• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.6 Organisasi Sosial Jawa Deli

Organisasi sosial yang terdapat pada kelompok masyarakat Jawa Deli adalah sebuah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat Jawa atau keturunan Jawa yang berada di Sumatera Utara. Organisasi sosial tersebut sifatnya ada yang berbadan hukum dan ada yang tidak berbadan hukum.

Organisasi sosial ini difungsikan sebagai sarana partisipasi masyarakatnya dalam membangun rasa kebersamaan atau solidaritas untuk tujuan-tujuannya yang bersifat sosial kemasyarakatan ataupun politik, dengan mengusung isu-isu pelestarian dan pembangunan kebudayaan Jawa yang mereka bangun bersama melalui forum-forum formal dan non formal, organisasi ini selalu menghadirkan penggunaan simbol-simbol kejawaannya sebagai ciri persatuan keetnisitasannya.

Organisasi sosial yang formal/resmi yang dibentuk oleh sekumpulan orang/masyarakat Jawa di Sumatera Utara memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, yang menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawabnya, serta memiliki kekuatan hukum.

Struktur yang ada juga menerangkan bagaimana bentuk saluran-saluran melalui apa komunikasi berlangsung. Kemudian menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Beberapa organisasi Formal maupun non formal yang ada pada Komunitas Jawa di Sumatera Utara antara lain adalah :

- Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera).

- PAJAR (Paguyuban Jawa Rembug) - PJB (Paguyuban Jawa Bersatu)

- FK WJ ( F o r u m K o mu n ik as i W ar g a J aw a)

- G em a J aw a ( Generasi Muda Jawa) - Ikatan Keluarga Solo

- FMJSU (Forum Masyarakat Jawa Sumatera Utara) - Laskar Joko Tingkir,

- Pendawa (Pemuda Darah Jawa) - SEMAR (Semua Anak Rantau)

- IKJS (Ikatan Kerukunan Jawa dan Sekitarnya) - AREMA (arek-arek Malang)

- Paguyuban KBDIY (keluarga Besar Daerah Istimewa Yogyakarta)

Dari beberapa organisasi sosial tersebut diatas menjadi sumber-sumber kekuatan politik yang mampu membawa perwakilan dari masyarakat keturunan Jawa untuk menjadi pemimpin-pemimpin di beberapa tingkat Desa, Kecamatan, kabupaten kota bahkan menjadi pemimpin di tingkat provinsi.

BAB III

GAMBARAN UMUM SENI PERTUNJUKAN REOG PONOROGO SANGGAR CIPTO BUDOYO PADA KELOMPOK MASYARAKAT JAWA

DI PERBAUNGAN

3.1 Pengertian Seni Pertunjukan Rakyat

Seni pertunjukan (performance art) adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok ditempat dan waktu tertentu. Seni pertunjukan (performance art)biasanya melibatkan empat unsur: waktu, ruang, tubuh si seniman dan hubungan seniman dengan penonton. Seni pertunjukan Indonesia merupakan suatu cabang ilmu Etnomusikologi yang mempelajari berbagai bentuk seni pertunjukan yang ada di Indonesia, baik yang meliputi uraian tentang ciri-ciri dan karakteristik bentuk seni pertunjukan yang ada (meliputi musik,teater, dan lain-lain) baik dalam bentuk representasi tradisi maupun modern.

Menurut Mardianto (1996:67), pertunjukan adalah semua tingkah laku yang dilakukan seseorang didepan orang lain dan mempunyai pengaruh terhadap orang tersebut. Struktur dasar sebuah kesenian pertunjukan meliputi tahapan sebagai berikut :

1. Persiapan pemain atau penonton.

2. Pementasan

3. Apa dampaknya setelah pertunjukan selesai dan apa yang perlu di evaluasi

Hal-hal yang harus ada dalam suatu seni pertunjukan adalah : 1. Waktu pertunjukan yaitu, awal hingga akhir

2. Acara kegitan yang terorganisasi.

3. Kelompok pemain 4. Kelompok penonton 5. Tempat pertunjukan

6. Kesempatan untuk mempertunjukkan

3.2 Pengertian Kesenian Reog Ponorogo

Reog Ponorogo merupakan nama sebuah seni pertunjukan tari tradisional kerakyatan yang menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa (dhadhak merak) yang berukuran: tinggi 240 cm, dan lebarnya 190 cm berwujud kepala seekor macan dengan seekor merak yang bertengger diatasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang disusun menjulang keatas, (jathilan) adalah para penari perempuan yang memerankan sosok prajurit berkuda, (warok) adalah penari laki-laki berbadan gempal berseragam hitam berhias kumis dan jambang yang lebat, (prabu klono sewandono) adalah seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah, berhidung mancung, kumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja, (patih bujangganong) adalah pendamping raja yang juga bertopeng merah dengan hidung besar, mata melotot, mulut lebar dan rambut jabrig.

Menurut Saptika (2010:22) nama asli dari kesenian Reog Ponorogo adalah Reyog. Huruf-huruf Reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat pocung yang berbunyi: (R) rasa kidung (E) engkang sukmo adi luhung

(Y) Yang Widhi, Yang Agung (O) olah kridaning Gusti (G) gelar gulung kersaneng Kang Moho Agung. Kemudian dalam perkembangannya, penulisan nama kesenian ini sedikit dirubah disesuaikan dengan motto dari kota Ponorogo yaitu (R) resik (E) endah (O) ombar (G) girang-gumirang.

Reog adalah salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya.

Reog merupakan sebuah seni pertunjukan tari tradisional yang menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa (dhadhak merak) berwujud kepala seekor macan dengan seekor merak yang bertengger diatasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang disusun menjulang keatas. Kesenian Reog Ponorogo pada umumnya selalu di iringi oleh seperangkat gamelan yang terdiri dari : kendang, sepasang angklung, sepasang kenong dan ketuk, sepasang kempul, gong, selompret, sepasang saron dan demung. Pemakaian instrumen musik dalam mengiringi Reog Ponorogo juga terdapat pariasi lainnya ada yang menambah dengan instrumen perkusi lainnya ataupun menggunakan gamelan secara komplit.

Berdasarkan beberapa catatan legenda Reog juga mengacu pada beberapa legenda atau cerita rakyat Jawa atau yang sering disebut babad, salah satunya adalah babad Prabu Kelono Sewandono. Babad Prabu Kelana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan Reog. Pada cerita ini dikisahkan bahwa Prabu Klono Sewondono dari kerajaan Jenggala ingin meminang seorang Putri yang bernama Dewi Sangga langit dari kerajaan Kediri. Sang putri mau menerima lamaran tersebut asalkan Prabu Swandana memenuhi permintaanya agar bisa memboyong seluruh isi hutan ke istana Kerajaan Kediri. Demi

memenuhi permintaan sang putri, Prabu Sewandono pun segera bergegas pergi kehutan yang dimaksud dengan membawa bala tentara berkudanya dan melaui beberapa pertempuran dengan penunggu hutan, yang bernama Singa Barong yang sangat sakti. Dan akhirnya Prabu Suwandana berhasil memenagkan pertempuran dan berhasil membawa seisi hutan termasuk Singgo Barong sebagai iring-iringan mas kawinya.

Cerita rakyat yang lain tentang asal usul kesenian Reog Ponorogo juga mengisahan tentang hal yang tidak jauh berbeda, dikisahkan bahwa pada Kerajaan Kediri-Daha dengan rajanya yang sudah tua bernama Sri Gentayu, mempunyai dua orang anak yaitu seorang putri bernama Dewi Sanggalagit dan seorang putra bernama Raden Pujangga Anom. Sang raja ingin menyerahkan tahta kepada anak laki-lakinya, akan tetapi keinginan itu ditolak karena sang putra merasa belum mampu untuk naik tahta dan ingin memperdalam ilmu lagi sebelum naik tahta. Penolakan itu menyebabkan sang raja luar biasa marah, sehingga pada suatu malam sang putra melarikan diri sampai ke lereng gunung Lawu. Di situ dia berteman dengan saudara satu perguruan bernama Prabu Klono Sewandono yang sama-sama berguru pada seorang pertapa di gunung Lawu. Prabu Klana Sewandana adalah seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang sakti mandraguna, memiliki senjata berupa cambuk bernama Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading. Bujangganong akhirnya diajak ke kerajaan Bantarangin dan dijadikan patih.

Di kerajaan Bantarangin pada masa itu diceritakan sedang terjadi masa suram yaitu paceklik yang berkepanjangan. Menurut nasehat pendeta, kesusahan

ini bisa berakhir apabila sang raja segera kawin dengan putri dari kerajaan Kediri.

Maka diutuslah Pujangga Anom untuk melamar putri dari Kediri. Sesampainya di Kediri, raja Sri Gentayu terkejut mengetahui maksud Pujanga Anom untuk melamar sang putri bagi rajanya. Pada saat itu Pujangga Anom menyamar dengan memakai topeng berwajah raksasa. Raja tidak percaya, karena kalau patihnya berwajah raksasa, demikian juga dengan rajanya. Karena ketidak percayaan sang raja, maka Bujangganong terpaksa mengaku bahwa dia adalah putra raja. Raja tidak percaya dan mengutuk Bujangganong menjadi raksasa, kutukan menjadi kenyataan sehingga berubah menjadi berwajah raksasa dan tidak bisa kembali ke bentuk semula. Atas kejadian itu, sang raja menyesal dan akhirnya meneriman lamaran tersebut, akan tetapi dengan tiga syarat, yaitu calon pengantin harus diiringi harimau dan hutan lainnya untuk mengisi taman. Kedua harus dicarikan gamelan yang di dunia belum pernah ada. Ketiga, diberikan persembahan berupa manusia yang berkepala harimau. Usai mendengar permintaaan itu, Bujangganong kembali ke Wengker menyampaikan hasil yang didapat untuk diberitahukan dan dibicarakan dengan Prabu Klono Sewandono. Sepeninggal Bujangganong, kerajaan Kediri didatangi oleh Singalodra dengan maksud yang sama. Raja dan putrinya tidak suka dan sebetulnya menolak, akan tetapi penolakannya disampaikan untuk tidak sampai menyinggung Singalodra, yaitu berterus terang bahwa sang putri sudah dilamar oleh raja dari Bantarangin. Oleh karena itu, apabila Singalodra dapat mengalahkan Prabu Klono Sewandono dengan bala tentaranya, maka lamarannya bisa diterima. Singalodra menyetujui hal itu dan menghadang di tengah hutan Roban yang menjadi perbatasan antara

Bantarangin dengan Kediri. Persyaratan yang diajukan membuat pihak Prabu Klono Sewandono keberatan, akan tetapi Bujanganong bersedia untuk melengkapi persyaratan itu. Maka berangkatlah Bujangganong ke hutan Roban yang atas kesaktiannya mampu mengumpulkan seluruh hewan dalam sekejab. Syarat kedua dibuatlah gamelan yang berasal dari bambu bernada pentatonis, sedangkan syarat ketiga akan dicarikan kemudian. Rombongan dari Bantarangin berangkat ke Kediri dan sesampai di hutan Roban dihadang oleh Singalodra. Terjadilah perang antara prajurit dari Bantarangin melawan Singalodra yang dimenangkan oleh pasukan dari Bantarangin. Singalodra masih juga mau melawan dengan menjelma menjadi harimau. Dengan dicambuk oleh senjata Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading, hilanglah segala kesaktian dan kekuatan Singalodra. Dia memohon ampun dan menyerah kalah, namun tubuhnya tidak bisa berubah menjadi manusia lagi. Prabu Klono Sewandono berusaha menyembuhkan, akan tetapi tidak berhasil dengan sempurna, sehingga hanya badannya saja yang bisa kembali menjadi manusia dan kepalanya tetap harimau. Justru dengan demikian, tiga persyaratan yang diajukan oleh Raja Kediri menjadi terpenuhi. Rombongan meneruskan perjalanan ke Kediri untuk melamar sang putri. Iring-iringan yang menjadi persyaratan putri Kediri ini akhirnya menjadi satu bentuk kesenian yang disebut Reog Ponorogo.

Pada dasarnya legenda tentang kesenian Reog Ponorogo ini telah dijadikan acuan oleh masyarakat pendukungnya, bahkan masyarakat Jawa Deli yang ada di Sumatera Utara juga memedomani legenda ini sebagai hal yang dipercaya sebagai asal-usul kesenian Reog Ponorogo.

3.3 Gambaran Umum Kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo di Perbaungan Sanggar Cipto Budoyo di Kecamatan Perbaungan adalah sebuah sanggar yang bergerak dalam bidang kesenian tradisional Jawa sejak tahun 2014.

Keberadaanya di perbaungan menurut bapak Guntoro48 (wawancara 23 januari 2019) awalnya beliau mulai merintis menghidupkan kesenian Jawa sejak tahun 2014 dengan berbekal keahlian seni tari Jawa yang didapat dari lingkungan keluarga. Beliau adalah anak kedua dari seorang ibu yang berpropesi sebagai seorang penari jawa. Keahliannya dalam menari dan bermain karawitan didapatkan dari kakeknya yang juga seorang empu kebudayaan jawa di Sumatera Utara. nama Cipto budoyo bukanlah nama yang baru tetapi meneruskan kembali nama sebuah sanggar yang dulu pernah ada di Medan dan dipimpin oleh kakek beliau yang bernama mbah Sari. Sanggar ini telah lama pakum sejak kematian kakek dan ibunya ditahun 1990-an. Atas keinginan dan keuletannya yang kuat, akhirnya beliau berhasil menghimpuan kekuatan dan menghidupkan kembali sanggar Cipto Budoyo di daerah Perbaungan.

Eksistensi sanggar ini juga didukung oleh warga Jawa sebagai masyarakat pendukungnya dan juga didukung oleh bapak Bupati Serdang Bedage yaitu bapak Haji Sukirman. Murut bapak Guntoro (wawancara 23 januari 2020) bahwa sanggar ini telah beberapa kali mendapat suntikan dana dan bantuan sumbangan perlengkapan kesenian jawa seperti instrumen musik dan kostum yang butuhkan.

Sumbangan tersebut bukan didapatkan begitu saja, tetapi karena keaktipan dan keseriusan sanggar ini yang dipandang layak untuk mendapatkannya. Hal ini

48 Guntoro adalah pimpinan sanggar Cipto budoyo

dibuktikan dengan keaktipan sanggar ini dalam menyelanggaran pertunjukan baik secara mandiri maupun atas undangan beberapa pihak baik instansi pemerintah maupun pihak suwasta dari dalam kabupaten maupun diluar kabupaten Serdang Bedage itu sendiri.

Sejak tahun 2014 hingga saat ini sanggar Cipto Budoyo telah banyak memperoleh prestasi, sehingga dalam hal ini menjadi satu catatan yang bagi Bupati Serdang Bedage untuk mendapat perhatian yang khusus. Berbagai evant kebudayaan yang telah mereka ikuti, diataranya meliputi berbagai pestival kebudayaan yang ada di Sumatera Utara hingga ke propinsi Aceh dan Riau. Selain itu setiap bulan mereka selalu medapat undangan untuk pentas pertunjukan Reog Ponorogo dari mulai acara resepsi pernikahan, sunatan dan acara ritual kebudayaan Jawa lainnya dan perayaan hari-hari besar lainnya. Untuk undangan pementasan yang mereka yang meliputi kampung-kampung tempat tinggal orang jawa yang ada di sekitar desa-desa di kecamatan Serdang Bedage, Deli serdang, Simalungun, Asahan, Medan, Binjai, Langkat hingga daerah-derah lainya. Selain itu sanggar Cipto Budoyo juga sering di undang dalam perhelatan kebudayaan dikampus-kampus besar yang ada di Sumatera Utara Seperti Unimed, UMSU bahkan instansi pemerintah lainnya seperti Taman Budaya Sumatera Utara, dinas pariwisata dan yang lainya.

Sanggar Cipto Budoyo memiliki anggota tetap sebanyak 15 orang anggota tetap 10 orang anggota tidak tetap. Sanggar Cipto Budoyo dalam melaksanakan pertunjukannya, selain di dukung oleh anggota tetap di dukung juga oleh anggota tidak tetap yang berasal dari sanggar-sanggar lainya. Anggota tidak tetap berasal

dari sanggar lain seperti : sanggar Langen Boyo dari Marelan Deli Serdang, sanggar Senterewe dari Perbaungan, dan sanggar-sanggar lain. Sangar Cipto Bodoyo sendiri juga sering membantu sanggar-sanggar lain bila dibutuhkan bantuannya. Diantara sesama sanggar yang ada dalam hal ini saling tolong-menolong bila mereka kekurangan anggota ketika melakukan pertunjukan.

Pada umumnya masyarakat Jawa pendukung kesenian Reog Ponorogo di Kecamatan Perbaungan dan derah lain merasa sangat senang dengan adanya kesenian Reog ini. Menurut hasil wawancara dari bapak Kliwon49 (wawancara 12 September 2019) memaparkan keberadaan kesenian Reog Ponorogo sangat disenangi oleh masyarakat dari mulai yang berusia sangat muda hingga orang tua.

Hal ini dibuktikan dengan selalu ramainya masyarakat yang ikut mononton bila ada pertunjukan Reog di kampung mereka. Salah contohnya adalah ketika perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17-8-2019 yang lalu.

Di kampung saya mengundang kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo pimpinan Mas Guntoro, penontonnya sangat ramai sekali, apa lagi ketika Reog melakukan pawai atau arak-arakan mengelilingi kampung, seluruh masyarakat juga ikut pawai mengirirngi Reog dengan sangat antusias. Hal ini sangat embuktikan bahwa kesenian tradisional ini masih cukup dicintai oleh masyarakat Jawa maupun masyarakat etnis lainnya.

49 Bapak Kliwon adalah seorang pengamat dan pemerhati kesenian Reog Ponorogo dari kecamatan pantai cermin

Gambar 3.1 Pawai Reog Ponorogo dalam perayaan hari kemerdekaan Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Dari dokumentasi yang diambil dilapangan penelitian diatas jelas terlihat bahwa eksistensis kesenian Reog Ponorogo masih mendapat tempat dihati para pendukung kesenian tersebut.

Menurut bapak Guntoro Sanggar Cipto budoyo dalam sekali melakukan pertunjukan akan memperoleh bayaran uang taggapan sekitar dua juta Rupiah hingga lima juta Rupiah. Hal ini tergantung dengan permintaan menu yang akan ditampilkan den disesuaikan dengan kemampuan pembayaran si penanggap. Jika ada salah seorang anggota yang ingin mengundang maka biasanya mereka hanya di kenakan biaya sekedernya hanya untuk biaya uang cuci pakaian Reog saja.

Selain uang yang di peroleh dari si penganggap tidak jarang pertunjukan reog ini mendapatkan uang tambahan dari penonton yang memberikan tips (saweran) ketika pertunjukan sedang berlangsung. Dalam hal pembagian honor setiap

pemain akan memperoleh bagian sesuai dengan tugas dan perannya masing-masing. Masing-masing pemain akan memperoleh bayaran sekitar dua ratus ribu rupiah hingga tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Menurut Sandri50 salah seorang anggota tetap Cipto Budoyo (wawancara 13 Oktober 2019) menuturkan bahwa dalam berkesenian ini bukanlah semata-mata ingin memperoleh uang, tetapi hal yang lebih dianggap penting adalah sebagai salah satu kewajiaban tradisi dan sebagai kesenangan bisa ikut mengembangkan kebudayaan jawa sebagai peninggalan leluhur mereka.

3.4 Unsur Pendukung Kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo

Sanggar Reog Ponorogo Cipto Budoyo memiliki unsur perlengkapan pertunjukan yang dapat dikatan cukup lengkap, dari mulai peralatan musik dan peralatan pertunjukan lainnya dimiliki dan diperoleh secara mandiri dan juga sumbangan dari Bupati Serdang bedage. Selanjutnya pada bagian berikut dibawah ini akan dibahas unsur-unsur pendukung pertunjukan Reog Ponorogo yang ada di sanggar Cipto Budoyo.

3.4.1 Unsur pelaku atau pemain Reog Ponorogo Cipto Budoyo

Unsur pelaku kesenian Reog Ponorogo dalam hal ini terdiri dari masyarakat Jawa Deli yang notabennya adalah para keturunan kuli kontrak perkebunan Deli dari Kecamatan Perbaugan dan sekitarnya. Pada dasarnya para pelaku Reog kebanyakan bukanlah berasal dari sekolah kesenian formal tetapi dari sanggar-sanggar seni yang ada. Mereka berkumpul dan berinisiasi melakukan

50 Sandrik gareng adalah salah seorang seniman senior Reog Ponorogo yang memahami seluk beluk kesenian Reog di kecamatan Perbaungan.

praktek kesenian Reog secara bersama-sama. Pada awalnya kesenian Reog merupakan kesenian rakyat yang disajikan dalam bentuk tarian bebas dilakukan secara arak-arakan di sepanjang jalan atau tanpa ruang tempat tertentu, tetapi pada perkembangannya mulai dilakukan pertunjukan di suatu lapangan atau panggung tertentu. Berikut adalah komposisi pelaku Kesenian Reog Ponorogo yang meliputi

1. Kelompok pengawal

Kelompok ini terdiri dari tiga sampai empat orang yang berjalan paling depan dan berfungsi sebagai pembuka jalan. Komando serta seluruh tanggung jawab berada di tangan mereka. Sikap yang ditunjukkan kelompok ini angkuh dan tegas.

2. Kelompok pendamping

Kelompok ini bertugas menjaga barisan penari Reog disamping kanan dan kiri. Kelompok ini mempunyai anggota yang seimbang dengan jumlah kelompok pengawal. Tugasnya memelihara situasi atau keamanan dan menentukan hidupnya pertunjukan.

3. Kelompok penari

Penari Reog terdiri dari: penari Singobarong (Pembarong), penari Bujangganong (Ganongan), penari Kuda Kepang (Jathil), kadang disertai dengan penari Potrojoyo atau Penthul dan Potrotholo atau Tembem.

4. Kelompok pemain alat musik atau penabuh gamelan

Kelompok ini berada di belakang kelompok penari. Anggotanya terdiri dari : seorang pengendang, seorang penyelompret, seorang penipung, seorang pengempul, 2 orang pengenong, 4 orang pengangklung, dan 2 orang pemikul ungkek (alat bergantungnya kempul)

5. Kelompok pengiring

Kelompok ini berbaris paling belakang dengan jumlah anggota yang tidak terbatas. Kelompok ini disamping bertugas sebagai pembantu keamanan juga berfungsi sebagai kelompok yang membantu hidupnya pertunjukan seperti halnya kelompok pendamping. Pada saat-saat tertentu, kelompok ini juga ikut menari, menyanyi, dan bersorak, yang kadang-kadang diikuti oleh penonton yang ada pada saat pertunjukan.

Unsur-unsur pemain dalam kesenian Reog ditampilkan secara lengkap.

Adapun unsur-unsur pelaku atau pemain Reog sanggar Cipto Budoyo meliputi :

1. Klono Sewandono ( satu orang ) 2. Warok Tua ( satu orang )

3. Warok Muda ( satu orang) 4. Jathil ( 4 sampai 8 orang)

5. Bujangganong/ Ganongan ( dua orang) 6. Pembarong ( dua orang)

7. Pengrawit ( pemain gamelan delapan orang)

3.4.2 Unsur kostum atau pakaian pemain Reog Ponorogo Cipto Budoyo

Pada dasarnya, kostum pemain Reog tersebut masih berkembang sampai sekarang. Tetapi khusus Kostum yang digunakan masing-masing pemain Reog disanggar Cipto Budoyo adalah sebagai berikut :

1. Kostum penari jathil

Penari jathil merupakan penokohan pasukan berkuda dari Kerajaan Bantarangin. Kostum yang digunakan meliputi: ikat kepala hitam, kemeja warna putih lengan panjang, jarit loreng putih, celana bordir sepanjang lutut dasaran hitam, samir, sabuk warna merah, sabuk epek dasaran hitam, dan dua sampur warna merah dan kuning.

2. Kostum penari bujangganong

Penari bujangganong adalah penokohan dari patih Kerajaan Bantarangin yang ditugaskan oleh Klono Sewandono untuk memimpin lamaran ke Kerajaan Kediri. Pakaian dan tata rias dari Bujanganong adalah sebagai berikut : kaos lorek warna merah-putih, celana sepanjang lutut seret merah-kuning samping kanan-kiri dan bawah, serta embong gombyok.

3. Kostum pembarong

Pembarong atau penari singobarong adalah tokoh yang jahat, menghalangi perjalanan bujangganong untuk melamar putri Sekartaji.

Pakaian dan kostum yang digunakan meliputi: ikat kepala hitam, baju

kimplong warna merah polos, celana panjang warna hitam seret merah samping kanan-kiri, sabuk warna hitam, dan embong gombyok.

4. Kostum warok tua

Warok tua merupakan sesepuh atau pemimpin kelompok warok.

Warok tua memakai kostum sebagai berikut : ikat kepala modang batik pinggir jilit Ponoragan, baju waktung warna hitam, baju dalam warna putih, jarit latar ireng, sabuk ubet cinde dasaran merah, sabuk epek timang dasaran hitam, keris gabelan, celana panjang gejikan Ponoragan warna hitam, kolor putih panjang 2 atau 3 m, tongkat, sandal kosek.

5. Kostum warok muda

Kostum yang digunakan warok muda adalah: ikat kepala hitam (gadung) mondolan, baju waktung warna hitam, jarit latar ireng, sabuk ubet cinde dasaran merah, sabuk epek timang dasaran hitam, keris gabelan, celana panjang warna hitam kombor Ponoragan, kolor warna putih panjang 2 atau 3 m.

6. Kostum klono sewandono

Klono Sewandono merupakan tokoh raja yang gagah dan tampan.

Tokoh Klono Sewandono memiliki perwatakan yang keras, mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi. Mempunyai senjata yang ampuh, dikenal dengan pecut samandiman. Kostum yang digunakan : probo, uncal, ikat bahu, keris blangkrak berhias ronce bunga, jarit loreng putih parang barong, sabuk cinde dasaran merah, sabuk epek dasaran merah, dua