• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUH PERDATA

D. Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

2. Syarat Batal Dalam Kontrak Timbal Balik.

Ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata berasal dari ketentuan Pasal 1184 Civil Code. Hal ini terlihat dalam Pasal 1184 CivilCode Prancis yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yaitu:307

The terminating condition is always implied in bilateral contracts in ase one of the two parties does not perform agreement.

In that case the contract is not terminated as a matter of right. The party in whose favor the agreement has not been performed has a choice either to force the other party to preform the contract when possible, or to demand termination with damages.

Termination must be sought from the courts, and a delay may be granted the defendant, according to the circumtances.

Ketentuan tersebut merupakan kombinasi ketentuan yang bersumber pada hukum Romawi, Kanonis, dan Perancis.308 Dalam hukum Romawi, penjual wajib mengirim barang walaupun pembeli memutuskan kewajibannya untuk membayar, dan pembeli diingatkan untuk wajib membayar walaupun penjual tidak mengirimkan barang yang sudah dikonfirmasi. Untuk menghindari hasil yang tidak menguntungkan ini, penjual secara rutin memasukkan syarat batal yang disebut pacte atau lex commissoria yang mana membolehkan mereka untuk membatalkan penjualan jika pembeli tidak membayar tepat waktu. R. Pothier pun mengakui bahwa syarat batal

Civil Code Prancis mempunyai kemiripan dengan lex commissoria Romawi ini.309

307

Edward A. Tomlison, “Performance Obligations of the Aggrieved Contractant: The French Experience”. Loyola Los Angeles and Comparative Law Journal, Vol 12 No. 139 (1989), hal 160.

308

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 226.

309

Hal ini dapat dilihat dari kutipan Reinhard Zimmerman tentang lex commissoria yang menjadi iron rule hukum Romawi dan maksud selalu dianggap ada yaitu:310

If, in case of a synallagmatic contract, one party is in default in performing, the other party may give him a reasonable period within to preform and warn him of his intention to refuse to accept the performance after the expiration of the period. After the expiration of the period he is entitled to demand compensation for non performance in due time. . . If, in consequence of default, the performance of the ontract is of no use to other party, such the other party.

Demikian juga menurut Peter de Cruz, di dalam Pasal 1184 Civil Code

terdapat hak kreditur untuk menarik kembali atas tidak terlaksananya kontrak di dalam kontrak dua sisi (synallagmatic).311 Menurut Mara Ioan dan Hristache Trofin, defenisi-defenisi berbagai macam kontrak yang disebut synallagmatic selalu mengandung frasa “in exchange for”.312

Janwillem Oosterhuis berpendapat bahwa Pasal 1184 Civil Code yang ditransplantasi ke dalam Wetboek Napoleon Belanda juga memberikan kepada kreditur dari perjanjian timbal balik (reciprocal) untuk memilih antara menuntut pelaksanaan nyata (actual performance) atau pembatalan (rescission) dengan ganti rugi (with damages). Paradoks yang nyata antara prinsip keseluruhan kewajiban untuk bertindak menyelesaikan ganti rugi atas tidak terlaksananya kontrak (non- performance) oleh debitur (Pasal 1142) dan aturan bahwa kredtur dari perjanjian

310

Reinhard Zimmermann, The Law Of Obligations: Roman Foundation of The Civilian Tradition, (Oxford: Clarendon Press, 1996), hal 800.

311

Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law dan Socialist Law. Diterjemahkan oleh Narulita Yusron. (Bandung: Nuansa Media & Diadit Media, 2010), hal 560.

312

Mara Ioan & Hristache Trofin, “Regulation of the Exception for Non-performance Under The New Civil Code”. Acta Universitatis Danubius Juridica, Vol. 8 No. 2 (2012), hal 112.

timbal balik (reciprocal) dapat memilih antara pelaksanaan nyata (actual performance) dan ganti rugi (damages) atas kesalahan debitur (Pasal 1184) yang menjadi isu dalam praktek hukum dan doktrin di Belanda setelah pengundangan Burgeljik Wetboek tahun 1838.313 Pasal 1142 Wetboek Napoleon dalam Burgeljik Wetboek tahun 1838 menjadi Pasal 1302 BW dan Pasal 1303 BW yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Janwillem Oosterhuis di mana sebagian setara dengan Pasal 1184 Code Civil yaitu sebagai berikut:314

The condition subsequent is always implied in synallagmatic contracts, for the case where one of the two parties does not carry out his undertaking.

In that case the contract is not avoided ipso jure, but avoidance must be placed in court. This apllication must also take place, even if the condition subsequent because of the non-performance is expressed in the contract. If the condition subsequent is not expressed in the contract, the judge is free, depending on the circumtances, to grant the defendant, at his request, a period of grace to perform his obligation after all, which period may however not exceed the time of one month. The party towards whom the undertaking has not fulfilled ha choice, when it is possible, either to compel the other to fullfil the agreement or to request its avoidance with compensation of damages.

Akan tetapi, pandangan Pothier tentang klausula syarat batal berbeda dari Hukum Romawi. Pothier pun menjelaskan bahwa:315

In French practice it was customary to summon, through the sergeant, the creditor [i.e., the party from whom one is claiming a discharge] so that he may satisfy the condition with a frerral before the judge who will pronounce the nullity [i.e., the extinction] of the engagement if the creditor fails to satisfy the condition.

313

Janwillem Oosterhuis, Specific Performance in German, French, and Dutch Law in the Nineteenth Century: Remedies in an Age of Fundamental Rights and Industrialisation, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2011), hal 205-206.

314

Ibid, hal 214.

315

Demikian, Pothier mensyaratkan campur tangan pengadilan untuk pembatalan walaupun klausula syarat batal sudah tercantum dalam lex commissoria.316 Dalam kenyataan ide campur tangan pengadilan dapat persoalan pembatalan kontrak dua sisi (synallagmatic contract) aslinya berasal dari Hukum Kanonis bukannya Hukum Romawi. Ahli hukum Kanonis menerangkan bahwa ikatan antara perikatan timbal balik (reciprocal) dalam kontrak dua sisi (synallagmatic contract) dan dapat diketahui peraturannya jika salah satu pihak gagal memegang janjinya, itu menghilangkan haknya untuk melaksanakan janji yang dibuat oleh pihak lain.317 Menurut Rene Cassin, ahli hukum Kanonis tidak membiarkan salah satu pihak nantinya melepaskan dirinya dari janji yang tidak dipegang teguh olehnya, tetapi disyaratkan untuk meminta pembatalan dari pengadilan gereja. Gereja yang akan menilai apakah pembatalan pihak lainnya memberikan alasan pembenaran untuk tidak menepati janji kepada orang yang berjanji.318

Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi bahwa rumusan Pasal 1266 KUH Perdata dibuat untuk melindungi kepentingan salah satu pihak dalam perikatan timbal balik. Dalam perikatan yang demikian, masing- masing pihak terikat untuk melaksanakan prestasi satu terhadap yang lain. Dapat terjadi bahwa prestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan timbal balik dilaksanakan terlebih dahulu dari prestasi pihak lainnya atau dengan kata lain prestasi yang saling bertimbal balik tersebut dapat terjadi tidak dilaksanakan secara

316

Ibid, hal 177.

317

Octavian Cazac, Op.cit, hal 79.

318

bersamaan. Untuk itu, maka guna melindungi kepentingan pihak yang beritikad baik dalam kontrak timbal balik, maka KUH Perdata demi hukum menentukan bahwa syarat batal harus selalu dianggap ada.319

Akan tetapi pembentuk undang-undang telah memberikan kepada pengaturan syarat batal tersebut secara diam-diam yang hampir seluruhnya bertumpu pada fiksi.

320

Hal itu terlihat dari penjelesan Paul Scholten tentang Pasal 1266 KUH Perdata bahwa Pasal 1266 KUH Perdata telah dipakai untuk menentang pembatalan perjanjian dengan mempertahankan yang sudah lampau dengan memutuskan yang akan datang dengan menggunakan fiksi hukum karena para pihak walaupun tidak memperjanjikan bahkan tidak memikirkan tentang klasula syarat batal tetapi dianggap telah memikirkan dan bermaksud untuk memperjanjikan klausula syarat batal.321

Fiksi hukum penting sekali untuk perkembangan hukum yang berguna menyelesaikan pertentangan tuntutan baru dengan sistem yang ada.322 Namun fiksi hukum dikritik oleh Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa, “fictions are to law what fraud to trade”.323

319

Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan: Hapusnya Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal 204-205.

Fiksi hukum memang sifatnya hanyalah khayalan karena

320

Gr. Van der Burght, Buku Tentang Perikatan Dalam Teori dan Yurisprudensi. Disadurkan oleh Freddy Tengker. Wila Chandrawila Supriadi (Ed). (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal 145.

321

Paul Scholten, Mr. C. Asser Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda: Bagian Umum. Diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono. Sudikno Mertokusumo (ed.). (Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Press, 1996), hal 72-73.

322

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Diterjemahkan oleh Oetarid Sadino. Cet. ke- 33. (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), hal 410.

323

Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory. 3rd Edition. (Oxford: Oxford University Press, 2012), hal 202.

tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya.324 Ini terlihat dari penjelasan Van der Burght bahwa kebanyakan para pihak yang akan mengadakan kontrak sama sekali tidak mengetahui adanya peluang mengandalkan syarat seperti itu ketika pembentuk undang-undang telah menggunakan fiksi hukum dengan mengatur syarat batal secara diam-diam.325

Pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata dapat dikategorikan sebagai unsur naturalia dari kontrak di mana syarat batal selalu dianggap dicantumkan itu dapat diartikan syarat batal secara diam-diam dicantumkan dalam kontrak baik diketahui oleh para pihak atau tidak. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri unsur naturalia karena unsur naturalia adalah unsur yang melekat pada perjanjian di mana unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian, secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan unsur yang melekat pada perjanjian.326 Menurut Gunawan Widjaja, unsur naturalia ini dapat diatur secara berbeda oleh para pihak jika memang dikehendaki oleh mereka.327

Selain itu, Reinhard Zimmermann berpendapat lex commisoria telah digantikan posisinya dalam praktek bisnis secara luas dengan perancangan berdasarkan oleh pengaturan yang oleh penjual (vendor) mempertahankan kepemilikan penjualan properti sampai pembeli telah membayar harga pembelian.

324

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009), hal 5.

325

Gr. Van der Burght, Op.cit, hal 145.

326

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Edisi Revisi. (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010), hal 154.

327

Gunawan Widjaja, “Hal-Hal Prinsip Dalam Pembuatan Kontrak Yang Sering Terlupakan Dan Akibat-Akibatnya”, Op.cit, hal 51.

Lex commisoria telah digantikan reservation of title arrangement atau peranncangan kesepakatan hak retensi kreditur jika debitur tidak dapat membayar tepat waktu dan cara hak retensi yang lebih memuaskan telah memberikan posisi yang aman kepada kreditur dari lex commisoria. Lex commisoria dikonstruksikan lebih resolutif daripada kondisi yang menangguhkan dengan hasil kreditur diikat untuk pertukaran kepemilikan. Ini tidak akan dipermasalahkan sepanjang itu telah tidak bisa dipungkiri bahwa kepemilikan akan secara otomatis kembali kepadanya saat kesalahan pembeli untuk membayar tepat waktu. Kepemilikan tidak gugur secara otomatis tetapi menjadi ditukar kembali. Demikian lex commisoria secara luas dibatasi dalam arti memastikan kreditur yang melawan keadaan insolven dari debitur yang dapat berjalan terus.328

Hal ini terlihat dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menentukan bahwa hak untuk menahan benda milik debitur (hak retensi) berlangsung sampai utangnya lunas. Hak kreditur yang mempunyai hak untuk menahan benda milik debitur (hak retensi) tidak kehilangan haknya karena adanya putusan pernyataan pailit. Hak retensi berlangsung sampai utangnya lunas.

329

Maka, kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, syarat batal dalam kontrak timbal balik berasal dari ketentuan Hukum Romawi, Hukum Kanonis, dan Hukum Perancis. Hanya saja, perbedaan antara syarat batal dalam hukum Romawi dengan

328

Reinhard Zimmerman, Op.cit, hal 744-746.

329

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Edisi Baru. (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2010), hal 200.

hukum Kanonis dan hukum Perancis adalah Hukum Kanonis dan hukum Perancis mensyaratkan campur tangan pengadilan. Kedua, ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata tentang syarat batal merupakan fiksi hukum yang digunakan untuk mencantumkan ketentuan ini secara diam-diam di mana para pihak tidak pernah mengetahui adanya peluang mengandalkan syarat batal. Syarat yang diperjanjikan dengan fiksi hukum tidaklah mengikat karena harus adanya kehendak para pihak untuk memperjanjikannya. Pihak yang membuat janji tidak dapat diikat oleh janjinya yang bersifat fiksi. Para pihak juga dapat mengecualikan daya kerja kebendaan dan daya berlaku surutnya karena ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata bersifat melengkapi (aanvulend recht). Ketiga, syarat batal menurut konsep lex commisoria sudah digantikan fungsinya dengan hak retensi yaitu hak untuk menahan benda milik debitur dalam praktek dunia bisnis modern.