• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pacu Sampan Leper | Sampan Leper Race

Dalam dokumen annual report astra 2014 (Halaman 112-116)

Fadli suwandi

Pemenang Lomba Foto astra 2014 Winner of 2014 astra Photo Contest

Overview

Tinjauan Umum

Disisi lain, perekonomian Eropa, Jepang, Tiongkok, dan negara berkembang lainnya masih mengalami perlambatan. Untuk kawasan Asia, perekonomian Tiongkok untuk tahun ketiga secara berturut-turut, menunjukan penurunan dan hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 7,4% di tahun 2014. Demikian juga Jepang yang masih belum sepenuhnya lepas dari bayang- bayang resesi, sekalipun beberapa kebijakan stimulus ekonomi telah dilaksanakan. India dilain pihak mulai menunjukan perbaikan dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi lebih besar dari tahun sebelumnya.

Kondisi perekonomian yang masih lemah dari beberapa negara tersebut membuat permintaan produk komoditas primer Indonesia melemah, mengakibatkan defisit perdagangan melebar. Salah satu penyumbang defisit adalah neraca energi, yakni kebutuhan impor BBM, yang menyebabkan subsidi membengkak. Pemerintah pada akhirnya menyesuaikan harga BBM di bulan November dengan konsekuensi meningkatnya laju inflasi, yang membuat Bank Indonesia mempertahankan kebijakan uang ketat.

Tingkat inflasi pada akhir tahun 2014 berada pada level 8,36%, hanya sedikit lebih rendah dari 8,38% pada tahun 2013. Penyesuaian harga BBM dan penyesuaian tarif dasar listrik menjadi penyebab utama terhadap naiknya inflasi tersebut. Indikator makro ekonomi lainnya menunjukan trend berikut; tingkat bunga acuan berada pada level 7,75%, naik dari posisi 7,50% diakhir tahun 2013, cadangan devisa per akhir Desember 2014 sebesar US$ 111,9 miliar serta kurs rupiah berada pada level Rp 12.440/US$, melemah 2,06% dari Rp 12.189/US$ pada akhir tahun 2013.

Sehingga secara keseluruhan, tahun 2014 masih merupakan tahun konsolidasi bagi perekonomian Indonesia. Dengan ekonomi yang tumbuh 5,02%, Indonesia masih lebih baik dari Singapura (2,83%) dan Korea Selatan (3,30%). Selain itu, tingginya permintaan domestik tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

In other parts of the world, the economies of countries in the Eurozone, Japan, China and others were decelerating. In Asia, for the third consecutive time, China’s economy slowed and grew by only 7.4% in 2014. In Japan, the threat of recession remained imminent despite the country’s economic stimulus policies. In the meantime, India was one of the countries that showed improved growth and recorded higher growth levels than the preceding year.

Affected by the less favorable situation in some of these countries, demand for Indonesia’s primary commodities slumped, which caused deficit in Indonesia’s trade balance. This was attributed to, among other things, the energy sector, where fuel imports jumped and subsidies escalated. In November, the Government of Indonesia adjusted fuel prices and consequently inflation rose. Bank Indonesia exerted control over the situation by applying a stringent money policy.

Inflation at the end of the year stood at 8.36%, only slightly lower than 8.38% when 2013 closed. Changes in fuel prices as well as in electricity tariffs were the main and underlying causes that drove the inflation hike. Meanwhile, macro-economic indicators showed the following trend: the benchmark interest rate stood at 7.75%, up from 7.50% at the end of 2013; foreign exchange reserves as of the end of December 2014 stood at US$ 111.9 billion; and the rupiah against the US dollar was at Rp 12,440 per dollar, weakening by 2.06% from Rp 12,189 per dollar at the end 2013.

In general, 2014 was a year of consolidation for Indonesia’s economy. Growing at 5.02%, Indonesia still outperformed Singapore (2.83%) and South Korea (3.30%). In addition, domestic demand remained as the backbone of Indonesia’s economy.

Pelemahan pertumbuhan tersebut juga menunjukan masih lemahnya kondisi fiskal nasional, ditandai dengan masih tingginya defisit neraca perdagangan dengan penyebab utama adalah besarnya subsidi energi yang totalnya mencapai angka di atas Rp 400 triliun. Di sisi moneter, langkah BI mempertahankan kebijakan uang ketat secara terukur, membuat perbankan Indonesia memiliki fundamental yang kuat, dengan rata-rata CAR perbankan sekitar 18%, jauh di atas ketentuan minimal sebesar 8%. Jumlah kredit bermasalah juga berada dikisaran 2%, dibawah ketentuan maksimal 5%.

Untuk tahun 2015, tantangan yang dihadapi Indonesia akan semakin besar. Selain persoalan nilai tukar, beberapa persoalan mendasar yang harus dipecahkan adalah pengendalian tingkat inflasi, perbaikan neraca perdagangan dan peningkatan investasi. Sebagai upaya menekan deficit trade balance, menekan inflasi, dan menjaga stabilitas nilai kurs Rupiah Bank Indonesia diperkirakan akan tetap menerapkan kebijakan tight money policy yang telah dijalankan selama tahun 2014. Kebijakan ini ditempuh sebagai langkah antisipasi tekanan dari faktor eksternal, seperti potensi kenaikan suku bunga The Fed, yang tampak dari peningkatan US Treasury Yield dan penguatan mata uang Dollar, yang dapat mendorong investor untuk memindahkan investasinya dari emerging market (termasuk Indonesia) ke Amerika Serikat.

Hal yang membesarkan hati adalah tingginya indeks kepercayaan konsumen terhadap pemerintah baru. Beberapa program utama yang telah direalisasikan di akhir tahun, diantaranya program pengalihan subsidi BBM untuk membiayai kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kapasitas produksi, termasuk sarana transportasi, ketenagalistrikan dan telekomunikasi, dan kebijakan yang jelas untuk merealisasikan peningkatan produksi.

However, what Indonesia’s lower growth reflected was in fact the weak state of national fiscal conditions, marked by the large deficit in the trade balance mainly caused by energy subsidies that amounted to over Rp 400 trillion. On the monetary side, Bank Indonesia’s decision to apply a rigorous and measurable monetary policy helped to bolster the base of Indonesian banks, as shown by an average CAR of 18%, far above the 8% minimum requirement. Further, non-performing loans stood at around 2%, lower than the maximum 5%.

As we move into 2015, the challenges will be even greater for Indonesia. Aside from currency issues, there are other fundamental problems that the country needs to address such as inflation, the trade balance and investment. To reduce the trade balance deficit, control inflation and maintain currency rates at a favorable level, Bank Indonesia is expected to continue its tight monetary policy that it started in 2014. The policy was necessary to anticipate external pressure such as higher interest rates from the Federal Reserve, as signalled by an increase in US Treasury yields and the strengthening of the US dollar – conditions that may encourage investors to move their investments from the emerging markets (that include Indonesia) to the United States.

However, the level of consumers’ trust in the new government of Indonesia indicates a new hope. An important step was realized toward the end of last year, which was converting the allocation for fuel subsidies to productive sectors in order to spur production capacity, including improving transportation, electricity and telecommunications infrastructure. There are also clear policies in place that address production enhancement.

Tekad Pemerintah baru untuk membenahi dan memastikan ketersediaan infrastruktur dasar tersebut diyakini akan membuat kegiatan ekonomi dapat berlangsung semakin lebih efisien dan dapat mendukung peningkatan kegiatan produksi di seluruh wilayah Indonesia. Langkah tersebut akan lebih memastikan berkembangnya status Indonesia, yang sebelumnya telah masuk ke dalam negara berpendapatan menengah, dengan pendapatan per kapita 2012 sekitar US$ 4.154 (Human Development Index 2012, World Population Data Sheet, data.worldbank. org), menjadi negara maju dengan pendapatan perkapita diatas US$ 10.000 di masa mendatang. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, pengamat perekonomian memperkirakan, kendati di tahun 2015 masih akan menghadapi tantangan yang berhubungan dengan defisit neraca berjalan dan nilai tukar, perekonomian Indonesia akan tumbuh pada kisaran yang tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan tahun 2014. Keseluruhan tinjauan kondisi ekonomi dan data-data kajian lembaga kredibel tersebut menunjukkan bahwa peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang sangat baik. Hal tersebut akan membuka peluang investasi pada berbagai sektor-sektor ekonomi di seluruh Indonesia.

Kondisi dan prospek ekonomi tersebut memberi dampak dan prospek yang berbeda terhadap setiap segmen bisnis yang dijalani oleh Astra. Uraian prospek dari masing-masing segmen usaha sebagai dampak perubahan kondisi usaha dan kondisi ekonomi selanjutnya dijelaskan pada pembahasan masing-masing segmen bisnis terkait.

The determination of the new government to reform and to ensure the availability of basic infrastructure is a positive signal to the economy, sending optimism on efficient economic activities and improved production activities across Indonesia. These steps will certainly provide a strong base for Indonesia to elevate its status; after being recognized as a middle-income country with per capita income of around US$ 4,154 in 2012 (Human Development Index 2012, World Population Data Sheet, data.worldbank. org), Indonesia is now ready to become a developed country with per capita income of over $ 10,000 in the future.

In view of the above, economic observers project that, despite challenges with regard to the trade balance deficit and currency exchange rate, Indonesia’s economy will grow at levels at least similar to 2014. The overall economic review, supported by data published by credible institutions shows that Indonesia’s economic opportunities going forward will stay sound and lucrative with investment opportunities in various economic sectors throughout the country.

The economic conditions and outlook set the context for all of Astra’s business segments and render different impacts to the businesses. The following section discusses how each business segment operates within the above economic setting and its link to their performance.

Overview

Business Structure

Dalam dokumen annual report astra 2014 (Halaman 112-116)