• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Jiwa keikhlasan dipertontonkan setiap hati di PM. Guru-guru kami yang tercinta dan terhebat-hebat sama sekali tidak menerima gaji untuk mengajar. Mereka semua tinggal di dalam PM dan diberi fasilitas hidup yang cukup, tapi tidak ada gaji. Dengan tidak adanya ekspektasi gaji semenjak awal, niat mereka menjadi khalis. Mengajar hanya karena ibadah, karena perintah Tuhan. Titik (N5M:296-297).

2. Begitu niat ikhlas terganggu, seorang guru biasanya merasakannya dan langsung mengundurkan diri. Akibat seleksi ikhlas ini, semua guru dan kiai pun punya tingkat keikhlasan yang terjaga tinggi yang artinya juga energi tertinggi. Dalam ikhlas, sama sekali tidak ada transaksi yang merugi. Nothing to lose. Semuanya dikerjakan all-out dengan mutu terbaik. Karena mereka tahu, cukuplah Tuhan sendiri yang membalas semuanya. Tidak ada transfer duit dan materi di PM. Hanya transfer amal, doa, dan pahala. Indah sekali. Sosok Ustadz Khalid kembali muncul di pelupuk mataku (N5M:297).

3. ‘‘Apakah kawan-kawan yang main dan berkelahi tadi orang Islam? tanya Amak lembut.

Aku mengangguk sambil memajukan bibirku, merengut. ‘‘Apa perintah Nabi kita kepada sesama muslim?’’

“Memberi salam.’’ “Yang lain?’’

“Tersenyum.’’ “Yang lain?’’ “Bersaudara”

“Nah, bersaudara itu berteman, tidak berkelahi, saling menyayangi. Itu Nabi kita. Mau ikut Nabi?’’

“Mau.’’

“Jadi harus bagaimana ke kawan-kawan? “Kali ini Amak bertanya sambil tersenyum damai.

“Bersaudara dan tidak berkelahi,” kataku

“Itu baru anak Amak dan umat Nabi Muhammad,” katanya sambil merengkuh kepalaku dan menyuruh mandi.

Begitulah Amak. Di saat hatiku rusuh dan nyeri, dia selalu datang dengan sepotong senyum yang sangup merawat

hatiku yang guncah. Senyumnya adalah obat yang sejuk (N5M : 137-138).

4. Kawan-kawan di kelas dan di kamar datang dari berbagai daerah di Indonesia. Sudah diatur supaya tidak ada orang satu daerah tinggal di satu kamar. Juga anggota kamar akan diacak setiap 6 bulan sehingga kami makin banyak teman (N5M:145).

5. Seperti memenangkan piala dunia, masing-masing kardus kami arak ke kamar. Di bawah kerubutan kawan-kawan, aku meletakkan paket di tengah kamar. Semua penasaran dan menahan napas. Siapa pun penerima paket di kamar ini, berarti membawa kebahagiaan buat semua (N5M:270).

6. Ketika aku duduk di kelas satu SD, kebetulan wali kelasku Amak sendiri. Ujian catur wulan pertama tiba dan Amak mengadakan ujian kesenian. Seperti teman sekelas lainnya aku harus maju ke depan untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai persyaratan mendapatkan nilai. Sayang sekali aku tidak hapal satu lagu pun karena tidak pernah masuk TK. Selain itu aku memang pemalu dan meresa suaraku sumbang. Jadi aku menolak maju ke depan kelas. (N5M :138).

7. Tiga kali Amak memanggilku dari meja guru. “Berikutnya Alif Fikri untuk maju ke depan”. Tiga kali pula aku menggeleng dan tidak beringsut. Amak akhirnya menyerah dengan muka kecewa. Dua mingu kemudian, dari penerimaan rapor, aku baru tahu efeknya. Ayah yang datang untuk mengambil rapor sampai terbelalak. Sebuah angka merah bertengger di raporku, pelajaran kesenianku dapat angka 5. Dan nilai itu dari Amak sendiri! (N5M : 138).

8. “Bang, ambo ingin berlaku adil, dan keadilan harus dimulai dari diri sendiri, bahkan dari anak sendiri. Aturannya adalah siapa yang tidak mau praktek menyanyi dapat angka merah,” kata Amak ketika Ayah bertanya, kok tega memberi angka buruk buat anak sendiri. (N5M :139).

9. “Tapi ini kan hanya masalah kecil, cuma pelajaran kesenian,” bela Ayah.

“Justru karena ini hal kecil. Jangan sampai dia meremehkan suatu hal, sekecil apa pun. Semua pilihan hidupnya ada konsekuensi, walau hanya sekadar pelajaran kesenian. Itu

juga supaya dia belajar bahwa tidak ada yang diistimewakan. Semuanya harus berdasarkan usaha sendiri,” timpal Amak. (N5M : 139).

10. “Tapi kan dia baru 6 tahun.”

“Justru malah dari usia ini kita didik dia.”

Ayah diam saja. Dia cukup mafhum cara berpikir Amak yang keras hati. Aku meguping pembicaraan mereka dari balik pintu. Amak tidak memandang bulu (N5M : 139).

11. 05.30-07.00

Aktifitas bebas. Digunakan untuk pengembangan minat dan bakat baik di bidang olahraga, kesenian, bahasa, dll. Selain itu, ini juga waktu kami untuk mandi, cuci dan makan pagi. Kalau sudah mencuci baju, biasanya tidak sempat sarapan. ? (N5M:146).

12. Di hari berikutnya kami berjalan sampai ke luar kota: Lembang dan Tangkuban Perahu. Atas permintaanku, Atang juga mengajak kami masuk ke dalam kampus ITB di jalan Ganesha dan Masjid Salma yang terkenal itu. Sebuah sekolah yang sangat mengesankan dengan bangunan unik, pohon- pohon rindang dan mahasiswa yang terlihat sibuk dan pakai jaket warna-warni ? (N5M:221).

13. Sedangkan di Masjid Salma, anak-anak muda dengan jaket lusuh bertulisankan nama jurusan kuliah berkumpul di dalam masjid dan pelatarannya. Membentuk kelompok-kelompok yang sibuk berdiskusi. Mereka memegang buku, Al-Quran, dan catatan. Diskusinya semangat sekali. Pemimpin diskusinya juga anak muda yang tampak lebih senior. Dia menuliskan potong-potong ayat dan istilah-istilah modern di papan tulis kecil. Aku mencuri dengar, bacaan Arabnya tidak fasih, tulisan Arabnya apalagi, tapi semangatnya menerangkan luar biasa. Lengkap dengan istilah-istilah modern yang tidak sepenuhnya aku pahami. ? (N5M:221).

14. Ada kecemburuan di hatiku. Atau merasa tersindir? Dengan keterbatasan ilmu agama mereka, kenapa mereka begitu bersemangat berdiskusi tentang Islam? Padahal mereka punya jadwal kuliah teknik yang konon berat. Sebaliknya aku malah ingin belajar ilmu teknik-teknik mereka. Apakah seperti ini manusia, yang tidak pernah puas dengan apa yang dipunyai dan selalu melihat kepunyaan orang lain? (N5M:221-222).

15. “Pondok Madani memiliki pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusi mandiri yang tangguh. Kiai kami bilang, agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu umum dan ilmu agama. Saat ini ada tiga ribu murid yang tinggal di delapan asrama,” Burhan membuka tour pagi itu dengan fasih (N5M :31).

16. Aku sambil mengulet untuk mengusir kantuk. Setelah membasahi muka dan mengambil wudhu, kantukku lumayan reda. Setiap aku merasa harus menyerah dan tidur, aku melecut diriku, “ayo satu halaman lagi, satu baris lagi, satu kata lagi…” Akhirnya dengan perjuangan, aku bisa menamatkan bacaanku. Denagn lega aku aku angkat buku itu dan benamkan di wajahku sambil berdoa, “Ya Allah telah aku sempurnakan semua usahaku dan doa kepada-Mu. Sekarang semuanya aku serahkan kepada-Mu. Aku tawakal dan ikhlas. Mudahkanlah ujianku besuk. Amin” (N5M : 199-200).

17. Menurut kiai kami pendidikan PM tidak membedakan agama dan non agama. Semunya satu dan semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dikehidupan sehari-hari. Di Madani agama adalah oksigen, dia ada di mana-mana.” Jelas Burhan (N5M : 35).

18. Inilah momen yang menyenangkan dalam pengalaman bulis. Bisa bicara ngalor ngidul, semalam suntuk, tidak ada jadwal lonceng yang mengganggu, dan satu lagi, tidak perlu takut dicatat jasus kalau memakai bahasa Indonesia. Besoknya bisa pula tidur sampai siang. Dulmajid yang 3 tahun lebih tua dariku berkisah tentang kenangannya di SMA yang menyenangkan. Tapi dia selalu merasa beruntung bisa masuk PM karena merasa banyak belajar ilmu dunia dan akhirat ( N5M: 242 ).

19. Bioskop di Surabaya ternyata jauh lebih bagus daripada di kampungku. Udaranya dingin dan kursinya empuk. Suara dan gambarnya juga terasa lebih tajam dan jernih. Film ini dibuka dengan sebuah kilatan cahaya dari langit yang kemudian menjelma menjadi aktor idola Said, Arnold Schwarzenegger. Aku tidak terlalu paham cerita detailnya, tapi yang jelas Arnold adalaha robot canggih utusan dari masa depan untuk menyelamatkan umat manusia. Sepanjang jalan pulang ke rumah Said, kami bertengkar tentang apakah robot yang sudah seperti manusia itu bisa masuk surga atau masuk neraka (N5M:227).

20. Supaya Amak tidak penasaran, ini adalah jadwal harian kami:

04.00-05.30

Kegiatan kami setiap hari dimulai jam 4. Agak susah bangun sepagi ini. Waktu ini diisi untuk shalat Subuh berjamaah di dalam kamar masing-masing. Kami bergantian menjadi imam untuk teman-teman sekamar. Setelah itu ada praktek bahasa dan penambahan kosa kata (Arab dan Inggris), serta membaca Qur’an (N5M:145).

21. “Semuanya. Semua waktu, pikiran, dan tenaga saya, saya serahkan hanya untuk PM. Tidak ada kepentingan pribadi, tidak ada harapan untuk dapat imbalam dunia, tidak gaji, tidak rumah, tidak segala-galanya. Semuanya ikhlas hanya ibadah dan pengabdian pada Allah.... Bukankah di Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi?” (N5M : 253).

22. “Mauuu!” terdengar koor dari ribuan murid di depan Kiai Rais. Lalu, sejenak ia memandu kami menundukkan wajah dan memantapkan niat bersih untuk menuntut ilmu.

Allahumma Zidna Ilman War Zuqna Fahman... Tuhan tambahkan ilmu kepada kami dan anugerahkanlah pemahaman... (N5M : 50).

23. “Mandirilah maka kamu akan jadi orang merdeka dan maju.

I’timad ‘ala nafsi, bergantung pada diri sendiri jangan dengan orang lain. Cukuplah bantuan Tuhan yang menjadi anutanmu.” Ya, aku tidak boleh tergantung kepada belas kasih orang lain. Aku menolak bantuan mereka dengan halus” (N5M: 81-82).

“Wahai anakku latihlah diri kalian untuk selalu bertopang untuk diri kalian sendiri dan Allah, I’timad ala nafsi”(R3W:101).

24. “Beruntunglah kalian sebagai penuntut ilmu karena Tuhan memudahkan jalan kalian ke surga, malaikat membentangkan sayap buat kalian, bahkan penghuni langit dan bumi sampai ikan paus di lautan memintakan ampun bagi orang yang berilmu. Reguklah ilmu di sini dengan membuka pikiran, mata dan hati kalian” (N5M : 50-51).

25. Dulmajid, si anak Madura yang tidak pernah memperlihatkan rasa takutnya, kali ini tampak serius.

Matanya menatap Al-Quran kecilnya, dia mungkin mengadakan perlawanan atas ketakutan ini dengan membaca Ayat Kursi dan Surat Yasin dari kitab Quran kecilnya, lamat-lamat ( N5M: 241 ).

26. Barulah setelah menamatkan surat Yasin, mengecup Quran, dan meletakkan ke dadanya sebelum diletakkan dengan takzim di meja, Dul mau aku ajak ngobrol ( N5M: 242 ).

27. ‘‘Apakah kawan-kawan yang main dan berkelahi tadi orang Islam? tanya Amak lembut.

Aku mengangguk sambil memajukan bibirku, merengut, ‘‘Apa perintah Nabi kita kepada sesama muslim?’’

“Memberi salam.’’ “Yang lain?’’

“Tersenyum.’’ “Yang lain?’’ “Bersaudara”

“Nah, bersaudara itu berteman, tidak berkelahi, saling menyayangi. Itu Nabi kita. Mau ikut Nabi?’’

“Mau.’’

“Jadi harus bagaimana ke kawan-kawan ? “Kali ini Amak bertanya sambil tersenyum damai.

“Bersaudara dan tidak berkelahi,” kataku

“Itu baru anak Amak dan umat Nabi Muhammad,” katanya sambil merengkuh kepalaku dan menyuruh mandi.

Begitulah Amak. Di saat hatiku rusuh dan nyeri, dia selalu datang dengan sepotong senyum yang sangup merawat hatiku yang guncah. Senyumnya adalah obat yang sejuk (N5M : 137-138).

28. Ustadz Fariz ternyata belum selesai. Bagai sedang berceramah di podium, dia mengangkat tangannya menarik perhatian kami. “Ini tidak kalah penting, Lif. Dalam hidup itu ada tiga manusia terdekat. Orangtua, pasangan, dan anak. Semuanya diberikan sebagai takdir. Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh ibu yang mana. Kita juga tidak akan pernah bisa memilih mendapatkan anak yang seperti apa. Tapi, kita masih mungkin memilih pasangan kita. Walau jodoh di tangan Tuhan, tapi kita diberi kesemempatan untuk berupaya keras mendapat pasangan yang terbaik” (RIM : 267).

Dokumen terkait