• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Teori dan Kerangka Konseptual

1.5.1 Teori

1.5.1.1 Teori seni pertunjukan

Persoalan-persoalan seni yang merupakan bagian dari pembahasan estetika seni, tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni (hasil atau produk) dan wujud seninya saja, tetapi juga aktifitas-aktifitas yang melatar belakangi manusia atas produk seni tersebut. Teori estetika, dengan kepustakaannya sejak masa plato mencoba menjawab pertayaan tentang keindahan dan nilai seni. Aneka jawaban yang diberikan oleh para filsuf berbeda-beda berdasarkan cara pandangnya masing-masing. Ada yang dengan mendekati pemahaman hakikat

14 Engkus Kuswarno 2013, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, konsepsi, pedoman dan contoh penelitian, Widya Padjadjaran, hal 108.

seni dari kualitas yang dikandung benda seni yang ideal, ada pula yang mencoba menjelaskannya dari sudut penciptanya yakni senimannya, ada yang mendekatinya dari publik seninya atau penikmat seni, dari konteks sosio budaya seninya dan dari berbagai pandangan-pandangan lainya. Pada dasarnya pandangan pandangan tersebut bersifat lebih dapat melengkapi dalam menjawab persoalan-persoalan yang dipertanyakan dalam persoalan-persoalan seni tersebut.

Pandangan Sumarjo (29;2000)15 mengemukakan tentang 3 konsep pemikiran dalam melihat sebuah kesenian 1) pemikiran tentang produk benda seni dan wujud seni disebut sebagai estetika morfologi (estetika bentuk), 2) pemikirannya tentang pembuat benda seni dinamai estetika psikologi. Khusus pengguna karya seni disebut aksiologi estetik, yakni efek seni pada manusia.

Dengan demikian menurutnya hanya ada tiga pokok persoalan seni, yakni seniman sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni itu sendiri, dan penerima seni. Selanjutnya dari setiap instansi tadi akhirnya berkembang pokok-pokok baru, yakni dari benda seni muncul pokok-pokok soal nilai seni dan pengalaman seni, sedangkan dari masalah seniman seni akan muncul pokok konteks budaya seni. Dengan demikian, terdapat enam pembahasan pokok dalam wacana seni, yakni; 1) Benda seni, 2) Pencipta seni, 3) Publik seni, 4) Konteks seni, 5) Nilai-nilai seni, 6) Pengalaman seni.

- Benda seni

Pokok persoalan seni sebenarnya karya seni yang berwujud konkret yang terindera dan teralami oleh manusia. Tanpa lahirnya benda seni tak

15 Jakob Sumarjo 2000. Filsafat Seni.

mungkin muncul persoalan-persoalan seni di atas. Seni terwujud berdasarkan medium tertentu, baik yang didengar (audio) maupun yang dilihat (visual) dan gabungan keduannya (seni audio visual). Ini akan melahirkan bidang seni tertentu misalnya seni visual (seni rupa, seni patung, seni arsitektur) dan seni audio (seni musik dan sastra) dan seni audio visual (seni teater atau drama, seni tari, seni film). Dalam persoalan benda seni ataupun karya seni ini biasanya juga dipermasalahkan apakah suatu karya seni merupakan peniruan kenyataan (mimesis) atau merupakan ekspresi jiwa seniman. Benda seni juga mempermasalahkan analisis bentuk seni dan isi seni.

- Pencipta seni (seniman).

Persoalan seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas, ekspresi, dan representasi. Akhir-akhir ini juga dipermasalahkan apakah pencipta seni ini berjenis kelamin wanita berbeda dengan yang berjenis kelamin pria. Dalam soal seniman dengan sendirinya juga dipermasalahkan pribadi seniman, yang tercemin dalam aneka karyanya dan ini menimbulkan soal gaya atau style dalam seni. Perdebatan mengenai pentingnya atau tidaknya mengetahui maksud seniman dalam karyanya bermula dari pokok soal pencipta seninya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persoalan motif, alasan dan tujuan apa seni itu diwujudkan dari pencipta seninya.

- Publik seni.

Seni bukan hanya masalah penciptaan karya seni, tetapi juga soal publik sebagai penikmatnya. Bagaimana seni mampu berkomunikasi dengan orang lain adalah persoalan seni ditengah-tengah publiknya. Suatu ciptaan disebut seni bukan oleh senimannya, tetapi oleh masyarakat pendukung seni dan masyarakat umumnya. Seni juga merupakan pengakuan umum. Seniman disebut seniman oleh masyarakatnya karena status yang diperjuangkan. Komunikasi seni dengan publiknya mengenai nilai-nilai seni menjadi persoalan seni dengan publiknya, hal didalamnya akan dipersoalkan bagaimana empati, wacana seni, nilai estetik, apresiasi seni, kritik seni dan institusi seni dalam masyarakat. Untuk persoalan ini sangatlah berperan bantuan kajian dari disiplin ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, dan antropologi.

- Nilai seni

Dengan cara ekstrem, filsuf seni Benedetto Croce mengatakan bahwa karya seni atau benda seni tidak pernah ada, sebab seni ada didalam jiwa manusia dan hanya ada dalam jiwa setiap penanggapnya. Persoalanya tentang seni sebenarnya adalah persoalan nilai-nilai tadi hingga dalam filsafat, kajian seni dikategorikan dalam kelompok kajian tentang nilai, sejajar dengan estetika dan logika.

Nilai selalu berhubungan dengan norma-norma yang esensial, juga dengan kepentingan (interest) yang sifatnya sangat kontekstual, dan dengan kualitas yang amat pribadi. Kandungan nilai benda seni yang

menyangkut kualitas seni itu sendiri, bersifat kontekstual dan esensial-universal (Sumardjo 29 ; 2000)16, karena seni juga menyangkut nilai-nilai setempat dan sezaman (kontekstual), maka pemahaman seni amat erat hubungannya dengan konteks zaman tersebut. Inilah sebabnya terdapat sejarah seni, dan setiap zaman memiliki fahamnya sendiri tentang apa yang disebut seni dan yang bukan seni (dalam arti seni yang kurang bermutu menurut zamannya).

Persoalan akan menjadi rumit ketika dalam suatu tempat dan zaman sebuah masyarakat terbagi-bagi menjadi berbagai kelompok nilai dasar (menurut idelogi sosialnya) apa yang dihargai oleh suatu kelompok sebagai bernilai tertinggi, oleh kelompok lain justru tak dianggap berharga.

Begitu pula dalam soal nilai seni. Ada benda seni yang dalam suatu kelompok sosial disanjung sebagai bernilai seni, oleh kelompok lain diabaikan saja, dianggap bukan bagian dari keseniannya. Persoalan dalam konteks seni adalah persoalan tentang anutan nilai-nilai dasar kelompok dalam suatu masyarakat.

- Pengalaman Seni

Hakikat seni adalah pengalaman seni itu sendiri. Seni dikomunikasikan sebagai penyampaian imformasi tentang sesuatu yang dipikirkan oleh penciptanya berdasarkan atas apa yang dirasakan berdasarkan latar kehidupannya. Komunikasi seni adalah komunikasi nilai-nilai pengalaman hidup yang berkualitas, baik kualitas perasaan maupun

16 Ibid hal 29

kualitas medium seni itu sendiri. komunikasi seni adalah komunikasi pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi, dan intuisi. Pengalaman seni berlangsung dalam proses yang berkaitan dengan ruang dan waktu, kapan dan dalam situasi apa dia berlangsung.

Pengalaman seni bukan hanya menyangkut hubungan antara karya seni dengan publik seni, tetapi juga pengalaman seni si seniman itu sendiri.

Dalam analisis pengalaman seni diperkenalkan pula pengalaman artistik, empati, jarak estetik, ketidak tertarikan, serta unsur dan struktur pengalaman seni (Sumarjo 37 : 2000)17

- Konteks Seni

Seni merupakan sebuah kesepakatan bersama masyarakat pendukungnya. Seni juga merupakan konsep yang mendapat kesepakatan masyarakat pada masing-masing jamannya. Persoalan seni juga akan melekat diberbagai kondisi sosial dimana seni itu berlangsung. Dengan demikian, hakikat seni pada kontektualnya tak dapat dipisahkan dari ideologi sosial, masalah tradisi seni, dan sejarahnya, akulturasi budaya seni, seni dan ekonomi, seni dan politik, seni dan elit budaya, masalah seni kekinian, seni populer dan setrusnya. Persoalan konteks seni juga berkaitan dengan persoalan nilai seni terkait dengan konteks seni pada masyarakat pendukungnya (Sumarjo 32:2000).

Persoalan seni ternyata melibatkan berbagai pokok tinjauan satu sama lain yang amat berkaitan. Persoalan benda seni akan melibatkan pembicaraan tentang

17 Ibid hal 32

seniman, nilai-nilai dan pengalaman seni yang diperoleh, sedangkan persoalan nilai-nilai akan berkaitan dengan publik seni dan konteks sosial budaya.

Kesenian Reog Ponorogo adalah seni pertunjukan yang sarat dengan pesan-pesan sosial menyangkut berbagai hal tentang kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat seperti yang telah dijelaskan estetika seni di atas.

Berhubungan dengan hal tersebut Murgianto mengatakan pertunjukan seni adalah sebuah komunikasi yang di lakukan satu orang atau lebih, dalam hal ini pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan (publik seni), dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas (Murgianto 1996:156)18.

Pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan ruang dan waktu, dan mempunyai bagian awal, tengah, dan akhir (Sechner:1998). Sejalan dengan pendapat tersebut Sediyawati mengutarakan bahwa seni pertunjukan dibagi ke dalam dua kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan sebagai tontonan, di mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton saling berhubungan satu sama lain (Sedyawati 2012)19.

Selain itu untuk menjawab keterkaitan tentang persoalan hubungannya dengan masyarakat pendukungnya dan persoalan keadatan ataupun ritual tradisi kesenian dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Brandon dan Soedarsono

18 Murgianto, Sal. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius

19 Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah.

Jakarta: Rajagrafindo.

yang menjelaskan bahwa beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di Indonesia, ialah: 1) Pemanggil kekuatan gaib, 2) Penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan, 3) Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, 4) Peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya, 5) Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang, 6) Pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu, 7) Perwujudan dari pada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata, 8) Sebagai ritual kesuburan, 9) Memperingati daur hidup manusia sejak kelahiran hingga ia mati, 10) Mengusir wabah penyakit, 11) Melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, 12) Sebagai hiburan pribadi, 13) Sebagai representasi estetis (tontonan), 14) Sebagai media propaganda, 15) Sebagai penggugah solidaritas sosial, 16) Sebagai pembangun integritas sosial, 17) Sebagai pengikat solidaritas nasional, 18) Sebagai alat komunikasi, dan sebagainya (1999:1-2). Pendapat ini digunakan dalam memeriksa dan melihat kembali seperti apakah pertunjukan Reog itu berfungsi pada kelompok masyarakat pendukungnya.

Selanjutnya hal diatas juga diperkuat oleh pendapat Pavis dalam Takari dan Heristina (2008:10-11)20 menyusun daftar pertanyaan yang lebih luas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu ialah yang mencakup : (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi : (a) unsur-unsur apa yang rnendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e)

20 Takari, Muhammad dan Heristina Dewi. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press.

kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan : (2) skenografi, yang meliputi : (a) bentuk ruang pertunjukan mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya, (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama : (3) sistem tata cahaya;

(4) properti panggung : tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain : (5) kosturn : bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain : (6) pertunjukan : (a) gaya individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pernain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan : (7) fungsi musik dan efek suara : (8) tahapan pertunjukan:(a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kosturn, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba : (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan : (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya : (10) teks dalarn pertunjukan : (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji : (11) penonton : (a) dimana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan

terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan rnakna-makna : (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apa yang menjadi fokus : (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan : (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan. Secara teoritik pendapat para ahli diatas dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir yang melandasi bagaimana persoalan yang ada dalam penelitian tentang struktur pertunjukan Reog sebagai sebuah kesenian kerakyatan dapat ditelaah dengan tajam dan mendalam.