• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya FNC dalam Membantu Pemerintah AS Melegitimasi Invasi Irak Tahun 2003

SERIKAT DALAM MEMBANGUN OPINI PUBLIK PADA MASA INVASI IRAK 2003

A. Upaya FNC dalam Membantu Pemerintah AS Melegitimasi Invasi Irak Tahun 2003

Dibangunnya FNC pada tahun 1996 oleh Murdoch ternyata baru dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pandangan publik pada masa implementasi kebijakan luar negeri AS tahun 2003. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2003, bahwa kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak mendapatkan dukungan berupa pandangan yang positif. Hal ini juga tidak lepas dari upaya masing-masing pihak antara FNC dan pemerintah AS yang berusaha membangun citra positif agar invasi Irak 2003 tersebut dapat didukung oleh publik AS sendiri.

Dalam usaha membangun opini publik, FNC memberikan sudut pandang yang berbeda dari media massa lainnya, yakni pada saat eskalasi isu invasi serta saat implementasi kebijakan berlangsung, FNC mempublikasikan berita yang lebih mendukung perang. Pada saat tersebut, FNC menempatkan posisinya bukan sebagai

watch dog yang mencari dan menonjolkan netralitas antara nilai negatif dan positif yang seimbang dari kebijakan invasi tersebut, namun lebih kepada pemunculan sisi positifnya saja. Dengan dimunculkannya pandangan yang berbeda tersebut juga ternyata dapat diterima oleh masyarakat AS bahkan aktor politik di negara lain. Hal ini berimbas pada dukungan dalam negeri yang besar dan dorongan dari negara lain hingga akhirnya invasi tersebut tetap terlaksana.

Besarnya upaya masing-masing pihak antara FNC dan pemerintah AS untuk membentuk pandangan masyarakat agar dapat membenarkan invasi ke Irak tersebut telah jelas dilatarbelakangi oleh aktor masing-masing kedua pihak. Pada hal ini bertitik tolak pada peran George W. Bush yang bertanggungjawab atas kedaulatan AS sehingga wajib baginya untuk menjaga stabilitas keamanan nasionalnya.1 Hal ini menjadi pijakan bagi Bush untuk melaksanakan kebijakannya yang pada saat itu menyebut Irak sebagai ancaman bagi AS karena dianggapnya memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Hal ini juga tidak semata-mata hanya karena Bush sebagai seorang presiden yang berasal dari Partai Republik yang suka berperang, namun lebih didasari oleh jejak buruk yang dimiliki Irak terhadap negara-negara yang dianggapnya musuh, seperti Kuwait dan Iran, sehingga Bush berusaha mengantisipasi

1 John G. Ikenberry, “America‟s Imperial Ambitions” dalam American Foreign Policy Theoretical Essay, Edisi ke-4, (New York: W.W. Norton dan Compagny, Inc., 2007), h. 575.

segala keburukan yang dimiliki Irak agar kejadian seperti Tragedi 9/11 tidak terulang kembali.

Selain Bush yang menjadi aktor penting dalam pemerintahan pada masa invasi tersebut, latar belakang kepemilikan FNC dan kontrol Roger Ailes sebagai seorang yang pernah berperan dalam Partai Republik dan juga sebagai seorang CEO di FNC ternyata berpengaruh pada dukungan terhadap invasi. Dalam hal ini, Ailes diposisikan sebagai pengarah berita dalam redaksi FNC. Hal ini sesuai dengan pemikiran Kegley dan Wittkopf yang menyebutkan, bahwa media melalui fungsinya dapat mengarahkan cara pandang masyarakat.2 Namun hal ini dianalisis bahwa berita FNC yang dipublikasikan ke seluruh masyarakat dapat diartikan sebagai hasil olah berita oleh redaktur yang sangat berperan sebagai pengontrol kegiatan di ruang redaksi.

Naiknya dukungan opini publik AS melalui Gallup Polling3 terhadap kebijakan Bush merupakan hal yang sesuai dengan opini publik menurut E. Jackson Baur yang dibuktikan dengan munculnya suatu pandangan melalui organisasi atau lembaga publik.4 Dalam hal ini dianalisis bahwa naiknya dukungan publik tersebut merupakan hasil dari kontribusi besar FNC yang secara intensif mempublikasikan isu invasi secara positif. FNC yang dikenal sebagai media konservatif dalam mendukung kebijakan pemerintah dari Partai Republik mampu menyearahkan pandangan publik

2

Charles W. Kegley dan Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 316-318.

3Lihat Bab II bagan B.4. “Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak”, h. 31

4

hingga akhirnya dapat terhimpun dalam suatu opini yang hasilnya berupa dukungan terhadap invasi.

Dengan hasil tersebut, FNC yang mendapatkan keuntungan dengan naiknya

rating sepanjang awal perang berlangsung, menjadikan FNC sebagai mainstream media di AS.5 FNC diikuti oleh media lainnya sebagai tolak ukur tentang berita apa saja yang patut dan pantas dengan situasi sosial politik yang dibutuhkan oleh masyarakat AS. Dengan dijadikannya berita FNC sebagai tolak ukur oleh media lain, maka hal demikian diartikan bahwa dalam membangun pandangan positif terhadap invasi, FNC tidak bekerja secara tunggal. Dengan proses tersebut juga secara tidak langsung menggiring seluruh media untuk menjadikan berita menjadi seragam. Keseragaman yang terjadi pada media massa saat itu tentu membawa pengaruh pada masyarakat AS yang percaya tentang netralitas seluruh berita dari berbagai media massa. Dengan demikian, maka keadaan tersebut membuat isu invasi AS ke Irak menjadi semakin dianggap penting karena sebagian besar media utama di AS juga membahas seperti yang dibahas oleh FNC.

Dengan transformasi informasi dari media seperti di atas, maka hal ini dapat mempengaruhi masyarakat melalui konsumsi media elektronik khususnya terhadap media TV oleh masyarakat AS yang cukup besar. Hal ini dipengaruhi oleh rating

FNC yang berada pada klasemen tertinggi serta keseragaman berita oleh media TV, dengan kondisi tersebut maka FNC dapat mengkostruksikan pandangan tentang sisi positif invasi terhadap masyarakat AS. Konstruksi pandangan tersebut dibangun

5 Chairman Speech to Shareholders News Corporation Limited Annual Meeting”, diakses pada 14 Februari 2011 pkl. 01:11, dari http://www.newscorp.com/news

melalui proses kultivasi oleh masyarakat sesuai menurut Straubhaar, J. & LaRose, bahwa agenda setting yang dikeluarkan oleh FNC menjadikan isu tentang invasi sebagai hal penting yang menarik masyarakat AS untuk mengamatinya. Sehingga, suatu realitas politik dari pandangan yang dikeluarkan oleh FNC secara tidak langsung dapat berpengaruh pada opini publik masyarakat AS pada saat itu.

Keseragaman berita yang ada pada media besar di AS, menjadikan FNC dengan mudah mentransformasikan sikap dan nilai tentang invasi yang kemudian menyebarkan sikap serta nilai-nilainya kepada masyarakat AS dan internasional. Hal ini digunakan untuk menanamkan pandangan kepada masyarakat bahwa mayoritas masyarakat AS yang diwakili oleh media massa memandang bahwa hal yang sesuai dengan keinginan masyarakat AS adalah berperang melawan Irak untuk mengantisipasi segala bahaya yang didengungkan oleh pemerintah AS. Hal ini juga menunjukkan bahwa media massa khususnya FNC menginginkan sebuah homogenitas persepsi yang sama. Homogenitas persepsi yang terjadi pada media di AS saat itu merupakan efek dari penyesuaian media massa selain FNC yang mau tidak mau harus mengubah pandangannya tentang invasi. Hal ini sesuai menurut Ibnu Hamad yang menyebutkan, bahwa media massa mau tidak mau memikirkan unsur kapital agar dapat menyesuaikan atmosfer persaingan antarmedia di AS.6

Dengan menjadikan berita FNC sebagai acuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada proses homogenitas persepsi tersebut terjadi hal yang cukup rumit. Seperti halnya media massa CNN, CBS, NBC dan ABC yang dapat dinilai bahwa

core interest-nya lebih kental ke arah liberal harus menyesuaikan pandangannya

6

dengan apa yang terjadi di AS. Hal ini terjadi karena melihat rating FNC yang terus naik. Dengan keadaan tersebut, maka dapat diartikan bahwa atmosfer persaingan antarmedia yang dimenangi oleh FNC mendorong redaksi di setiap media massa yang

core interest-nya lebih ke arah liberal menjadi ke arah konservatif yang mendukung invasi Irak tersebut. Hal ini juga terjadi karena media selain FNC yang lebih liberal tidak ingin mengalami kemerosotan dalam jumlah rating yang dalam persaingannya sudah jelas di bawah FNC, mengingat media massa AS selalu mengusahakan penanaman modal swasta dalam penyiarannya dan juga berimbas pada rating-nya.

Dengan konsumsi berita masyarakat AS yang lebih besar pada malam hari serta beberapa proses yang menghasilkan keseragaman berita oleh media massa di AS tersebut,7 maka tidak diragukan bahwa wacana dan tema yang lebih mendukung perang justru proporsinya lebih dominan pada saat berita malam. Hal ini sesuai dengan agenda setting menurut Kegley dan Wittkopf yang menjelaskan, bahwa media melalui agendanya mampu mengkondisikan cara pandang masyarakat AS.8 Dengan demikian, hal ini dianalisis bahwa agenda setting tersebut dapat dinilai sebagai berita positif terhadap invasi. Agenda setting yang ada dalam hal ini adalah agenda publikasi berita yang ditampilkan pada waktu prime time atau waktu utama konsumsi berita dari jam 05:00pm sampai jam 10:00pm pada tiga minggu awal invasi berlangsung.9 Hal ini juga dapat dilihat dari beberapa wawancara dan jajak pendapat

7

Steve Rendall dan Tara Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”, Extra! May/June 2003 diakses pada 14 Juni 2011 pkl. 15:30, dari http://www.fair.org/index.php?page=1145

8

Charles W. Kegley and Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 316-318.

9

yang dilakukan oleh media massa AS pada masa invasi AS ke Irak sepanjang tahun 2003.

Bagan A.1. Publisitas acara berita malam utama selama perang Irak 2003 (CBS, ABC, NBC, FNC dan CNN).

Narasumber Persentase/ Jumlah

1. Narasumber pendukung perang 2. Narasumber antiperang

3. Narasumber AS pendukung perang 4. Narasumber AS yang antiperang

5. Narasumber yang sedang dan yang pernah bekerja untuk pemerintah

6. Narasumber dari kampus, kelompok pakar, dan organisasi non-pemerintah

7. Narasumber pemerintah AS dari kalangan militer 8. Jumlah pejabat atau mantan pejabat pemerintah

yang tampil di televisi 9. Jumlah aktivis antiperang

10.Narasumber FNC yang mendukung perang.

64% 10% 71% 3% 63% 4% 68% 840 orang 4 orang 81%

Sumber: Steve dan Tara Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent,”

Extra!, March-June 2003. http://www.fair.org/index.php.

Dengan bagan di atas, maka dapat dibuktikan bahwa keseragaman berita yang dipelopori oleh FNC sangat mengarah pada perilaku media yang mendukung invasi sehingga berimplikasi pada opini publik yang positif di AS. Dengan mayoritas pendukung perang yang muncul pada media massa di atas, maka narasumber diposisikan sebagai representator masyarakat AS yang menyampaikan pesannya, bahwa suara mayoritas saat itu saat itu adalah mendukung invasi Irak 2003. Seluruh publikasi berita malam di atas dipelopori oleh FNC pada empat hari pertama, kemudian media massa lainnya mengikuti seperti publikasi berita FNC setelah diketahui rating FNC terus naik melalui publikasi berita seperti di atas.10

10

B. Upaya Pemerintah AS dalam Menangani Media Massa di Medan Perang Pada Saat Invasi Irak Tahun 2003.

Invasi AS ke Irak tahun 2003 juga ternyata memberikan kompleksitas pada dunia jurnalistik. Praktik jurnalistik di medan perang, seperti invasi Irak 2003 membawa pergeseran pada nilai dasar kebebasan jurnalistik yang juga sebagai simbol kebebasan bagi negara demokrasi seperti AS. Pergeseran tersebut diakibatkan karena masuknya pihak external dari luar media yang membatasi kebebasan media dalam memperoleh informasi. Hal ini berbenturan juga pada nilai kebebasan yang merupakan suatu keharusan dimiliki oleh media massa yang pada saat itu sebagai representator dari seluruh publik untuk mengetahui dan mendapatkan informasi dari perang yang sedang berlangsung.

Pada masa berlangsungnya Perang Irak 2003, kecenderungan pembatasan praktik jurnalistik dilakukan oleh pemerintah AS. Pemerintah AS mencampuri urusan jurnalistik sehingga menimbulkan ketidakleluasaan jurnalis dalam menginvestigasi langsung di daerah yang seharusnya terdapat banyak infromasi penting dari berbagai sudut pandang. Dengan adanya saran untuk menyertakan praktik jurnalistik dalam tubuh militer perang, maka hal inilah yang menyita kebebasan yang dimiliki oleh media massa dalam menjalankan proses jurnalistik. Jurnalis yang bergabung secara tidak langsung harus menyesuaikan segalanya terhadap yang dilakukan oleh militer. Seperti halnya beberapa contoh ungkapan jurnalis yang pernah bergabung dengan militer:

Bagan B.1. Ungkapan Jurnalis yang Menyertakan Diri Dengan Militer Pada Invasi Irak 2003

No. Jurnalis Media Ungkapan

1 Gordon Dillow Kolumnis, The Orange County Register

Pertempuran di Baghdad begitu sengit hingga seringkali mariner memberiku senjata untuk digunakan kepada musuh yang bergerak ke arah kami. Aku tahu ini merupakan pelanggaran tertulis dan non-tertulis dalam etika jurnalistik, namun sejujurnya hal inilah yang membuatku nyaman

2 Rick Leventhal Koresponden, Fox News Channel

(FNC).

Kami berpakaian sama dengan mereka (marinir), kami makan dengan mereka, kami tidur bersama dengan mereka, dan kami menjadi bagian dari mereka.

3 Chuck Stevenson

Produser acara 48 Hours Investigates di CBS News.

Proyek ini sangat keren. Seperti Band of Brothers

yang sungguh nyata. Aku sudah lama berhubungan dengan marinir, kini aku pernah mengikuti layanan mulia mereka.

4 Bob Arnot Koresponden, MSNBC dan NBC. Proses penyertaan ini adalah satu langkah terbaik dari militer Amerika dalam hubungan dengan mereka dengan pers.

5 John Burnett Koresponden, News Public Radio

(NPR)

Sepanjang perjalanan bersama marinir, aku tak bisa melepaskan perasaan bahwa kami adalah pemandu sorak. Kebanyakan dari militer yang kami sertakan mengenggap kami bukan

sebagai jurnalis yang netral, namun sebagai alat untuk menunjukkan prestasi dan kejayaan mereka.

6 Chantal Escoto Jurnalis, The Leaf- Chronicle. Aku bukan orang yang turut bertempur, namun aku siap mengangkat senapan untuk mereka atas komandonya jika perlu. Senapan tidak sukar digunakan, tinggal bidik dan tembak.

Sumber: “Embedded/ unembedded I. (Dispatches: slices of the war)”, adaptasi dari

http://goliath.ecnext.com (data diolah oleh penulis)

Dengan beberapa ungkapan para jurnalis di atas, maka penyertaan jurnalis terhadap tubuh militer terdapat penyesuaian yang mau tidak mau harus dilakukan oleh jurnalis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya transisi perubahan etika jurnlistik yang sangat nyata karena terdapat pergolakan antara nilai jurnalistik dan jiwa nasionalisme para jurnalis yang menyertakan dirinya ke dalam unit militer.

Dalam penyertaan jurnalis dalam ini militer ini, dapat dilihat juga bahwa FNC yang memimpin klasemen tertinggi dalam persaingan antarmedia massa di AS ternyata tidak dapat berbuat banyak dalam perang yang sedang berlangsung. FNC hanya dapat diposisikan sebagai konstruktor ide pada tatanan informasi lokal di AS, namun dalam Perang Irak FNC tidak berbeda dengan media massa lain yang mendapat pengaruh dari pemerintah AS pada saat pengikutsertaan ke dalam unit militer.

Pada saat bergabungnya jurnalis dengan militer, maka secara tidak langsung militer juga dapat mengontrol jalannya peliputan di medan perang. Kontrol tersebut

dilandaskan pada alasan keamanan dan keselamatan jiwa jurnalis.11 Dengan alasan itulah maka militer dapat memberikan instruksi kapan dan dimana jurnalis dapat meliput. Selain itu, dengan penyertaan praktik jurnalistik pada militer tersebut maka jurnalis akan tertanamkan jiwa patriotismenya, sehingga sedikit banyak pihak militer akan mempengaruhi jurnalis, khususnya dari Barat untuk membela bahkan menganggap bahwa perang ini adalah sebuah kebenaran.12 Hal ini dapat diartikan sebagai pengaruh psikologis pada jurnalis sendiri yang juga menjadikan rasa dilematis antara tugas jurnalistik yang seharusnya lebih netral atau justru malah membela pihak militer yang menyerang lawan demi kepentingan nasional AS.

Dengan masuknya saran pemerintah dalam praktik jurnalistik di medan perang bukan semata-mata menutup ruang gerak jurnalis dalam meliput secara keseluruhan, namun pemerintah AS hanya ingin membatasi ruang gerak agar jurnalis yang masuk ke medan perang Irak berada dalam kontrolnya.13 Hal ini sesuai menurut pemikiran Vandana tentang pengendalian politik. Dalam pengendaliannya terhadap media massa, pemerintah AS dapat memainkan perannya sebagai aktor penting untuk mengatur alur perang yang sesuai dengan pandangannya.14 Namun, hal ini dianalisis bahwa alur perang ini tidak seperti mengatur skema penyerangan dan kontak senjata terhadap pihak Irak di medan perang secara langsung, tetapi lebih diorientasikan pada pengaturan informasi yang nantinya ditransformasikan kepada masyarakat banyak.

11Jules Crittenden, “Embedded Journal: „I went over to the dark side”, pointer online, laporan

jurnalis di medan perang, 11 April 2003, diakses pada 2 Mei 2011 pkl. 11:16, dari http://poynteronline.org/content/content_view.asp.id=29774.

12

Amy Goodmandan David Goodman, Perang Demi Uang, (Profetik, Jakarta, 2005.), h. 215.

13 Michael wolff, “The Media at War”, New York 11 Agustus 2003, diakses pada 29 Juni

20011 pkl. 11:30, dari www.newyorkmetro.com/nymetro.news/media/features/n_9067.html.

14

Jadi, dengan informasi yang dimiliki oleh media massa yang sebelumnya telah dikontrol oleh pihak militer, maka pemerintah dapat memberikan pandangannya sesuai wacana perang yang diinginkan. Dengan kata lain, bahwa seburuk apapun perang berlangsung maka akan di-counter oleh pemerintah melalui publikasi berita media massa yang tentunya akan menampilkan dari sisi positif perang tersebut.

Dengan adanyakontrol terhadap media massa tersebut, dalam publikasi berita ke masyarakat AS dan masyarakat internasional yang menjangkau dari jaringan media massa dari AS, maka pemerintah AS terlihat lebih menghadirkan sudut pandangnya. Pemerintah AS terlihat ingin memberikan arus keluar masuknya informasi yang dijangkau oleh seluruh media AS di seluruh dunia berdasarkan arahannya. Hal ini dianggap sebagai sebuah manipulasi karena dalam proses pengumpulan informasi tersebut juga sudah terdapat campur tangan militer AS untuk mengatur setting waktu dan tempat bagi jurnalis dalam meliput. Selain itu, disebutnya juga sebagai sebuah manipulasi karena sesuai menurut Arie Indra Chandra bahwa berita yang diliput dan dipublikasikan oleh media massa dikonstruksikan demi kepentingan nasionalnya yang juga ditujukan untuk dunia luas atau hanya kelompok-kelompok kecil tertentu yang terpengaruh oleh media massa khususnya mayarakat AS sendiri.15 Dengan konstruksi pandangan tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh Kj. Holsti bahwa hal ini dapat dinilai sebagai sebuah propaganda yang sengaja

15 Arie Indra Chandra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam politik global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional, (Graha Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007), h. 239-240.

memang dibangun AS tentang invasi Irak terhadap dunia internasional demi kepentingan nasionalnya.16

Selain kontrol terhadap medianya sendiri, kontrol pemerintah AS juga sangat terlihat dalam beberapa kasus yang telah terjadi dalam lingkup kegiatan jurnalistik. Pembungkaman terhadap media internasional selain media dari AS sendiri juga dilakukan oleh pemerintah AS, yakni pembunuhan terhadap Taras Protsiu jurnalis

Reuters dari Perancis dan Jose Couso jurnalis Telecinco dari Spanyol di Hotel Palestine, Baghdad. Pembunuhan tersebut berupa pengeboman yang ditujukan kepada jurnalis yang tidak mengikutsertakan kegiatan jurnalistiknya pada militer. Hal ini sangat menunjukan bahwa AS sangat ingin menghadirkan homogenitas pandangan melalui media yang ikut serta dalam militernya saja. Dengan kata lain AS memiliki rasa khawatir terhadap media internasional lainnya akan mempublikasikan berita dari pandagan lain bahkan berita buruk tentang invasi. Hal lain yang mengindikasikan rasa khawatir ini adalah diketahui juga bahwa Taras Protsiu merupakan jurnalis yang berasal dari Perancis yang juga sebagai salah satu negara penolak invasi serta Reuters yang berasal dari Inggris yang jelas pada saat berlangsungnya invasi, Inggris merupakan salah satu negara yang warganya paling banyak menentang terhadap invasi tersebut.17

Selain dua media asing di atas, pemerintah AS juga sangat ingin menutup pandangan media Timur Tengah terhadap invasi Irak tahun 2003, yakni dengan

16

KJ Holsti, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, (IKAPI-Binacipta, Bandung: 1992), h. 168

17 “The Largest Protest in Human History”, diakses pada 16 Juni 2011 pkl. 18:14, dari

beberapa kasus yang menimpa Aljazeera yang jelas dilakukan oleh pemerintah AS. Beberapa kasus yang menimpa Aljazeera tersebut merupakan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah AS baik secara fisik maupun hambatan administratif. Hal ini merupakan bukti, bahwa pemerintah AS terlihat tidak ingin adanya media tandingan sehingga membuat arus komunikasi internasional tidak terlalu variatif dalam penyampaian berita invasi. Dengan kata lain, arus informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat hanya berasal dari publikasi media barat yang memang telah diatur oleh pemerintah AS.

Dengan adanya tekanan dan hambatan terhadap media tandingan dari Timur Tengah tersebut, pemerintah AS juga menunjukan, bahwa pihaknya menginginkan kuatnya arus informasi pada saat itu tetap berasal dari media di bawah kontrolnya sehingga menimbulkan dukungan atas invasi yang dilakukannya. Dengan demikian, meskipun sebelum invasi memang terdapat negara yang tidak mendukung terhadap kebijakan AS tersebut, namun pemeritah AS juga sangat jelas menginginkan invasi tersebut tidak diprotes oleh negara lain bahkan oleh rakyat AS sendiri hanya karena akibat dari publikasi media yang menceritakan tentang invasi Irak 2003 tersebut dari pandangan lain.

C. Dampak Upaya FNC dan Pemerintah Dalam Mentransformasi Pandangan