• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Umum

Dalam dokumen KONSEP REMAJA TENTANG KEINTIMAN DALAM PACARAN (Halaman 166-200)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan Umum

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja putra dan putri dapat menyebutkan/mengidentifikasi berbagai aspek yang termasuk dalam KDP ketika mereka ditanya tentang definisi/pengertian KDP dan ekspresi/cara mengungkapkan KDP. Remaja putra dan putri mendefinisikan dan mengekspresikan KDP dalam lima aspek yang sama, yaitu aspek kontak fisik, aspek kontak seksual, aspek pengungkapan diri, aspek pemahaman dan empati serta aspek kepercayaan. Perbedaan antara remaja putra dan putri dalam mengekspresikan KDP tampak pada remaja putra yang menambahkan ekspresi KDP terkait aspek aktivitas bersama serta bantuan dan dukungan, sedangkan remaja putri juga menambahkan ekspresi KDP terkait aspek ekspresivitas emosi dan menciptakan makna. Selain itu, perbedaan remaja putra dan putri dalam mendefinisikan serta mengekspresikan KDP tampak pula pada aspek kedekatan dan keterikatan serta munculnya definisi dan ekspresi aspek kontrol dan pengaruh yang hanya disebutkan oleh remaja putra.

Persamaan remaja putra dan putri dalam mendefinisikan dan mengekspresikan KDP pada lima aspek (aspek kontak fisik, kontak seksual, pengungkapan diri, pemahaman dan empati serta kepercayaan) menurut Levant (1996) bisa disebabkan oleh adanya perubahan nilai-nilai budaya ke arah androgini dalam pengasuhan anak yang memiliki pengaruh signifikan dalam peran gender dewasa ini. Pengasuhan anak androgini menurut Megawangi (1999) adalah pola pengasuhan yang mengembangkan maskulinitas dan feminitas secara bersama-sama serta berasumsi bahwa laki-laki dan perempuan memiliki potensi

yang sama untuk menjadi maskulin atau feminine, sehingga laki-laki dan perempuan hendaknya diperlakukan sama dalam cara pengasuhan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Levant (1996) juga mengatakan bahwa pola pengasuhan androgini mungkin turut berperan dalam mengubah makna keintiman tradisional dalam hubungan dengan lawan jenis yang selama ini diinternalisasi masyarakat, yaitu bahwa keintiman bagi laki-laki identik dengan kontak seksual dan keintiman bagi perempuan identik dengan pengungkapan diri.

Selain itu, persamaan definisi dan ekspresi KDP pada remaja putra dan putri terkait aspek-aspek kontak fisik, kontak seksual, pengungkapan diri, pemahaman dan empati serta kepercayaan dapat pula disebabkan karena perubahan dalam hubungan sosial remaja, yaitu bahwa remaja menurut Santrock (2003) mulai mengembangkan hubungan dengan lawan jenis. Hubungan dengan lawan jenis memberi kesempatan bagi remaja untuk belajar mengenai nilai-nilai terkait keintiman dari lawan jenisnya. Remaja putra dapat belajar untuk lebih mengungkapkan diri, lebih personal, serta tidak terlalu agresif dan kompetitif dalam mengekspresikan keintiman dengan lawan jenis dari remaja putri, sedangkan remaja putri juga dapat belajar mengembangkan nilai-nilai otonomi dan kebebasan dalam keintiman dari remaja putra (Erikson, dalam Azmitia & Radmacher, 2006; Aries, dalam Hegelson, 1987).

Persamaan remaja putra dan putri dalam mendefinisikan dan mengekspresikan KDP secara lebih spesifik pada aspek pengungkapan diri, pemahaman dan empati serta kepercayaan juga dapat dipicu oleh berkembangnya kognisi sosial selama masa remaja. Perkembangan kognisi sosial selama masa

remaja membuat remaja memiliki konsepsi hubungan sosial yang lebih kompleks dan tercermin dari adanya peningkatan dalam pemahaman interpersonal dan kemampuan komunikasi yang dimiliki oleh remaja (Hill & Palmquist, dalam Steinberg, 2002). Perubahan ini memungkinkan remaja baik putra maupun putri untuk mengembangkan konsepsi mengenai hubungan intim yang lebih matang dengan ciri adanya tingkat pemahaman dan empati, pengungkapan diri, serta kepercayaan yang lebih tinggi (Steinberg, 2002).

Aspek pengungkapan diri, pemahaman dan empati serta kepercayaan masing-masing memiliki peranan penting dalam sebuah hubungan. Pengungkapan diri bermanfaat untuk menciptakan hubungan yang jujur dan terbuka dengan pasangan (De Vito, 2006). Pemahaman dan empati juga berkontribusi dalam mengembangkan penghargaan terhadap pribadi satu sama lain pada suatu relasi. Di sisi lain, kepercayaan merupakan sumber rasa aman bagi setiap individu yang terlibat dalam suatu hubungan (Prager, 1995). Ketiga aspek tersebut secara umum berperan dalam mencapai kepuasan dalam sebuah hubungan. Remaja dalam penelitian ini secara umum mengkonseptualisasikan KDP dalam ketiga aspek tersebut, sehingga implikasinya adalah bahwa remaja dapat mencapai kepuasan dalam hubungan pacaran apabila mereka mengembangkan keintiman pada aspek pengungkapan diri, pemahaman dan empati serta kepercayaan.

Di samping persamaan hasil seperti yang sudah dipaparkan diatas, penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan remaja putra dan putri dalam mengekspresikan KDP. Remaja putra mengekspresikan KDP dengan cara-cara terkait aspek aktivitas bersama dan aspek bantuan/dukungan, sedangkan remaja

putri mengekspresikan KDP dengan cara-cara terkait aspek ekspresivitas emosi dan aspek menciptakan makna. Selain itu, remaja putra dan putri juga mengkonseptualisasikan KDP pada aspek kedekatan dan keterikatan secara berbeda. Remaja putra mengkonseptualisasikan KDP sebagai kedekekatan secara fisik, sedangkan remaja putri mengkonseptualisasikan KDP sebagai kedekatan secara emosi/batin antar pasangan Perbedaan antara remaja putra dan putri dalam memandang keintiman ini kemudian sangat mudah menjadi sumber kesalahpahaman, terutama dalam hubungan pacaran (Helgelson, et.al, 1987). Kesalahpahaman ini dapat terjadi antara lain ketika remaja putra mencapai keintiman dengan cara-cara yang bersifat instrumental, sedangkan remaja putri merasakan keintiman melalui pendekatan secara emosional atau ketika remaja putra menyamakan kedekatan dengan kontak fisik/seksual, sedangkan remaja putri memandang kedekatan sebagai adanya ikatan batin. Kesalahpahaman yang terjadi dalam suatu hubungan dapat menjadi akar timbulnya konflik antarpribadi pada individu yang terlibat dalam hubungan tersebut.

Perbedaan lain antara remaja putra dan putri dalam hasil penelitian ini adalah bahwa remaja putra menunjukkan sikap menerima aspek kontrol dan pengaruh sebagai KDP, sedangkan remaja putri menunjukkan sikap penolakan terhadap aspek kontrol dan pengaruh dalam memandang KDP. Selain itu, remaja putra juga mendefinisikan dan mengekspresikan KDP dalam aspek kontrol dan pengaruh. Konseptualisasi yang terbentuk pada remaja putra bahwa kontrol dan pengaruh merupakan KDP diperkuat oleh faktor banyaknya eksposur terhadap bentuk-bentuk kontrol dalam masyarakat, baik lewat media maupun kehidupan nyata.

Banyaknya ekposur bentuk-bentuk kontrol dan pola kekuasaan tersebut pada akhirnya membuat remaja semakin terbiasa dengan pola kontrol dan kekuasaan yang menjadi dasar dari kekerasan. Implikasinya, remaja terutama remaja putra memiliki kemungkinan yang besar untuk menginterpretasikan keintiman dalam sebuah hubungan romantik sebagai sebuah hubungan yang bersifat dominasi atau submisif seperti yang biasa mereka lihat dalam lingkungannya (Close, 2005).

Perbedaan sikap dan konseptualisasi remaja terkait KDP pada aspek kontrol dan pengaruh ini juga dapat berimplikasi pada kemungkinan terjadinya konfik dalam hubungan pacaran. Katz, Kramer & Gottman (1995) mengemukakan bahwa konflik dalam hubungan pacaran dapat terjadi jika pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut mempunyai perbedaan yang fundamental dalam hal sikap, pandangan atau pendapat.

Konflik secara umum berdampak negatif dengan menurunkan rasa keberhargaan diri, kualitas hubungan positif dengan orang lain serta orientasi dan kebermaknaan hidup (Kellet & Dalton, 2001). Selain itu, konflik juga akan mempengaruhi kepuasan dalam suatu hubungan intim yang dibina dan pada akhirnya akan mengarah pada keputusan untuk tetap mempertahankan suatu hubungan atau menghentikannya.

Remaja putra dan putri mampu mengidentifikasi aspek-aspek yang bervariasi ketika mereka ditanya tentang definisi dan ekspresi KDP. Namun, remaja putra dan putri cenderung memandang KDP hanya sebagai aspek kontak fisik dan kontak seksual ketika mereka diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih operasional dalam penelitian ini, yaitu pertanyaan-pertanyaan terkait

situasi munculnya KDP, faktor pendukung dan penghambat KDP serta manfaat dan efek negatif KDP maupun ketika remaja putra dan putri menyatakan sikap mereka terhadap KDP secara umum. Artinya, pada dasarnya remaja putra dan putri mampu mengindentifikasi berbagai aspek terkait KDP, namun tampaknya aspek kontak fisik dan kontak seksual merupakan aspek yang lebih terinternalisasi pada diri remaja putra dan putri dalam mengkonseptualisasikan KDP. Dengan kata lain, aspek kontak fisik dan kontak seksual menjadi ciri paling kuat bagi remaja dalam mengkonseptualisasikan KDP.

Kecenderungan remaja yang lebih menginternalisasi aspek kontak fisik dan kontak seksual dalam mengkonseptualisasikan KDP didukung pula oleh hasil lain dalam penelitian ini yang akan dijelaskan dalam dua poin berikut. Pertama, remaja putra maupun putri sama-sama menggolongkan ekspresi kontak fisik sebagai KDP tingkat awal serta ekspresi kontak seksual sebagai KDP tingkat lanjut. Kenyataannya, keintiman fisik berada pada tingkat tengah di atas keintiman intelektual dan di bawah keintiman emosi dalam hirarki keintiman yang diungkapkan Dahms (1972). Hal ini menunjukkan penekanan remaja pada aspek kontak fisik dan kontak seksual dalam mengkonseptualisasikan KDP dan kurang menyadari komponen lain dalam hirarki keintiman seperti misalnya komponen kognitif dan emosi.

Kedua, Remaja putra dan putri juga memandang aspek-aspek lain diluar aspek kontak fisik dan seksual, seperti misalnya aspek pengungkapan diri, aspek pemahaman dan empati, aspek kedekatan dan keterikatan serta aspek kepercayaan sebagai sesuatu yang ideal atau yang seharusnya ada dalam keintiman berpacaran.

”...keintiman yang kayak saling terbuka gitu tu... harusnya keintiman kayak gitu itu yang harusnya ada dalam pacaran...” (Partisipan D, II.724-725; 728-729)

”Ya kalau yang lebih sulit dilakukan tapi idelanya itu apa... ya ada dalam pacaran itu intim yang saling terbuka kepada pasangan serta bagaimana memahami pasangan...” (Partisipan A, II.784-787)

“…..keintiman dalam pacaran yang baik itu ya menurutku seharusnya bisa lebih deket secara batin antara satu sama lain gitu…lebih seperti itu…” (Partisipan B, VI.479-481)

“…..merasa nyaman kasih tau rahasia yang dimiliki sama pacar juga kan itu sebaiknya ada di pacaran intim” (Partisipan B, VII.590-591)

Kecenderungan remaja putra dan putri yang lebih menginternalisasi aspek kontak fisik dan kontak seksual dalam mengartikan/mengkonseptualisasikan KDP bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, remaja mengalami maturity gap, yaitu adanya perbedaan kematangan secara fisik dan mental (Jackson & Goossens, 2006). Remaja di satu sisi telah mengalami kematangan secara fisik dan seksual yang dimulai pada saat mereka memasuki masa pubertas serta ditandai dengan munculnya dorongan seksual (Sullivan, dalam Sternberg, 2002), namun di sisi yang lain remaja belum memiliki kapasitas untuk mengalami dan mengeskpresikan keintiman dalam cara-cara yang adekuat hingga remaja mencapai usia dewasa awal (Erikson, 1968). Kesenjangan kematangan fisik dan mental inilah yang membuat remaja terkadang menemui hambatan untuk mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan akan keintiman dengan munculnya kebutuhan terhadap kontak seksual, sehingga mereka kemudian cenderung menginternalisasi aspek kontak fisik dan seksual dalam mengkonseptualisasikan KDP.

Kedua, kecenderungan remaja putra dan putri yang lebih menginternalisasi aspek kontak fisik dan kontak seksual dalam mengkonseptualisasikan KDP juga

merupakan hasil dari pengaruh sosial budaya yang diterima remaja melalui proses sosialisasi dan belajar sosial. Proses sosialisasi menurut Berry at.al., 1999) terjadi ketika orang-orang di sekitar remaja, baik itu signifikan others, orang dewasa lain maupun teman sebaya mewariskan nilai-nilai atau keyakinan pada remaja, sedangkan proses belajar sosial menurut Cloniger (2004) terjadi ketika individu belajar dengan cara mengamati pengalaman atau tingkah laku orang lain di sekitarnya. Remaja mewarisi nilai/keyakinan serta mengamati pengalaman atau tingkah laku terkait keintiman dari masyarakat, yang dewasa ini menurut Beebe, Beebe & Redmond (2008) cenderung memandang keintiman secara sempit sebagai hubungan yang bersifat fisik atau seksual belaka. Hal ini dikuatkan pula oleh kajian Slama (2007) yang mengatakan bahwa keintiman dalam budaya Indonesia dewasa ini mengalami transformasi dari praktek-praktek yang bermuatan emosi kepada praktek yang menjurus pada sentuhan fisik seperti rangkulan atau cium pipi maupun kontak seksual seperti ciuman bibir hingga melakukan hubungan seksual.

Selain itu, media juga memiliki peran dalam membentuk konsep remaja terkait KDP. Media massa menurut Afdjani (2007) turut berpengaruh terhadap tumbuh suburnya pandangan masyarakat yang sempit terkait keintiman dengan menampilkan berbagai paparan mengenai keintiman yang diasosiasikan semata-mata dengan kontak fisik atau seksual. Hal ini didukung pula oleh fakta hasil penelusuran internet melalui mesin pencari GOOGLE dengan kata kunci “intim” pada tanggal 27 Agustus 2010 yang menunjukkan bahwa sembilan dari sebelas temuan pencarian internet tersebut mengasosiasikan kata intim dengan hubungan

seksual. Oleh kerena itu, tidak lagi mengejutkan bahwa remaja lama kelamaan lebih menginternaslisasi aspek kontak fisik maupun seksual dalam mengartikan keintiman sesuai dengan apa yang diwarisi dan dipelajarinya dari masyarakat sebagai kelompok sosialnya.

“Ya itu tindakan-tindakan yang seperti ML atau meraba-raba…pokoknya intim itu yang berhubungan dengan sex sama kayak yang aku tahu dari orang dewasa di sekitar” (Partisipan D, III.1555-157)

“Ya soalnya itu tadi tu perilaku-perilaku kayak ciuman bibir, pelukan, meraba-raba tu ya ungkapan keintiman disini dalam pacaran yang tertanam opo nancep di otakku tu ya seperti tadi itu contohnya…orang-orang biasanya caranya begitu soalnya mbak kalau intim itu yang berbau seks…orang-orang pada umumnya perilakunya juga kayak gitu soalnya mbak…” (Pertisipan D, VIII.654-660)

”…ciuman bibir itu karena faktor ee…ini mungin sering lihat di tv terus lihat di internet apa gimana kan intim itu kalau di tv apa internet itu kan seks intinya jadi ya kita jadi mikirnya kalau keintiman dalam pacaran itu ya hubungan seks gitu...” (Partisipan A, I.277-281)

Ketiga, internalisasi aspek kontak fisik dan kontak seksual pada remaja putra dan putri dalam mengartikan KDP juga dipengaruhi oleh orientasi pacaran yang dianut remaja saat ini. Arsih (2006) mengatakan bahwa pacaran remaja saat ini tidak lebih dari sekedar trend. Pacaran digunakan sebagai sarana untuk having fun

serta pemenuhan harga diri. Bahkan yang lebih parah, pacaran kadang hanya digunakan sebagai penyaluran hasrat bilogis semata (Berk, 2007). Orientasi pacaran remaja tersebut turut mendukung remaja putra dan putri dalam mengartikan KDP sebatas pada aspek kontak fisik dan seksual semata.

Selain ketiga alasan tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa remaja putra memiliki alasan tersendiri mengapa mereka lebih menginternalisasi aspek kontak fisik dan seksual dalam mengartikan KDP. Alasan tersebut terkait dengan adanya ketakutan terhadap keintiman pada remaja putra sebagai bentuk kurangnya keterampilan intrapersonal dalam faktor internal penghambat KDP

yang diungkapkan remaja putra dalam penelitian ini. Ketakutan akan keintiman yang muncul pada remaja putra mengafirmasi hasil penelitian Thelen, Wal, Thomas & Harmon (2000) bahwa pria secara umum memiliki tingkat katakutan terhadap keintiman yang lebih tinggi daripada wanita.Secara lebih spesifik, remaja putra takut akan serangan kemarahan, penolakan serta ditinggalkan pasangan jika menjalin keintiman dalam aspek pengungkapan diri, takut akan kehilangan individualitas jika menjalin keintiman dalam aspek pemahaman dan empati serta takut akan penyebaran (rahasia pribadi) dan kehilangan kontrol jika menjalin keintiman dalam aspek kepercayaan.

”...dia biasanya langsung marah-marah gak jelas gitu kalau kita bilang keberatan kita sama sikapnya...langsung...trus biasanya ya daripada dimarah-marahi padahal maksudnya baik supaya lebih terbuka gitu trus ya takut gitu untuk jujur sama pacar” (Partisipan A, II.808-812)

‘Ya kalau intimnya udah sampai kayak gitu tu bisa aja pas kita curhat-curhat gitu rahasia-rahasia yang kita percayakan itu disebar sama pacar kita…apalagi kalau misalnya nanti udah putus gitu kan lebih riskan lagi rahasia-rahasia kita yang pacar kita tau dari diri kita karena intimnya pas pacaran itu bisa aja disebarin gitu…” (Partisipan D, III.1675-1700)

“…kalau terlalu intim itu mungkin negatifnya kita bisa jadi orang lain gitu…tidak menjadi diri sendiri kalau kita apa sudah intim dalam arti bisa memahami pacar, bisa merasakan apa yang dirasakan pacar takutnya kita terbawa perasaan itu dan malah gak jadi diri sendiri gitu…” (Partisipan A, II.1762-1767)

Ketakutan-ketakutan yang muncul pada remaja putra untuk menjalin keintiman dalam aspek penungkapan diri, pemahaman dan empati serta kepercayaan tersebut membuat remaja putra merasa lebih mudah untuk menjalin keintiman dalam aspek kontak fisik atau seksual sehingga akhirnya ke dua aspek tersebut menjadi lebih terinternalisasi dalam diri remaja putra ketika mengartikan/mengkonseptualisasikan KDP.

”...yang lebih mudah dilakukan itu jelas ya seperti kontak fisik tadi, gandengan, rangkulan, ciuman sampai mungkin grepe-grepe...” (Partisipan D, II.726-728) ” Ya kalau cium bibir atau sekedar pegangan tangann, rangkulan itu kan lebih mudah dilakukan buat tunjukin keintiman kalau dalam pacaran…” (Partisipan G, III.1568-1570”

“Ya soalnya jelas lebih mudah melakukan keintiman yang fisik mbak…cium kening, pegang tangan, usap rambut” (Partisipan D, III.1687-1688)

Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan bahwa remaja putra dan putri sama-sama lebih menginternalisasi aspek kontak fisik dan kontak seksual dalam mengartikan KDP. Namun, hasil lain dalam penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan antara remaja putra dan putri dalam menyebutkan manfaat jangka pendek atau yang lebih tepat disebut sebagai motif/alasan untuk menggunakan kontak fisik dan kontak seksual sebagai cara mengekspresikan KDP. Remaja putra menyebutkan motif/alasan bersifat rekreasional dan eksperimental, sedangkan remaja putri menyebutkan motif/alasan bersifat emosional yang mendasari penggunaan kontak fisik dan kontak seksual dalam mengekspresikan KDP. Hal ini menunjukkan bahwa remaja putra dan putri memiliki tujuan yang berbeda dalam menggunakan kontak fisik dan kontak seksual untuk mengekspresikan KDP. Hasil penelitian ini mengafirmasi penelitian-penelitian sebelumnya oleh Abbey; Allgeier & Royster; Baldwin & Baldwin; Goodchilds & Zellman (dalam Canary et.al, 1998) yang mengatakan bahwa perempuan terlibat dalam sentuhan maupun seks untuk mencapai keintiman emosional, sedangkan laki-laki cenderung terlibat dalam sentuhan dan seks untuk mencapai keintiman fisik saja, yaitu bahkan untuk melepaskan dorongan/ketegangan seksual semata.

Selain kecenderungan remaja yang lebih menginternalisasi aspek kontak fisik dan kontak seksual, penelitian ini juga menemukan adanya pemahaman/pengetahuan remaja secara umum yang masih terbatas mengenai KDP. Hal ini dapat dilihat dalam hasil penelitian yang menunjukkan bahwa remaja putra maupun putri kurang menyadari manfaat jangka panjang KDP serta sama sekali tidak menyadari efek negatif tidak langsung KDP.Remaja putra dan putri melihat KDP benar-benar dari situasi kongkrit yang mereka pahami di lapangan. Dari sudut perkembangan kognitif, keterbatasan tersebut disebabkan karena perkembangan biologisnya. Passer & Smith (2007) mengatakan bahwa pada awal masa remaja, bagian otak yang disebut dengan frontal corticol system, suatu bagian otak yang berfungsi dalam proses perencanaan dan penilaian belum mengalami perkembangan yang sempurna, sehingga remaja kurang mampu melakukan pemikiran-pemikiran jangka panjang dengan baik. Remaja dapat mengembangkan pemikiran-pemikirannya dengan lebih baik melalui latihan, pengarahan serta informasi yang tepat (Bjork et.al & Chambers et.al dalam Papalia et.al, 2007).

Konsep-konsep yang dimiliki oleh individu mengenai suatu hal akan diorganisasikan ke dalam sebuah strukrut mental yang dinamakan skema (Barllet, Marcus, Taylor & Crocker, dalam Aranson, et.al,, 2004). Konsep-konsep mengenai KDP yang dimiliki remaja kemudian membentuk suatu skema KDP dalam sistem kognisi remaja. Remaja dalam penelitian ini cenderung lebih menginternalisasi aspek kontak fisik dan kontak seksual dalam mengkonseptualisasikan KDP. Hal ini kemudian membentuk skema tentang KDP

yang diidentikkan dengan kontak fisik dan kontak seksual pada remaja. Skema yang terbetuk dalam diri individu pada akhirnya juga mempengaruhi perilaku seseorang (Aronson, Wilson & Akert, 2004). Individu akan berperilaku sesuai skema yang dimilikinya mengenai sesuatu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa skema dalam diri remaja putra dan putri mengenai KDP yang identik dengan kontak fisik dan kontak seksual dapat berimplikasi terhadap perilaku remaja putra dan putri, khususnya perilaku mereka dalam berpacaran.

Skema remaja tentang KDP yang identik dengan kontak fisik dan kontak seksual membuat remaja lebih berisiko untuk terlibat dalam perilaku pacaran yang menjurus pada sentuhan fisik, baik yang bersifat seksual maupun non-seksual. Fakta perilaku pacaran remaja di lapangan juga menggambarkan hal tersebut. Salah satu penelitian yang dilakukan Rita Damayanti tahun 2007 (dalam Dian, 2009) pada 8.941 pelajar dari 119 SMA/Sederajat di DKI menunjukkan bahwa perilaku pacaran remaja bervariasi dari mulai ngobrol/curhat, pegangan tangan, berangkulan, berpelukan, berciuman pipi, berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba-raba alat kelamin, menggesek kelamin, melakukan oral seks hingga melakukan hubungan seksual. Hasil penelitian tersebut menggambarkan variasi perilaku pacaran remaja yang lebih didominasi perilaku-perilaku berupa kontak fisik maupun kontak seksual dibanding perilaku yang lain seperti misalnya ngobrol/curhat.

Perilaku-perilaku pacaran remaja yang lebih didominasi perilaku berupa kontak fisik dan dan kontak seksual ini dapat mengakibatkan dampak negatif bagi remaja seperti terjadinya kasus kehamilan tidak diinginkan (Tito, 2002). Lentera

Sahabat Remaja PKBI DIY mencatat ada 846 remaja sejak Juni 1997 – Juni 2000, 722 remaja sepanjang tahun 2001-2002 dan 508 remaja pada tahun 2003 datang mengikuti konseling karena mengalami kehamilan tidak diinginkan (Rengganis, 2005). Kondisi tersebut salah satunya dapat disebabkan oleh adanya kesalahan atau kebingungan remaja dalam mengartikan KDP. Hal ini sekaligus mengafirmasi pendapat Zastrow (dalam Farlina, 2002) yang mengatakan bahwa adanya

Dalam dokumen KONSEP REMAJA TENTANG KEINTIMAN DALAM PACARAN (Halaman 166-200)

Dokumen terkait