• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Jihad

Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh

menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat

dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi (http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad, diakses pada 4 Desember 2014).

Jihad yang berasal dari kata Arab “jahada” atau

”jahdun” yang berarti “usaha” atau “juhdun” yang berarti kekuatan. Secara bahasa, asal makna jihad adalah

kesanggupan pada jalan yang diyakini bahwa jalan itulah yang benar. Menurut Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi Saw, secara bahasa jihad berarti “mencurahkan segenap kekuatan dengan tanpa rasa takut untuk membela Allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan permusuhan orang yang memusuhi”.

Pengertian jihad secara istilah sangat luas, mulai dari mencari nafkah hingga berperang melawan kaum kuffar yang memerangi Islam dan kaum Muslim. Dalam istilah syariat, jihad berarti mengerahkan seluruh daya kekuatan memerangi orang kafir dan para pemberontak. Menurut Ibnu Taimiyah, jihad itu hakikatnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang diridhoi Allah berupa amal shalih, keimanan dan menolak sesuatu yang dimurkai Allah berupa kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.

Makna jihad lebih luas cakupannya daripada aktivitas perang. Jihad meliputi pengertian perang, membelanjakan harta, segala upaya dalam rangka mendukung agama Allah, berjuang melawan hawa nafsu, dan menghadapi setan.

Secara umum, sebagian ulama mendefinisikan jihad sebagai “segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan agama Islam dan pemberantasan kedzaliman serta kejahatan, baik terhadap diri sendiri maupun dalam

masyarakat.” Ada juga yang mengartikan jihad sebagai “berjuang dengan segala pengorbanan harta dan jiwa demi menegakkan kalimat Allah (Islam) atau membela kepentingan agama dan umat Islam.”

Kata-kata jihad dalam al-Quran kebanyakan mengandung pengertian umum. Artinya, pengertiannya tidak hanya terbatas pada peperangan, pertempuran, dan ekspedisi militer, tetapi mencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang maksimal dalam rangka dakwah Islam, amar makruf nahyi munkar (memerintah kebajikan dan mencegah kemunkaran). Dalam pengertian umum ini, berjihad harus terus berlangsung baik dalam keadaan perang maupun damai, karena tegaknya Islam bergantung pada jihad (

http://www.risalahislam.com/pengertian-jihad, diakses pada 4 desember 2014).

Pelaksanaan jihad dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, pada konteks diri pribadi, jihad berusaha membersihkan pikiran dari pengaruh-pengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri, mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, komunitas jihad berusaha agar Islam pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak dengan

dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan. Ketiga, kedaulatan jihad berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun pengkhianatan dari dalam agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar. Jihad ini hanya berlaku pada daulah yang menggunakan Islam secara menyeluruh (kaffah).

Pada dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "berusaha dengan keras", namun bukan harus berarti "perang dalam makna fisik". Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik.

Makna jihad pada kutipan berikut ini lebih mengarah pada “bersungguh-sungguh” dalam melaksanakan sesuatu, misalnya bersungguh-sungguh dalam belajar dan bekerja. Dalam pandangan Amak, mempelajari ilmu agama dengan sungguh-sungguh itu sama dengan berjihad di jalan Allah. Amak ingin menanamkan konsep jihad yang semacam ini kepada Alif agar ia dapat memahami pengertian jihad secara lebih luas.

“Baik-baik d irantau urang, Nak. Amak percaya ini perjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu agama sama dengan berjihad di jalan Allah,” kata beliau. Wajahnya tampak ditegar-tegarkan. Katanya, cinta ibu sepanjang hayat dan mungkin berpisah dengan anak bujangnya untuk bertahun-tahun bukan perkara gampang. Sementara bagi aku sendiri, bukan perpisahan yang aku risaukan. Aku gelisah sendiri dengan keputusanku merantau muda ke Jawa (N5M:14). Jihad yang bermakna bersungguh-sungguh atau berjuang keras dalam menuntut ilmu juga tampak pada kutipan berikut. Dalam hal ini Alif ingin menjadi ulama yang intelek, maka ia bertekat meraihnya dengan ikhtiar maksimal yakni dengan belajar yang sunguh-sungguh dengan semboyan

man jadda wajada.

“Kenapa sampai mau dua kali mencoba ikut tes masuk PM?” tanya Ustad Salman. Dengan gagah dia berkata, “Aku ingin menjadi ulama yang intelek, Ustad. Dari sepuluh orang bersaudara, aku sendirilah yang diberi amanat Ibu dan Bapak untuk belajar agama.”

“Mari kita dekap penderitaan dan berjuang keras menuntut ilmu, supaya kita semakin kuat lahir dan batin,” katanya memberi motivasi di depan kelas tanpa ada yang meminta. Antara mengerti dan tidak, kami mengangguk-angguk takzim. “

Sambil mengerlingkan matanya ke kiri atas, dia bicara di depan kelas. “Alasan saya… alasan saya ke sini apa ya? O iya, saya ingin mendalami agama Islam dan menjadi hafiz –penghapal Al-Quran” (N5M:44-46).

Man jadda wajada,” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair Arab yang diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Dan sore ini, dalam 3 jam ini, aku bertekad dan bersungguh-sungguh akan menjadi jaksus. Aku percaya Tuhan dan alam-Nya akan membantuku. Karena imbalan kesungguhan hanyalah kesuksesan. Bismillah (N5M: 82).

Selanjutnya, kutipan-kutipan berikut ini juga terkait dengan makna jihad yang lebih ditekankan pada semangat berhijrah dalam rangka meraih cita-cita. Banyak orang mengalami kesulitan dan kesempitan hidup ketika masih berada di kampung halamannya, namun dapat meraih kesuksesan setelah merantau (berhijrah). Dengan berhijrah dan hidup di lingkungan baru, biasanya orang lebih semangat untuk mengatasi berbagai tantangan. Oleh karena jauh dari keluarga, jika seseorang tidak berhasil mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapinya, keberlangsungan hidupnya akan terancam. Kondisi yang sangat “mengancam” inilah yang dapat membakar semangat seseorang sehingga menjadi orang sukses di perantauan.

Hal yang demikian inilah yang dipesankan oleh orangtua dan ustadz-ustadz Alif sehingga ia sangat bersemangat untuk meraih sukses hidup dengan cara merantau.

’’Jangan puas jadi pegawai, tapi jadilah orang yang punya pegawai. Tingalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Selamat jalan anak- anakku (N5M:396).

Di kepalaku berkecamuk badai mimpi. Tekad sudah aku bulatkan: kelak aku akan menuntut ilmu keluar negeri, kalau perlu sampai ke Amerika. Dengan sepenuh hati, aku torehkan tekad ini dengan huruf besar-besar. Ujung penaku sampai tembus ke halaman sebelahnya. Meninggalkan jejak yang dalam. “Man

jadda wajadda. Bismillah”. Aku yakin Tuhan Maha Mendengar (N5M: 212).

Mungkin inilah yang dimaksud oleh syair Imam Syafi’i “...Merantaulah, kau akan dapat pengganti dan kawan.” Imam Syafi’i bahkan menyuruh kita meninggalkan tempat lama, tempat kita nyaman hidup menuju sebuah tempat yang penuh tanda tanya: tanah perantauan. Jika merantau, kita akan mendapatkan pengganti yang kita tinggalkan, yaitu kawan dan kerabat yang baru, tentu tanpa melupakan kawan dan kerabat lama (R3W :37)

B. Dakwah

Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syari'at, dan akhlak

Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan, atau ajakan. Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridha oleh

Allah. Nabi Muhammad saw mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara yakni melalui lisan, tulisan, dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman- teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu (http://id.wikipedia.org/wiki/dakwah, diakses pada 4 Desember 2014).

Senada dengan paparan di atas, Faridl (1982:134) menjelaskan bahwa dakwah berarti seruan, yaitu seruan

kepada manusia untuk melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Dakwah dalam pengertian tersebut, adalah searti atau berdekatan arti atau mencakup pengertian kata-kata: (1) tabligh (menyampaikan ajaran Allah), (2) jihad (berjuang menegakkan agama Allah), (3) ishlah (menyelesaikan persoalan sesuai dengan ajaran Allah), (4) khutbah (berpidato tentang ajaran Allah), (5) taushiyyah (berwasiat, memberi nasihat), dan (6) amarma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan).

Kedudukan hukum dakwah adalah fardhu ‘ain, yaitu kewajiban setiap individu muslim. Allah memerintahkan agar setiap muslim berusaha mengubah kemungkaran yang diketahuinya. Oleh karena itu, kepada kaum muslim diperintahkan agar ada sekelompok muslim yang menekuni ajaran Islam secara khusus untuk disampaikan dan diajarkan kepada orang lain.

Amak sangat menginginkan anaknya (Alif) menjadi pendakwah dalam pengertian amar ma’ruf nahi munkar, yakni mengajak orang untuk senantiasa berbuat baik dan meninggalkan perilaku yang jahat. Kutipan berikut ini merepresentasikan hal tersebut.

’’Silahkan gunakan liburan untuk berjalan, melihat alam dan masyarakat di sekitar kalian. Di mana pun dan kapan pun, kalian adalah murid PM. Sampaikanlah kebaikan dan nasehat walau satu ayat,’’ begitu pesan Kiai Rais di acara melepas libur minggu lalu. Kesempatan seperti yang disampaikan Atang adalah kesempatan kami untuk mempraktikan apa yang telah kami pelajari di luar PM. Menjalankan amanah Kiai Rais dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad, Ballighu anni walau aayah. Sampaikanlah sesuatu dariku, walau hanya sepotong ayat” (N5M:219).

“Waktu itu Amak berniat, kalau Amak diberi anak laki-laki, Amak akan mendidiknya menjadi seorang pemimpin agama. Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran.”

“Amak bermimpi Ananda nanti akan bisa menerangi jalan umat Islam, seperti yang dilakukan Buya Hamka. Amak sedih melihat kualitas pemimpin agama kita menurun. Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk akhirat” (N5M : 371).

Pada kutipan tersebut lebih merepresentasikan dakwah bil-lisan, sedangkan kutipan berikut ini merupakan jenis

dakwah bil-hal, yakni dengan berkarya secara nyata atau melakukan suatu perbuatan atau sikap tertentu dengan berpegang teguh pada prinsip dari agama yang diyakini kebenarannya meskipun berbeda dengan sikap atau pendapat orang yang berada di lingkungannya. Dalam hal ini, Amak menolak dan memprotes sikap sebagian besar guru di tempat mengajarnya dimana para guru bersepakat untuk melonggarkan pengawasan ujian dan membantu siswa dalam mengerjakan soal ujian Ebtanas. Sikap dan perbuatan para

guru yang tidak terpuji dan menyimpang dari nilai-nilai edukasi ini ditentang oleh Amak secara tegas, meskipun berisiko para guru dapat mengucilkannya.

Di lain kesempatan, aku dengar Amak bercerita kepada Ayah tentang rapat majelis guru menyambut Ebtanas. Beberapa guru sepakat untuk melonggarkan pengawasan ujian dan bahkan memberikan bantuan jawaban buat pertanyaan sulit, supaya rangking sekolah kami naik ditingkat kacamatan. Semua yang hadir setuju, atau terpaksa setuju karena takut kepada kepala sekolah.

Hanya Amak sendiri yang berani angkat tangan dan berkata, “kita di sini adalah pendidik dan ini tidak mendidik. Ke mana muka kita disembunyikan dari Allah yang Maha Melihat. Ambo tidak mau ikut bersekongkol dalam ketidakjujuran ini”. Frontal dan pas di ulu hati. Sejenak rapat hening. Sebelum kepala sekolah bisa mengatupkan mulutnya yang ternganga, Amak keluar ruang rapat.

Walau resah harus berbeda dengan kawan- kawannya, dia puas karena berhasil menegakkan kebenaran. Amak pun mengulang sebuah hadits yang cukup masyhur,”Bila kamu melihat kemungkaran , ubahlah dengan tangan mu, kalau tidak mampu, ubahlah dengan kata-kata, kalau tidak mampu juga, dengan hatimu”. Walhasil, berbulan-bulan Amak tidak disapa, dilihat dengan sudut mata, dan dibicarakan di belakang punggung (N5M:139-140).

BAB VIII PENUTUP

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Pesan-pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5 Menara meliputi (1) prinsip Ketuhanan (Rabbaniyah), misalnya para ustadz di PM dalam mengajar hanya karena ibadah, karena melaksanakan perintah Allah; (2) prinsip kemanusiaan (insaniyah) yang terdiri dari (a)

ukhuwah (persaudaraan), misalnya ketika kawan-kawan Alif berkelahi, Amak memanfaatkan momentum itu untuk mendidik Alif tentang contoh-contoh perilaku yang termasuk dalam nilai-nilai persaudaraan, misalnya mengucapkan salam dan bersikap ramah terhadap sesama (tersenyum); (b) persamaan, misalnya ketika Alif kurang disiplin dalam mengikuti pelajaran Kesenian, Amak memberi nilai tidak bagus, yakni nilai 5 meskipun Alif adalah anak kandungnya sendiri; (c) kebebasan, misalnya para santri di PM dibebaskan dalam mengikuti kegiatan pengembangan bakat masing-masing santri. Demikian pula, para santri juga bebas membaca buku apa saja tetapi tentu dibatasi dengan aturan

bahwa buku yang dibaca harus buku-buku yang bermanfaat; (3) prinsip universalitas (syumul), misalnya para mahasiswa ITB melengkapi ilmu tekniknya yang diperoleh melalui perkuliahan dengan ilmu keislaman dengan cara mengadakan diskusi-diskusi di luar jam perkuliahan., (4) prinsip moderat (al-wasthiyyah), misalnya ajaran keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Alif belajar secara sungguh-sungguh pada malam hari meskipun harus menahan rasa kantuknya. Sementara itu, Alif yang berdoa kepada Allah setelah belajar merupakan bentuk tawakal setelah berikhtiar secara maksimal; (5) prinsip kontekstual (Al-Waqi’iyyah): prinsip ajaran Islam yang bersifat kontekstual benar-benar ditemukan di PM yang direpresentasikan dengan sejumlah mata kegiatan yang dapat membekali para santri untuk menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat baik sekarang maupun yang akan datang; (6) prinsip kejelasan (al-wudhuh): kejelasan dalam tujuan beragama yang utama, yakni hanya untuk beribadah dan mencari ridha Allah dengan penuh keikhlasan.

2. Pesan-pesan tentang aqidah, meliputi: beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Malaikat Allah, beriman kepada Kitab Allah, beriman kepada Rasul Allah, dan beriman kepada

qodho dan qodar Allah. Pesan-pesan tentang ibadah mahdhoh meliputi: wudhu, adzan, shalat, membaca Alquran, dan puasa; ibadah ghoiru mahdhoh meliputi: berdoa, membaca/belajar, sedekah, beristighfar, dan mengajar. Adapun pesan-pesan tentang akhlak meliputi: bersyukur,

menjaga atau menundukkan pandangan, tawadhu’, berbakti kepada orangtua (birrul walidain), meminta maaf dan memaafkan

kesalahan orang lain, berprasangka baik (huznudzon), dan

memuliakan tamu.

4. Pesan-pesan tentang jihad adalah sebagai berikut. Pertama, jihad yang bermakna bersungguh-sungguh atau berjuang keras dalam menuntut ilmu. Dalam hal ini Alif ingin menjadi ulama yang intelek, maka ia bertekat meraihnya dengan ikhtiar maksimal yakni dengan belajar yang sunguh-sungguh dengan semboyan man jadda wajada. Kedua, jihad yang lebih ditekankan pada semangat berhijrah dalam rangka meraih cita-cita. Amak sangat menginginkan anaknya (Alif) menjadi pendakwah dalam pengertian amar ma’ruf nahi munkar, yakni mengajak orang untuk senantiasa berbuat baik dan meninggalkan perilaku yang jahat. Adapun pesan- pesan tentang dakwah sebagai berikut. Pertama, dakwah bil-lisan: ketika liburan para santri PM menjalankan amanah Kiai Rais dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad, yakni

mengamalkan sabda Nabi saw: Ballighu anni walau aayah,

sampaikanlah sesuatu dariku, walau hanya sepotong ayat. Kedua, dakwah bil-hal, yakni dengan berkarya secara nyata atau melakukan suatu perbuatan atau sikap tertentu dengan berpegang teguh pada prinsip dari agama yang diyakini kebenarannya meskipun berbeda dengan sikap atau pendapat orang yang berada di lingkungannya. Dalam hal ini, Amak menolak dan memprotes sikap sebagian besar guru di tempat mengajarnya dimana para guru bersepakat untuk melonggarkan pengawasan ujian dan membantu siswa dalam mengerjakan soal ujian Ebtanas. Sikap dan perbuatan para guru yang tidak terpuji dan menyimpang dari nilai-nilai edukasi ini ditentang oleh Amak secara tegas, meskipun berisiko para guru dapat mengucilkannya.

B. Saran

Kepada para pelajar, mahasiswa, pendidik, dan orang tua hendaknya banyak membaca novel-novel yang mengandung pesan-pesan keislaman karena sangat penting untuk memperkaya wawasan keislaman yang lebih menitikberatkan pada aspek kecerdasan emosional dan spiritual.

Kepada para peneliti hendaknya tidak mengenyampingkan penelitian karya sastra, terutama karya sastra inspiratif yang berisi pesan-pesan keislaman. Oleh

karena dengan meneliti karya sastra inspiratif yang sarat dengan pesan-pesan keislaman tersebut, berarti peneliti telah berperan secara aktif dalam menyebarluaskan ajaran Islam kepada masyarakat luas.

Dokumen terkait