• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUH PERDATA

A. Pengaturan Kontrak Bisnis 1 Pengertian Kontrak Bisnis

2. Syarat Sahnya Kontrak Bisnis

Apapun perjanjian atau kontrak yang dibuat, akibat hukum suatu perjanjian baru akan timbul apabila perjanjian/kontrak tersebut dibuat sesuai dengan syarat- syarat sahnya suatu perjanjian/kontrak.113 Maka rumusan 4 (empat) syarat sahnya kontrak menurut Pasal 1320 KUH Perdata jika dikaitkan dengan pasal-pasal yang berhubungan dengan masing-masing syarat meliputi:114

a. Sepakat diantara para pihak dalam kontrak;

b. Pihak-pihak memang cakap melakukan perbuatan hukum; c. Sifat dan luas objek perjanjian dapat ditentukan;

d. Kausanya halal atau diperbolehkan.

Menurut R. Subekti, bagian pertama dari keempat syarat sahnya perjanjian, yaitu mengenai subjek perjanjian. Dalam hal mengenai subjek yang membuat perjanjian, orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan

112

St. Laksanto Utomo, Aspek Hukum Kartu Kredit dan Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT Alumni, 2011), hal 39.

113

Lastuti Abubakar, Transaksi Derivatif di Indonesia: Tinjauan Hukum tentang Perdagangan Derivatif di Bursa Efek, (Bandung: Book Terrace & Library, 2009), hal 65.

114

perbuatan hukum tersebut. Selain itu ada konsensus/sepakat yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya dengan tidak ada paksaan, kekhilafan atau penipuan. Kedua mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa apa yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetpakan kewajiban masing-masing pihak. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.115

Kontrak bisnis yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan mempunyai akibat-akibat yaitu:

116

a. Noneksistensi artinya tidak ada kontrak bila tidak ada kesepakatan;

b. Vernietigbaar, artinya kontrak dapat dibatalkan jika kontrak timbul karena adanya cacat kehendak atau karena ketidakcakapan yang merupakan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata angka 1 dan angka 2. Hal ini terkait dengan tidak terpenuhinya syarat subjektif sehingga kontrak tersebut dapat dibatalkan; dan

c. Nietig, artinya kontrak batal demi hukum jika kontrak tersebut tidak mempunyai objek atau tidak dapat ditentukan objeknya serta mempunyai sebab atau kausa yang dilarang yang merupakan syarat Pasal 1320 KUH Perdata angka 3 dan angka 4. Hal ini berarti terkait dengan syarat objektif sehingga kontrak batal demi hukum.

Selanjutnya syarat-syarat sahnya suatu kontrak bisnis dapat dijelaskan secara lebih mendalam sebagai berikut.

115

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1976), hal 25.

116

a. Kesepakatan

Syarat pertama dari Pasal 1320 KUH Perdata yaitu syarat subjektif pertama mengatur bahwa adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Ada perbedaan antara Pasal 1320 KUH Perdata yang meletakkan kesepakatan sebagai salah satu syarat mendasar dari pemuatan kontrak yang sah dengan sistem common law yang lebih meletakkan unsur-unsur terjadinya kesepakatan yaitu penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance), tetapi artinya sama bahwa pertemuan antara penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) tetap akan menghasilkan kesepakatan seperti yang dimaksud salah syarat sahnya kontrak yang diatur Pasal 1320 KUH Perdata.117

Suatu kontrak tidak menutup kemungkinan kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak. Suatu kontrak dapat mengandung cacat kehendak jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

1) Paksaan

Paksaan dalam kesepakatan membuat kontrak yang diatur dalam Pasal 1323- 1327 KUH Perdata menurut Sudargo Gautama adalah setiap tindakan intimidasi mental.118

117

Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 151.

Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan

118

Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 76.

ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.119

2) Penipuan

Penipuan yang menjadi alasan pembatalan kontrak menurut pasal 1328 KUH Perdata harus memenuhi 4 (empat) unsur. Pertama, merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda. Kedua, sebelum perjanjian tersebut dibuat. Ketiga, dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian. keempat, tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.120 Kontrak yang mempunyai unsur penipuan di dalamnya tidak mengakibatkan kontrak tersebut batal demi hukum (null and void) melainkan kontrak tersebut hanya dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti selama pihak yang dirugikan tidak menuntut ke pengadilan yang berwenang maka kontrak tersebut masih tetap sah.121

3) Kesesatan atau kekeliruan

Kesesatan atau kekeliruan dalam kesepakatan membuat kontrak diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata. Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan, yang pertama yaitu error in persona, yaitu kekeliruan pada orangnya, contohnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis

119

John D. Calamari & Joseph M. Perillo, Contracts. Second Edition. (Minneapolis: West Publishing Co., 1977), hal 262-264.

120

Ibid.

121

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi. Edisi Revisi. (Yogyakarta: Total Media, 2009), hal 32.

yang terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Yang kedua adalah error in substantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan karakteristik suatu benda, contohnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang dibelinya tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan Basuki Abdullah.122

4) Penyalahgunaan keadaan.

Ada dua macam penyalahgunaan keadaan menurut Van Dunne. Pertama, penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis sehingga pihak lain terpaksa mengadakan kontrak. Kedua, penyalahgunaan keadaan karena penyalahgunaan ketergantungan relasi dan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan.123 Dalam sistem common law, doktrin penyalahgunaan keadaan yang menentukan pembatalan kontrak dibuat berdasarkan tekanan tidak patut, tetapi tidak termasuk dalam kategori paksaan.124

Demikian, bahwa semua tindakan hukum yang dilakukan di bawah kekeliruan, penipuan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan merupakan akibat adanya cacat dalam kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan hukum. Dalam

122

Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti, 2001), hal 75.

123

H.P. Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, (Bandung: PT Alumni), hal 292-293.

124

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Op.cit, hal 32.

hal ini, penting untuk membuktikan hubungan kausalitas antara cacat kehendak dan tindakan hukum tersebut.125

b. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian.

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat kedua untuk sahnya perjanjian/kontrak adalah kecakapan untuk membuat perjanjian/kontrak.126 Syarat ini diartikan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian harus telah dewasa dan tidak di bawah pengampuan.127 Orang dewasa yang mempunyai jabatan direksi pada Perseroan Terbatas atau orang dewasa yang mendapatkan kewenangan dari direksi untuk mewakili Perseroan Terbatas tersebut.128

Contohnya, seorang general manager suatu Perseroan Terbatas bisa cakap untuk melakukan perbuatan hukum apa saja untuk atau kepentingan diri sendiri selaku orang yang telah dewasa tetapi tidak berwenang untuk menandatangani suatu kontrak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas di mana dia bekerja kecuali telah memperoleh kewenangan untuk mewakili kepentingan Perseroan Terbatas tersebut.

129

Seseorang belum dikatakan dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21

125

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 101.

126

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian: Buku II, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 2.

127

Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT Alumni, 2009), hal 209.

128

Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 196.

129

tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah.130 Pasal 7 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan batas usia menikah adalah untuk pria 19 tahun dan perempuan adalah 16 tahun.131 Dalam perkembangannya berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedewasaan seseorang ditentukan anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun.132 Selanjutnya, Pasal 39 ayat (1) butir a Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan batas kedewasaan seseorang untuk menghadap dan membuat akte notaris adalah 18 tahun atau telah menikah.133

1) Telah berusia genap 18 tahun;

Dengan demikian, dewasa orang pribadi baik laki-laki maupun perempuan dalam arti cakap melakukan perbuatan hukum sekarang ini, ketentuannya adalah:

2) Telah menikah. c. Suatu Hal Tertentu

Maksud dari suatu hal atau objek tertentu dalam syarat ketiga Pasal 1320 KUH Perdata adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang itu tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau

130

Pasal 330 KUH Perdata.

131

Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

132

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Op.cit, hal 36.

133

dihitung”.134 Ketentuan KUH Perdata menegaskan bahwa hal atau objek tertentu tidak perlu ditentukan secara indvidual, cukup ditentukan jenisnya.135

Selain itu, Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa, “barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa hal atau objek tertentu tidak harus dalam arti secara gramatikal dan sempit bahwa harus ada ketika kontrak dibuat. Ketentuan ini memungkinkan untuk hal atau objek tertentu hanya ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan di kemudian hari.136

Maka menurut Hardijan Rusli, suatu kontrak memang seharusnya berisi pokok atau objek yang tertentu agar dapat dilaksanakan. Hakim dalam hal ini akan berusaha untuk mengetahui pokok atau objek dari suatu kontrak agar kontrak dapat dilaksanakan, tetapi apabila pokok atau objek kontrak itu tidak dapat ditentukan, maka kontrak itu menjadi batal atau tidak sah.

137

d. Kausa yang Halal

Pengertian kausa yang halal sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1320 KUH Perdata harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata dan Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan, “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang,

134

Pasal 1333 KUH Perdata.

135

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 109.

136

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 192.

137

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal 86.

tidaklah mempunyai kekuatan”. Kemudian Pasal 1337 KUH Perdata menegaskan bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau dengan ketertiban umum”.

Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.138

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dengan Pasal 1335 KUH Perdata dan 1337 KUH Perdata, maka suatu kontrak yang tidak mempunyai kausa, kausanya palsu, kausanya bertentangan dilarang undang-undang, kausanya bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum dapat menyebabkan suatu kontrak tidak sah atau batal demi hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.139

Maka, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif. Bila syarat subjektif tidak terpenuhi maka akan memberikan konsekuensi hukum suatu kontrak dapat dibatalkan (voidable, vernietigbaar). Syarat ketiga dan keempat merupakan

138

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian: Buku II, Op.cit, hal 109.

139

syarat objektif. Bila syarat objektif tersebut tidak terpenuhi maka akan membuat kontrak batal demi hukum (null and void, nietig).140