• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Eksekusi terhadap Kontrak Bisnis dengan Klausula Syarat Batal yang Mengesampingkan Ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH

PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP KONTRAK BISNIS KLAUSULA SYARAT BATAL YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN

B. Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Kontrak Bisnis Dengan Klausula Syarat Batal Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

2. Pelaksanaan Eksekusi terhadap Kontrak Bisnis dengan Klausula Syarat Batal yang Mengesampingkan Ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH

Perdata.

Pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat dilakukan bila salah satu pihak wanprestasi. Dalam hal ini jika salah satu pihak wanprestasi di mana syarat batal telah terpenuhi, maka pihak yang dirugikan dapat mengeksekusi berdasarkan parate executie.

Doktrin parate executie atau self help berasal dari Hukum Romawi-Belanda (Roman-Dutch Law) yang didasarkan pada konsep jika debitur menjaminkan aset- asetnya dan biasanya dikuasai oleh kreditur. Jika debitur wanprestasi menurut kreditur, kreditur diberikan hak untuk menjual dengan cepat atau memberikan aset dan memanfaatkan hasilnya untuk pelunasan seluruh atau sebagian utang.403

Pelaksanaan self help dalam sistem common law membolehkan pihak yang dirugikan untuk memperoleh ganti rugi tanpa melalui pengadilan. Salah satu jenis self help yaitu legal self help memiliki kecenderungan pada tindakan extra judicial legal

403

Jean Berdou, “The Doctrine of Parate Executie or Self Help by Creditors in Present South Africa Law”.

atau tindakan hukum di luar fungsi pengadilan yang mempengaruhi hak-hak para pihak. Salah satu contohnya adalah pembatalan kontrak karena wanprestasi (termination of contract) atau pembatalan karena penipuan (rescission for fraud).404 Pembatalan kontrak berkaitan dengan self help karena pembatalan (termination) merupakan pilihan untuk melaksanakan legal self help. Pihak yang dirugikan diberikan kewenangan di mana ia bebas menggunakannya tanpa melalui pengadilan.405

Pasal 6 dan Penjelasan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan juga menentukan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan mempunyai hak menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Hak menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan pertama. Hak ini didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberik hak tanggungan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan berhak menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri. Kewenangan parate executie

populer karena tidak memerlukan fiat atau persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.

406

Maka, klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata berkaitan dengan self help atau parate executie karena karena adanya

404

Daniel Friedmann, “Good Faith and Remedies for Breach of Contract”,di dalam Jack Beatson & Daniel Friedmann (ed), Good Faith And Fault In Contract Law, (Oxford: Clarendon Press, 1995), hal 412-413.

405

Ibid, hal 416.

406

kesamaan diantara keduanya yaitu memberikan hak utama pada kreditur untuk melaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan jika debitur melakukan wanprestasi.

Mengenai Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat disimpangi oleh para pihak. Pandangan ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa:407

a. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

b. Dalam hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan.

c. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam kontrak.

d. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.

407

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 300.

Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 (tiga) syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak, yaitu:408

a. harus ada persetujuan timbal balik.

b. harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditur menuntut pemutusan kontrak, debitur harus dinyatakan lalai (pernyataan lalai, in mora stelling, ingebrekestelling)

c. putusan hakim dengan menekankan pada rumusan … pemutusan harus dimintakan kepada Pengadilan …, kata ”harus” pada ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht) dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui (klausul) kontrak mereka.

Putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif (kontrak putus karena adanya wanprestasi, sedang putusan hakim sekedar menyatakan saja bahwa kontrak telah putus). Pendapat yang menyatakan bahwa putusan hakim adalah konstitutif berdasarkan:409

a. Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 KUH Perdata, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim.

b. Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, menyatakan dengan tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak. Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu bagi debitur untuk memenuhi prestasi kepada kreditur), dan ini berarti bahwa kontrak belum putus.

c. Kreditur masih mungkin untuk menuntut pemenuhan.

Persyaratan pembatalan kontrak melalui permintaan kepada hakim dengan putusan konstitutif atau pengadilan dijamin oleh negara. Negara dalam telah memberikan jaminan hak-hak warga negara dalam konstitusi, undang-undang, serta

408

Ibid, hal 301.

409

peraturan pelaksanaannya. Semuanya mengatur mengenai hak-hak dasar warga negara, advokat, syarat-syarat mendapatkan bantuan hukum, serta aturan bagaimana melaksanakannya dan apabila tidak dilaksanakan. Jelas dijamin di dalam Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) berbunyi: ”segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ditambah lagi adanya jaminan di dalam Pasal 28D ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.410

Konsep ini dipengaruhi oleh doktrin negara hukum yaitu doktrin pemisahan kekuasaan yang membagi tiga cabang kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di mana masing-masing diselenggarakan secara terpisah.411 Montesquieu dalam doktrin pemisahan kekuasaan ini berjasa menambah kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang berbeda dari kekuasaan lain sehingga perkembangan negara hukum sangat didorong oleh prinsip kedaulatan kekuasaan yudikatif.412

Prinsip kedaulatan kekuasaan yudikatif dalam pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata yang bersifat memaksa di mana pembatalan kontrak harus diputuskan dengan putusan hakim yang konstitutif terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1286K/Pdt/2007. Putusan Mahkamah Agung No. 1286K/Pdt/2007 dalam kasus

410

Dwi Agus Prianto, Op.cit, hal 60.

411

Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: PT Penerbit Erlangga, 2010), hal 24-25.

412

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal 87.

Lamidi Laidin (Pemohon Kasasi) melawan Asmah (Termohon Kasasi) ini mengenai kesepakatan jual beli tanah yang disertai uang muka dan kemudian dibatalkan secara sepihak oleh Asmah (Termohon Kasasi).

Lamidi Laidin (Pemohon Kasasi) dalam hal ini menuntut pelaksanaan kesepakatan jual beli tersebut. Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1286K/Pdt/2007 mengabulkan sebagian gugatan penggugat dan menghukum Tergugat untuk mengembalikan kepada Penggugat uang panjar ditambah ganti rugi sebesar 6% per tahun sejak gugatan masuk sampai dengan uang tersebut dibayar lunas. Dalam pertimbangan Majelis Hakim berkaitan dengan Pasal 1266 KUH Perdata, pembatalan kesepakatan jual beli tanah harus ditempuh oleh Asmah (Tergugat) yaitu mengajukan pembatalan ke pengadilan atau hakim. Kemudian dalam pertimbangan Majelis Hakim berkaitan dengan Pasal 1266 KUH Perdata, kelalaian kreditur tidak menyebabkan batal suatu kesepakatan akan tetapi suatu kesepakatan harus dibatalkan dengan putusan hakim sehingga putusan hakim bersifat konstitutif. Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya menjelaskan bahwa seseorang yang menghendaki adanya pembatalan kesepakatan tidak boleh bertindak berdasarkan asas main hakim sendiri sehingga para pihak harus setuju dan apabila ada pihak yang tidak setuju maka pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan atau hakim.413

Pembenaran untuk keterlibatan pengadilan dalam proses pengakhiran (termination) adalah didasarkan atas ketidakpercayaan ahli-ahli hukum Prancis atas pemulihan self help (self help remedies) berpasangan dengan keinginan untuk

413

melindungi pihak yang wanprestasi. Ketidakpercayaan dari self help remedies ini tercermin dalam prinsip yang dikenal dengan justice cannot be done privately. Peran untuk mengawasi dan membuat keputusan dari pengadilan diterima sebagai perlindungan yang diperlukan untuk kepentingan pihak yang berjanji. Pengadilan akan meminta keterangan apakah ia tidak mampu atau tidak mau untuk melaksanakan. Ini untuk memastikan ia tidak menghilangkan kentungan dari kontrak terlalu cepat dan tanpa pengesahan atau verifikasi eksternal.414

Ricardo Simanjuntak sependapat pada sikap dari pengadilan yang lebih meyakini Pasal 1266 KUH Perdata sebagai suatu keharusan melakukan pembatalan kontrak melalui pengadilan didasarkan atas hukum bukan karena kontrak yang berdasarkan kekuatan para pihak. Kehadiran dari Pasal 1266 KUH Perdata justru menjaga fairness atau kepastian hukum terhadap masing-masing pihak yang terikat oleh kontrak.

415

Dalam hal ini menurut Sudaryatmo, para hakim diharapkan dapat menggunakan lembaga itikad baik, kepatutan, kebiasaan sesuai Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dan Pasal 1339 KUH Perdata serta penyalahgunaan sebagai indikator untuk pengawasan.416

Namun, itikad baik telah menjadi topeng bagi para penegak hukum di mana hukum tidak lagi melindungi warga negara tetapi menjadi senjata penuh kuasa di

414

Solene Rowan, Op.cit, hal 83.

415

Ricardo Simanjuntak, Op.cit, Hal 235.

416

Sudaryatmo, Hukum Dan Advokasi Konsumen, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hal 95.

tangan para penegak hukum yang bermental menang dengan cara apa pun dengan mengorbankan pencarian kebenaran demi kemajuan karir dan mencapai target.417

Pada asasnya, pengadilan mempunyai prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan.

418

Lamanya waktu yang tersita dalam proses pengadilan sehubungan tahapan- tahapan banding dan kasasi yang dilalui, sifat pengadilan yang terbuka untuk umum sementara pengusaha tidak suka masalah bisnisnya dipublikasikan, dan karena penyelesaian sengketa tidak diputuskan oleh ahlinya maka proses litigasi menjadi tidak populer di kalangan pengusaha sehingga pengusaha umumnya menghindari proses litigasi.419

Konsekuensi lanjutannya bagi dunia bisnis, proses yang demikian jelas akan mengakibatkan bonafiditas dan kredibilitas pelaku bisnis menjadi rendah serta menimbulkan biaya ekonomi tinggi (high cost economy).

420

Di samping itu, secara umum dapat dikemukakan kritikan terhadap proses litigasi karena:421

a. Proses litigasi sangat lambat; b. Biaya per perkara mahal;

c. Pengadilan pada umunya tidak responsif;

d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;

417

O.C. Kaligis, Kejahatan Jabatan Dalam Sistem Peradilan Terpadu, (Bandung: PT Alumni, 2011), hal 22.

418

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.cit, hal 36.

419

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal 3.

420

Agus Yudha Hernoko, “Penyelesaian Sengketa Kontrak Berdasarkan Azas Proporsionalitas”, Yuridika, Vol 24 No.1 (2009), hal 12.

421

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembukian, dan Putusan Pengadilan, Op.cit, hal 233-235.

e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

Ini pun sesuai dengan temuan Stewart Macaulay bahwa sengketa-sengketa yang sebelumnya telah diatur dalam kontrak untuk menghadapi kemungkinan yang akan datang, sering diselesaikan tanpa menyinggung kontrak. Perkara bisnis lebih banyak diselesaikan diantara para pihak karena para pihak merasa penyelesaian masalah lebih memuaskan jika tidak melibatkan advokat dan klausula-klausula kontrak secara legalistis untuk memelihara hubungan dagang lebih lanjut dengan rekan bisnis.422

Formalitas untuk meminta keputusan pengadilan memang konsisten dengan Pasal 1184 Civil Code yang mengakui hanya pengadilan dapat membatalkan kontrak, tetapi tidak konsisten dengan urgensi atau setidaknya secara praktek di mana karena dalam kenyataannya ada penolakan pihak yang dirugikan bahwa formalitas tersebut tidak efektif.423

Ketidaknyamanan, biaya, dan keterlambatan pihak dalam kontrak mengusahakan untuk mengakhiri kontrak dapat merupakan suatu yang dihadapi dalam mengaplikasikan apa yang diundangkan Prancis untuk memintanya pada pengadilan dan pengadilan membuat pengecualian yang terbatas untuk persyaratan tersebut. Ketika mereka melakukannya, kebutuhan untuk meminta kepada pengadilan memutuskan untuk mengakhiri dapat ditangguhkan.

424

422

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal 87-88.

423

Edward A. Tomlison, Op.cit, hal 196.

424

Daniel Friedmann berpendapat bahwa pengakhiran (termination) dilakukan untuk menghindari penawaran yang buruk (bad bargain). Contohnya Si A telah sepakat untuk menjual kepada Si B sebuah properti, pembayaran dibuat secara angsuran dan waktu menjadi esensinya. B tidak dapat membayar pada angsuran pertama tepat waktu dan meminta waktu penambahan waktu selama seminggu. A tidak menyangka akan keterlambatan tersebut, ia memutuskan untuk mengakhiri kontrak karena properti telah mempunyai nilai yang sangat berarti. Di sini terlihat bahwa fakta sebenarnya pihak yang dirugikan dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari kontrak yang bersifat merugikan adalah tidak cukup untuk menghalangi pengakhiran. Tetapi ini menunjukkan bahwa dalam situasi semacam ini, pengadilan lebih cenderung berpendapat bahwa pelanggaran itu tidak cukup kuat untuk menjamin pengakhiran. Namun, keseriusan dari wanprestasi adalah melampaui keraguan, ini terlihat bahwa pihak yang dirugikan seharusnya dibolehkan untuk mengakhiri, walaupun tujuan utamanya adalah menghindari penawaran yang buruk (bad bargain).425

Maka muncul pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht). Pendapat ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut:

426

a. Pasal 1266 KUH Perdata, terletak pada sistematika Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur.

425

Daniel Friedmann, Op.cit, hal 416.

426

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit,, hal 302-303.

b. Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan secara positif dalam kontrak.

c. Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, sehingga hal ini dianggap sebagai ”syarat yang biasa diperjanjikan” (bestandig geberukikelijk beding)

dan merupakan faktor otonom yang disepakati para pihak. Dengan demikian kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 KUH Perdata yang bersifat mengatur.

Di Indonesia, Mahkamah Agung pernah memberikan keputusan bahwa aturan Pasal 1266 KUH Perdata yang meminta pembatalan kontrak melalui pengadilan boleh dikecualikan atau disimpangi oleh para pihak karena aturan tersebut bukanlah aturan yang memaksa (dwingend recht). Majelis hakim ketika itu yaitu Wirjono Prodjodikoro, M.H. Tirtaamidjaja, dan R. Soekardono dalam Putusan Mahkamah Agung No. 14 K/Sip/1953 tanggal 30 November 1955 mempertimbangkan bahwa pembatalan perjanjian jual beli toko-toko yang dimintakan ke pengadilan berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata bukanlah aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht) tetapi para pihak dibolehkan menyimpang dari aturan tersebut.427

Pencantuman klausula pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dalam kontrak disepakati dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak serta harus ditaati oleh para pihak. Hakim dalam hal ini tidak boleh mencampuri isi kontrak yang dibuat para pihak ini. Hal ini didasarkan pada asas pacta sund servanda yang menuntut semua pihak harus menghormati substansi kontrak yang harus ditaati oleh

427

para pihak. Suatu kontrak yang dibuat atas dasar konsensus harus ditaati para pihak yang melakukan kontrak. Kontrak harus dilaksanakan, ditepati, dan mengikat para pihak sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa, “kontrak/perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang. Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata mengatur lebih lanjut bahwa kontrak yang dibuat tidak dapat ditarik secara sepihak tetapi harus disepakati kedua belah pihak.428

Asas pacta sund servanda dapat diartikan bahwa janji dalam kontrak harus dihormati dalam keadaan apapun. Ini menjadi dasar doktrin kontrak klasik yaitu:

429

If there is one thing which more than another public policy requires it is that men of full age adn competent understading shall have the utmost liberty of contracting, and that their contracts when entered into freely and voluntarily shall be held sacred and shall be enforced by Courts of justice. Therefore, you have this paramount public policy to consider that you are not lightly to interfere with this freedom of contract.

Pernyataan Sir George Jessel MR memang mewakili sikap yang umum pada abad sembilan belas di mana setiap orang bebas untuk menentukan apakah seseorang mengadakan atau tidak mengadakan kontrak dan kebebasan para pihak untuk menentukan transaksi mereka. Isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan hukum dan moral. Terlepas dari hal itu, di sini tidak boleh ada intervensi pengadilan. Keabsahan kontrak tidak digantungkan pada adanya kausa yang objektif. Kesejajaran nilai yang dipertukarkan adalah immaterial. Para pihak sendirilah yang membuat

bargain mereka bukan pengadilan. Pengadilan semata-mata memperhatikan

428

Yahman, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hal 74.

429

kepatutan (fairness) dari bargaining process yang asumsinya adalah hasil proses negosiasi yang patut mungkin secara substansial patut juga. Ini merupakan konsep dalam hukum Romawi di mana fides meminta manusia memenuhi perkataannya.430

Kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak sepanjang tidak melanggar syarat sahnya kontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Konsekuensinya, hakim tidak boleh mencampuri isi kontrak yang dibuat oleh para pihak.431

Selain itu adanya konsep formalisme juga mempengaruhi fungsi hakim di mana hakim berperan semata-mata pasif dan menafsir di mana hakim dalam hal ini tidak bertugas untuk meminta pertimbangan dari kebijakan para pihak bahkan bantahan-bantahan terhadap keadilan yang relatif dari tuntutan para pihak. Adapun prinsip paham formalisme yaitu yang pertama adalah para pihak yang harus membuat perjanjian mereka sendiri, memilih syarat-syarat mereka sendiri, dan pengadilan tidak diperkenankan untuk campur tangan dalam proses tersebut.

Kedua, terjadinya akibat hukum kontrak adalah saat kontrak telah dibuat, bukan pengadilan yang menentukan. Fungsi pengadilan semata-mata pasif dan menafsir, pengadilan harus menentukan apa yang dimaksud oleh kontrak itu, tetapi harus bahwa dalam hal pengadilan berbuat demikian hanyalah sekedar memberikan akibat terhadap hal-hal yang dimaksud oleh para pihak.

430

Ibid.

431

Ketiga, pada umumnya paham formalisme tercampur dengan literalisme yang menolak penafsiran tersebut dalam hal para pihak tidak secara tegas telah menyebutkannya dalam kontrak dan tetap meyakini bahwa implikasi-implikasi hanya dapat dibuat apabila memang benar-benar diperhatikan supaya kontrak itu berfungsi.

Keempat, formalisme berarti pengadilan menyangkal setiap kekuasaan atau hak untuk turut campur tangan dengan tujuan agar suatu hasil yang adil dapat tercapai. Keadilan suatu kontrak, keadilan suatu tawar menawar, bukan kepentingan pengadilan. Para pihak itu sendiri yang harus memilih syarat-syarat mereka dan melakukan sendiri tawar menawar itu dan apabila pihak yang satu memilih dengan pintar, sedangkan yang lain memilih dengan bodoh, hal itu semata-mata karena bekerjanya pasar bebas.

Kelima, keistimewaan formalisme adalah kecenderungan untuk menuangkan hak-hak ke dalam syarat-syarat yang mutlak. Pengadilan tidak bersedia meneliti apa yang telah memotivasi satu pihak untuk bertindak menurut cara tertentu. Jika seorang pembeli memiliki hak untuk menolak barang-barang itu terlambat sehari, maka hak akan dituntut dengan teliti tanpa harus meneliti mengapa pembeli tersebut telah memilih untuk menolak barang-barang tersebut. Bukan tugas pengadilan untuk mempertimbangkan mengapa seseorang telah menentukan hak-haknya menurut cara tertentu karena hal itu merupakan prerogatif pemegang hak itu sendiri.432

Kemudian pertimbangan majelis hakim pada tingkat upaya hukum Peninjauan Kembali dalam putusannya yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 113

432

P.S. Atiyah, The Rise And Fall of Freedom of Contract, (Oxford: Clarendon Press, 1979), hal 388-389.

PK/Pdt/2003 tanggal 12 Mei 2004 menjelaskan bahwa majelis hakim pada tingkat Pengadilan Tinggi di dalam putusannya telah menurunkan nilai aset yang diartikan telah mengubah isi akta perjanjian yang telah disepakati para pihak padahal hal yang disepakati mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan dan suatu perjanjian tidak bisa diubah kecuali atas kesepakatan kedua pihak sepanjang perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan.433

Namun seiring dengan perkembangan legislasi yang memperhatikan perlidnungan konsumen, maka pengadilan melakukan intervensi dengan membuat keputusan penting yang memberikan implikasi kepada kreditur yang melaksanakan

parate executie atau self help terhadap debitur yang memberikan objek jaminannya untuk memenuhi utangnya.434

Menurut H.G. Beale, W.D. Bishop, dan M.P. Furmston, pandangan formalisme pun ditentang dengan kemunculan realisme (realism) dan kesejahteraan konsumen (consumer-welfarism) di mana realisme adalah antitesis dari formalisme. Realisme (realism) dan kesejahteraan konsumen (consumer-welfarism) merupakan ideologi yang cenderung memberikan aturan yang fleksibel kepada hakim melakukan diskresi untuk menampung keadaan yang khusus terkait sengketa yang ada. Keseluruhan tujuan consumer-welfarism adalah menunjuk hakim dalam arah yang

433

Putusan Mahkamah Agung No. 113 PK/Pdt/2003 tanggal 6 Mei 2004.

434

realis, dengan menuntut keputusannya akan menjadi adil (fair) dan patut (reasonable) dalam keadaan yang khusus.435

Hal itu terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3210.K/PDT/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang dikenal yurisprudensi Kandaga Shopping Centre. Mahkamah Agung menyatakan bahwa pelaksanaan ekskusi lelang sebagai akibat adanya grosse acta hipotek dengan memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan suatu