• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP KONTRAK BISNIS KLAUSULA SYARAT BATAL YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN

B. Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Kontrak Bisnis Dengan Klausula Syarat Batal Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

1. Perbandingan Antara Parate Executie dengan Sita Jaminan.

Pemenuhan utang yang dilindungi jaminan biasa pada dasarnya sama dengan pemenuhan utang tanpa jaminan. Baik pemenuhan utang yang dilindungi jaminan biasa maupun yang tidak dapat dimintakan sita jaminan. Ada beberapa kelebihan pemenuhan utang yang dapat diminta sita jaminan yaitu:390

a. Pemenuhan harus melalui proses litigasi apabila debitur wanprestasi. 1) Mengajukan gugatan ke pengadilan negeri

2) Dasar tuntutan berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata jo. Pasal 1267 KUH Perdata yaitu menuntut pemaksaan pemenuhan tanpa pembatalan apabila contohnya perjanjian kredit masih prospek atau menuntut pembatalan perjanjian kredit yang diikuti dengan tuntutan pembayaran utang pokok, penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

b. Dapat diminta sita jaminan

1) Perjanjian kredit dengan jaminan biasa telah memiliki objek jaminan yang bersifat spesialis atas barang tertentu milik debitur. Dengan demikian secara yuridis, utang telah dilindungi pemenuhannya oleh barang tertentu.

390

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Op.cit, hal 187.

2) Permintaan sita jaminan dapat langsung diletakkan atas barang jaminan itu, sehingga kreditur terhindar dari upaya mencari di mana dan harta apa saja milik debitur yang dapat dilakukan sita jaminan.

Namun dalam sita jaminan, ada hambatan-hambatan yang dapat dilihat dalam Studi kasus yang dilakukan oleh Sony Darsanto terhadap Putusan No. 54/Pdt.G/1999/PN.Pt dalam kasus antara Hartini vs. Sukin Bin Parlan dan dr. Esti di Pengadilan Pati. Adapun secara umum hambatan-hambatan yang timbul dari pelaksanaan sita jaminan dalam kasus ini dapat ditinjau dari 2 segi yaitu dari luar pengadilan dan dari dalam pengadilan. Dari luar pengadilan, hambatan-hambatan tersebut adalah:391

a. Tergugat I yaitu Sukin Bin Parlan menjual tanah sengketa tanpa sepengetahuan Hartini sebagai Penggugat.

b. Adanya laporan palsu.

Hal ini merupakan salah satu yang menghambat kerja hakim dan juru sita di dalam melaksanakan sita jaminan. Sedangkan hambatan dari dalam Pengadilan adalah :392

a. Kurangnya tenaga hakim, panitera maupun juru sita sehingga antara tenaga yang ada dengan jumlah perkara yang harus diselesaikan tidak seimbang. b. Pemeriksaan berlarut-larut karena hakim terlalu mudah memberi

kelonggaran dengan mengabulkan permintaan penundaan sidang.

391

Sony Darsanto, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) Terhadap Tanah Sebagai Objek Jual Beli Akta PPAT (Studi Kasus Putusan No : 54 / Pdt / G / 1999 / PN.Pt di Pengadilan Negeri Pati), (Semarang: Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2009), hal 76.

392

c. Tidak adanya ketentuan batas waktu penetapan sidang pertama semenjak perkara terdaftar dalam register perkara, sehingga dalam hal ini pelaksanaan sita jaminan juaga akan terhambat.

d. Tidak terwujudnya asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pemenuhan utang yang dapat diminta sita jaminan mempunyai kelemahan mendasar. Pertama, cara pemenuhan yang dapat ditempuh kreditur mesti melalui proses litigasi yang berarti bahwa untuk sampai pada tahap eksekusi harus menunggu putusan sampai berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu diperlukan waktu dan biaya yang relatif panjang dan mahal.

Kedua, tidak memiliki hak preferen di mana kedudukan kreditur tidak dilindungi hak preferen atau hak didahulukan dari kreditur yang lain tetapi tunduk pada ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata kreditur dalam hal ini hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren. Apabila ada kreditur lain pada waktu bersamaan, kreditur tersebut tidak berhak mengambil seluruh hasil penjualan barang jaminan jika ternyata nilai seluruh kekayaan debitur tidak mencukupi untuk melunasi seluruh utang kepada kreditur lain. Dalam hal ini, pemenuhan yang dapat diambil masing-masing kreditur dibagi berdasarkan asas proporsional yang digariskan Pasal 1136 KUH Perdata.

Ketiga adalah kreditur tidak dilindungi dengan hak preferen dan separatis apabila debitur pailit atau dilikuidasi. Apabila debitur pailit atau dilikuidasi, barang jaminan biasa menurut hukum dimasukkan dalam boodel umum untuk dibagi kepada seluruh kreditur berdasarkan asas proporsional. Sekalipun terhadap objek jaminan

biasa itu diletakkan sita eksekusi, hal itu tidak dapat melindungi kreditur tersebut dari jangkauan prinsip boedel umum.393

Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa dalam pelaksanaan hukum acara perdata Indonesia dikenal tiga tingkat pemeriksaan pengadilan dalam mengadili dan memutuskan perkara perdata yaitu pemeriksaan dan pemutusan perkara pada tingkat Pengadilan Negeri, banding di tingkat Pengadilan Tinggi, dan kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Kewenangan pengadilan negeri adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili secara langsung gugatan dalil-dalil serta bukti-bukti yang mendasari suatu gugatan ataupun dalil-dalil pembelaan diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara yang berada dalam kewenangan juridiksinya dalam suatu proses persidangan yang bersifat terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa Majelis hakim Pengadilan Negeri sebagai Judex Factie mempunyai kewenangan untuk memeriksa seluruh substansi perkara yang diajukan dalam bentuk tertulis maupn lisan di depan persidangan termasuk juga bukti-bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan masing- masing pihak yang berperkara dalam mendukung dalil-dalil gugatan ataupun pembelaannya di mana pada umumnya upaya untuk menjamin agar harta dari tergugat tidak dipindahkan ataupun disalahgunakan sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai pembayaran dari nilai gugatan yang diajukan maka pihak penggugat akan mengajukan permohonan sita jaminan.

393

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Op.cit, hal 187.

Walaupun putusan Mahkamah Agung sebagai tingkat peradilan terakhir yang umumnya dinyatakan sebagai suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi putusan kasasi masih memungkinkan untuk dipermasalahkan kembali melalui suatu hak untuk mengajukan upaya hukum khusus yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang didasarkan atas dibuktikan telah terjadi kebohongan, tipu muslihat, pengajuan bukti-bukti palsu, kekhilafan, kekeliruan nyata oleh hakim, atau ditemukannya bukti baru sebagai suatu dokumen bukti yang bersifat menentukan.394

Dalam praktek, tidak ada pembatasan hak dalam mengajukan upaya banding, kasasi, dan upaya khusus peninjauan kembali dari pihak yang tidak puas terhadap putusan pada setiap tingkat pengadilan sepanjang syarat-syarat untuk mengajukan upaya hukum terpenuhi. Jumlah nilai yang dipersengketakan, tingkat kerumitan suatu perkara tidak menjadi dasar persyaratan dari pengajuan hak upaya hukum dari pihak- pihak yang dikalahkan ke pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Hal ini yang memicu lamanya waktu berperkara di pengadilan di mana ternyata secara praktek sering menimbulkan ketidakpastian penggunaan waktu beracara di pengadilan yang dapat memakan waktu 4 sampai dengan 6 tahun untuk diputuskan hingga pada tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi sita jaminan mungkin saja dapat terulur karena banyakanya tahapan peradilan yang harus dilalui.

Lamanya waktu berperkara ditambah seringnya terjadi ketidakpastian hasil dari suatu putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

394

tetap yang membuat banyak pihak sering berusaha menghindari kerumitan dari sutau proses berperkara di pengadilan walaupun terjadi wanprestasi antara para pihak yang berkontrak.395

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa meletakkan sita jaminan atas barang jaminan debitur tidaklah efisien dan efekstif membawa kepastian bagi para pihak.

Selain itu keuntungan kreditur dapat berhubungan dengan sita jaminan tidak berimbang dengan resiko dan kesulitan karena adanya peraturan bahwa penagih dalam menuntut untuk melakukan penjualan di depan umum harus memiliki sebuah akta eksekutorial dan ancaman ganti rugi jika ternyata sita jaminan tidak sah, bagi kreditur biasanya merupakan suatu hambatan yang seringkali di kemudian hari ternyata debitur sebelum dilakukan sita masih menyerahkan barang-barangnya kepada kreditur sebagai jaminan utang.

Kreditur yang akan melakukan sita biasanya harus mengeluarkan banyak ongkos sebelum mengetahuinya. Tidak mengherankan bahwa sering melakukan sita dianggap sia-sia karena penggugat dalam prosedur sita jaminan mengajukan permohonan untuk meletakkan sita terhadap objek kepada pengadilan dengan cukup alasan, tergugat berusaha menghilangkan dengan memindahtangankan atau menyingkirkan dengan maksud menjauhkan barang-barang tersebut.396

395

Ibid, hal 274.

396

Herowati Poesoko, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, (Sleman: Aswaja Pressindo, 2013), Hal 181.

Lain halnya dengan parate executie, yang umumnya berfokus kepada eksekusi hak tanggungan yang mempunyai ciri-ciri sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, yaitu mudah dan pasti dalam pelaksanaannya oleh karena hak eksekusi objek hak tanggungan berada di tangan kreditor/pemegang hak tanggungan.397 Dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, pembuat undang-undang bermaksud memberikan kedudukan yang kuat kepada pemegang hak tanggungan yaitu memberikan suatu hak yang ampuh yang disebut parate eksekusi karena itu merupakan hak, maka dalam hukum berlaku prinsip kesediaan pemilik hak untuk menggunakannya atau tidak. Tidak ada larangan untuk tidak memanfaatkan hak yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu.398

Selain itu, pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan dapat didasarkan pada titel eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungan yang menjadi dasar pelaksanaan eksekusi hak tanggungan. Di samping berfungsi sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, sertifikat hak tanggungan berguna sebagai dasar pelaksanaan eksekusi hak tanggungan bila debitur cedera janji. Dengan menggunakan titel eksekutorial yang termuat dalam sertifikat hak tanggungan bila debitur cedera janji, maka kreditur atau pemegang hak tanggungan pertama dapat melakukan penjualan objek hak tanggungan yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan objek hak tanggungan tersebut.

399

397

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Op.cit, hal 490.

398

J Satrio, “Janji-Janji (Bedingeng) dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan”, Media Notariat Edisi Januari-Maret, (Jakarta: Ikatan Notaris Indonesia, 2002), hal 36.

399

Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan bentuk pelaksanaan parate executie. Pemegang hak tanggungan dapat langsung menjual objek hak tanggungan dengan mengajukan permohonan lelang kepada kantor lelang tanpa mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.400 Melalui titel eksekutorial, masalah kecepatan waktu dalam mengeksekusi jaminan seyogianya bukan merupakan hambatan lagi.401

Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan juga telah mempercampuradukkan parate eksekusi dengan kedudukan kreditur preferen. Untuk mengkaji hal tersebut, dengan bertitik tolak dari jenis hak yang ada dalam hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, sebenarnya hak tanggungan merupakan suatu jenis hak yang eksistensinya lahir lewat perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Perjanjian jaminan yang dilahirkan oleh para pihak bertujuan untuk melengkapi perjanjian pokok yang umumnya berupa perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit. Berkaitan dengan kesepakatan jaminan yang diberikan oleh debitur adalah tanah atau benda tidak bergerak berarti para pihak akan memuat perjanjian hak tanggungan.

Perjanjian ini digolongkan sebagai perjanjian kebendaan dimana hak tanggungan lahir sebagai hak kebendaan. Seperti yang diketahui, hak kebendaan

400

Ahmad Fikri Assegaf & Elijana Tanzah, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 60.

401

Bambang Setijoprodjo, “Pengaman Kredit perbankan yang Dijamin oleh Hak Tanggungan”,di dalam Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU – Medan. Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal 64.

mempunyai ciri-ciri yaitu adanya preferensi droit de suit, prioritas, dan bersifat mutlak. Akibat lanjutnya, kreditur yang memiliki hak tanggungan yang tergolong sebagai hak kebendaan ini memperoleh posisi sebagai kreditur preferen, bukan lagi sebagai kreditur konkuren.402

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan

parate executie mempunyai beberapa keunggulan daripada pelaksanaan eksekusi sita jaminan yaitu:

a. Efisiensi waktu, karena parate executie dapat dijalankan dengan berpedoman pada titel eksekutorial yang ada baik dalam sertifikat hak tanggungan maupun dalam perjanjian yang dibuat para pihak sebelumnya;

b. Kepastian hukum, karena parate executie dapat dijalankan tanpa perlu menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga lebih memberikan kepastian hukum jika dibandingkan dengan pelaksanaan eksekusi sita jaminan yang mungkin saja memakan 3 (tiga) tingkat peradilan, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dan 1 (satu) upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali.

c. Rasa aman atas pelunasan hutang debitur, karena parate executie mengenal adanya kreditur yang diutamakan (kreditur preferen) yang lebih memberikan rasa aman kepada kreditur jika dibandingkan dengan proses pelaksanaan sita jaminan dimana kedudukan debitur adalah hanya sebagai kreditur konkuren.

402

d. Biaya murah dan sederhana, karena proses eksekusi singkat dan kreditur dapat segera memperoleh uangnya kembali dengan cepat dengan mengajukan permohonan lelang kepada kantor lelang dan segera menjual objek jaminan.

2. Pelaksanaan Eksekusi terhadap Kontrak Bisnis dengan Klausula Syarat