• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISWO WIRATNO/BALITBANG KEMENDIKBUD RI

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 57-67)

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

SISWO WIRATNO/BALITBANG KEMENDIKBUD RI

Terima kasih pimpinan. Saya masih Pasal 103 ayat (1). Kalau lihat formula ini, memang itu mengambil dari Pasal 46 ayat (1) dalam Undang-Undang Sisdiknas. Padahal dari pengalaman judicial preview yang hasil MK tanggal 31 Maret 2010, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) itu, sudah di judicial, sehingga masyarakat itu hanya berpartisipasi, bukan bertanggungjawab. Jadi kalau ini muncul lagi, takut ini nanti menjadi problem lagi. Sehingga saya usul, ayat (1) sebaiknya dibagi dua. Yaitu (1) sebagai tanggungjawab pemerintah dan ini, kemudian masyarakat berpartisipasi ayat (2) nya. Saya kira polanya begitu.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, jadi mungkin disatukan saja pak. Kalimatnya mungkin menjadi begini. Pendanaan pendidikan tinggi menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi dan partisipasi masyarakat. Ya, gitu ya? Jadi istilahnya partisipasi masyarakat, ditempatkan di kalimat terakhir. Baik, dan partisipasi Artinya kan sudah terputus. Dan partisipasi, jadi sudah terputus. Dan itu duluannya kan? Nanti ahli bahasalah yang menggunakan. Tapi maunya kita, itu bukan tanggungjawab, tapi partisipasi dari masyarakat.

Baik, cukup sementara ini masalah pembiayaan dan keuangan? Kita bisa pindah dulu ke berikutnya, yaitu Pasal 6, penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga negara lain. Ini dengan orang asing ini. Silahkan. Diketok, tadi Pasal 5 ya?

(ketok palu)

Sory, bukan Pasal 5, Bab V. Sekarang kita masuk di Bab VI. Silahkan.

NASRUDIN/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ketua, ini terkait dengan merupakan satu kesatuan sistem pendidikan nasional, ini di garisbawahi dalam penyelenggara pendidikan tinggi oleh negara lain. Salah satu kesatuan sistem adalah kurikulum. Ini kira-kira bagaimana? Apakah kurikulum yang dipakai oleh perguruan tinggi dari luar ini menggunakan kurikulum kita, atau mereka punya kurikulum sendiri? Padahal ini merupakan satu kesatuan sistem. Makanya kurikulum ini harus jelas, mestinya harus kurikulum dari kita, dari kurikulum Indonesia gitu maksud saya. Ini perlu ada penegasan didalam salah satu klausul disini. Kalau tidak, nanti sangat berbahaya. Kita tidak bisa mengendalikan perguruan tinggi orang lain yang ada disini.

58

Padahal ini undang-undang mengamanatkan bahwa, perguruan tinggi adalah merupakan satu kesatuan sistem pendidikan nasional. Ini mohon penjelasan ketua.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Silahkan, ada yang bisa menjelaskan ini? Pak Rully?

RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Nggak, sebelum itu ya. Ya memang ini perlu ditambahkan juga bagaimana ketentuan mengenai kurikulum, walaupun tidak mengikat di a b atau c disini ya, di ayat 3, saya setuju. Nggak, saya mau melihat bahwa ini terkait dengan sebetulnya juga internasionalisasi ya, di Pasal 57, 58 ini. 57 uraiannya sebenarnya ini, ini bab sendiri. Gimana pak konsultan ahli ya? Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga negara lain, ini sebetulnya lebih dekat urusannya sama urusan internasionalisasi kalau menurut saya, di paragraf bagian ke 11 itu yang Pasal 57. Ini kan pasalnya 113. Sebenarnya deket ke Pasal 57 dia. Bagaimana pengaturan penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga negara lain.

Jadi kita mengatur internasionalisasi juga disini, bahwa kalau ada perguruan tinggi asing mau beroperasi di wilayah NKRI, ini loh syaratnya gitu kan? Ini sebetulnya menurut saya sebaiknya sih disatukan di satu tempat dengan internasionalisasi, supaya nyarinya nggak repot pak. Nggak usah jauh-jauh bagaimana ini…

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, barangkali bisa didekatkan saja ya. Jadi internasionalisasi kerjasama internasional, di integrasikan di Bab VI, bisa nggak itu?

PROF. ANWAR ARIFIN/TENAGA AHLI

Klarifikasi dulu. Baik, terima kasih bapak ibu. Jadi kita dari awal ini kamarnya ini kan dua kamar besar. Kamar besar yang bagian pertama itu adalah pendidikan tinggi. Sedangkan kamar berikutnya itu besarnya adalah perguruan tinggi dan penyelenggaraannya.

Jadi kalau di Pasal 57 itu, bapak ibu yang kami hormati. Itu pertama internasionalisasi itu bermakna, Indonesia yang keluar untuk membuat Indonesia itu dikenal diseluruh dunia, ya go internasional begitulah. Secara yang bertaraf bisa memiliki kualitas secara internasional. Itu substansi yang ada di 57 itu.

Untuk itu juga, bekerjasama dengan, dapat bekerjasama dengan negara-negara lain, ini dari segi pendidikannya pak. Sedangkan kalau disini, itu dari segi penyelenggaraannya. Ya Bab IV ini mengenai penyelenggaraannya, jadi isinya ada didepan itu. Ini pembagian kamarnya. Saya kira begitu saja, ini masalah kamar saja pak.

59 H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, baik. Saya kira menjelaskan apa yang dimaksud oleh Pak Rully tadi ya. Silahkan yang lain, masih ada? Atau cukup?

DEDI S GUMELAR/FRAKSI PDI PERJUANGAN

Saya hanya ingin menyampaikan, mungkin agak kolot sedikit ya, agak kekhawatiran mengenai geografis apabila negara lain menyelenggarakan secara fisik gitu. Karena bagaimanapun juga dia akan punya otoritas disini. Sama juga kita ngontrakin rumah ke orang asing, walaupun rumah kita, kita kan nggak bisa masuk kesitu. Ini saya kira undang-undangnya harus lebih ketat lagi persyaratan.

Apakah tetap bentuknya kerjasama apa memang dia secara utuh dia menyelenggarakan disini? Ini harus jelas gitu. Karena terus terang lebih banyak orang yang belajar disini bukan hanya di universitas, tapi belajar pada maestro, lalu mereka membuat kurikulum, besok kita belajar karawitan ke Belanda, ke Korea, kemana-mana itu. Dan bahkan banyak karya-karya sastra, pengobatan dan sebagainya, dari karya-karya buhun jaman dulu yang diambil oleh orang asing dan mereka menjadi formula yang secara akademis di pelajari dengan baik, jadi kita tidak mendapatkan apa-apa. Ini saya khawatir dengan struktur adanya negara asing menyelenggarakan pendidikan disini, ini kita makin akan tergerus dengan pendidikan yang ada disini.

Misalnya orang besok tidak lagi bangga dengan UI, dengan ITB, kalau misalnya Harvard tiba-tiba ada disini. Walaupun mungkin mendekatkan dunia ini kesini, tidak harus ke Amerika.

Akan tetapi kan tahu bangsa kita. Asal berbau asing, sekarang yang abal-abal saja banyak kok disini. Ini perlu disikapi oleh kita lebih hati-hati didalam pasal ini menurut saya gitu. Karena sekarang kondisi yang global saja, keindonesiaan kita makin tereduksi gitu. Bagaimana kalau dia utuh-utuh menyelenggarakan universitas disini. Saya kira ini saya perlu mencermati bagaimana formulasinya gitu. Terima kasih.

NASRUDIN/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Tambahan ketua.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Silahkan Pak Nas.

NASRUDIN/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Tadi kan kaitannya dengan masalah satu sistem pendidikan nasional. Disini pada ayat (4), perguruan tinggi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), disini hanya wajib mengembangkan ilmu-ilmu dasar di Indonesia. Kenapa tidak wajib mengembangkan kurikulum yang berlaku di Indonesia, yang ditetapkan yang berlaku kurikulum yang berlaku di Indonesia. Yang dimaksud kurikulum perguruan tinggi. Jadi lebih kepada sistem, bagian dari satu sistem. Bukan hanya ilmu-ilmu dasar.

60

Ilmu-ilmu dasar kan itu relative. Ilmu-ilmu dasar kedokteran beda dengan ilmu-ilmu dasar social. Ilmu-ilmu dasar sosial beda dengan ilmu-ilmu dasar fakultas yang lain, itu ilmu-ilmu dasar. Ini kalau pemahaman ilmu-ilmu dasar seperti itu.

Jadi harus jelas ini. Masalahnya ini merupakan satu kesatuan sistem pendidikan nasional, maka kurikulumnya tidak boleh beda. Kalau kurikulumnya beda, ya nggak bisa. Satu contoh saja, di tingkat pendidikan dasar. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Sisdiknas. Walaupun itu madrasah diniyah, yang sistem pendidikannya itu diniyah awaliyah 6 tahun, diniyah wusto 3 tahun, diniyah ulya 3 tahun, dan masuk 6 mata pelajaran yang ditentukan oleh kurikulum pendidikan dasar dan menengah, itu mendapatkan hak-hak yang sama sebagaimana sekolah-sekolah umum.

Itu satu kesatuan sistem itu, dapat BOS dan seterusnya. Ini kalau pendidikan internasional ini, merupakan sub sistem, apa bagian sistem pendidikan kita. Kalau bagian sistem pendidikan kita, harus kurikulumnya sama. Ini masalahnya. Terima kasih ketua.

DEDI S GUMELAR/FRAKSI PDI PERJUANGAN

Pimpinan, saya menambahkan apa yang disampaikan sedikit saja. Saya kira, maka untuk itu saya kira tidak boleh bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 20 ini. Karena bagaimanapun juga yang dikenal oleh kita hanya pendidikan nasional. ini kuncinya.

Walaupun dia internasional, pada akhirnya kita tidak bisa lepas dari sana gitu. Jadi semua ikut aturan yang ada. Saya sepakat dengan Pak Djoko, bagaimana membuat sistem pendidikan ke Indonesiaan itu loh, ala Indonesia gitu, ini yang paling penting. Terima kasih.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, baik. Jadi yang pertama tadi ayat (3). Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi. Artinya dia tidak sendiri. Dia bekerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia, atas izin badan penyelenggara masing-masing atau pemerintah.

Yang kedua, mengikutsertakan dan tenaga pendidikan warga negara Indonesia. Ini wajib ini. Saya kira mungkin perlu dipertegas, wajib mengikutsertakan. Jadi harus dipertegas, harus perintah. Oh sory, sudah ada wajib. Kemudian yang keempat, yang ditanyakan oleh Pak Nasruddin tadi, kurikulum ini bagaimana. Mungkin dari pemerintah bisa memberikan sedikit, ya ada kurikulum wajib.

PROF. ANWAR ARIFIN/TENAGA AHLI

Nggak, ini pak. Jadi di ayat (1) itu sebenarnya dikunci. Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh lembaga lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi yang dimaksud peraturan perundang-undangan ini salah satu diantaranya Undang-Undang Sisdiknas, Undang-Undang Guru dan semuanya itu, gitu pak, jadi kurikulumnya wajib.

61 H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Sudah ada nggak di Undang-Undang Sisdiknas itu?

PROF. ANWAR ARIFIN/TENAGA AHLI

Termasuk ini pak, ada disini, sudah ada.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Oh iya, baik. Kalau sudah ada itu, saya kira sudah masuk ini ya. Baik, mungkin di kekhawatiran Pak Nasruddin tadi sudah terjawab, kalau memang linked dengan Undang-Undang Pendidikan Nasional. Baik, masih ada? Kalau tidak ada, kita bisa beranjak ke Bab VII.

RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Sebentar, masih pasal ini ya. Saya teringat waktu kita RDPU dengan yayasan-yayasan perguruan tinggi swasta. Mereka itu khawatir dari segi aspek komersialisasi, karena mereka itu akan jadi nggak laku kalau ini masuk gitu. Itu kita belum jawab pada mereka sebenarnya, bagaimana apakah rumusan ini menjawab pada mereka ini, urusan ini sudah tidak usah dikhawatirkan lagi. Karena jumlah perguruan tinggi swasta ini banyak sekali, 3 ribu. Kalau yang negeri cuma 80. Jadi kalau mereka bersuara itu ramai sekali itu ya, dan ini mereka akan judicial katanya. Kalau internasionalisasi yang pasal ini, ayat ini diteruskan. Karena mereka melihat tidak ada rambu-rambu yang bisa membuat mereka itu menjadi aman, kira-kira begitu ya.

Sebetulnya saya pikir-pikir setuju dengan ini. Cuma saya menanggapi saja, karena saya teringat waktu kita dengan di undang di Borobudur kalau nggak salah waktu itu ya? Dengan mereka ya? Mereka mengancam soal ini. Apakah rumusan ini bisa menjawab mereka, bahwa ini aman. Dimana kita buat aman? Apa di ayat (5) itu? Diatur dengan peraturan menteri, disana menterinya yang akan mengatur? Kalau wajib mengikutsertakan, itu sudah mengajak mereka kan sebenarnya? Jadi anda-anda sekalian tidak sendirian, bersama mereka begitu kan. Itu menjawab kan?

Yang kedua, mereka tidak kehabisan pangsa gimana? Kita batasi dengan berbagai, di ayat (3) kan? Pembatasan ini cukup keras bilang, nggak gampang-gampang masuk gitu ya. Wajib-wajib itu yang menjadi, yang penting kita siap-siap saja kalau ada keinginan dari yayasan itu. Dia senang sekali melakukan gugatan soal itu.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Baik. kalau tidak adalagi, kita bisa beranjak ke peran masyarakat. Silahkan pak.

62 NURSYAM/DIRJEN PENDIDIKAN TINGGI AGAMA ISLAM KEMENAG RI

Sebentar pak. Terima kasih pak ketua. Ini saya agak maju sedikit pak, di Pasal 85, jenjang jabatan akademik, di paragrap 2 itu yang ayat (5). Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10 tahun sebagai dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah dan seterusnya. Saya sebenarnya mempertanyakan, kenapa harus ada angka 10 tahun? Sebab selama ini kan sudah ada misalnya SKB 3 menteri yang menentukan mengenai jenjang jabatan akademik itu. Mungkin kalau seandainya dimungkinkan, pengalaman kerja 10 tahun itu mungkin tidak harus ditampilkan. Jadi misalnya bisa diganti dengan paragrap seperti ini. Dosen yang bergelar doctor dapat diangkat sebagai professor untuk guru besar, jika telah memenuhi persyaratan. Persyaratan itu sudah ada di SKB 3 menteri.

Mungkin Pak Profesor Djoko bisa juga memberikan tambahan mengenai ini. Jadi saya rasa angka 10 tahun itu ini, soalnya ini rawan. Misalnya begini, ada dosen yang nggak mau naik pangkat, nggak mau naik jabatan itu, selamanya 3B saja. Misalnya asisten ahli saja, sampai 10 tahun asisten ahli. Tapi tiba-tiba karena angka 10 tahun ini, dia lalu bisa menggugat pada rektornya. Wah saya ini sudah 10 tahun, saya harus bisa jadi professor. Dia tiba-tiba kumpulkan sekian ratus kum gitu ya, padahal dia nggak pernah naik jabatan ke asisten ahli, ke lector, lector kepala begitu. Ini saya rasa angka 10 tahun ini kalau ditetapkan seperti ini, saya khawatir nanti menjadi pintu untuk menuntut rektor-rektor, saya rasa itu. Terima kasih pak.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, baik. Memang kalau kita teliti, dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10 tahun sebagai dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah serta lulus program doctor atau sederajat dan telah memenuhi persyaratan, dapat diusulkan ke jenjang akademik tertinggi atau professor. Ya, silahkan Pak Anwar, 10 tahun ini gimana.

PROF. ANWAR ARIFIN/TENAGA AHLI

Boleh klarifikasi pak. Ya, cerita dibalik pasal pak. Jadi cerita dibalik pasal ini begini. Sebenarnya dia di kantornya Pak Djoko itu mengalami kesulitan. Dia tadinya ini orang yang, ini kan sekarang pak untuk menjadi doktor itu agak mudahlah. Jadi dia sudah kerja jadi, katakanlah dia sudah menduduki semua jabatan tinggi, ya pak ya. Kalau istilah orang Bugis itu, kerisnya sudah ditancapkan saja di satu tempat. tiba-tiba dia pensiun, dia doktor, masuk di PTS, menuntut jadi professor. Jadi itu kesulitan. Jadi ini disampaikan ini, bagaimana ini supaya, karena professor itu kan professional teaching pak. Jadi profesonal teaching ini artinya, dia berpengalaman jam terbangnya di pendidikan ini harus diandalkan. Jadi masuklah ini dia sebagai dosen tetap selama 10 tahun pak. Artinya jam terbangnya itu sudah 10 tahun sebagai dosen. Begitulah latar belakangnya pak Dirjen, sampai ini. Nanti juga pak Dirjen repot itu, kalau ada tiba-tiba orang yang di swasta di PTS, majukan professor salah bawa padahal dia tidak mengajar, dia bukan professional dalam mengajar. Itu latar belakang cerita dibalik pasal ini, kira-kira begitu latar belakangnya. Terima kasih.

63 NASRUDIN/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Saya tambahi pak. Saya memang termasuk yang tidak sepakat istilah 10 tahun itu. Sebab bobot dosen itu satu dengan yang lain tentunya akan berbeda. Bisa saja baru 5 tahun tapi kapasitas dan kapabilitasnya sudah bisa menduduki jabatan sebagai seorang professor ahli atau guru besar, saya pikir nggak ada masalah. Dosen yang telah memiliki pengalaman, ini pengalaman ini sangat relative, bisa 10 tahun, bisa 15 tahun, bisa 5 tahun ini sebagai dosen tetap.

Saya pikir 10 tahunnya memang ini menurut saya itu sangat kurang relevan gitu. Pengalaman ini sudah bisa saja beberapa tahun. Dan memiliki publilkasi ilmiah. Ini juga sudah persyaratan tambahan yang relative lebih sulit, serta telah lulus program doktor, ini persyaratan lagi, dan/atau yang sederajat dan telah memenuhi persyaratan, ini juga sudah ada empat persyaratan masuk lagi. Saya pikir ini sudah terlalu cukup persyaratan, tanpa menyebut 10 tahun. Kalaupun 10 tahun dia belum bisa memiliki publilksi ilmiah, juga kan tidak akan sampai kesana. Jadi mesti pertimbangan itu bukan hanya satu persyaratan. Pertimbangan mesti dilihat, masanya belum 10 tahun, tapi dari beberapa sisi yang lain telah memenuhi syarat, seseorang bisa mendapatkan gelar itu. Terima kasih.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, gimana pemerintah? Pak Djoko. 10 tahun ini kelihatannya masih mengganjal.

PROF. DJOKO SANTOSO/DIRJEN DIKTI KEMENDIKBUD RI

Jadi dulu kan idenya itu, dia itu harus jadi dosen tetap dulu gitu. Tetapi jangan jadi dosen tetapnya itu tiba-tiba, begitu loh. Kan maksudnya kan, ini dimatikan saja, ini direkam ya? Jadi kan banyak teman-teman saya itu yang Eselon I pensiun. Tiba-tiba terus jadi professor. Jadi pindah PTS jadi doktor, jadi professor. Ini gimana ini?

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Memang murah bangetlah professor itulah, kira-kira itulah. Ini orang berdarah-darah, kok ada juga yang agak murah. Ya, baik. Bisa kita pindah ke …. Ya, silahkan.

NURSYAM/DIRJEN PENDIDIKAN TINGGI AGAMA ISLAM KEMENAG RI

Sebentar, satu lagi pak ketua. Ini ke Pasal 99 pak. Saya nggak tahu, mudah-mudahan belum dibahas. Pasal 99 ayat (1), pemerintah menyelenggarakan paling sedikit satu perguruan tinggi untuk dikembangkan menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional, untuk menjalankan visi dan misi sebagai perguruan tinggi riset. Ini saya sebenarnya akan bertanya, perguruan tinggi bertaraf internasional itu apa sih, gitu ya. Apa seperti yang di President University itu misalnya yang seperti itu. Karena menggunakan bahasa inggris itu, lalu perguruan tinggi bertaraf internasional. Sebab saya tahu, ITB itu sudah bertaraf internasional itu, karena rankingnya sudah seperti itu.

64

Jadi saya rasa sudah bertaraf internasional seperti UI, ITB, UGM. Jadi kalau kemudian menyelenggarakan paling sedikit satu, ini rasanya kok, masak satu?

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, paling sedikit satu, artinya sepuluh boleh, lima belas boleh, seratus boleh.

NURSYAM/DIRJEN PENDIDIKAN TINGGI AGAMA ISLAM KEMENAG RI

Ini yang pertama. Jadi menurut saya juga kriterialah, ini apa kriteria perguruan tinggi bertaraf internasional itu. Ini yang saya rasa juga perlu dijelaskan ini. Saya rasa sudah nggak, sudah sangat banyak yang perguruan tinggi bertaraf internasional itu. Terima kasih pak.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, jadi Pasal 99 itu lengkap situ. Dan lebih tegas nanti diatur dalam peraturan menteri. Baik. Sekarang kita lewati Bab VI ya, kita sepakat ya?

(ketok palu)

Kita masuk ke Bab VII, peran serta masyarakat. Ini juga mungkin penting lebih ditonjolkan apa peran serta masyarakat, supaya tidak jadi polemik. Silahkan kalau ada yang ingin memberikan masukan. Nggak ada masalah kelihatannya ya?

NASRUDIN/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Cuma urutannya saja ini yang nggak anu ini pak. Yaitu huruf d itu mestinya huruf a diganti huruf d itu, pertama itu. Jadi dari mulai besar, ini menyelenggarakan PTS bermutu dan akademik komunitas, setelah ikut menentukan kompetensi kelulusan. Saya kira nggak ini, jadi itu harus naik itu pak.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Sepanjang komponen-komponen yang diperlukan sudah tercantum, nanti tim sinkronisasilah yang akan mengurut sistematika yang pas, begitu ya? Silahkan pak.

SISWO WIRATNO/BALITBANG KEMENDIKBUD RI

Seperti halnya tadi tentang peran dari masyarakat bukan tanggungjawab, karena ini di Pasal 6 Undang-Undang Sisdiknas yang Pasal 6 ayat (2) tentang masyarakat bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri sudah di MK. Artinya, dibaca hanya berpartisipasi. Sehingga format ini harus dirubah tidak tanggungjawab, tapi berperan serta dalam gitu.

65 H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, jadi nanti diperbaiki. Masyarakat berperan serta memiliki hak dan kewajiban untuk dan seterusnya ya. Mungkin di gaya bahasanya, yang penting tanggungjawab itu diganti. Ganti dengan istilah peran serta, supaya lebih soft gitu ya. Diperbaiki lagi, yang ayat (1) diperbaiki pak ya. Baik, Silahkan Pak Rully.

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 57-67)