• Tidak ada hasil yang ditemukan

10 1.4 Kegunaan Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Partisipasi Masyarakat

Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang sangat penting. Keberhasilan pengembangan masyarakat akan sangat di pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi

masyarakat, maka semakin tinggi keberhasilan program. Pergeseran pembangunan yang berorientasi produksi menuju pembangunan yang berorientasi publik, memerlukan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya.

Jnanaorta Bhattacharyya (1972) mendefinisikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi tersebut terdiri atas dua macam, yaitu partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu masyarakat perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron atau antara masyarakat dengan pemerintah dinamakan partisipasi vertikal (seperti dikutip oleh Taliziduhu Ndaraha, 1987)

Menurut derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, maka partisipasi dapat ditemukan dalam banyak bentuk. Menurut Bass et al.,1995 dalam Hobley, 1996 seperti yang dikutip oleh Tadjudin (2000), partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat .

Lebih lanjut Tadjudin(2000) menjelaskan, menurut Bass et al.(1995) dalam Hobley, (1996) ,terdapat beberapa tipologi partisipasi masyarakat

1. Partisipasi Manipulatif, partisipasi masyarakat ditunjukan dengan penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki kewenangan yang jelas.

2. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini merupakan tindakan sepihak dari administrator ata manager proyek tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi atau pendapat yang dihargai oleh administrator atau manajer proyek adalah pendapat para Profesional.

3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat.

4. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan

lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan.

5. Partisipasi Fungsional, partisipasi masyarakat dipandang oleh ihak luar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan eksternal.

6. Partisipasi Interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek.

7. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.

Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut diatas, maka bentuk partispasi yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri migas adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal. Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondidi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat masyarakat untuk menjadi agent of change-nya. Sementara kebanyakan perusahaan pertambangan beroperasi di daerah pedalamam yang kondisi sumberdaya manusia masyaraktnya masih rendah. Sehingga tipologo-tipolgi tersebut dapat diterapkan secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal.

Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Soetrisno (1995), adalah :

Kerjasama antar rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Karena partisipasi merupakan suatu kerjasama maka dalam asumsi ini tidak diasumsikan bahwa sub sistem disubrordinasikan oleh supra sistem, dan sub sistem adalah sesuatu yang pasif dari pembangunan. Sub sistem diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program pembangunan.

Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan dan keluaran. Sebagai masukan, partisipasi masyarakat dapat berfungsi dalam enam fase proses pembangunan, yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan terhadap informasi, fase perencanaan pembangunan, fase pelaksanaan pembangunan, fase penerimaan kembali hasil pembangunan dan fase penilaian pembangunan. Partisipasi sebagai masukan berfungsi menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sedangkan sebagai keluaran, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun serta berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya atau program pemerintah.

Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan menjadi (1) derajat paling rendah yaitu dimana masyarakat memberikan konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis.(2) derajat menengah yaitu dimana masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, (3) derajat paling tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikut- menentukan arah serta mengelola sendiri pengembangan, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.

Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling tinggi), partisipasi seperti ini akan berkembang pesat jika pemerintah dan LSM menyediakan kerangka kerja pendukungnya. Untuk menerapkan Self- management dalam suatu program dibutuhkan proses-proses yang melibatkan metodologi yang multidisiplin yang membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. sebagai kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas keputusan-keputusan lokal dan kebijakan tentang pendayagunaan sumberdaya yang tersedia. Tetapi jika prasyarat yang diperlukan untuk menerapkan self-management belum tersedia di masyarakat

lokal, maka dapat dipraktekkan konsultatif action, dimana melibatkan pihak luar dalam merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi dan melakukan analisis.

Pada dasarnya perbaikan kondisi masyarakat dan upaya menemukan kebutuhan masyarakat dapat menggerakan partisipasi. Oleh karena itu dalam perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat agar dapat menggerakan partisipasi, maka upaya yang dilakukan harus : 1) disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt needs); 2) dijadikan stimulasi terhahap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response) yang dikehendaki; 3) dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi membangkitkan tingkahlaku (behavior) yang dikehendaki secara berkelanjutan.

Menurut Marzali (2003) bahwa program pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya ”felt needs” dari komunitas tersebut. Ini bukanlah hal yang sederhana karena ”felt needs” dari komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan ”felt needs” dari anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan komunitas. Selanjutnya ”felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Kegagalan dalam menentukan ”felt needs” dari komunitas akan berakibat terhadap kegagalan program pengembangan masyarakat. Oleh karenanya penentuan felt needs dalam program pengembangan masyarakt menjadi sangat penting, karena menentukan keberhasilan dari program.

Dalam upaya menentukan felt needs tersebut , lebih lanjut Marzali (2003) menjelaskan, terdapat empat perspektif dalam melihat ”felt needs”: (1) Penilaian agen pembangunan tentang Community needs dari sudut pandang tujuan sang pengembang itu sendiri, (2) Penilaian agen pembangunan tentang community needs yang diperoleh dari pemahaman tentang tujuan komunitas itu, (3) Penilaian komunitas yang diperoleh dari pengertian mereka tentang tujuan agen pembangunan, (4) Konsepsi komunitas tentang needs.

Dengan dapat di identifikasikannya kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat melalui program pengembangan masyarakat, akan membuat masyarakat tergerak untuk ikut berpartisipasi secara sukarela dalam suatu kegiatan karena dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan masyarakat tergerak untuk berpartisipasi dalam program pengembangan

masyarakat seperti dikemukakan oleh Goldsmith dan Blustain (dalam Taliziduhu Ndaraha, 1987), adalah :

1. Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan.

2. Partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan.

3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.

4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan.

Sedangkan menurut Sumardjo (2001) dalam Hamzah (2005), kata kunci yang akan mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu program pembangunan adalah: pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi kehidupannya. Manfaat dapat diartikan terpenuhinya kebutuhan ataupun terbebasnya dari ancaman tertentu; kedua, komunikasi yang efektif diantara para pelaku yang diharapkan berperan serta dalam program; dan ketiga, adanya kesukarelaan antara para pelaku dalam berperan serta, semakin besar objek partisipasi menimbulkan motivasi intrinsik, maka semakin besar derajat keikutsertaan seseorang dalam program.

Terdapat kaitan yang erat antara partisipasi dan insentif (Soetrisno,1995). Tanpa suatu insentif maka partisipasi berubah maknanya dari suatu keinginan manusia untuk ikut secara sukarela dalam suatu kegiatan yang dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri, menjadi suatu tindakan paksaan (mobilisasi). Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.