• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Membangun Opini Publik Pada Masa Invasi Irak 2003Pada Masa Invasi Irak 2003

C. Peliputan Perang Irak

Perang merupakan sebuah fenomena yang menarik seperti halnya sebuah kegiatan yang patut disimak oleh masyarakat melalui media massa yang meliputnya.36 Hal di atas dapat diistilahkan sebagai bad news is good news for mass media yang dimaknai bahwa berita buruk seperti perang sekalipun dapat dijadikan suatu tayangan menarik.

Dengan keadaan seperti di atas, maka dapat dilihat bahwa media dapat mengambil peran dalam pelaporkan hasil investigasinya di lapangan. Peran media tersebut berupa pengaruh terhadap masyarakat yang dapat menilai suatu fenomena yang dipublikasikan oleh media berupa opini publik.37 Namun, opini publik tersebut tidak terbatas pada penilaian masyarakat terhadap suatu fenomena, terkumpulnya pandangan individu dalam menilai juga dapat dijadikan bukti atau data yang kuat oleh kelompok tertentu termasuk pemerintah.

Dalam Perang Irak 2003, ada upaya oleh media yang menginvestigasi jalannya perang untuk mempengaruhi masyarakat dalam membentuk pola pikir masyarakat. Hal ini ditujukan untuk membentuk penilaian positif terhadap seberapa pantasnya invasi tersebut sesuai dengan pandangan media. Namun, upaya yang dimaksud dapat terbentuk secara alamiah yang sendirinya dilakukan media melalui kondisi di medan perang. Seperti yang telah dijelaskan oleh Chomsky di atas tentang pengaruh media dalam membentuk opini publik, maka investigasi yang dilakukan oleh media dalam perang Irak tersebut juga sedikit

36

Lukas S. Ispandriano dkk, Media-Militer-Politik: Crisis Communication, (Yogyakarta: Galang, 2002), h 161-162.

37

Opini publik merupakan sebuah hasil opini individu-individu yang terikat dalam suatu kelompok kesepakatan yang diwakili oleh lembaga atau kelompok yang sesuai dengan norma yang berlaku pada suatu tatanan tertentu dan wilayah terhadap suatu masalah yang kontroversial. Lihat dalam Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, terj., (Jakarta: Pinus Book Publisher, 2006), h. 51.

banyak mempengaruhi masyarakat internasional khususnya masyarakat AS dalam menilai jalannya perang. Hal ini dapat dilihat dari peliputan yang dilakukan media massa khususnya media AS.

Dalam peliputan saat Perang Irak berlangsung, pemerintah AS memberlakukan embedded journalism terhadap media massa.38 Pemberlakuan tersebut dilakukan terhadap seluruh jurnalis yang akan meliput invasi di Irak. Terdapat enam ratus jurnalis yang mengikutsertakan dirinya bersama tentara untuk meliput dan mempublikasikan perang secara langsung. Sebagian besar jurnalis yang tergabung dalam operasi militer tersebut adalah dari media Barat sebanyak 90% dari jumlah keseluruhan.39 Hal ini menurut Victoria Clarke, juru-bicara Pentagon, merupakan suatu hal yang efektif guna melindungi jurnalis yang akan menampilkan perang yang dimotori oleh AS.40 Perlindungan ini juga dilakukan agar jurnalis yang ikut serta dalam aksi militer AS dan koalisi tidak dapat diserang oleh pihak lawan yang menganggap jurnalis sebagai musuh atau menjadi sasaran tembak oleh lawan.

Pemberlakuan embedded journalism yang diberlakukan oleh pemerintah AS terhadap jurnalis dalam medan perang, menurut Goodman dan Goodman justru menimbulkan:41 Pertama, keterbatasan jurnalis untuk meliput Perang Irak dan sensor laporan berita. Hal ini terjadi karena jurnalis mau tidak mau juga membawa berita yang akan dipublikasikan merupakan berdasarkan dari satu pandangan karena pers yang meliput akan mengikutsertakan dirinya pada operasi

38

Embedded journalism adalah wartawan yang mengikut sertakan diri mereka ke unit

militer. Lihat dalam Andrew M. Lindner, “Controlling The Media in Iraq”, diakses pada 23 Mei

2011 pk. 07:12, dari http://www.sociology.psu.edu/Control%20media.pdf.

39 Ibid.

40Chantal Escoto “Military, Media Benefit from „Embed‟”, The Leaf-Chronicle, 22 Juni 2003, diakses 09 Januari 2011 pk. 20:07, dari http://www.theleafchronicle.com.

militer AS dan sekutu yang sedang bertugas. Hal ini juga sesuai dengan pandangan Dimitrova bahwa pemberlakuan embedded journalism akan terdapat komitmen yang terbangun secara alamiah dalam kondisi tertentu, yakni dibangunnya rasa saling percaya antara jurnalis dengan pihak militer sehingga semakin mudah untuk bekerja sama.42

Ke dua, keterbatasan waktu dan ruang untuk meliput. Hal ini berujung pada redaksi yang harus mempertimbangkan penyiarannya karena pembatasan waktu di medan perang berujung pada agenda setting. Artinya adalah keterbatasan tersebut mendorong redaktur untuk menyediakan berita hasil liputan meskipun berita tersebut tidak sesuai dengan standar penyiaran. Hal ini didasarkan karena seluruh media massa yang ada memiliki core interest yang berbeda-beda sehingga layak atau tidaknya suatu liputan yang akan dipublikasikan tergantung persepsi media tersebut. Selain itu, pembatasan tempat juga merujuk pada seluruh latar belakang peliputan sesungguhnya telah diatur sebelumnya oleh tentara yang diikutinya. Ke tiga, dari dua keterbatasan tersebut, maka jurnalis dibawa untuk sering bertindak tidak sesuai dengan independensi jurnalistik, hal ini sesuai Rekomendasi Hucthkins yang menunjukan bahwa jurnalis seharusnya bebas meliput dan menyampaikan hasil liputannya serta tidak dalam kontrol pihak manapun.43

Dalam melakukan operasinya, jurnalis dalam perang Irak juga mendapat tekanan dari militer AS, tekanan ini dilakukan terhadap jurnalis yang tidak berada dalam kontrol militer seperti halnya jurnalis yang melakukan embedded journalism. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kejadian yang dialami oleh jurnalis

42

Daniel Dimitrova, The Immediate News Framing of Gulf War II, dalam Television Coverage of the Iraq War, h. 25-29.

43

internasional di medan perang seperti penembakan bahkan pengeboman terhadap tempat para jurnalis bermukim dan melaporkan hasil liputannya.

Penembakan tentara AS tanggal 8 April 2003 terhadap Taras Protsiu, jurnalis Reuters dari Perancis dan Jose Couso, jurnalis Telecinco dari Spanyol di

Hotel Palestine, Baghdad, merupakan upaya AS untuk menahan arus komunikasi dari media yang tidak menyertai militer.44 Terbunuhnya Protsiu dan Couso merupakan upaya AS menutup informasi tentang invasi agar tidak terciptanya opini publik yang negatif tentang invasi tersebut mengingat Perancis adalah salah satu negara angota DK PBB yang menentang invasi.

Selain kasus di atas, upaya kontrol AS juga dilakukan terhadap media asing dari Timur Tengah agar tidak ada media besar yang menandingi media Barat yang notabene sebagian banyak masuk ke dalam bagian militer ketika meliput perang. Hal ini terlihat seperti Aljazeera yang dibungkam mulai dari sebelum hingga invasi berjalan.

Bagan C.1. Pembungkaman Aljazeera oleh AS

Perlakuan AS Terhadap Aljazeera Bulan/ Tahun

1. Seorang jurnalis Aljazeera yang meliput pertemuan antara George W. Bush dan Fladimir Putin di Crawford, Texas, ditangkap oleh FBI karena kartu kredit yang digunakan dituduh berkaitan dengan Afghanistan. Jurnalis tersebut baru dibebaskan oleh FBI setelah diakui bahwa Aljazeera dan Al-Qaeda adalah organisasi yang berbeda.

2. Pesawat perang AS menjatuhkan dua bom masing-masing seberat lima ratus pon di biro Aljazeera di Kabul hingga hancur. Padahal titik kordinat telah diketahui AS yang sebelumnya telah diinstruksikan oleh salah satu wartawan Aljazeera. Hal ini dilakukan karena AS mengklaim bahwa kantor tersebut sebagai fasilitas informasi Al-Qaeda.

3. Di Basra, Irak. Militer AS menjatuhkan empat bom di hotel Sheraton. Hotel tersebut merupakan penginapan yang diketahui AS sebagai tempat mukim satau-satunya koresponden yang melaporkan mengenai kacaunya wilayah Basra. Kali inipun pihak Aljazeera telah melapor ke Pentagon untuk dilindungi dan meminta titik aman oleh tentara AS.

November 2001

08 April 2003

2003

44

4. Seorang jurnalis Aljazeera yang melewati perbatasan Baghdad diizinkan oleh marinir AS untuk masuk wilayah tersebut setelah menunjukkan kartu identitas. Namun setelah berjalan beberapa meter dari perbatasan tersebut, mobil yang ditumpangi junalis tersebut ditembaki hingga rusak parah. Meskipun tidak menimbulkan luka yang berarti, namun jurnalis tersebut tidak dapat melanjutkan aksi jurnalistiknya.

5. Di Nasiriya, Irak. Seorang jurnalis Aljazeera yang menempel pada militer AS diancam akan dubunuh oleh Pasukan Pembebasan Irak anti-Saddam. Pasca ancaman tersebut, Komandan Marinir menolak turut campur dan melindunginya serta melarang jurnalis tersebut untuk tidak meliput pada saat perang. Jurnalis yang ketakutan itupun menuruti perintahnya. 6. Dewan Pemerintahan Irak pilihan AS melarang jaringan media

massa Aljazeera dan Al-Arabiyah untuk tidak meliput berita dari Irak selama dua pekan pada saat perang. Kedua jaringan televisi tersebut dituduh akan membangkitkan kekerasan politik bila berita yang disiarkan tidak sesuai dengan program penegakan demokrasi secepatnya di Irak. Sanksi dan larangan ini adalah pertanda buruk dari niat dewan berkenaan penegakan demokrasi secepatnya di Irak.

04 Septermber 2003

September 2003

November 2003

Sumber: Amy Goodman dan David Goodman dan TEMPO Interaktif

(data diolah oleh penulis)

Pembungkaman di atas merupakan bukti bahwa AS memiliki upaya untuk menciptakan dominasi arus informasi dari media Barat. Terlebih dengan adanya anjuran untuk menerapkan embedded journalism terhadap jurnalis yang meliput perang, sehingga tersendatnya arus informasi dari media asing yang tidak menyertai militer AS akan memudahkan jalan bagi AS untuk menciptakan opini publik.

BAB III

KEBIJAKAN RESPONSIF AS TERHADAP IRAK