• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengecualian Dalam Pembatalan Kontrak Bisnis Karena Wanprestasi.

KUH PERDATA

D. Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

3. Pengecualian Dalam Pembatalan Kontrak Bisnis Karena Wanprestasi.

Keadaan memaksa dicantumkan sebagai salah satu klausula dalam kontrak. di mana klausula keadaan memaksa pada hakikatnya merupakan klausula yang membebaskan debitur untuk bertanggungjawab atas tidak dipenuhinya kewajiban yang ditentukan baginya.330

Hukum Perdata Indonesia mengatur ketentuan tentang keadaan memaksa yang dapat membebaskan seorang debitur dari kewajiban untuk membayar ganti rugi

330

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 85.

dengan tegas diatur dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan bahwa:331

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Pasal 1245 KUH Perdata menyebutkan bahwa:332

Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Namun menurut Herlien Budiono, keadaan memaksa sebenarnya tidak perlu diperjanjikan seperti syarat batal.333 Hal ini dikarenakan pembebasan tanggung jawab debitur menurut keadaan memaksa memang dibenarkan undang-undang.334

Ada 5 (lima) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu:

335

a. Tidak terpenuhi prestasi karena di luar kesalahan atau kesengajaan debitur; b. Terdapat peristiwa yang menyebabkan objek yang diperjanjikan musnah; c. Peristiwa yang mendasari terjadinya keadaan memaksa tidak dapat diduga

sebelumnya;

d. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur; e. Debitur tidak beritikad buruk.

331

Pasal 1244 KUH Perdata.

332

Pasal 1245 KUH Perdata.

333

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 198.

334

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 85.

335

Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat- Syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 41.

Demikian juga dengan ruang lingkup halangan-halangan yang digolongkan dalam keadaan memaksa meliputi:336

a. Keadaan memaksa karena keadaan alam yang disebabkan oleh keadaan alam yang tidak dapat diduga dan dihindari dari setiap orang karena sifat alamiah tanpa unsur kesengajaan seperti gempa bumi dan badai;

b. Keadaan memaksa karena keadaan darurat yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa diprediksi sebelumnya seperti ledakan dan terorisme;

c. Keadaan memaksa karena keadaan ekonomi yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau perubahan peraturan perundang-undangan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan tidak dapat dipenuhinya prestasi seperti timbulnya gejolak moneter yang menimbulkan kenaikan biaya bank;

d. Keadaan memaksa karena kebijakan atau peraturan pemerintah yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapau atau dikeluarkannya kebijakan yang baru dan berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung seperti larangan Pemerintah Daerah yang melarang masuknya objek perjanjian;

e. Keadaan memaksa karena keadaan teknis yang tidak terduga yang disebabkan oleh peristiwa rusaknya atau berkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan penting bagi proses produksi sutau perusahaan da hal tersebut tidak

336

diduga sebelumnya seperti tidak bekerjanya mesin yang berpengaruh besar pada kegiatan perusahaan.

Keadaan memaksa terkait erat dengan resiko. Permasalahannya adalah siapa yang harus menanggung resiko dalam keadaan memaksa.337 Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal balik seperti kontrak bisnis di mana kedua belah pihak sama-sama berkewajiban memenuhi prestasi diatur dalam Pasal 1264 KUH Perdata dan Pasal 1444 KUH Perdata. Pasal 1264 KUH Perdata menyatakan bahwa:338

Jika suatu perikatan tergantung pada suatu syarat yang ditunda, maka barang yang menjadi pokok perikatan tetap menjadi tanggungan debitur, yang hanya wajib menyerahkan barang itu bila syarat dipenuhi. Jika barang tersebut musnah seluruhnya di luar kesalahan debitur, maka baik bagi pihak yang satu maupun pihak yang lain, tidak ada lagi perikatan.

Kemudian Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa:339

Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Perkataan tanggungannya seperti yang disebutkan dalam Pasal 1264 KUH Perdata dapat ditafsirkan dengan resiko musnahnya barang yang menjadi pokok perjanjian bersyarat sebelum diserahkan karena belum terpenuhinya syarat perjanjian itu menjadi tanggungan pemilik barang dan apabila barang tersebut musnah karena keadaan memaksa, maka perjanjian yang pelaksanaannya masih menunggu

337

Siti Anisah, “Doktrin Keadaan Memaksa, Pengaturan, dan Perkembangannya”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 29 No. 2 (2010), hal 61.

338

Pasal 1264 KUH Perdata.

339

terpenuhinya syarat itu menjadi batal. Selanjutnya, Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata menentukan apabila suatu barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat diperdagangkan, atau hilang karena keadaan memaksa maka perikatan diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut sesuatu apapun antara satu terhadap yang lain. Dengan demikian pengaturan resiko dalam Pasal 1444 KUH Perdata sejalan dengan pengaturan resiko Pasal 1264 KUH Perdata yang sama- sama menentukan apabila suatu barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat diperdagangkan, atau hilang karena keadaan memaksa maka resikonya ditanggung oleh pemilik dan perjanjiannya menjadi hapus.340

Namun debitur yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tidak bisa mendalilkan keadaan memaksa jika:341

a. Debitur telah dalam keadaan lalai;

b. Debitur dapat menduga akan terhambatnya pelaksanaan prestasi pada saat pembuatan kontrak;

c. Debitur patut atau mengetahui bahwa ada cacat-cacat benda yang dapat menghambat pelaksanaan prestasinya pada saat pembuatan kontrak;

d. Debitur patut atau mengetahui bahwa ada kesalahan yang dilakukan oleh orang lain yaitu pihak ketiga bukan kreditur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi yang diikutsertakan dalam kontrak dan menghambat pelaksanaan prestasi.

340

Anita Kamilah, Op.cit, hal 95.

341

Dalam hal ini, Pasal 1266 KUH Perdata menurut Herlien Budiono memberikan kewenangan kepada kreditur atas dasar wanprestasi untuk memilih pilihan pemenuhan prestasi atau penuntutan pembatalan disertai penggantian biaya, ganti rugi dan bunga dalam perjanjian timbal balik jika prestasi yang dilakukan oleh debitur tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan tanpa adanya alasan keadaan memaksa.342

Berbeda dengan tidak dipenuhinya pelaksanaan prestasi karena wanprestasi, tidak dipenuhinya pelaksanaan prestasi karena keadaan memaksa bukan disebabkan oleh kelalaian debitur tetapi oleh suatu keadaan yang terjadi secara tiba-tiba yang menghalanginya untuk melaksanakan prestasi pada kreditur sehingga debitur tidak wajib menanggung kerugian yang diakibatkan karena keadaan memaksa sesuai dengan ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata, Pasal 1245 KUH Perdata, dan Pasal 1444 KUH Perdata.343

Ada pun menurut Siti Anisah, peristiwa yang dikategorikan keadaaan memaksa menimbulkan berbagai akibat hukum yaitu:344

a. Kreditur tidak dapat lagi meminta pemenuhan prestasi;

b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;

c. Resiko tidak beralih kepada debitur;

342

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 228.

343

Anita Kamilah, Op.cit, hal 88.

344

d. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.

Dengan demikian, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan tentang pengecualian syarat batal yaitu keadaan memaksa. Pertama, keadaan memaksa merupakan pengecualian syarat batal karena wanprestasi yang menjadi syarat terpenuhinya pembatalan kontrak tidak terjadi jika kelalaian dari pihak lawan adalah sebagai akibat dari keadaan memaksa. Kedua, debitur harus membuktikan dirinya telah memenuhi unsur, syarat, dan ruang lingkup keadaaan memaksa. Ketiga, resiko akibat keadaan memaksa ditanggung oleh pemilik barang atau kreditur karena apabila objek yang diperjanjikan musnah maka perikatan yang juga musnah. Keempat, pelaksanaan prestasi yang disebabkan oleh keadaan memaksa menghalanginya untuk melaksanakan prestasi pada kreditur sehingga debitur tidak wajib menanggung kerugian yang diakibatkan karena keadaan memaksa. Kelima, akibat hukum yang ditimbulkan oleh keadaan memaksa yaitu kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi, debitur tidak dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi; resiko tidak beralih kepada debitur, dan kreditur tidak dapat menuntut pembatalan kontrak.

4. Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

Kekuatan mengikat klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata didasarkan atas asas pacta sund servanda. Pengesampingan Pasal Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang telah disepakati menjadi undang-undang bagi para pihak di mana prinsip ini sesuai dengan prinsip pacta sund servanda. Hal ini tercermin dari sistem terbuka yang dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.345 Selanjutnya, sifat pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata di mana menurut Herlien Budiono berdasarkan keputusan Hoge Raad bahwa Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata bukan peraturan yang bersifat ketentuan memaksa. Artinya para pihak dapat mengesampingkannya.346

Dalam perspektif hukum perikatan, pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata masih menimbulkan perbedaan penafsiran menyangkut sifat dari ketentuan ini yaitu sifat melengkapi (aanvulend recht) dan sifat memaksa (dwinged recht). Pada umumnya dipahami dengan penafsiran gramatikal, kata harus dan wajib menindikasikan ketentuan bersifat dwingend recht. Maka, Pasal 1266 KUH Perdata bersifat dwingend recht dan tidak dapat disimpangi karenanya. Jika dilihat dari daya

345

A. Wangsawidjaja Z, Op.cit, hal 136.

346

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 229.

berlakunya, Pasal 1266 KUH Perdata harus dinilai dwingend recht karena syarat batal dalam pasal ini tergolong syarat batal relatif dan bukan syarat batal mutlak seperti ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata. Perbedaannya terletak pada momen terjadinya kebatalan.347 Pada syarat batal mutlak, jika syarat terpenuhi maka dengan sendirinya perikatan batal, sedangkan pada syarat batal relatif, sekalipun syarat terpenuhi perikatan tidak otomatis batal melainkan harus dimintakan kepada hakim.348

Menurut Y. Sogar Simamora, istilah syarat memutus paling tepat karena dalam perikatan bersyarat, perikatan sudah terjadi demikian juga pelaksanaannya sehingga situasi tidak terpenuhinya syarat dalam tahap pelaksanaan kontrak bukan menunjuk pada syarat batal dalam pembuatan kontrak yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kemudian dalam kontrak timbal balik jika salah satu wanprestasi, syarat memutus merupakan syarat yang berlaku dengan sendirinya karena hukum. Dengan demikian yang membuat perikatan itu putus adalah karena adanya wanprestasi dan bukan putusan hakim. Para pihak dapat mengesampingkan perantaraan hakim dalam kontrak. Pasal 1266 KUH Perdata yang mensyaratkan pemutusan melalui pengadilan untuk melindungi pihak yang merasa dirugikan karena kontrak diputus secara sepihak tidak tepat karena dari segi pendekatan ekonomi, hal ini dinilai sebagai pemikiran yang tidak sejalan dengan prinsip efisiensi. Keputusan pengadilan bukanlah sebuah keharusan jika dikehendaki demikian karena pada umunya pemutusan sepihak dilakukan jika pihak lawan tidak melaksanakan

347

Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Op.cit, hal 285-287.

348

kewajiban yang fundamental. Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata merupakan suatu kezaliman karena dinilai sebagai kebutuhan. Oleh karena itu, sekalipun Pasal 1266 KUH Perdata tampak merupakan bersifat memaksa (dwingend recht), tetapi pengesampingan dalam kontrak dapat dinilai sebagai syarat yang biasa diperjanjikan oleh para pihak dan secara yuridis harus dianggap mengikat.349

Menurut Mara Ioan dan Hristache Trofin, hal ini dikarenakan kerikatan secara timbal balik dapat diartikan merupakan sumber yang sama untuk kontrak dan saling ketergantungan para pihak yang terkandung dalam keterikatan perikatan diantara para pihak yang berkontrak yang mengatur akibat hukum dari perbuatan untuk perikatan dari pihak lain.350

Dalam pengertian yang demikian lahirnya norma hukum ini didasarkan pada hubungan para pihak yang bersifat horizontal. Dalam konteks ini kesederajatan dan kesepakatan menjadi penting. Norma hukum yang lahir dari perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga di luar perjanjian sama sekali tidak terikat. Di Indonesia hal ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “setiap persetujuan yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.

351

349

Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Op.cit, hal 288-290.

350

Mara Ioan et al, Op.cit, hal 112.

351

Hikmahanto Juwana, “Penghormatan terhadap Kontrak Bisnis”, Makalah yang disampaikan pada Seminar “The Enforceability of Business Contracts”, diselenggarakan oleh Partnership for Business Competition, 13 Juni 2002, hal 2.

Menurut L.J. van Apeldoorn, ada analogi tertentu antara kontrak dengan undang-undang. Hingga batas tertentu para pihak yang berkontrak bertindak sebagai pembentuk undang-undang (legislator swasta). Kontrak mempunyai daya berlaku terbatas pada para pihak yang membuatnya, selain itu dengan kontrak para pihak bermaksud untuk melakukan perbuatan konkret.352

M. Isnaeni berpendapat kekuatan mengikat mempunyai daya kerja sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini menunjukkan bahwa hak yang lahir merupakan hak perorangan dan bersifat relatif.

353

Dalam hal ini, pihak ketiga seperti hakim harus menghormati isi kontrak karena para pihak yang membuat kontrak mempunyai keyakinan bahwa apa yang diperjanjikan dijamin pelaksanaannya termasuk tidak boleh dicampuri oleh pihak ketiga ataupun hakim karena jabatannya.354

Hal ini yang menjadi dasar para pihak untuk menyepakati pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata di mana pengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang telah disepakati dianggap sebagai undang-undang bagi para pihak dan tidak boleh dicampuri oleh pihak ketiga yaitu hakim. Selain itu, pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata merupakan unsur naturalia jika dilihat dari sifatnya karena aturan dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian dari perjanjian ini bersifat mengatur yang berarti bahwa para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri bahkan

352

L.J. van Apeldoorn, Op.cit, hal 155-156.

353

M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, (Surabaya: Darma Muda, 1996), hal 32.

354

H.R. Daeng Naja, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal 11-12.

ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya jika para pihak tidak mengaturnya sendiri di dalam perjanjian, ketentuan perundang- undangan tentang perjanjian tersebut akan berlaku.355 Selain itu Pasal 1266 KUH Perdata tergolong juga hukum pelengkap (aanvullend recht), jadi dengan demikian pada prinsipnya para pihak dapat mengecualikan daya kerja kebendaan dan daya berlaku surutnya.356

Dalam praktek diterima pandangan bahwa apabila para pihak memperjanjikan pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata maka pembatalan tanpa perlu perantaraan keputusan hakim karena pembatalan akan batal tanpa perantaraan hakim dalam hal terjadi wanprestasi. Karena itu tetap terbuka peluang bagi para pihak untuk mengesampingkan Pasal 1266 ayat (2), (3), dan (4) KUH Perdata. Maka para pihak harus menyatakan secara tegas bahwa hak yang dimiliki para pihak berdasarkan ketentuan pasal tersebut secara tegas telah dilepaskan.

357

Artinya perubahan dan pengakhiran kontrak hanya dimungkinkan sebagai kekecualian jika sesuai dengan kondisi kontrak atau jika jelas kondisi tersebut disebutkan secara eksplisit dengan dianutnya asas pacta sund servanda di mana kontrak setiap waktu dapat diubah atau diakhiri atas persetujuan para pihak.

358

355

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 101.

356

Gr. Van der Burght, Op.cit, hal 145.

357

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 229.

358

Herlien Budiono, “Asas Keseimbangan dalam Perspektif Unidroit Principles”,di dalam Elly Erawaty, Bayu Seto Hardjowahono, & Ida Susanti (ed), Beberapa Pemikiran Tentang

Para pihak yang mengikatkan diri untuk mengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang dibuat dalam kontrak itu seharusnya mentaati dan memenuhi apa yang telah disepakatinya. Menurut Herlien Budiono, hal ini dikarenakan orang yang terikat pada kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya di dalam dan melalui kontrak seyogianya menaati dan memenuhi apa yang telah disepakatinya.359

Selain itu kepercayaan antara para pihak menjadi elemen penting dalam kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Menurut H.C.F. Schoordijk, kekuatan mengikat kontrak harus dicari dalam kepercayaan yang dimunculkan pada pihak lawan. Suatu kontrak bukan hanya pernyataan-pernyataan baik yang mengungkap kehendak para pihak maupun melalui kehendak itu sendiri. Terbentuknya kontrak bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul pada pihak lawan sebagai akibat pernyataan dari yang diungkapkan.360

Menurut Solene Rowan, ketentuan tentang kontrak yang hanya boleh dibatalkan oleh pengadilan hanya dapat dikesampingkan oleh kegunaan klausula syarat batal yang patut. Klausula ini dilaksanakan dengan cara tidak mengharuskan

Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia: Liber Amicorum untuk Prof.Dr.CFG. Sunaryati Hartono, S.H., (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 311.

359

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op.cit, hal 374.

360

Elly Erawati & Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 67.

pihak yang dirugikan untuk meminta kepada pengadilan untuk memberikan putusan pengakiran kontrak. Ia dapat mengakhiri (terminate) secepatnya.361

Jika muncul sengketa, kewenangan pengadilan dibatasi. Pengadilan tidak dapat berbuat daripada memastikan apakah kondisi-kondisi untuk hak pihak yang dirugikan untuk mengakhiri kontrak telah terpenuhi. Kondisi seperti ini mengecualikan klausula yang menyatakan sebaliknya, Pengakhiran hanya dapat mempunyai arti setelah pelaksanaan peringatan untuk melaksanakan kontrak dari kreditur di mana hal ini dapat mengurangi arti dari klausula syarat batal. Peringatan harus disertai dengan mengingatkan kembali klausula syarat batal dalam klausula yang jelas.362

Kemudian, untuk membatasi kebutuhan akan kewenangan pengadilan, klausula syarat batal dapat memperluas hak untuk mengakhiri (right of termination). Mereka melakukannya oleh pemberian bahwa hak tersebut dapat dilaksanakan terhadap wanprestasi yang tidak diyakini sebagai wanprestasi yang serius. Ini juga termasuk pihak yang dirugikan dapat mengakhiri kontrak walaupun wanprestasi ini relatif minor. Sebagai perbandingan dengan hukum Prancis di mana penafsiran klausula syarat batal yang luas, pengadilan Prancis meminta hak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik (good faith).363

361

Solene Rowan, Remedies For Breach of Contract: A Comparative Analysis of The Protection of Performance, (Oxford: Oxford University Press, 2012), hal 84.

362

Ibid.

363

Namun pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata hanya mengikat jika pihak kreditur yang mempunyai hak untuk minta agar kontrak dibatalkan itu tidak wanprestasi. Jika kreditur sendiri wanprestasi maka ia sendiri telah kehilangan hak untuk mengajukan pembatalan yang dikenal exceptio non adimpleti contractus. Ajaran exceptio non adimpleti contractus berkaitan dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata di mana pihak yang dalam kontrak timbal balik telah melakukan wanprestasi tidak berhak untuk menuntut pihak lawannya agar memenuhi kewajibannya, dia berhak menolak dengan exceptio non adimpleti contractus.364

Itikad buruk kreditur mengacaukan daya kerja klausula syarat batal jika ia berlindung dibaliknya ketika ia secara sebagian atau keseluruhan dipersalahkan atas wanprestasi atau lebih luas ketika ia tidak mempermudah pelaksanaan kontrak. Penilaian pengadilan terhadap kewajaran pengakhiran (termination) merupakan sesuatu yang secara diam-diam dimaksukkan dalam hal ini, sebagai tambahan menelaah kembali kondisi-kondisi hukum dibutuhkan untuk pengakhiran (termination).365

Walaupun dalam suatu kontrak telah secara tegas disepakati pengesampingan dari kewenangan pengadilan dalam memutuskan tindakan wanprestasi dan kewenangan pengadilan untuk membatalkan kontrak sebagai akibat dari tindakan wanprestasi tersebut, apabila dalam penerapannya pihak yang

364

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 232-233.

365

dinyatakan wanprestasi menolak tuduhan tersebut dan tidak dapat menerima tindakan pembatalan sepihak yang dilakukan oleh mitra berkontraknya maka pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dalam kontrak yang disepakati demi hukum tidak berlaku. Pengadilan Negeri tetap berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap sengketa yang timbul dalam kontrak karena berdasarkan undang-undang adalah untuk memeriksa dan memutuskan bukan untuk sekedar menegaskan isi perikatan dari para pihak berkontrak.366 Inilah sebabnya Yves-Marie Lathier berpendapat pengadilan maha hadir (omnipresent) dengan ungkapan “sent out by the door, it come back through window”.367

Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata hanya akan efektif bila para pihak yang berkontrak menyepakati pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata secara sukarela, penuh kesadaran, serta secara konsekuen tunduk pada akibat pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata serta tidak membawa permasalahan dari pembatalan kontrak ke pengadilan sehingga tidak menimbulkan penolakan ketika