• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARLINDUNGAN HUTABARAT/FRAKSI PARTAI DEMOKRAT

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 47-53)

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

PARLINDUNGAN HUTABARAT/FRAKSI PARTAI DEMOKRAT

Terima kasih bapak ketua. Jadi ini Pasal 104 ayat (4) atau bicara dana, 20% dari APBN itu jangan berikut gajinya guru dan dosen. Itu dikeluarkan dan disini bukan bicara perusahaan terbatas atau apa segala macam. Tapi saya teringat pak professor, pada waktu rapat badan usaha persiapan kemerdekaan RI ya, kemudian membicarakan perguruan tinggi. Dari dulu para the founding fathers juga telah mengeluarkan statemen, bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa itu, berbicara perguruan tinggi adalah otonomi. Saya ada dokumennya. Kita saja yang kurang cerdas saya kira, baru sekarang memikirkannya.

Jadi para the founding fathers sudah mengatakan otonomi, otonom begitu. Jadi ini perlu kita pikirkan pak Dirjen Dikti, mewakili pak menteri. Supaya guru, dosen, jangan masuk kesini. Terima kasih bapak ketua, simpel-simpel saja.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Gaji guru ya? Gaji guru, dosen jangan bagian dari 20% gitu ya? Ya, Pak Rully.

48 RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Mungkin ini hal yang sangat penting ya, karena itu lexspesialis tadi harus dimaknai di RUU ini tentang tata kelola otonom penuh itu. Jadi mungkin kita diskusi Pak Memed ya? Memang ini dalam azas itu kan nirlaba. Jadi memang nirlaba sudah pasti kita bukan dalam bentuk perseroan terbatas atau yang menghasilkan profit ataupun ada sahamnya.

Jadi pemerintah sepenuhnya dalam hal ini menteri keuangan, selama dia BLU menguasai asset. Yang jadi persoalan adalah betul juga Pak Memed, perlu kepastian karena tidak diatur dalam undang-undang manapun juga ini. Ya tidak diatur, jadi harus terisi disini, termuat disini. Justru rumusan itu kita minta dari pemerintah, menteri keuangan, bagaimana untuk mengisi lexspesialis untuk otonom, supaya kekosongan hukum dari tata kelola keuangan yang tidak diatur untuk badan hukum. Ini kan badan hukum, otonom ini badan hukum, tapi bukan PT. Badan hukumnya yang memang spesifik untuk pendidikan tinggi. Bedanya dengan BHP, badan hukum ini tidak diharuskan, diwajibkan untuk semua jenis satuan pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi. Yang kedua adalah, tidak diharuskan wajib gitu, bisa pilihan gitu. Itu saja bedanya. Tapi bentuknya sama seperti BHP sebetulnya, intinya gitu. Badan hukum nirlaba.

Badan hukum nirlaba ini perlu mendapat payung hukum yang adanya di undang-undang ini, tidak di undang-undang lain. Sehingga di undang-undang ini memang betul Pak Memed, harus lebih mengatur lebih lengkap untuk memberikan kekuatan hukum ini adalah tata kelola keuangan otonom yang berbentuk badan hukum nirlaba dan bagaimana aturan mainnya, kira-kira begitu. Terima kasih.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya baik, bapak ibu sekalian yang saya hormati. Memang Pasal 103 dan 104 ini perlu uraian yang lebih rinci tentang pendanaan dan pembiayaan. Tadi terutama Pasal 104, pemerintah memberi insentif, kemudian pemerintah memberi keringanan, pemerintah memfasilitasi dan seterusnya-dan seterusnya, ini perlu diatur secara rinci dalam ketentuan-ketentuan tersendiri.

Persoalannya, apakah ini perlu diatur secara rinci dalam undang-undang ini atau cukup Pasal 104 ayat (6)? Sama dengan yang kita bicarakan tadi soal pendirian perguruan tinggi. Jadi saya kira dengan ketentuan mengenai pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemberian keringanan sebagaimana dimaksud ayat (3), serta hak khusus sebagaimana diatur dalam ayat (5), diatur dengan peraturan pemerintah.

Jadi ada kesempatan para pihak yang terkait dengan pendanaan ini, untuk merumuskan secara lebih rinci. Jadi tidak ada kekosongan hukum. Saya khawatir kalau kita atur secara sepotong-sepotong disini, nanti tidak nyambung gitu ya. Kalau apa yang dikemukakan oleh kawan-kawan tadi kita atur dalam peraturan pemerintah, mungkin akan lebih komprehensif. Bisa disepakati? Ya, Pak Rully.

RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Tata kelola keuangan itu memang sudah diatur di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 kan. Sedangkan pengelolaan keuangan untuk BUMN maupun untuk PT, sudah diatur di undang-undang

49

tersendiri. Memang betul Pak Memed itu merisaukan, apakah cukup di PP? Karena itu kita harus mencermati lagi, apakah payung hukum untuk otonom yang intinya sama dengan badan hukum pendidikan yang di, itu cukup dengan itu. Kalau PP yang masuk, apa cukup mengatasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 yang hanya mengatur 2 bentuk. 2 bentuk itulah yang sebetulnya bisa beroperasi. Sedangkan bentuk yang ini, tidak cukup diatur disini, nanti takutnya nggak jalan juga. Ini kita perlu dalami lagi ini.

Yang kedua, di ayat (6) saya setuju itu menjadi payung untuk yang 2, 3, 4 juga saya pikir, 4 nya belum ada disitu, 4 juga. Karena 4 itu yang saya minta tadi justru. Masyarakat maupun lembaga yang memberikan sumbangan untuk bantuan sekolah mahasiswa ini mendapatkan insentif pajak.

MEMED SOSIAWAN/FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

Info tambahan pak. Sekarang DPR ini sedang membuat juga Undang-Undang tentang Badan Hukum. Apakah kita menunggu itu? Iya kan, Undang-Undang tentang Badan Hukum. Atau kita ingin menutupnya semua didalam undang-undang ini, supaya tidak ada kekosongan. Terima kasih pak, masukan saja.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, baik. Jadi warning yang disampaikan oleh Pak Rully tadi, coba kita lihat lagi. Tapi hal-hal yang terkait dengan Pasal 104, kita sepakat tadi supaya lebih rinci diatur dalam peraturan pemerintah. Silahkan Pak Utut.

UTUT ADIANTO/WKL.KETUA KOMISI X DPR RI/FRAKSI PDI PERJUANGAN

Terima kasih pak ketua. Memang ini masalah pendanaan ini yang salah satu akan menjadi buat orang di luar ini yang akan menjadi rohnya undang-undang kita. Kita akan lihat, kemarin Pak Nasruddin berkata, kalau bisa lebih murah. Kalau nggak lebih murah, ya jadi ayam sayur kita, katanya Pak Nasruddin begitu. Contohnya pendidikan kedokteran, kalau bisa paling murah sehingga orang nggak perlu lagi ke dukun. Untuk mencapai kesimpulan itu, memang saya merasa kita perlu sekali saja, mungkin 1 jam 2 jam untuk exercise. Misalnya prodi-prodi yang luar biasa mahal itu, komponen biayanya apa sih.

Ini saya minta dari Pak Chatib, dari pertama kita pertama ketemu dengan juga pak Profesor Sofyan Effendi, sampai sekarang kita juga nggak pernah dapat begitu. Kalau kita lihat kan kita bisa menduga-duga. Sepertinya postur anggaran yang tadi pak ketua sampaikan, bahwa 170 trilyun dari 290 trilyun APBN itu kan untuk gaji guru dan dosen. Ini kan kurang lebih kita memahami. Tentu nggak mungkin juga sebagai pelaku disana yang biasanya terima misalnya 10 juta kita turunin Pak Nas, kan nggak mungkin. Yang mungkin adalah terjangkau, ini cuma kalimatnya yang kita perlu selaraskan.

Mengenai perihal ada keinginan seperti Pak Rully publik ikut berpartisipasi dalam bentuk badan, ini yang harusnya kita dorong. Sehingga beban pemerintah juga nggak terlalu berat. Tinggal badan hukumnya seperti apa, itu yang kita pikirkan. Pak Doktor Tahir mampu kok nyumbang secapcau Singapur dolar, di N.U.S. Doktor Tahir yang Mayapada, itu nyumbang ke N.U.S 30 juta Sing, dia nggak dapat teksidaktion,

50

dapat plakat saja, foto-foto sama perdana menteri happy dia. Ini kenyataan, tetapi kalau teksidaktion orang kaya kita malah nggak mau ketahuan pajaknya berapa. Dapat duitnya nggak seberapa, potongan pajaknya malah ketahuan pajak sesungguhnya harusnya bayar berapa.

Artinya kita kan juga tahu kehidupan realitas di publik. Ide mendirikan badan yang nomor 4 ini yang, dimana-mana keberhasilan adalah apabila ada partisipasi publik. Tetapi kalau semua diplongin, didorong ke pemerintah, habis negara kita, duitnya juga dari mana. Pak Djoko juga nanti rambutnya brodol semua, tinggal satu saja. Sekarang saja sudah brodoli begitu. Artinya pemikiran ini yang kita perlu dorong, ketika gara-gara Bu Reni katanya.

Jadi yang ingin kita sampaikan, mohon juga sebelum kita khusus di pasal pendanaan, ini masalah yang sangat serius yang semua orang akan langsung melihat. Kita juga perlulah sekali exercise, kira-kira dimana sih itu. Saya yakinlah kalau bahasanya Pak Memed itu nggak ada yang ruang hampa disini. Kayak kedokteran kan juga investasinya bisa kita hitung. Tetapi kan professor-professor ahli bedah itu selalu bilang, ini kan setiap siswa ini-ini itu sebetulnya bisa dihitung pak. Ke ruang angkasa saja bisa dihitung, apalagi cuma itu. Terima kasih.

RENI MARLINAWATI/FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN

Pimpinan, satu lagi menarik juga tadi. Ini di ayat (5) di 103 tentang tanggungjawab dan sumber pendanaan pendidikan tinggi, ini muncul dengan ternyata-nyata gitu. Padahal ketika kita RDPU dengan mahasiswa, justru ini yang paling ditentang gitu. Yaitu tentang, selain tanggungjawab pendanaan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) (3) dan (4), pendanaan tinggi dapat bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa gitu. Ini justru, karena kan asumsinya begini. Sesuai undang-undang dasar dengan sistem pendidikan nasional dengan anggaran 20%, maka pendidikan itu adalah kewajiban negara, kan gitu asumsinya gitu.

Ya, kalau pendidikan dasar pemerintah wajib membiayainya memang wajib gitu kan. Tapi aspirasi yang disampaikan oleh badan mahasiswa waktu RDPU dengan kami, justru munculnya kalimat ini itu akan mengesankan bahwa mereka akan jadi bulan-bulanan dalam tanda kutip gitu ya, kampus gitu, untuk melakukan pungutan terhadap mereka gitu. Apakah misalkan harus muncul disini gitu, bahwa tanggungjawab pendanaan itu salah satunya harus mahasiswa gitu dimunculkan gitu. Nggak saya ini saja, saya ini saya jamin ini, kalau nanti pas kita sosialisasikan, pasti yang paling reaktif itu membahas ini gitu. Itu saya kira.

Kemudian apa yang disampaikan barusan Pak Utut, saya bersepakatlah kita mendalami lagi saya kira. Justru memang ada kecenderungan orang Indonesia ini kan pajak itu malah diperkecil gitu. Jadi kalau lama-lama pajak itu muncul, malah ada keengganan gitu. Terima kasih.

51 RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Pak ketua. Mungkin ya, untuk persoalan ini memang yang Ibu Reni sampaikan, bahwa tanggungjawab biaya dana pendidikan, tu kan kita sepakat uang sekolah ya, uang kuliah namanya ya? Ini terminologinya kita samakan dulu, uang kuliah, biaya pendidikan itu uang kuliah.

Biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa itu sama dengan uang kuliah. Itu sebaiknya memang sudah kita pisah. Ayat (4) itu tanggungjawab. Ayat (5) itu dimaksud, dipisah supaya mahasiswa nggak sama dengan kelompok (4). Cuma masalahnya, kata-kata tanggungjawab ini mungkin diganti saja kalimatnya ya. Jadi di nomor (4) itu kan tanggungjawab.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Pasal berapa Pak Rully?

RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Pasal 103 ayat (4) pak. Ayat (4) nya dulu. Pendanaan pendidikan tinggi menjadi tanggungjawab perguruan tinggi dan seterusnya. Ini mahasiswa nggak masuk disini, uang kuliah nggak masuk disini. Di ayat (5) nya, faktanya memang ditarik pungutan uang kuliah. Tapi ini jangan dalam konteks tanggungjawab pendidikan perguruan tinggi.

Jadi ada, misalnya gini. Selain itu ada uang kuliahpun ditarik dari mahasiswalah, kira-kira gitu, ada uang kuliah juga gitu. Tapi kalau nggak diatur uang kuliah, repot Bu Reni, mesti diatur. Tapi kata-katanya jangan tanggungjawab. Jadi, selain itu pendanaan pendidikan tinggi juga dapat bersumber dari gitu.

Jadi ayat (5) nya, selain itu pendanaan pendidikan tinggi dapat bersumber dari, gitu saja kalimatnya. jadi selain, dapat bersumber dari, ya tanggungjawab dihapus. Ya, sumbangan mahasiswa dalam bentuk uang kuliah. Ini kata-katanya diperhalus dan ada tambahannya ini. Sesuai dengan kemampuannya orang tuanya atau pihak yang membiayainya. Jadi sudah dipagerin betul ini.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Sangat bijaksana ini.

RENI MARLINAWATI/FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN

Tapi pimpinan. Menurut saya, tanpa dicantumkan disinipun, itu kan sudah di ikat di Pasal 106 ayat (4). Biaya yang ditanggung oleh seluruh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Maksudnya, standar satuan di operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar bagi perguruan tinggi untuk mendapatkan biaya yang ikut ditanggung oleh mahasiswa. Itu satu dicantumkan disitu. Kemudian pada Pasal 4, disini juga dijelaskan, paling banyak sepertiga.

52 RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Nggak, saya belum selesai Bu Reni. Konteksnya memang disini adalah pendanaan, bukan pembiayaan. Jadi konteks yang ada didalam Pasal 103, itu memang kita harus cantumkan.

Apa yang perguruan tinggi nanti terima. Sumbernya terima itu mesti dari mana saja mesti jelas bu. Tapi kita jangan kelompokkan sebagai tanggungjawab sumber yang dari mahasiswa itu. Itu adalah bagian dari pendanaannya ya, ya sumbangan saja. Sumbangan dari mahasiswa dalam bentuk uang kuliah.

Jadi, ini faktanya adalah sumber juga, nggak bisa kita nggak cantumkan dalam Pasal 103. Karena sumber pendanaan itu, kelompoknya ya ini gitu. Yang dalam konteks Pasal berikutnya pembiayaan dan pengalokasian, ini masalahnya pengaturanya nanti bagaimana biaya pendanaan pendidikan tinggi itu namanya uang kuliah itu, diaturnya bagaimana supaya murah.

Ini tidak menjamin sebetulnya menjawab dari ayat (5) ini bahwa, yang namanya uang kulah itu diatur sudah dengan cara yang lebih elegan gitulah, di undang-undang ini dari DPR sebelumnya. Sebelumnya hanya diatur kan sepertiga maksimum dari biaya pendidikan adalah, biaya operasional kan. Ini sudah diatur dulu standarnya untuk 3 variabel itu menjadi standar, baru dipatok sepertiganya lagi. Cuma ini belum disimulasi, apakah sepertiga dari itu semuanya lebih murah dari sekarang apa nggak, ini saja kita belum tahu. Terima kasih.

PROF. RIZAL TAMIN/TENAGA AHLI

Izin pak ketua, apakah boleh penjelasan tambahan untuk hal yang barusan?

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Sesudah Ibu Reni ya, biar sekalian.

RENI MARLINAWATI/FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN

Ya, saya hanya ingin menyampaikan. Jadi sekali lagi, tadi saya mendukung usulan Pak Utut. Kita exercise dulu gitu ya. Karena begini, kalau ada muncul kalimat mahasiswa didalam tanggungjawab dan super pendanaan, apapun kalimatnya, itu akan ada kesan kapitalisasi mahasiswa gitu, yang selama ini terjadi. Justru yang menjadi alasan kita membuat RUU pendidikan tinggi itu jangan terjadi gitu. Jadi kalau ayat kalimat ini muncul, kata-kata mahasiswanya muncul didalam kolom, ini apapun kalimatnya orang judulnya tanggungjawab dan sumber pendanaan pendidikan tinggi kok. Ini ada kesan menjadi kapitalisasi terhadap mahasiswa, itu satu.

Kemudian yang kedua, aturan tentang pembiayaan dan pendanaan serta peruntukannya kan sudah jelas di Pasal 106 itu gitu. Sehingga menurut saya, jangan dicantumkan. Jadi gini. Tanpa harus dicantumkan sebagai penanggungjawab pendanaan di pendidikan tinggipun, justru dengan adanya aturan sepertiga ini, ini sudah langsung. Kan aturan itu ada untuk ini, untuk melengkapi yang pendanaan pendidikan tinggi. Salah satunya adanya iuran mahasiswa, kan begitu. Jadi maksud saya, saya bukan apa, saya ini saja, ini yang wanti-wanti masyarakat itu justru akan menyoroti ini, gitu loh maksud saya.

53

Jadi menurut saya, lebih baik dikosongkan saja didalam tanggungjawab pendanaan. Biarkanlah muncul di pembiayaan dan pengalokasian. Mahasiswa akan lebihi arif. Oh iya sepertiga dari biaya pendidikan tinggi itu adalah, kami yang harus melakukan melalui uang kuliah, gitu loh maksud saya. Pimpinan, kemudian sudah pukul 1.30, sudah waktunya istirahat dan makan saya kira. Terima kasih.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Iya, itu yang saya mau garis bawahi yang terakhir itu. Sebelum kita skors, ya Pak Rizal.

PROF. RIZAL TAMIN/TENAGA AHLI

Terima kasih pak pimpinan. Kita sedang membahas pendanaan dan itu perlu jelas Bu Reni. Jadi waktu kita membaca Pasal 103 itu, kita perlu membaca ayat (1) dan kemudian ayat (5). Di ayat (1) kita mengatakan, pendanaan pendidikan tinggi menjadi tanggungjawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan/atau perguruan tinggi. Sengaja kita tidak mau menyatukan disini tanggungjawab mahasiswa. Baru di ayat (5) kita mengatakan, selain tanggungjawab pendanaan yang tadi, pendanaan pendidikan tinggi dapat bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa. Jadi bukan tanggungjawab pendanaan itu, itu katanya selain tanggungjawab yang tadi begitu. Terima kasih.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Baik. Saya kira Pasal 103 ayat (5), itu berkorelasi dengan Pasal 106 ayat (4). Jadi memang kemarin kita sudah panjang lebar membicarakan soal 106 ini, supaya ada simulasi. Supaya kita kawan-kawan di DPR ini bisa menjelaskan secara rinci kepada masyarakat. Apa betul sih yang sepertiga itu murah? Kalau sepertiga dari 1 milyar kan lebih mahal dibanding sepertiga dari 100 juta misalnya.

Jadi tolong pak Dirjen kita dibantu untuk sebuah simulasi yang dijelaskan oleh kawan-kawan tadi itu, supaya ada gambaran. Unit-unit cost yang tercantum dalam menentukan sepertiga itu tadi. Ya, saya kira itu sementara kesimpulan kita. Kita masih akan lanjutkan Bab V ini setelah break, setelah makan siang. Kita skors sampai dengan jam 13.30. Ya, katanya habis ashar sudah mau selesai. Baik, kita mulai nanti jam 13.30, nanti kalau geser-geser kecil ya sudahlah.

(ketok palu)

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 47-53)