• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAPAT DISKORS PKL. 12.38 WIB

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 53-57)

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

RAPAT DISKORS PKL. 12.38 WIB

SKORS DICABUT DAN RAPAT DILANJUTKAN KEMBALI PKL. 13.38 WIB H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Apakah dengan adanya undang-undang ini nanti, bagaimana besaran pembiayaan yang ditanggung oleh mahasiswa. Dari pembicara-pembicara informal kita tadi, ternyata kemungkinan besar akan mengalami kenaikan dengan angka sepertiga dari biaya operasional ini.

54

Mungkin kita minta kepada pemerintah, nanti dalam pembahasan berikutnya, menyediakan semacam formula simulasi yang bisa memberikan gambaran kepada kita tentang elemen-elemen, unit cost yang akan dibebankan kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa membayar tarif tertentu. Tarif tertentu ini paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Jadi saya kira itu yang kita minta nanti dari pemerintah pada pembahasan berikutnya, supaya ada semacam bahan simulasi dari bagaimana menterjemahkan Pasal 106 ini. Saya kira itu pengantar pembukaan, kami persilahkan kalau masih ada. Silahkan.

DEDI S GUMELAR/FRAKSI PDI PERJUANGAN

Pimpinan. Persoalan BHP itu kan dibatalkan oleh itu dengan berbagai alasan hukum. Lalu yang kedua, saya kira sesungguhnya mungkin masyarakat tidak akan terlalu rigit memperhatikan pasal-pasal yang lain kecuali pembiayaan, kan persoalannya disana. Kalau sekarang misalnya kita, oke berani mengambil langkah politik, universitas gratis ini nggak usah berlama-lama kita bahas undang-undang ini. Jadi untuk itu saya kira, ya kan kuncinya disana. Kalau sepertiga ini harus hati-hati juga kita kan? Di BHP juga sama. Sepertiga itu akan kelihatan kecil dari sisi prosentase. Tapi kalau masuk UI, UGM yang nilainya ratusan juta, sepertiga itu tetap orang miskin nggak bisa masuk. Untuk itu saya kira, mungkin yang harus kita pikirkan dengan pemerintah adalah, mungkin tidak main pada angka prosentase, tapi unit costnya berapa sih gitu, yang terendah itu yang disana kita main. Tinggal kita formulasikan, apakah masih menggunakan kata sepertiga atau prosentase atau mungkin justru nominal gitu.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Baik. Pak Rully, silahkan.

RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya mungkin ada baiknya kita konsentrasi pada uang kuliah dulu ya nih. Uang kuliah ini menjadi harapan mahasiswa betul. Istilahnya dulu, itu kita akan pakai biaya pendidikan mahasiswa menjadi uang kuliah apa tidak itu, itu dulu. Karena itu menjadi terminology baku nanti dan harus ada di ketentuan umum.

Yang kedua, saya juga sependapat bahwa kita hati-hati, karena sepertiga itu sangat relative. Dari satu status universitas berkelas, pasti mahal deh, namanya world class. Sedangkan kita jamin, itu tidak tergantung dari tata kelola kan, otonomi penuh, tidak penuh, itu nggak berpengaruh terhadap ini. Tetapi status universitas berpengaruh terhadap mahal murah ini masalahnya. Makanya yang namanya RSBI lebih mahal daripada sekolah biasa. Sama saja dengan UI yang world class lebih mahal daripada UNJ. Dan gimana menjawabnya, bahwa memang ada pasti perbedaan mutu. Tapi kalau angka sepertiga itu kita taruh disini, mahasiswa pasti bilang, bohong mahal juga gitu. Kita perlu pikirkan angka sepertiga ini dengan satu besaran lain yang mungkin diatur di PP. Tapi kita menjamin didalam pasal ini bahwa, terjangkau. Gimana kata-kata itu yang bisa kita rumuskan.

55

Karena saya juga nggak terlalu percaya pakai sepertiga ini. Tapi belum ketemu ya, apa bentuk yang terbaik mencantumkan disini dan diaturnya di PP atau Permen, yang akhirnya kita tahu ada fleksibilitas dalam subsidi prodi nanti oleh pemerintah kah, lalu ada semacam kepastian bahwa ada tertinggi mahasiswa hanya bayar sekian. Semacam minyak itu ada harga eceran tertinggi kah, model itu kah yang mau kita pakai.

Jadi jangan model lepas yang sepertiga terhadap variable yang masih bervariasi juga. Kira-kira ini saya minta dari tim ahli, mikirinlah ini belum ketemu kalau bagi kita. Dan ini menjadi sebenarnya esensi pokok daripada undang-undang ini yang membedakan dari yang lalu dan ditunggu oleh mahasiswa. Kalau ini beres, ini pasti lancar deh. Nggak ada yang berani yudisial lagi kalau ini beres. Terima kasih.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Baik. Memang ada kalimat di Pasal 103 ayat (5). Selain tanggungjawab pendanaan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) (3) dan (4), pendanaan pendidikan tinggi dapat bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuannya, orang tuanya, atau pihak yang bertanggungjawab membiayainya. Tapi lalu di Pasal 106 disebutkan bahwa, paling banyak atau setinggi-tingginya sepertiga. Ini memang ayat (5) Pasal 103 sih udah enak ya, sesuai dengan kemampuannya. Itu enak betul sudah. Tapi sepertiganya ini yang belum jelas, Pasal 3 yang belum jelas.

Oleh karena itu, kami berulang-ulang meminta kepada pemerintah untuk memberikan gambaran secara lebih kongkret melalui sebuah simulasi. Mungkin bagaimana di UI, bagaimana di IPB, bagaimana di Gajah Mada, Airlangga dan seterusnya dan seterusnya. Sehingga sepertiga itu dapat terlihat. Sepertiga itu murah sih atau mahal dan seterusnya dan seterusnya. Kalau begini kan sulit kita mendapatkan gambaran sepertiga itu kayak apa besarannya gitu.

RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ada cara lain ya pak. Dari Pasal 106, ini memang jelas untuk menurunkan besarnya uang kuliah kan sebetulnya. Cara menghitungnya begini. Tinggi rendahnya uang kuliah memang variabelnya ada tiga tadi yang nggak bisa ditentukan dengan satu angka, tapi dalam bentuk tabel ya, nanti tabel itu. Tapi tabel untuk satu variabel yang sama seperti kedokteran UI di Jakarta gitu ya misalnya. Angkanya misalnya taruh 35 juta misalnya. Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa, maksimum yang ditanggung mahasiswa sepertiga sebanyak-banyaknya dan kalau memang itu tinggi, masih ada yang tadi membantu dengan biaya kayak bea siswa atau biaya sumbangan mahasiswa miskin itu, itu kita masukkan sebagai bagian dari cara untuk mengatasi ini. Cuma ada dua kan? Subsidi prodi atau mahasiswanya dikasih jaminan dia akan mendapat pasti bea siswa itu. Sehingga tetap ujungnya dia nggak boleh lebih mahal dari satu batasan tertentu. Kalau itu bisa kita rumuskan, saya pikir ada jaminan bahwa mahasiswa nggak bakal bayar mahal. Tapi sekali lagi, apakah seluruh mahasiswa kita berlakukan? Pasti PTS tidak toh, PTN saja kan? Lalu apakah seluruh mahasiswa kita berlakukan? Yang miskin, yang miskin sekali atau yang setengah miskin? Sampai mana yang mau kita tanggung? Ini pun harus jelas juga.

56

Sehingga kalau dia itu miskin sekali sama agak-agak miskin, agak miskin itu nanti angkanya bisa dicari ya. Itu pasti akan ditanggung oleh negara, pemerintah kalau dia masuk PTN. Itu pun bisa kita mainkan dengan cara itu ya. Karena kalau kita menurunkan standar biaya ini, memang kita belum simulasi sih. Tapi kalau kita simulasi keluar angkanya kayak tadi kedokteran itu, kita memang berat sekali mencari uang prodinya dari mana. Tapi subsidi prodi adalah salah satu cara juga pak, yang saya pikir perlu dipertimbangkan. Nanti pak Dirjen mungkin sudah siap-siap menghitung uang pendidikan itu dialihkan kepada subsidi prodi, kalau memang terlalu mahal.

Beberapa prodi yang kita anggap vital, itu perlu mendapat subsidi supaya jangan terlalu mahal, supaya jaraknya nggak terlalu jauh dari standar yang bisa dijangkau sepertiga tadi. Kalau masih mahal juga, baru ada kewajiban pemerintah untuk mensubsidi dari bea siswa untuk batas yang miskin dan miskin sekali gitu. Asal bukan, nggak harus kinerjanya bagus pak. Yang miskin bisa sekali saja. Yang kinerjanya memang bagus, mau nggak bagus, dia punya hak untuk sekolah kok. Kalau dia agak-agak bodoh, masak dia nggak boleh sekolah? Gitu kan? Cuma sekolahnya dimana, bisa di vokasi bisa di akademik. Ini mungkin rumusannya perlu ditambah itu kalau menurut hemat saya, bahwa ada satu variabel lain yang bisa memberikan kepastian bahwa masih ada kemungkinan pemerintah harus subsidi prodinya dan memberikan dukungan pada mahasiswa yang nggak mampu.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Baik, bapak ibu sekalian. Saya kira di Pasal 106 ayat (6) tidak hanya ketentuan mengenai standar satuan biaya operasional sebagaimana diatur di ayat (1). Kemudian saya kira perlu juga ditambah yang diatur dalam ayat (2). Kemudian yang diatur dalam ayat (3), saya kira ini perlu dirinci dalam peraturan menteri, sehingga ini bisa berlaku umum di seluruh perguruan tinggi.

Jadi tidak hanya satu ayat yang diatur Pak Djoko, tapi mengatur juga yang di ayat (2), mengatur juga yang di ayat (3) yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Bisa disepakati begitu ya? Jadi ada penambahan. Tidak hanya satu ayat yang diatur oleh keputusan menteri, tapi ayat (2), ayat (3) bahkan ayat (4). Ayat (4) itu nanti akan tergambar disitu besaran tentang besaran sepertiga dari biaya operasional itu. Ayat (5) juga?

RULLY CHAIRUL AZWAR/FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ayat (5) yang tadi saya maksud pak. Oleh mahasiswa sebagaimana ayat (2) tadi, khusus untuk perguruan tinggi yang dibiayai oleh negara, APBN, artinya ini nanti aturannya baru mau diatur disini kan? saya minta tadi kepastian untuk istilah, apakah kita mau pakai istilah uang kuliah atau tetap biaya yang ditanggung oleh mahasiswa.

H. SYAMSUL BACHRI S, M.Si/WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI/ FRAKSI PARTAI GOLKAR

Ya, nanti barangkali dicari kalimat yang agak enak gitu ya? Biaya mungkin, kalau sumbangan mungkin sukarela. Tapi kalau biaya, itu ditetapkan oleh perguruan tinggi. Uang kuliah? Ini sudah umum

57

dipakai ya, sudah baku. Jadi saya kira nggak usah cari istilah-istilah yang lain lagi, yang bisa menimbulkan apalagi dugaan-dugaan yang…, uang kuliah lah isitilahnya. Baik, masih ada yang lain. Ya, silahkan pak.

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 53-57)