• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENELITIAN TENTANG PENDAMPINGAN PERSONAL DI

B. Penelitian Tentang Pendampingan Personal

3. Pembahasan Hasil Penelitian

Pada bagian ini, penulis akan membahas hasil penelitian berdasarkan dua variabel, yaitu pendampingan personal dan hasil belajar anak. Pada bagian pertama, penulis akan menggambarkan pendampingan personal yang dilaksanakan di SLB/G A-B Hellen Keller. Sedangkan pada bagian kedua, penulis akan mendeskripsikan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa berdasarkan hasil wawancara yang penulis dapatkan dari para staf guru dan orang tua siswa.

a. Pendampingan Personal

Setiap proses pendampingan memiliki kriteria yang baik antara lain; harus diciptakan situasi belajar yang menyenangkan dan menarik perhatian siswa (Suyono dan Hariyanto, 2011: 212). Namun sebelum mencapai semuanya ini, terlebih dahulu seorang pendamping harus mengenal terlebih dahulu siapa yang didampingi dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari tiga responden yang menyatakan;

“Dalam mendidik anak-anak itu saya harus melihat latar belakang. Setiap

anak kan berbeda latar belakangannya.” (B.C, W1, 3 Sept 12, 102-104)

“Mengetahui latar belakang anak itu sendiri, mengetahui perilaku anak itu sendiri, karakter anak itu sendiri, lalu mengetahui pola tingkah laku yang dominan dari anak itu sendiri.” (B.P, W3, 7 Sept 12, 99-102)

“…sungguh mengenal karakter anak, impian anak, keinginan anak lalu kita

bisa mendampingi secara fisik….”(Sr.E, W4, 7 Sept 12, 264-267)

Dalam hal ini mengenal latar belakang anak, bukan hanya sekedar mengenal saja, namun harus mengenal anak secara penuh. Mengenal bagaimana latar belakangnya dan permasalahan serta kebutuhan dari anak, sehingga suatu proses pendampingan dapat lebih obyektif dan sesuai dengan yang dibutuhkan anak. Terutama dalam pendidikan luar biasa, seorang guru tidak dapat memberikan materi berdasarkan pemikirannya, tetapi harus terlebih dahulu disesuaikan dengan yang dibutuhkan oleh anak. Hal ini sejalan dengan prinsip Spiritualitas Gembala Baik yang menyatakan bahwa seorang gembala mengenal kawanannya dan domba pun mengenal siapa gembalanya.

Selain mengenal latar belakang siswa, seorang pendamping pun harus memiliki hati. Maksudnya ialah ia memiliki cinta dan kasih dalam membimbing

anak, terutama anak berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan penyataan dari tiga responden yang menyatakan;

“Lebih-lebih ke pendampingan dengan cara hati ke hati.” (B.C, W1, 3 Sept

12, 135)

“Pertama prinsipnya hati dan mau mengenal anak. Itu nomor satu. Kalau

tidak punya hati, tidak bisa mengenal anak.” (Sr.M, W6, 12 Sept 12, 85-87)

“Pertama jelas mesti punya hati. Punya hati untuk anak seperti ini” (B.R, W2, 5 Sept 2012, 54,55)

Dalam diri seorang pendamping yang memiliki hati untuk anak luar biasa tentu memiliki prinsip kasih sayang. Dalam pendidikan luar biasa, prinsip kasih sayang merupakan salah satu prinsip yang khusus, karena prinsip kasih sayang pada dasarnya adalah menerima mereka apa adanya, mengupayakan agar mereka menjalani hidup dengan wajar, seperti layaknya anak normal lainnya (Muhammad Ali, 1987:24). Selain itu dengan prinsip ini, seorang pendamping selalu memiliki dasar pemikiran, bahwa anak luar biasa dapat berkembang ke arah yang lebih baik.

Hal ini pun sejalan dengan prinsip Spiritualitas Gembala Baik yang menyatakan bahwa seorang gembala rela untuk memberikan nyawanya bagi kawanannya. Seorang gembala tentu menyerahkan diri seutuhnya untuk kawanannya dan baginya dirinya kawanan merupakan yang utama.

Sehubungan dengan hal di atas, salah satu kriteria yang baik dalam proses pendampingan ialah harus diciptakan situasi atau suasana belajar yang menyenangkan. Dalam situasi atau suasana belajar yang menyenangkan, maka tujuan instruksional akan dengan mudah dicapai. Namun jika suasana pendampingan menegangkan, maka akan sangat sulit siswa untuk mempelajari suatu materi, begitu pun dengan guru, akan sangat sulit masuk ke dalam dunia

anak. Oleh sebab itu, suasana pendampingan merupakan salah satu unsur yang penting, meskipun tidak tertulis dalam suatu rencana pembelajaran.

Hal ini sesuai dengan penyataan dari satu responden yang menyatakan; “Anak merasa at home ketika belajar, merasa at home ketika berelasi dengan saya, artinya ada semangat untuk belajar itu, bukan sesuatu yang

membosankan.” (Sr.E, W4, 7 Sept 12, 285-289)

Dengan anak merasa nyaman ketika belajar tentu akan terjalin kedekatan dengan guru. Bukan hanya kedekatan sebagai guru dan murid tetapi lebih sebagai orang tua dengan anak. Anak akan merasa nyaman dengan guru yang mendampinginya. Apalagi untuk anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan rasa nyaman, terutama untuk orang baru. Sama seperti dalam Spiritualitas Gembala Baik, ada kedekatan antara sang gembala dengan kawanannya. Dekat bukan hanya sekedar dekat, tetapi juga mengenal secara utuh. Sang domba mengetahui siapa sang gembala sejatinya dan sang gembala mengenal setiap kawanannya dengan baik.

Dengan saling mengenal dan kedekatan yang kuat, maka akan tercipta komunikasi yang tidak hanya satu arah saja, namun komunikasi yang timbal balik. Ketika guru menjelaskan pada anak, anak akan memperhatikan guru dan guru selalu mendengarkan ketika anak menyampaikan pendapatnya. Sebab yang menjadi pusat pendampingan bukan hanya guru, tetapi anak.

Sehubungan dengan hal di atas, yang menyatakan bahwa kriteria yang baik bagi suatu pendampingan harus diciptakan situasi belajar yang menyenangkan dan menarik perhatian siswa (Suyono dan Hariyanto, 2011:212). Untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan dan menarik, tentu seorang pendamping akan

menggunakan media pembelajaran yang sesuai dan tepat dengan daya penangkapan anak.

Media pembelajaran yang sesuai akan mempermudahkan guru dalam mengajarkan dan menyampaikan materi. Siswa pun akan mudah untuk menangkap maksud guru. Apalagi untuk anak berkebutuhan khusus yang selalu menekankan pada benda-benda yang konkret dan mudah dilihat. Karena untuk pendidikan luar biasa, kelancaran pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus sangat didukung oleh penggunaan alat peraga sebagai medianya (Mohammad Efendi, 2006:25). Alat peraga yang digunakan pun sebaiknya menggunakan benda atau situasi aslinya. Misalnya saja, ketika guru ingin memperkenalkan tempe, guru harus membawa tempe mentah dan matang, untuk memberitahukan anak tentang perbedaannya, rasanya, warnanya, aromanya dan bentuknya. Namun apabila hal itu sulit dilakukan, guru dapat mempergunakan benda tiruan atau minimal gambarnya (Mohammad Efendi, 2006:25). Misalnya saja, ketika guru ingin mengajarkan anggota tubuh, guru dapat memberikan boneka kepada anak dan menunjukkan setiap anggota tubuhnya.

b. Hasil Belajar Anak

Suatu proses pendampingan tentu mengharapkan suatu hasil yang memuaskan, karena setiap usaha pendidikan selalu dikaitkan dengan perkembangan. Namun hal tersebut harus didukung dengan berbagai macam segi, salah satunya adalah daya penangkapan anak. Jika daya penangkapan anak cukup baik, maka hasil yang diperoleh pun akan memuaskan. Tetapi jika daya penangkapan anak lemah, maka hasil yang diharapkan tentu tidak sesuai. Namun

yang terutama bukanlah hasil atau target yang ingin dicapai, tetapi proses dimana anak mampu untuk berkembang menjadi lebih baik. Karena keberhasilan pengajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar yang dicapai siswa, tetapi juga dari segi prosesnya (Nana, 1989:65).

Begitu pun dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus, bukan pencapaian hasil belajar yang menjadi utama, tetapi bagaimana anak dapat belajar dalam setiap proses. Guru tidak dapat menuntut anak sesuai dengan apa yang diharapkannya, tetapi seorang guru harus mengikuti perkembangan anak dan daya tangkapnya pada masing-masing. Hal ini sesuai dengan penyataan dari dua responden yang menyatakan;

“Kalau hasil itu tergantung anaknya. Kalau anaknya memang mampu…” (B.R, W2, 5 Sept 2012,84-85)

“Kemajuan anak tertentu kan berbeda-beda. Kalau perkembangan itu relatif

tergantung anak.” (B.P, W3, 7 Sept 12, 155-157)

Selain itu juga, pada awal proses tentu anak mengalami beberapa macam kendala dan masalah, entah itu dari pihak luar atau dari diri anak sendiri, seperti yang diungkapkan oleh beberapa responden yang menyatakan:

“Dulu Gilbert itu minder sekali. Anaknya sangat minder dibandingkan yang lain-lain, dibandingkan Albert. Karena Albert terlalu mendominir.” (B.C, W1, 3 Sept 12, 136-139)

“Kita mengajarkan Oky makan aja sampe 4 tahun.” (Sr.M, W6, 12 Sept 12,

106)

“seperti Dava, Oky. Itu low fungction.” (B.R, W2, 5 Sept 2012,116)

Namun hal itu tidak membuat para pendamping menjadi “patah semangat”, tetapi memicu mereka untuk selalu mengembangkan anak ke arah yang lebih baik serta selalu mencari cara agar anak semakin berkembang. Karena belajar adalah

proses perubahan perilaku akibat interaksi individu dengan lingkungan (Muhammad Ali, 1987:14).

Selain itu juga, untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan suatu kesiapan (Mohammad Efendi, 2004:24). Kesiapan ini berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki anak, kesiapan mental serta fisik anak. Setiap anak harus dipersiapkan untuk mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan. Oleh sebab itu, mengapa setiap guru harus mengenal anak secara dalam dan jelas, melihat apa kekurangan, kelebihan dan apa yang telah anak kuasai secara objektif. Meskipun suatu proses pendampingan dibutuhkan sebuah kesiapan, daya penangkapan anak, serta adanya kendala dalam diri masing-masing anak. Namun melihat dari proses pendampingan personal yang telah dilakukan oleh para guru, tentu ada anak yang telah menampakkan hasil memuaskan, seperti yang diungkapkan oleh tiga responden dari pihak orang tua, antara lain;

“….perubahan Tama banyak sekali. Dari anak yang gak bisa diem sekarang mau diem, bisa lihat TV. Bisa menulis, bisa berkata „Papi Mami‟” (P.S, W7, 13 Sept 2012, 21-23)

“...Dulu kemana-mana harus diantar, sekarang sudah berani…” (P.D, W9,

17 Sept 12, 32-33)

“…sekarang udah naik sepeda roda dua saya gak ngerti belajar kapan.

Tau-tauudah naik sepeda…” (B.T, W8, 15 Sept 2012, 96-100)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis melihat bahwa anak-anak dengan pendampingan personal dilakukan oleh para guru mengalami suatu perkembangan yang baik. Meskipun pada awalnya membutuhkan waktu yang lama dan kesulitan, namun guru dapat mengatasinya dengan baik. Misalnya saja Tama, awalnya adalah anak yang hiperaktif dan sulit untuk duduk tenang, namun

dengan sabar dan didikan yang tegas, Tama mau untuk duduk tenang walau tidak lebih dari tiga menit.

Namun bukan hasil yang utama dalam proses mendidik anak berkebutuhan khusus (ABK), tetapi lebih ditekankan proses mendidik anak. Dalam proses ini dilihat perkembangan setiap anak dan apa saja yang telah dicapai dalam proses. Dari apa yang telah dicapai inilah, guru dapat melihat hasil dari proses pendampingan. Oleh sebab itu, guru tidak dapat memaksa siswa untuk menguasai suatu materi sesuai dengan target, namun harus mengikuti perkembangan siswa.