalah uraian tentang nilai-nilai dalam ikon verbal ini penting untuk disampaikan kepada para pemerhati studi semiotik.

Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian berikut bertumpu dan mengenai nilai yang khusus dimiliki bahasa. Dalam hal ini, konsep nilai mengingatkan pada konsep

“valuer” atau “valensi” yang diperkenalkan oleh Saussure dalam Kridalaksana (1988:17-21), “…sifat pertama valensi

atau nilai yaitu menyangkut substitusi atau penggantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya berlainan, uang adalah contoh yang jelas…”. “…valensi dapat ditukar dengan segala sesuatu yang sifatnya berlainan yang dianggap bernilai sama (misalnya, uang dengan roti) dan dapat dibatasi melalui hal-hal yang serupa (misalnya, Dollar Amerika dibandingkan dengan Poundsterling Inggris)”.

4. Ikon Verbal sebagai Tanda Utama

Mengacu pada pendapat Pierce, (van Zoest, 1992:19) menyatakan bahwa tanda ikonlah yang paling utama. Dalam hal ini, ia menjelaskan sebagai berikut.

(43)

ada kemiripan dalam bentuk apa pun, tak dapat terjadi hubungan yang representatif…..” (van Zoest, 1992:10)

Misalnya, jika pun kata kursi (bahasa Indonesia) yang sama dengan chair (bahasa Inggris), nampak tidak ada kemiripan dengan objek teracunya, sebenarnya tetap ada kemiripan, yaitu sama-sama sebagai satu keutuhan. Penegasan ini mengimplikasikan tanda yang berstatus simbol, tidak sepenuhnya arbitrer dan konvensional. Lebih-lebih kalau kesempatan melacak asal keberadaanya serta penjelasan tentang pemakaian metaforisnya dapat dilakukan. Contohnya, kata memetik dan mencakup

masing-masing dalam ungkapan memetik hasil dan

mencakup beberapa hal, yang nampak tidak ikonik, jika ditelusuri sebenarnya memiliki identitas ikon.

C. Semantik

1. Pengertian Semantik

(44)

Hal yang sama dikemukakan oleh Chaer (1990:2), bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris:

semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah

semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud tanda atau lambang di sini adalah tanda linguistik yang dalam bahasa Prancis disebut signe linguistique, seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1998), yaitu terdiri dari (1) komponen yang mengartikan yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.

Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang membahas hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Dengan kata lain, semantik adalah bidang kajian dalam linguistik yang membahas makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.

(45)

dari bahasa Yunani itu, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkat paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (1) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (2) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan hunbungan tertentu, dan (3) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makana tertentu.

Mempertegas pendapat di atas, Verhaar (1985:124) menyatakan bahwa semantik (semantics) adalah “teori makna” atau “teori arti”, kata sifatnya ialah semantis (semantic).

(46)

antara kata / leksem dengan rujukan / acuannya bersifat arbitrer; (2) secara sinkronik makna sebuah kata tidak berubah, secara diakronik ada kemungkinan berubah; (3) bentuk-bentuk yang berbeda, berbeda pula maknanya; (4) setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem semantik bahasa lain karena sistem semantik itu berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama; (5) makna setiap kata dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan sikap masyarakat yang bersangkutan; dan (6) luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik dengan luasnya bentuk tersebut

2. Makna, Informasi, dan Maksud

Sesungguhnya persoalan makna memang sangat kompleks. Walaupun mkana merupakan persoalan bahasa, namun keterkaitan dan keterikatannya dengan segala aspek kehidupan manusia sangat erat. Padaha aspek-aspek kehidupan manusia itu sendiri sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada manusia yang mampu mendeskripsikannya secara tuntas.

(47)

manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Bahasa muncul dan diperlukan dalam segala kegiatan seperti pendidikan, perdagangan, keagamaan, politik, dan sebagainya. Bahasa telah memudahkan dan memperlancar semua kegiatan manusia. Kita tidak dapt membayangkan bagaimana keadaan masyarakat manusia ini jika tidak ada bahasa. Di samping sunyi dan sepi, juga interaksi sosial akan mengalami hambatan yang sangat serius.

Bahasa memang sangat besar peranannya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Namun, dalam praktik berbahasa kita juga sering mendengar orang mengatakan, “Apa arti kalimat ini?” Atau, “Apa maksud pertanyaan itu?” Atau juga keluhan orang banyak yang menyatakan, “Katakan saja itu uang hutang dari luar negeri! Tidak usah ditutup-tutupi dan dikatakan sebagai bantuan dari luar negeri!”

(48)

dan abstrak. Akan tetapi, agaknya persoalan dan hambatan tersebut lebih banyak terjadi sebagai akibat dari kemampuan berbahasa dan bernalar para penuturnya yang relatif kurang, sehingga seringkali mereka tidak bisa membedakan apa yang disebut makna, irformasi, dan maksud.

Masih cukup banyak orang yang mencampuradukkan konsep tentang makna, informasi, dan maksud. Ketiganya dianggap asama saja sebagai makna, sehingga kalimat seperti Salma membaca Al-Quran dikatakan sama maknanya dengan kalimat Al-Quran dibaca Salma. Begitu pula dianggap sama maksudnya dengan Al-Quran dibaca oleh Salma.

Anggapan tersebut tentunya kurang tepat sebab kalimat

Salma membaca Al-Quran mengandung makna aktif, sedangkan kalimat Al-Quran dibaca Salma mengandung makna pasif. Begitu pula kalimat Al-Quran dibaca Salma tidak sama maknanya dengan kalimat Al-Quran dibaca oleh Salma

sebab makna kalimat pertama tidak mengandung penonjolan pelaku, sedangkan kalimat kedua mengandung penonjolan pelaku, yang ditandai dengan penggunnaan preposisi oleh.

a. Pengertian Makna

(49)

(signified) dan (2) yang mengartikan (signifier). Yang diartikan

sebenarnya adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi, sedangkan yang mengartikan adalah bunyi-bunyi itu yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa

(ekstralingual).

Misalnya tanda linguistik yang dieja <meja>. Tanda ini terdiri dari unsur makna atau yang diartikan ‘meja’ (table, maktab) dan unsur bunyi atau yang mengartikan dalam wujud runtutan fonem [m, e, j, a]. Lalu tanda <meja> ini, yang dalam hal ini terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu meja (benda/barang yang merupakan salah satu perabot rumah tangga). Kalau kata <meja> adalah sebagai hal yang menandai (tanda-linguistik), maka sebuah <meja> sebagai perabot ini adalah hal yang ditandai.

b. Pengertian Informasi

Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa makna adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepatnya sebagai

(50)

semantik yang menyatakan bahwa jika bentuk kata berbeda, maka maknanya pun berbeda, meskipun perbedaannya itu hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan bapak karena bentuknya berbeda maka berbeda pula maknanya. Begitu pula kalimat

Salma membaca Al-Quran dan kalimat Al-Quran dibaca Salma, maknanya juga berbeda.

Namun, masih banyak juga orang yang menganggap bahwa kata ayah dan bapak maknanya sama saja. Hal ini terjadi karena orang-orang tersebut mengacaukan pengertian tentang makna dengan pengertian tentang informasi. Makna,

sebagaimana telah disinggung di atas, adalah gejala-dalam-ujaran, sedangkan informasi adalah gejala-luar-ujaran. Kata

ayah dan bapak memang memberi informasi yang sama, yaitu ‘orang tua laki-laki’, tetapi maknanya tetap tidak persis sama karena bentuknya berbeda. Dalam kalimat Ayah saya dermawan, kata ayah dapat diganti dengan kata bapak

sehingga menjadi Bapak saya dermawan. Akan tetapi dalam frasa Bapak Rektor yang terhormat, tidak dapat diganti menjadi Ayah Rektor yang terhormat.

c. Pengertian Maksud

(51)

informasi, masih ada lagi gejala-luar-ujaran yang lain, yaitu

maksud. Informasi dan maksud sama-sama merupakan gejala-luar-ujaran. Bedanya, kalau informasi itu merupakan gejala-luar-ujaran dilihat dari objeknya atau yang dibicarakan, sedangkan maksud dilihat dari si pengujar/orang yang berbicara/subjeknya. Dalam hal ini, orang yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kata, frasa, atau kalimat, tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu. Misalnya, seorang guru di depan murid-muridnya berkata, “Anak-anak, papan tulisnya kotor sekali ya?” Meskipun guru tersebut bertanya, tetapi yang dimaksudkannya tentu saja menyuruh agar muridnya membersihkan papan tulis.

3. Aspek Makna

(52)

perasaan, nada, dan tujuan dapat pula kita pertimbangkan melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.

a. Pengertian (Sense)

Aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dan kawan bicara berbahasa sama. Makna pengertian disebut juga tema, yang melibatkan ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar kawan bicara menggunakan kata-kata yang mengandung ide atau pesan yang dimaksud. Dalam hal ini menyangkut tema pembicaraan sehari-hari, misalnya tentang ibadah haji:

(1)Mereka sedang thawaf (2)Mereka sedang sa’i (3)Mereka sedang wukuf

Dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap satuan-satuan mereka, sedang, thawaf, sa’i, dan wukuf. Informasi atau apa yang kita ceritakan tersebut memiliki persoalan inti yang biasa disebut

(53)

keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh- musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (Q.S. Ali Imran: 102-103).

Kita memahami tema dalam informasi karena apa yang kita katakan atau apa yang kita dengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema karena kita paham akan kata-kata yang melambangkan tema tersebut.

b. Perasaan (Feeling)

(54)

Misalnya, tidak akan muncul ekspresi (1) turut berbahagia, (2) ikut bergembira, (3) nderek bingah pada situasi berduka, sebab ekspresi tersebut selalu muncul pada situasi kesuksesan dan kesenangan, contohnya bila ada yang menikah, diwisuda, naik pangkat dan sebagainya. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sesuai dengan perasaan. Kata-kata yang sesuai dengan makna perasaan ini muncul dari pengalaman.

c. Nada (Tone)

Aspek makna nada adalah ”an attitude to his listener” (sikap pembicara terhadap kawan bicara”) atau sikap penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek makna nada ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan kawan bicara dan pembicara sendiri. Apakah pembicara telah mengenal pendengar, apakah pembicara berjenis kelamin sama dengan pendengar. Atau, apakah latar belakang sosial-ekonomi pembicara sama dengan pendengar, apakah pembicara berasal dari daerah yang sama dengan pendengar. Hubungan pembicara-pendengar (kawan bicara) akan menentukan sikap yang akan tercermin dalam kata-kata yang akan digunakan.

(55)

kita akan berlainan perasaan bergembira terhadap awan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada dengan meninggi. Lain halnya dengan aspek makna yang digunakan bila kita memerlukan sesuatu, maka akan mengiba-iba dengan nada merata atau merendah. Bandingkanlah aspek makna nada berikut.

(1)Manusia itu tidak akan ketinggalan zaman, tetapi meninggalkan zaman.

(2)Adakah temanmu yang telah meninggalkan zaman? (3)Detik-detik itu pasti datang, bersiaplah!

(4)Pasti!

d. Tujuan (Intension)

Aspek makna tujuan ini adalah ”his aim, concious or unconcious, the effect he is endeavouring to promote” (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak, akibat usaha dari peningkatan). Apa yang diungkapkan dalam aspek makna tujuan memiliki tujuan tertentu, misalnya dengan mengatakan, ”Pengkhianat kau!” tujuannya agar kawan bicara mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan tersebut.

(56)

makna tujuan tersebut dapat ditemukan dalam penyuluhan pemerintah dalam bidang kesehatan sebagai berikut.

”Pemeliharaan kesehatan dapat menunjang program pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup bangsa (deklaratif). Dengan pola makan empat sehat lima sempurna di setiap kampung akan menjamin kesehatan masyarakat (persuasif). Halaman-halaman rumah di tiap-tiap tempat harap ditanami dengan apotek hidup (imperatif). Manusia insya Allah bisa hidup lebih lama dengan memelihara kesehatan dengan memperhatikan anjuran pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup sehat (naratif). Rakyat sehat negara kuat (politis), mendidik hidup sehat supaya negara kuat (pedagogis)”.

D. Pesan Agama dalam Karya Sastra

Pesan keagagmaan atau religiustas dalam karya sastra, menurut Mangunwijaya (1982:11) adalah setua keberadaan sastra itu sendiri, dan bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius.

(57)
(58)

BAB III

BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN

TENTANG PRINSIP UMUM KEISLAMAN

A. Prinsip Ketuhanan (Rabbaniyah)

Prinsip Ketuhanan (Rabbaniyah) adalah sebuah prinsip hidup yang berorientasi kepada Allah dalam segala aspeknya, termasuk di dalamnya Rabbaniyah ghayah wa mijhah

(orientasi ketuhanan dalam tujuan dan sudut pandang), yakni bahwa Islam menjadikan tujuan akhir dan sasarannya jauh ke depan, yaitu menjaga hubungan dengan Allah secara baik demi mencapai ridha-Nya.

Ustadz-ustadz di PM dalam mengajar dengan niat untuk menjadi khalis yakni ikhlas untuk melaksanakan perintah Allah dan beribadah kepada-Nya. Mereka sama sekali tidak menerima gaji dari aktivitas mengajarnya, sebagaimana tampak pada kutipan berikut.

Jiwa keikhlasan dipertontonkan setiap hati di PM. Guru-guru kami yang tercinta dan terhebat-hebat sama sekali tidak menerima gaji untuk mengajar. Mereka semua tinggal di dalam PM dan diberi fasilitas hidup yang cukup, tapi tidak ada gaji. Dengan tidak adanya ekspektasi gaji semenjak awal, niat mereka menjadi khalis. Mengajar hanya karena ibadah, karena perintah Tuhan. Titik (N5M:296-297).

(59)

artinya juga energi tertinggi. Dalam ikhlas, sama sekali tidak ada transaksi yang merugi. Nothing to lose. Semuanya dikerjakan all-out dengan mutu terbaik. Karena mereka tahu, cukuplah Tuhan sendiri yang membalas semuanya. Tidak ada transfer duit dan materi di PM. Hanya transfer amal, doa, dan pahala. Indah sekali. Sosok Ustadz Khalid kembali muncul di pelupuk mataku (N5M:297).

B. Prinsip Kemanusian (Al-Insaniyah)

Selain berorientasi ketuhanan, ternyata Islam adalah ajaran yang sangat manusiawi. Islam itu istimewa dengan kecenderungan kemanusiaannya yang jelas, tetap, dan asli dalam akidah, syariat, dan akhlak. Buah dari al-insaniyah

dalam Islam adalah prinsip-prinsip sebagai berikut.

1. Ukhuwah (persaudaraan)

(60)

lain, baik yang berkaitan dengan jiwa, harta, kehormatan, atau hal-hal yang merusak harkat dan martabat mereka (http://tabayyun.wordpress.com/makna-ukhuwah/, diakses pada 7 Desember 2014).

Prinsip persaudaraan dalam Islam adalah karena berasal dari satu keturunan, yaitu Adam dan Hawa. Di samping itu, dasar keimanan merupakan bagian dari dasar persaudaraan yang mengikat kaum muslimin di manapun berada.

Amak menanamkan niali-nilai persaudaraan ke dalam diri Alif. Nilai-nilai persaudaraan merupakan bagian dari ajaran Rasulullah saw. Ketika kawan-kawan Alif berkelahi, Amak memanfaatkan momentum itu untuk mendidik Alif tentang contoh-contoh perilaku yang termasuk dalam nilai-nilai persaudaraan, misalnya mengucapkan salam dan bersikap ramah terhadap sesama (tersenyum), sebagaimana tampak dalam kutipan berikut.

‘‘Apakah kawan-kawan yang main dan berkelahi tadi orang Islam? tanya Amak lembut.

Aku mengangguk sambil memajukan bibirku, merengut.

‘‘Apa perintah Nabi kita kepada sesama muslim?’’

“Memberi salam.’’ “Yang lain?’’

(61)

“Nah, bersaudara itu berteman, tidak berkelahi, saling menyayangi. Itu Nabi kita. Mau ikut Nabi?’’

“Mau.’’

“Jadi harus bagaimana ke kawan-kawan? “Kali ini Amak bertanya sambil tersenyum damai.

“Bersaudara dan tidak berkelahi,” kataku

“Itu baru anak Amak dan umat Nabi Muhammad,” katanya sambil merengkuh kepalaku dan menyuruh mandi.

Begitulah Amak. Di saat hatiku rusuh dan nyeri, dia selalu datang dengan sepotong senyum yang sangup merawat hatiku yang guncah. Senyumnya adalah obat yang sejuk (N5M : 137-138).

(62)

Demikian pula, ketika para santri mendapatkan kiriman sesuatu dari orangtua/walinya, barang-barang kiriman itu sebagian akan dibagikan ke para penghuni kamar. Sebuah pembiasaan hidup penuh kebersamaan yang sangat baik untuk membentuk kepribadian yang tidak egois, tetapi memiliki kepekaan sosial terhadap sesama.

Seperti memenangkan piala dunia, masing-masing kardus kami arak ke kamar. Di bawah kerubutan kawan-kawan, aku meletakkan paket di tengah kamar. Semua penasaran dan menahan napas. Siapa pun penerima paket di kamar ini, berarti membawa kebahagiaan buat semua (N5M:270).

2. Persamaan

(63)

Amak menanamkan nilai-nilai persamaan ke dalam diri Alif tidak hanya melalui kata-kata, tetapi melalui praktik langsung dalam memperlakukan anak kandungnya (Alif) di tengah-tengah muridnya yang lain. Ketika Alif kurang disiplin dalam mengikuti pelajaran Kesenian, Amak memberi nilai tidak bagus, yakni 5 meskipun Alif adalah anak kandungnya sendiri. Demikian konkret dan merasuk cara Amak menanamkan nilai-nilai persamaan kepada murid-muridnya, sebagaimana tampak pada kutipan berikut.

Ketika aku duduk di kelas satu SD, kebetulan wali kelasku Amak sendiri. Ujian catur wulan pertama tiba dan Amak mengadakan ujian kesenian. Seperti teman sekelas lainnya aku harus maju ke depan untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai persyaratan mendapatkan nilai. Sayang sekali aku tidak hapal satu lagu pun karena tidak pernah masuk TK. Selain itu aku memang pemalu dan meresa suaraku sumbang. Jadi aku menolak maju ke depan kelas. (N5M :138).

Tiga kali Amak memanggilku dari meja guru. “Berikutnya Alif Fikri untuk maju ke depan”. Tiga kali pula aku menggeleng dan tidak beringsut. Amak akhirnya menyerah dengan muka kecewa. Dua mingu kemudian, dari penerimaan rapor, aku baru tahu efeknya. Ayah yang datang untuk mengambil rapor sampai terbelalak. Sebuah angka merah bertengger di raporku, pelajaran kesenianku dapat angka 5. Dan nilai itu dari Amak sendiri! (N5M : 138).

“Bang, ambo ingin berlaku adil, dan keadilan harus dimulai dari diri sendiri, bahkan dari anak sendiri. Aturannya adalah siapa yang tidak mau praktek menyanyi dapat angka merah,” kata Amak ketika Ayah bertanya, kok tega memberi angka buruk buat anak sendiri. (N5M :139).

(64)

“Justru karena ini hal kecil. Jangan sampai dia meremehkan suatu hal, sekecil apa pun. Semua pilihan hidupnya ada konsekuensi, walau hanya sekadar pelajaran kesenian. Itu juga supaya dia belajar bahwa tidak ada yang diistimewakan. Semuanya harus berdasarkan usaha sendiri,” timpal Amak. (N5M : 139).

“Tapi kan dia baru 6 tahun.”

“Justru malah dari usia ini kita didik dia.”

Ayah diam saja. Dia cukup mafhum cara berpikir Amak yang keras hati. Aku meguping pembicaraan mereka dari balik pintu. Amak tidak memandang bulu (N5M : 139).

3. Kebebasan.

Manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Tugas yang diemban manusia tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Dengan kata lain, manusia itu diberi kebebasan oleh Allah untuk berbuat apapun dengan penuh tanggung jawab, karena semua perbuatannya itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.

(65)

kebebasan terhadap mansia bukan berarti mereka dapat menggunakan kebebasan tersebut mutlak, tetapi dalam kebebasan tersebut terkandung hak dan kepentingan orang lain yang harus dihormati juga. Dengan kata lain, kebebasan manusia itu tidak tak terbatas alias dibatasi oleh aturan dari Allah yang pada hakikatnya untuk menyelamatkan manusia. Ibarat jalan raya, semua pengguna jalan bebas melalui jalan itu menuju masing-masing tempat yang dituju. Akan tetapi, semua pengguna jalan dibatasi kebebasannya dengan rambu-rambu di jalan yang harus ditaati agar selamat sampai di tujuan.

Para santri di PM dibebaskan dalam mengikuti kegiatan pengembangan bakat masing-masing santri. Demikian pula, para santri juga bebas membaca buku apa saja tetapi tentu dibatasi dengan aturan bahwa buku yang dibaca harus buku-buku yang bermanfaat, tidak sembarang buku bacaan karena faktanya yang beredar di masyarakat tidak sedikit buku-buku bacaan yang tidak mendidik atau merusak moral generasi muda.

05.30-07.00

Aktifitas bebas. Digunakan untuk pengembangan minat dan bakat baik di bidang olahraga, kesenian, bahasa, dll. Selain itu, ini juga waktu kami untuk mandi, cuci dan makan pagi. Kalau sudah mencuci baju, biasanya tidak sempat sarapan.

(66)

Masuk kelas pagi. Tidak bisa terlambat sedikit pun. Ada jadwal istirahat setengah jam yang bisa dipakai kalau belum sempat makan pagi.

12.30-14.00

Shalat Zuhur berjamaah di kamar masing-masing dan makan siang di dapur umum. Oya, untuk makan kami bawa piring dan gelas sendiri dan sebuah kupon mandi, cuci, dan kegiatan lainnya. Yang paling enak adalah bersantai sejenak di bawah menara di dekat masjid bersama beberapa teman dekat.

Shalat berjamaah Isya di kamar lagi. 20.00-22.00

Belajar malam dibimbing wali kelas di kelas. Kami bebas membaca buku pelajaran apa saja (N5M:146-147).

C. Prinsip Universalitas (Syumul)

(67)

dunia-akhirat. Risalah Islam memuat risalah sampai akhir zaman, risalah bagi alam semesta, dan risalah untuk segala sektor kehidupan.

Di hari berikutnya kami berjalan sampai ke luar kota: Lembang dan Tangkuban Perahu. Atas permintaanku, Atang juga mengajak kami masuk ke dalam kampus ITB di jalan Ganesha dan Masjid Salma yang terkenal itu. Sebuah sekolah yang sangat mengesankan dengan bangunan unik, pohon-pohon rindang dan mahasiswa yang terlihat sibuk dan pakai jaket warna-warni

(68)

dengan istilah-istilah modern yang tidak sepenuhnya aku pahami.

Ada kecemburuan di hatiku. Atau merasa tersindir? Dengan keterbatasan ilmu agama mereka, kenapa mereka begitu bersemangat berdiskusi tentang Islam? Padahal mereka punya jadwal kuliah teknik yang konon berat. Sebaliknya aku malah ingin belajar ilmu teknik-teknik mereka. Apakah seperti ini manusia, yang tidak pernah puas dengan apa yang dipunyai dan selalu melihat kepunyaan orang lain? (N5M:221-222).

Ajaran Islam yang bersifat universal juga tampak pada kutipan berikut ini.

“Pondok Madani memiliki pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusi mandiri yang tangguh. Kiai kami bilang, agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu umum dan ilmu agama. Saat ini ada tiga ribu murid yang tinggal di delapan asrama,” Burhan membuka tour pagi itu dengan fasih (N5M :31).

Frasa “agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu umum dan ilmu agama” dari kutipan tersebut,

D. Prinsip Moderat (Al-Wasthiyyah)

(69)

jalan tersebut tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya dan mengabaikan yang lain. Contohnya, moderat dalam meletakkan akal dan wahyu/ilham atau ikhtiar dan tawakal sebagaimana tampak pada kutipan berikut ini.

Aku sambil mengulet untuk mengusir kantuk. Setelah membasahi muka dan mengambil wudhu, kantukku lumayan reda. Setiap aku merasa harus menyerah dan tidur, aku melecut diriku, “ayo satu halaman lagi, satu baris lagi, satu kata lagi…” Akhirnya dengan perjuangan, aku bisa menamatkan bacaanku. Denagn lega aku aku angkat buku itu dan benamkan di wajahku sambil berdoa, “Ya Allah telah aku sempurnakan semua usahaku dan doa kepada-Mu. Sekarang semuanya aku serahkan kepada-Mu. Aku tawakal dan ikhlas. Mudahkanlah ujianku besuk. Amin” (N5M : 199-200).

Pada kutipan tersebut memuat ajaran keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Ajaran ikhtiar direpresentasikan dengan belajar Alif secara sungguh-sungguh pada malam hari meskipun harus menahan rasa kantuknya. Sementara itu, berdoanya Alif kepada Allah setelah belajar merupakan bentuk tawakal setelah berikhtiar secara maksimal. Dengan demikian, kutipan tersebut mengandung pesan yang sangat penting bahwa tugas seseorang dalam meraih kesuksesan hidup adalah dengan berikhtiar secara maksimal dan akhirnya juga harus bertawakal secara maksimal pula.

(70)

Menurut kiai kami pendidikan PM tidak membedakan agama dan non agama. Semunya satu dan semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dikehidupan sehari-hari. Di Madani agama adalah oksigen, dia ada di mana-mana.” Jelas Burhan (N5M : 35).

Inilah momen yang menyenangkan dalam pengalaman bulis. Bisa bicara ngalor ngidul, semalam suntuk, tidak ada jadwal lonceng yang mengganggu, dan satu lagi, tidak perlu takut dicatat jasus kalau memakai bahasa Indonesia. Besoknya bisa pula tidur sampai siang. Dulmajid yang 3 tahun lebih tua dariku berkisah tentang kenangannya di SMA yang menyenangkan. Tapi dia selalu merasa beruntung bisa masuk PM karena merasa banyak belajar ilmu dunia dan akhirat ( N5M: 242 ).

Frasa “tidak membedakan agama dan nonagama” dan frasa “banyak belajar ilmu dunia dan akhirat” menunjukkan bahwa pembelajaran di PM berorientasi kesuksesan hidup di dunia dan akhirat atau menganut prinsip moderat antara orientasi dunia-akhirat. Oleh karena kepada para santri di PM senatiasa dipahamkan bahwa semua aktivitas kehidupan di dunia ini tidak boleh terlepas dengan kehidupan akhirat, maka konsep ajaran Islam yang utuh dan terpadu itu benar-benar tertanam dalam sanubari para santri, sehingga tidak aneh jika di sepanjang jalan pulang ke rumah Said, Alif dan teman-temannya bertengkar tentang apakah robot yang sudah seperti manusia itu bisa masuk surga atau masuk neraka, sebagaimana kutipan berikut.

(71)

empuk. Suara dan gambarnya juga terasa lebih tajam dan jernih. Film ini dibuka dengan sebuah kilatan cahaya dari langit yang kemudian menjelma menjadi aktor idola Said, Arnold Schwarzenegger. Aku tidak terlalu paham cerita detailnya, tapi yang jelas Arnold adalaha robot canggih utusan dari masa depan untuk menyelamatkan umat manusia. Sepanjang jalan pulang ke rumah Said, kami bertengkar tentang apakah robot yang sudah seperti manusia itu bisa masuk surga atau masuk neraka (N5M:227).

E. Prinsip Kontekstual (Al-Waqi’iyyah)

Islam adalah serangkaian kalam Allah yang abadi bagi manusia. Allah menjamin Islam sebagai ajaran yang sesuai dengan kondisi manusia di mana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja. Kontekstual dalam Islam meliputi kontekstual dalam akidah, kontekstual dalam ibadah, kontekstual dalam akhlak, dan kontekstual dalam syariat.

Prinsip ajaran Islam yang bersifat kontekstual tersebut bisa ditemukan dalam kutipan berikut ini.

Supaya Amak tidak penasaran, ini adalah jadwal harian kami:

04.00-05.30

Kegiatan kami setiap hari dimulai jam 4. Agak susah bangun sepagi ini. Waktu ini diisi untuk shalat Subuh berjamaah di dalam kamar masing-masing. Kami

Referensi

Dokumen terkait

data ini disusun program bimbingan karir yang dapat mengembangkan sikap. wirausaha

Zakat profesi jika dikelola dengan baik mampu membantu mengatasi kemiskinan yang sampai saat ini belum juga dientaskan, zakat profesi ini dikeluarkan oleh

Berbagai fungsi yang terkait dalam transaksi pembelian berada di tangan unti organisasi berikut ini... Nama Fungsi Unit Organisasi Pemegang Fungsi 1) Fungsi Gedung5. 2)

kami Pokja Unit Lalrcn Pengadaan Jasa Konsultan Mengumumkan Penyedia Jasa Konsultansi sebagai berikut:. (daftar hasil evaluasi

Kardiovaskularne bolesti vodeći su uzrok smrtnosti u svijetu. Premda postoji mnogo konvencionalnih lijekova, sve se više pozornosti posvećuje istraživanju aktivnih

Banyuurip Final Disposal (TPA) in Magelang City was the TPA which haven’t apply sanitary landfill system and doesn’t have the adequate leachate treatment unit, therefore need to

Berasaskan kepada beberapa pandangan yang saya sebutkan tadi, saya berharap Kesatuan Penghulu-penghulu akan membuat rancangan-rancangan tindakan yang sesuai dan baik supaya

Peserta didik mengerjakan portofolio berbentuk analisis mengenai perbedaan pelaksanaan politik luar negeri pada masa pemerintahan Orde Lama dengan pelaksanaan politik luar negeri