• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP REMAJA TENTANG KEINTIMAN DALAM PACARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSEP REMAJA TENTANG KEINTIMAN DALAM PACARAN"

Copied!
312
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSEP REMAJA TENTANG

KEINTIMAN DALAM PACARAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Agatha Dewan Ayu Budaya

039114005

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Life is about a st op along t he pat h

t o drink a glass of t ea

(5)

v

This sim ple wor k I dedicate to m y Fam ily:

Eyang Uti, Bapak , I bu and Bee

Thank s for always believe in m e…

(6)
(7)

vii

Agatha Dewan Ayu Budaya

ABSTRAK

Keintiman merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap orang dalam menjalankan kehidupan sosial mereka serta dapat berpengaruh terhadap kesehatan fisik maupun psikologis seseorang. Namun sayangnya, selama ini keintiman cenderung dipandang oleh masyarakat sebagai hubungan fisik yang bersifat seksual belaka. Pandangan yang sempit terhadap keintiman ini dapat diadopsi oleh remaja dari masyarakat sebagai kelompok sosialnya melalui proses sosialisasi. Padahal, remaja mulai mengembangkan keintiman dengan lawan jenis melalui hubungan pacaran, sehingga apabila remaja mengartikan keintiman sebatas pada hubungan seksual dalam hubungan pacaran, maka hal ini dapat mendatangkan dampak negatif yang tidak ringan. Langkah-langkah preventif yang efektif dibutuhkan untuk mencegah semakin meluasnya dampak negatif yang timbul akibat pandangan yang sempit dalam mengartikan KDP, salah satunya dengan menggali konsep remaja mengenai KDP. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep remaja tentang KDP melalui definisi dan ekspresinya serta perbedaan konsep antara remaja putra dan putri mengenai KDP. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah focus group discussions dan vignette. Dua puluh tiga remaja putra dan sembilan belas remaja putri ambil bagian dalam diskusi tentang KDP. Diskusi dilakukan dalam delapan kelompok : empat kelompok remaja putra dan empat kelompok remaja putri. Sembilan tema muncul dalam penelitian ini. Dua tema utama yaitu definisi dan ekspresi KDP dan tujuh tema tambahan yaitu situasi munculnya ekspresi, faktor pendukung, faktor penghambat, manfaat, efek negatif, sikap terhadap KDP serta sikap pro dan kontra terkait aspek kontrol dan pengaruh. Berkaitan dengan definisi dan ekspresi, secara umum remaja mendefinisikan dan mengekspresikan KDP dalam enam aspek yang sana yaitu aspek kontak fisik, kotak seksual, pengungkapan diri, pemahaman dan empati, kepercayaan serta kedekatan dan keterikatan. Selain itu, remaja putra juga mendefinisikan dan mengekspresikan KDP dalam aspek kontrol dan pengaruh serta mengekspresikan KDP dalam aspek aktivitas bersama dan aspek bantuan & dukungan, sedangkan remaja putri juga mengekspresikan KDP dalam aspek ekspresivitas emosi dan menciptakan makna. Remaja menyebutkan tempat, waktu, suasana dan kondisi terkait situasi munculnya ekspresi KDP. Berkaitan dengan faktor pendukung KDP, remaja dapat mengidentifikasi faktor internal (nafsu, cinta, rasa ingin tahu, suka sama suka, iman kurang kuat, penampilan fisik, dll) dan eksternal (tempat/suasana gelap & sepi, film/situs porno, pakaian yang terlalu terbuka, dll). Remaja juga menyebutkan faktor penghambat KDP yang bersifat internal (kurangnya keterampilan interpersonal, iman yang kuat, penyakit menular seperti HIV/AIDS, dll) dan eksternal (jarak, orang banyak, norma kesusilaan masyarakat, pakaian yang sopan, dll). Berkaitan dengan manfaat KDP, remaja cenderung lebih menyoroti manfaat jangka pendek dari KDP. Berkaitan dengan efek negatif, remaja cenderung hanya melihat efek langsung dari KDP. Remaja secara umum juga cenderung menunjukkan sikap negatif terhadap KDP. Hasil analisis terhadap enam tema tambahan yaitu situasi munculnya ekspresi, faktor pendukung, faktor penghambat, manfaat, efek negatif serta sikap terhadap KDP mengindikasikan bahwa remaja cenderung mengkonseptualisasikan KDP sebagai kontak fisik dan kontak seksual semata. Berkaitan dengan sikap remaja terhadap aspek kontrol dan pengaruh, remaja putra secara umum menerima kontrol dan pengaruh sebagai KDP, sedangkan remaja putri menolak kontrol dan pengaruh sebagai KDP.

(8)

viii

IN DATING RELATIONSHIP

Agatha Dewan Ayu Budaya

ABSTRACT

Intimacy is a basic need for all people to live their social lives and it has an impact on one’s both physical and psychological health. Unfortunately, intimacy has been so far misunderstood by some society as a form of physical contact which leads to sexual intercourse. The narrow view toward intimacy could in adoption by adolescent from the society as his social group through the process of socialization. Whereas, adolescent start to improve intimacy with the opposite sex through dating relationship, so when adolescent have interpretation that intimacy in dating relationship is only about sexual treatment, it can creates quite serious negative impacts. Preventive actions can be taken in order to avoid negative impacts that are aroused from narrow view toward dating intimacy. One thing that can be done is by exploring the adolescent concept of dating intimacy through existing definitions as well as expressions and also through the differences of male and female adolescent’s concepts regarding dating intimacy. This is a descriptive research using qualitative approach. The methods of collecting data are focus group discussion and vignette. 23 male adolescents and 19 female adolescents took part in the discussion of this dating intimacy topic. They were distributed into eight discussion groups: four male groups and four female groups. Nine themes were acquired in the research. Two mainstreams were the definitions and expressions of dating intimacy and seven additions were the situation when expressions occurred, supporting factors, obstructive factors, advantages, negative effects, attitudes toward dating intimacy and the pro an contra attitudes towards control and power. Related to the definition and expression, generally male and female adolescents defined and expressed dating intimacy into six aspects which were the aspect of physical contact, sexual contact, self-disclosure, understanding and empathy, trust, and closeness & connectedness. Besides, males adolescents defined and expressed dating intimacy in the aspect of control and power, and also expressed dating intimacy in the aspect of shared activity and help & support. Female adolescents also expressed dating intimacy in the aspect of emotional expressiveness and created meaning. Adolescents mentioned places, times, situations and conditions which were related to the moment when the dating intimacy was expressed. Related to the supporting factors of dating intimacy, adolescents could identify the internal factors (passion, love, curiosity, mutual affection, weak religiosity, physical appearance, etc.) and external factors (dark and less-crowded place/environment, porn movies/sites, certain bare parts of the body, etc). Adolescents also mentioned obstructive factors of dating intimacy, both the internal (lack of interpersonal ability, strong religiosity, contagious diseases like HIV/AIDS, etc) and the external (distance, crowd, norms of behavior, proper clothes, etc.). Related to the dating intimacy advantages, adolescents had the tendency to look at short-termed advantages of it. As for the liabilities, they inclined to emphasize more on the immediate effects of dating intimacy and also show their negative attitudes. The result of the analysis toward six additional themes which were situation when expressions occurred, supporting factors, obstructive factors, advantages, negative effects, and attitudes towards dating intimacy indicated that adolescents inclined to conceptualize dating intimacy merely as both physical and sexual contact. Related to the attitudes of the adolescents towards control and power aspect, male adolescents generally accepted it as a part of dating intimacy while female adolescents refused.

(9)
(10)

x

Akhirnya tiba juga pada saat yang paling membahagiakan dari seluruh proses penyusunan skripsi: menulis Kata Pengantar. Penulisan skripsi ini merupakan suatu proses pendewasaan yang pada akhirnya hanyalah menjadi awal menuju kemajuan yang lain.

Bagi semua pihak yang berperan dalam proses pendewasaan ini, peneliti dengan tulus ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk:

1. Ibu A. Tanti Arini, terima kasih atas jam-jam bimbingan yang diluangkan untuk penulis, juga untuk saat-saat berharga berbagi pengalaman dan masukan demi kemajuan diri penulis.

2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., terima kasih untuk semua bantuan, pengertian, penguatan sekaligus dorongan di saat-saat ketika rasanya penulis ingin menyerah. Kesabaran dan senyum ibu akan selalu menjadi penghibur hati para mahasiswa.

3. Ibu M.M. Nimas Eki S., terimakasih atas kuliah-kuliah menarik yang penulis ikuti selama menjadi mahasiswa. Terima kasih juga atas kesediaan Ibu menjadi salah satu penguji bagi skripsi penulis.

(11)

xi

layak mendapat penghargaan setinggi-tingginya: kedua orangtua penulis Bapak Y.Agus Pringgo dan Ibu C.Andani Listyanti.

6. Adik sekaligus sahabat terkasih, Beatrix Dewan Ganda Budaya, melewati waktu-waktu berbagi dan berdiskusi bersamamu membuka mata penulis tentang sisi lain dari setiap hal.

7. Eyang Putri dan Tante Riri, atas perhatian dan bantuan yang diberikan sehingga penulis bisa merasakan indahnya bangku kuliah.

8. Kehangatan dan keceriaan yang selalu hadir setiap kita berkumpul: Eyang, Pakdhe-budhe, Oom-tante, Mbak-mas keluarga besar Pringgo Pudyanto & Sulistyo yang dengan sapaannya “kapan sidane kowe lulus?” senantiasa memompakan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skprisi ini…and special thanks to Mas Aga yang dengan ringan tangan membantu urusan terjemahan, terutama untuk abstrack-nya, juga Mas Nazar & Mbak Tiwi atas pinjaman laptop & scanner-nya.

9. Teman-teman penulis yang sangat berperan dalam proses penulisan skripsi ini: Haksi dan Coci sang asisten moderator…tanpa kerelaan kalian untuk meluangkan waktu, penulis tak akan pernah sanggup melawati diskusi demi diskusi itu sendirian…juga Devi dan Wiwid untuk pinjaman recorder dan mp4-nya yang berarti besar dalam menuntaskan pengambilan data.

(12)

xii

11. Teman diskusi yang tidak saja rela membukakan pintu rumahnya untuk disambangi sewaktu-waktu, namun juga pintu hati dan telinganya demi mendengar segala keluh: Elisabet Haksi Mayawati dan Alfonsa Maria Theotera Yosanthi.

12. Teman seperjuangan yang sudah dibuat repot oleh segala ketidaktahuan penulis akan skripsi: Ita Dian Perwitasari, Herdian Wahyuni dan Devita Marie Marthin. Terimakasih telah membuat jam-jam menunggu bimbingan skripsi menjadi lebih menyenangkan.

13. Teman-teman partisipan yang telah mendekatkan penulis pada warna-warni indahnya dunia remaja, melalui kalianlah penulis belajar bagaimana selalu bersemangat muda. Teimakasih telah bersedia mengalahkan rasa malu dalam diskusi.

14. Semua pengalaman berharga, yang diberikan oleh sahabat-sahabat di PPA Paroki Keluarga Kudus Banteng. Bersama kalianlah semuanya bermula dan semoga akan terus berkembang… Sungguh sebuah kebanggaan menjadi bagian dari kalian dan kenangan itu tidak akan pernah lewat begitu saja… 15. Dan di atas semua itu, hormat, syukur dan terimakasih paling dalam kepada

(13)

xiii

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………. iii

HALAMAN MOTTO………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. vi

ABSTRAK………... vii

ABSTRACT………. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…… ix

KATA PENGANTAR……….. x

DAFTAR ISI……… xiii

DAFTAR TABEL……… xix

DAFTAR GAMBAR……… xx

DAFTAR LAMPIRAN……… xxi

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Rumusan Masalah……… 13

C. Tujuan Penelitian……….. 13

(14)

xiv

A. Konsep………. 15

1. Pengertian Konsep………. 15

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep 17 3. Implikasi Konsep Terhadap Perilaku……… 19

B. Remaja ……..………... 20

1. Remaja Secara Umum…..………. 20

2. Remaja Sebagai Anggota Kelompok Sosial………. 26

C. Keintiman Dalam Pacaran……… 27

1. Pacaran……….………. 27

1.1 Pengertian Pacaran………... 27

1.2 Alasan dan Fungsi Pacaran……….. 30

1.3 Risiko Pacaran………. 32

2. Keintiman Dalam Pacaran………. 33

2.1 Pengertian Keintiman……….. 33

2.2 Pengertian Keintiman Dalam Pacaran………. 36

2.3 Ekspresi Keintiman………. 37

a. Ekspresi Keintiman Verbal………. 37

b. Ekspresi Keintiman Non-verbal……….. 38

2.4 Aspek-Aspek Keintiman………. 39

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keintiman……. 46

(15)

xv

E. Konseptualisasi Remaja Tentang Keintiman Dalam Pacaran 52

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 53

A. Jenis Penelitian……….. 53

B. Fokus Penelitian………... 54

C. Metode Pengumpulan Data……….. 54

1. Focus Group Discussion (FGD) ………. 54

a. Pengertian FGD ……….. 54

b. Alasan / Dasar Pemilihan FGD………... 56

c. Instrumen / Alat dalam FGD………... 61

d. Jumlah Partisipan Tiap Kelompok………... 64

e. Komposisi Partisipan Tiap Kelompok……….. 65

f. Waktu Diskusi Tiap Kelompok………. 65

g. Peran Peneliti Dalam FGD……… 65

2. Analisis Vignette……….. 66

a. Pengertian Vignette & Analisis Vignette………. 66

b. Alasan Penggunaan Analisis Vignette Dalam FGD…... 67

c. Proses Penyusunan Vignette……… 68

d. Pertanggungjawaban Mutu Vignette………... 74

e. Proses Analisis Vignette dalam FGD……….. 75

D. Partisipan Penelitian..……….. 76

(16)

xvi

3. Proses Pencarian Partisipan Penelitian……… 77

4. Sistem Reward Bagi Partisipan………..………. 78

E. Prosedur Penelitian..……….... 79

1. Tahap Persiapan……… 79

2. Tahap Pengambilan Data……… 79

a.Prosedur Pengambilan Data……… 79

b.Tanggal, Waktu & Tempat Pengambilan Data……….. 81

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data……….. 81

1. Kredibilitas………. 81

2. Dependabilitas……… 83

G. Metode Analisis Data……… 84

1. Organisasi Data………. 84

2. Pengkodean Data……….. 84

3. Interpretasi Data……… 85

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………. 86

A. Pelaksanaan Pengambilan Data……… 86

B. Karakteristik Partisipan Penelitian ……….. 90

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan………. 91

I. Hasil Penelitian………...………. 92

A. Hasil Penelitian Utama & Analisis Data……… 92

(17)

xvii

B. Hasil Penelitian Tambahan & Analisis Data………. 103

1. Situasi Munculnya Ekspresi KDP………... 103

2. Faktor Pendukung KDP………... 106

3. Faktor Penghambat KDP……… 109

4. Manfaat KDP……….. 113

5. Efek Negatif KDP……… 116

6. Sikap Terhadap KDP……….. 119

7. Sikap Terhadap Aspek Kontrol & Pengaruh………... 121

II. Pembahasan………. 124

A. Pembahasan Hasil Utama……… 124

1. Definisi & Ekspresi KDP……… 124

B. Pembahasan Hasil Tambahan……….. 130

1. Situasi Munculnya Ekspresi KDP……… 131

2. Faktor Pendukung KDP……… 132

3. Faktor Penghambat KDP………. 134

4. Manfaat KDP……….. 135

5. Efek Negatif KDP……… 138

6. Sikap Terhadap KDP……… 139

7. Sikap Terhadap Aspek Kontrol & Pengaruh……… 141

(18)

xviii

A. Kesimpulan………... 159

B. Keterbatasan Penelitian……… 162

C. Saran………. 163

DAFTAR PUSTAKA………... 168

(19)

xix

Tabel 1.1 Prevalensi Jenis Perilaku Pacaran Remaja... 8

Tabel III.1 Panduan Diskusi Secara Umum……… 62

Tabel III.2 Panduan Diskusi Secara Praktis……… 63

Tabel III.3 Blue Print Vignette……… 70

Tabel III.4 Vignette 1 Remaja Putra……….. 71-72 Tabel III.5 Vignette 2 Remaja Putra……….. 72

Tabel III.6 Vignette 1 Remaja Putri………... 73

Tabel III.7 Vignette 2 Remaja Putri………... 73-74 Tabel III.8 Prosedur Pengambilan Data……….. 7 9-80 Tabel III.9 Pelaksanaan Konfirmasi Data Kepada Partisipan……. 82

Tabel IV.1 Pelaksanaan Pengambilan Data………. 86

Tabel IV.2 Karakteristik Partisipan Penelitian……… 90

Tabel IV.3 Rangkuman Definisi KD.……….. 95

Tabel IV.4 Rangkuman Ekspresi KDP……… 101

Tabel IV.5 Rangkuman Situasi Munculnya Ekspresi KDP………. 105

Tabel IV.6 Rangkuman Faktor Pendukung KDP……… 108

Tabel IV.7 Rangkuman Faktor Penghambat KDP……….. 112

Tabel IV.8 Rangkuman Manfaat KDP……… 115

Tabel IV.9 Rangkuman Efek Negatif KDP………. 118

Tabel IV.10 Rangkuman Sikap Remaja Terhadap KDP…………... 120

(20)

xx

Gambar 1.1 Gambar penelusuran Google bagian 1………. 4 Gambar 1.2 Gambar penelusuran Google bagian 2………. 5 Gambar II.1 Kerangka Penelitian Konseptualisasi Remaja

(21)

xxi

Lampiran I Pengkategorian Tema Penelitian……….. 179

Lampiran II Kategori Pengkodean Analisis Data………. 201

Lampiran III Contoh Lembar Persetujuan Partisipan……… 205

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahkluk sosial menjalin berbagai macam hubungan antar pribadi. Hubungan antar pribadi yang harmonis memiliki peranan penting dalam perkembangan hidup seseorang. Dampak positif adanya hubungan yang harmonis dengan orang lain adalah timbulnya harga diri yang positif serta meningkatnya taraf kepercayaan diri seseorang (Descuteur & Thelen, 1991).

Salah satu cara untuk menciptakan hubungan antar pribadi yang harmonis adalah dengan mengembangkan keintiman dalam sebuah hubungan. Keintiman merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia dalam menjalankan kehidupan sosial mereka (Bagarozzi, 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keintiman merupakan faktor signifikan yang berpengaruh terhadap kesehatan fisik maupun psikologis seseorang. Penelitian Prager & Buhrmester (1998) menjelaskan bahwa keintiman yang dirasakan seseorang dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat depresi, perasaan terisolasi dan tingkat kesepian pada seseorang. Individu juga memiliki kemungkinan untuk lebih cepat sembuh dari sakit dan risiko kambuh lebih kecil apabila ia mempunyai hubungan yang intim dengan orang lain (Levine, 1991).

(23)

antara seseorang dengan orang lain yang menampakkan sesuatu yang bersifat pribadi, ditandai dengan adanya perasaan positif terhadap diri sendiri, orang lain dan juga terhadap interaksi yang terjalin, serta adanya pengertian yang lebih baik antara seseorang dengan yang lain sebagai hasil dari adanya interaksi. Keintiman memiliki komponen afektif, kognitif maupun perilaku. Hubungan yang intim melibatkan afeksi, kehangatan, pengungkapan diri, serta kedekatan dengan orang lain (Perlman & Fehr, dalam Eryilmaz & Atak, 2009).

Kata intim memiliki makna yang berbeda dalam setiap budaya. Kajian budaya mengenai kata intim salah satunya dapat dilakukan dengan cara menggali makna semantik dari kata tersebut dalam kamus suatu bahasa. Cara ini bisa ditempuh karena setiap budaya biasanya diasosiasikan dengan satu bahasa tertentu sebagai alat ekspresinya dan juga sebaliknya, bahwa setiap bahasa biasanya diasosiasikan dengan sebuah budaya tertentu (Matsumoto, 2004).

(24)

aslinya (dekat, akrab, mesra) maupun makna kiasnya (perbuatan tidak senonoh, zinah)..

Pemaknaan yang bervariasi juga ditemukan dalam kajian mengenai kata intimate dan intimacy dalam kamus bahasa Inggris. Kata intimate dalam kamus bahasa Inggris memiliki beberapa makna yaitu (1) hubungan yang dekat (persahabatan), (2) sesuatu yang bersifat pribadi (private & personal), (3) hubungan seksual (yang sifatnya terlarang), (4) detil, teliti, cermat (berkaitan dengan pengetahuan), (5) bersifat batin, mendalam, internal, serta (6) esensial (menyangkut hal yang penting) dan intrinsik (hakiki), sedangkan kata intimacy dalam kamus bahasa Inggris dimaknai sebagai (1) keadaan intim, hubungan yang dekat dan (2) aksi intim, terutama berkaitan dengan hubungan seksual terlarang (Hornby & Cowie, 1989; The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English Language, 1996; The Oxford American Dictionary & Thesaurus, 2003)

(25)

seksual (Beebe, Beebe & Redmond, 2008; Soyomukti, 2008). Pendapat ini dikuatkan dengan fakta gambar 1.1 dan gambar 1.2 yang menunjukkan hasil penelusuran melalui mesin pencari GOOGLE dengan kata kunci “intim” pada tanggal 27 Agustus 2010.

(26)

Gambar I.2 : Gambar penelusuran mesin pencari Google dengan kata kunci intim bagian 2

(27)

Penyempitan makna kata intim dan terjadinya perubahan makna terhadap kata-kata lain yang digabungkan dengan kata-kata intim ini menunjukkan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap kata intim yang terbatas pada makna kiasanya dan bukan makna aslinya serta dalam dimensi fisiknya semata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata intim atau keintiman masih dipandang atau dipahami secara sempit dan tidak utuh oleh masyarakat Indonesia.

Pandangan masyarakat yang sempit dalam mengartikan keintiman ini dapat berpengaruh pula pada remaja. Remaja yang merupakan bagian dari masyarakat seringkali berpandangan dan berperilaku sesuai dengan apa yang dianut oleh masyarakat sebagai kelompok sosialnya. Pandangan atau perilaku kelompok ini diperoleh remaja melalui proses modeling dan sosialisasi. Kedua proses tersebut berlangsung terus menerus sehingga bukan tidak mungkin lama kelamaan remaja dapat juga memiliki nilai dan perilaku terkait keintiman yang relatif sama dengan yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Padahal, keintiman merupakan isu penting pada masa remaja.

(28)

pacaran. Berikut ini adalah kutipan wawancara salah satu subjek remaja perempuan berusia 17 tahun yang diminta pendapatnya tentang praktek hubungan seksual pranikah dalam penelitian kualitatif berjudul Remaja, Perempuan dan Seksualitas yang mendukung pendapat tersebut.

“Saya melakukannya (hubungan seksual) dengan sadar waktu itu. Saya merasa saya sangat menikmati hubungan dan pertemuan-pertemuan saya dengan pacar saya, saya menghayatinya dengan perasaan yang mendalam. Dan saya tidak menyesal ketika melakukannya (hubungan seksual). Justru seks pada saat itu terasa indah dan menyenangkan karena saya punya alasan personal yang cukup kuat untuk melakukannya, saya merasa menjadi lebih dekat, intim dan nyaman dengan pacar saya ketika kami melakukannya (hubungan seksual)”

(Swastika, 2006)

(29)

Tabel 1.1 : Prevalensi Jenis Perilaku Pacaran Remaja Dari Beberapa Penelitian

Sumber Sampel Hasil

DKT Indonesia (2005) Kawula Muda di Kota Jakarta, Bandung, Sura baya dan Medan (15 – 24

 75 % kawula muda berciuman bibir saat pacaran

 22 % kawula muda saling meraba daerah sensitif saat pacaran

 19 % kawula muda melakukan seks oral saat pacaran perempuan berpegangan tangan saat pacaran

 73,5 % remaja laki-laki dan 66,5 % remaja perempuan berpelukan saat pacaran

 68 % remaja laki-laki dan 56,5 % remaja perempuan berciuman bibir saat pacaran

 23 % ramaja laki-laki dan 7 % remaja perempuan saling meraba alat kelamin pacaran

 6,2 % remaja lak-laki dan 3,5 % remaja perempuan melakukan hubungan seksual saat pacaran desa berpegangan tangan saat pacaran

 49,1 % remaja berciuman saat pacaran (remaja laki-laki baik di kota dan di desa lebih banyak berciuman daripada remaja perempuan baik di kota dan di desa)

 45,8 % remaja berpelukan / berangkulan saat pacaran (remaja laki-laki dan perempuan di kota lebih berani berpelukan daripada remaja laki-laki dan perempuan di desa)

 6,9 % remaja laki-laki dan perempuan baik di kota maupun desa meraba alat kelamin pasangan saat pacaran

(30)

laki-laki baik di kota maupun di desa lebih banyak melakukan hubungan seksual dengan pacar daripada remaja putri baik di kota maupun di desa)

 48 % remaja meraba daerah sensitif pasangan saat pacaran

 28 % remaja melakukan petting saat pacaran

 20 % remaja melakukan hubungan seksual saat pacaran

PKBI Jawa DIY (2001) Remaja di Yogyakarta dengan N = 120

 92 remaja melakukan necking dan

petting dengan pacar

 10 remaja melakukan hubungan seksual saat pacaran

. Bentuk-bentuk perilaku pacaran yang mengarah pada aktivitas seksual seperti tampak dalam data pada tabel I.1 dapat meningkatkan risiko terjadinya kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja (Tandjung, 2003). Kasus kehamilan tidak diinginkan di wilayah DIY menunjukkan peningkatan kuantitas yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Lentera Sahabat Remaja PKBI DIY mencatat ada 846 remaja sejak Juni 1997 – Juni 2000, 722 remaja sepanjang tahun 2001-2002 dan 508 remaja pada tahun 2003 datang mengikuti konseling karena mengalami kehamilan tidak diinginkan (Rengganis, 2005; Tito, 2002).

(31)

langkah preventif maupun intervensi yang efektif untuk mencegah dampak negatif yang timbul akibat adanya pandangan yang sempit mengenai keintiman dalam pacaran. Salah satu cara mendapatkan pemahaman menyeluruh mengenai hal ini adalah dengan melakukan penelitian.

Penelitian ini akan meneliti keintiman pada remaja. Hal ini dilakukan karena sebagian besar penelitian tentang keintiman menggunakan orang dewasa dan mahasiswa sebagai subjek penelitiannya (Seki, et.al, 2002; Mackey, et.al, 2000; Prager & Buhrmester, 1998; Flyod & Parks, 1996). Penelitian mengenai keintiman dengan subjek remaja remaja awal (12 atau 13 tahun hingga 17 atau 18 tahun) perlu dilakukan karena dalam rentang usia tersebut biasanya remaja mulai membangun hubungan romantis untuk pertama kali (Dickinson, dalam Santrock 2003), sehingga kesalahan dalam mengartikan keintiman dalam pacaran rentan terjadi (Zastrow, 2000). Oleh karena itu, penelitian mengenai keintiman pada remaja awal dalam hubungan pacaran perlu dilakukan.

(32)

Backenbach, 2009). Dengan demikian, penting untuk meneliti konsep tentang keintiman dalam pacaran yang dimiliki oleh remaja awal, agar diperoleh gambaran yang utuh terhadap keintiman dalam hubungan pacaran dari sudut pandang remaja itu sendiri.

Penelitian lain mengenai gambaran tentang konsep keintiman juga pernah dilakukan oleh Monsour (1992) dan Seki, et.al (2002). Kedua penelitian tersebut sama-sama mengungkap tentang bagaimana subjek mendefinisikan keintiman serta bagaimana kemudian keintiman tersebut diekspresikan dalam sebuah hubungan. Kedua penelitian ini memilah antara definisi dan ekspresi dalam menggali konsep keintiman secara keseluruhan. Pemilahan ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih luas dan komprehensif terkait konsep KDP (keintiman dalam pacaran) secara umum melalui apa yang dipahami subjek sebagai arti atau definisi keintiman (tataran kognitif) dan apa yang dipahami subjek sebagai manifestasi dari keintiman (tataran perilaku) (Seki, et.al, 2002).

(33)

(Steinberg, 2002), sehingga pemikiran abstrak remaja awal secara umum belum sepenuhnya berkembang dengan sempurna. Oleh karena itu, konsep KDP pada remaja awal ini dapat diketahui lebih jelas melalui ekspresi-ekspresi KDP yang mereka sebutkan.

(34)

B. Rumusan Masalah

1. Rumusan Masalah Umum

Bagaimana konseptualisasi remaja tentang keintiman dalam pacaran (KDP)?

2. Rumusan Masalah Khusus

a. Apa definisi keintiman dalam pacaran (KDP) menurut remaja putra dan putri ?

b. Apa ekspresi keintiman dalam pacaran (KDP) menurut remaja putra dan putri ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menggali konseptualisasi remaja tentang keintiman dalam pacaran.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui definisi keintiman dalam pacaran menurut remaja putra dan putri

(35)

D. Manfaat Penelitian

Secara umum, manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan praktis :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat menjadi sebuah wacana mengenai konsep keintiman dalam pacaran, secara khusus terkait definisi dan ekspresi keintiman dalam pacaran pada remaja. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan kajian mengenai keintiman dari sudut pandang remaja dalam hubungan pacaran, mengingat selama ini keintiman banyak diteliti dalam konteks hubungan persahabatan maupun pernikahan dengan subjek orang dewasa.

2. Manfaat Praktis

(36)

15

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep

1. Pengertian Konsep

Pengetahuan yang dimiliki seseorang pada dasarnya berupa

konsep-konsep. Konsep-konsep ini diperoleh individu sebagai hasil interaksi dengan

lingkungan. Konsep-konsep kenudian disusun menjadi suatu prinsip yang

dapat digunakan sebagai landasan dalam berpikir Menurut Good (1973),

konsep adalah gambaran dari ciri-ciri, yang dengan ciri-ciri itu objek-objek

dapat dibeda-bedakan. Yelon et al. (dalam Gagne, 1985), mendefinisikan konsep sebagai elemen umum dari sekelompok objek, peristiwa atau proses.

Kuslan dan Stone (1968) juga menambahkan bahwa konsep adalah sifat khas

yang diberikan pada sejumlah objek, proses, fenomena, atau peristiwa, yang

dapat dikelompokkan berdasarkan sifat khas itu.

(37)

kita untuk dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan nama atau label konsep. Nama atau label konsep itu adalah suatu simbol yang digunakan untuk menyatakan konsep, yang merupakan abstraksi internal. Dengan kata lain, Wisniewski (dalam Matlin, 2009) mengatakan bahwa konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili sekelompok stimulus. Hal ini senada dengan salah satu dimensi konsep dari Bell (dalam Faiq, 2008) yang menyatakan konsep sebagai suatu konstruk mental dari seseorang yang ditandai oleh satu atau lebih kata yang menyatakan konsep khusus. Selain itu, Bell (dalam Faiq, 2008) juga menyatakan dimensi kedua dari konsep sebagai pengertian yang diterima secara sosial.

Gagne (1985) dan Gagne and Briggs (1974) menyatakan bahwa

konsep dapat digolongkan kedalam dua golongan yaitu konsep konkrit dan

konsep terdefinisi. Konsep konkrit adalah konsep yang menunjukkan ciri-ciri

atau atribut dari suatu objek, dan relatif mudah dikenali atau diamati dengan

indra. Contoh konsep konkrit misalnya konsep warna (merah, hijau), bentuk

(bulat, datar), sifat (keras, lunak), perilaku dan sebagainya. Konsep terdefinisi

adalah konsep yang dapat dikenali (dipahami) melalui definisi, jadi sifatnya

abstrak. Contoh konsep terdefinisi misalnya konsep: kecerdasan, kekerabatan,

penduduk, fertilitas, ovulasi, dan sebagainya

Beberapa rumusan konsep yang dikemukakan di atas mengandung

makna yang sama, yaitu bahwa konsep merupakan suatu abstraksi mental

yang mengambarkan ciri-ciri umum dari sekelompok objek, proses, peristiwa,

(38)

diterima secara sosial. Konsep dapat dibedakan menjadi konsep yang konkrit

dan konsep yang terdefinisi (abstrak).

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep

Pembentukan konsep dalam sistem kognisi individu dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini :

1. Usia

Usia menjadi faktor berpengaruh dalam pembentukan konsep terkait dengan perkembangan kemampuan kognitif individu. Daya tangkap dan pola pikir individu semakin matang seiring dengan pertambahan usia. Individu yang semakin dewasa memiliki pola pikir lebih abstrak dan logis, sehingga individu mampu berpikir secara hipotesis, multidimensi dan relatif (Setiono, 2002). Kematangan kemampuan kognitif tersebut memungkinkan individu untuk membentuk persepsi, pengertian maupun konsep yang kompleks dan luas mengenai berbagai hal.

2. Pendidikan

(39)

pendidikan memiliki kaitan erat dengan pembentukan konsep pada individu. Individu dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi dapat mengembangkan konsep-konsep yang lebih mendalam dan menyeluruh terkait berbagai macam fenomena disekitarnya.

3. Lingkungan Sosial Budaya

Lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap pembentukan konsep pada seseorang yang berada pada lingkungan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena manusia adalah mahkuk sosial yang senantiasa berinteraksi secara timbal balik dengan lingkungannya, sehingga cara seseorang mengkonseptualisasikan suatu hal sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya dimana ia hidup (Dayaskini & Yuniardi, 2004). Pengaruh lingkungan sosial budaya yang dimaksud meliputi pengaruh dari in-groupnya seperti dari significant others (orang tua, saudara kandung, kerabat) dan teman sebaya, pengaruh out-group (masyarakat, komunitas) maupun pengaruh dari kondisi budaya setempat. Salah satu pengaruh lingkungan budaya yang berdampak cukup signifikan dalam pembentukan konsep adalah berkembangnya stereotipe peran gender dalam masyarakat.

4. Media massa sebagai sumber informasi.

(40)

mengenai suatu hal. Media massa dengan tugas pokoknya sebagai sarana untuk meyampaikan informasi membawa pula pesan-pesan yang dapat mengarahkan konsep atau opini individu. Informasi baru mengenai suatu hal yang diperoleh individu dari media massa memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya konsep individu mengenai hal tersebut (Suryoputro, dkk, 2006).

3. Implikasi Konsep Terhadap Perilaku

Konsep-konsep mengenai berbagai hal yang dimiliki individu akan membentuk suatu skema dalam sistem kognisi individu. Skema menurut Barllet, Marcus, Taylor & Crocker (dalam Aranson, et.al., 2004) merupakan struktur mental yang mengorganisasi konsep-konsep individu mengenai dunia sosial dan mempengaruhi informasi yang diperhatikan, dipikirkan dan diingat oleh individu. Skema meliputi berbagai hal yang luas terkait diri kita, orang-orang, peran sosial maupun peristiwa-peristiwa spesifik (Aranson et.al, 2004). Masing-masing individu memiliki skema yang terdiri dari

(41)

konsep berimplikasi terhadap perilaku melalui terbentuknya skema dalam diri individu.

B. Remaja

1. Remaja Secara Umum

Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang harus dilalui oleh seseorang. Istilah remaja itu sendiri merupakan padanan dari istilah adolecere dalam bahasa Latin yang berarti bertumbuh atau berkembang ke arah kematangan (Sarwono, 2002). Passer & Smith (2007) menyebut masa remaja sebagai masa penyempurnaan perkembangan individu pada tahap-tahap sebelumnya. Masa remaja juga merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti bahwa sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami seperti misalnya tinggi dan berat badan masih terus bertambah, namun sebagian kematangan masa dewasa seperti kematangan fungsi reproduksi dan kematangan kognitif sudah dicapai meskipun belum sempurna. Oleh karena itu, remaja belum dapat dikatakan sebagai manusia dewasa (Papalia & Olds, 2007).

(42)

remaja akhir berlangsung dalam rentang usia di atas 18 tahun hingga memasuki dewasa awal.

Individu secara umum mengalami berbagai perkembangan pada masa remaja, yaitu meliputi perkembangan-perkembangan sebagai berikut :

a. Perkembangan Fisik

Ketika memasuki masa remaja awal, seseorang mengalami masa pubertas, yaitu suatu masa ketika kematangan fisik dan seksual seseorang meningkat dengan pesat (Berk, 2007, Passer & Smith, 2007). Peningkatan kematangan fisik dan seksual tersebut menyebabkan remaja mengalami perubahan-perubahan dalam tubuhnya. Perubahan pada gadis remaja ditandai oleh kehadiran menstruasi pertama yang kemudian diikuti dengan berkembangnya buah dada, pinggul yang membesar, dan mulai munculnya rambut-rambut halus di ketiak. Perubahan pada remaja putra tampak dari mulai dialaminya mimpi basah, tumbuhnya kumis, munculnya jakun dan suara yang memberat (Baron, 1998; Davis & Palladino, 1997).

b. Perkembangan Sosial

(43)

pengaruh besar terhadap nilai, sikap, dan perilaku remaja. Coleman (dalam Davis & Palladino, 1997) mengemukakan tiga fungsi penting teman sebaya bagi remaja, yaitu :

a. Teman sebaya menyediakan feedback yang dibutuhkan remaja berkaitan dengan perilaku-perilaku mana yang diterima kelompok dan mana yang tidak

b. Teman sebaya mampu berperan sebagai support group ketika remaja menghadapi masalah berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Hal ini karena peer groups mengalami pula berbagai perubahan yang dialami remaja dan merasa senasib sepenanggungan.

c. Teman sebaya juga mampu menyediakan solusi bagi remaja dalam menghadapi masalah yang timbul akibat benturan dengan nilai-nilai dan perilaku yang ditanamkan orang dewasa.

c. Perkembangan Emosi

(44)

Hal ini ditandai dengan munculnya dorongan untuk mendekati lawan jenis, terutama pada masa pertengahan remaja awal (Grevig & Zimbardo, 2002). Oleh karena itu, pacaran menjadi aktivitas sosial yang penting dan wajar terjadi pada remaja. Gague & Lavaire (dalam Geary, et all, 2006) berpendapat bahwa pada masa pacaran ini, pasangan romantis merupakan figur lekat bagi remaja yang menggantikan figur orang tua.

d. Perkembangan Kognitif

Dalam pandangan Jean Piaget, seseorang yang menginjak masa remaja mulai memasuki tahap operasional formal (Morris & Maisto, 2002). Tahap operasional formal ini merupakan periode terakhir dan tingkat tertinggi dalam perkembangan kognitif yang dimulai sekitar umur 11 atau 12 tahun (Santrock, 2003; Ward & Overton dalam Passer & Smith, 2007). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir yang lebih abstrak, logis, dan idealis dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks (Setiono, 2002). Pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret, sehingga mereka mampu membuat hipotesis (Passer & Smith, 2007; Hockenbury & Hockenbury, 2003). Secara lebih terperinci, pemikiran remaja ditandai dengan kemampuan-kemampuan sebagai berikut :

a. Kemampuan berpikir tentang kemungkinan

(45)

Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. (Santrock, 2003; Steinberg, 2002; Setiono, 2002)

b. Kemampuan berpikir ke depan

Remaja juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dengan pengalaman masa sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. (Setiono, 2002) c. Kemampuan berpikir dalam hipotesis

Remaja mampu berpikir secara logis. Remaja dapat membuat hipotesis untuk memecahkan suatu masalah serta mampu menguji keefektifan pemecahan masalah tersebut. Remaja juga mulai dapat menarik kesimpulan secara sistematik, baik bersifat deduktif maupun induktif (Santrock, 2003; Steinberg, 2002).

d. Kemampuan Metakognisi

Metakognisi merupakan pengetahuan, kesadaran, dan control terhadap proses kognitif yang ada dalam diri individu (Matlin, 2009). Dengan kemampuan metakognisi ini, remaja menjadi lebih introspektif serta lebih menyadari tentang dirinya dan pikiran-pikirannya (Steinberg, 2002).

e. Kemampuan Berpikir Multidimensi

(46)

kemampuan berpikir tidak hanya terbatas pada satu hal saja, tapi menjadi lebih kompleks. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri.(Steinberg, 2002; Setiono, 2002)

f. Kemampuan Berpikir Relatif

Remaja cenderung mulai dapat melihat segala sesuatu secara lebih relatif, tidak kaku serta fleksibel, tidak hanya terbatas sebagai hitam atau putih saja. (Steinberg, 2002; Setiono, 2002)

(47)

2. Remaja Sebagai Anggota Kelompok Sosial

Remaja sering kali berperilaku atau berpandangan sesuai dengan apa yang dianut oleh masayarakat sebagai kelompok sosialnya. Remaja mengobservasi perilaku dan pandangan kelompok untu kemudian di internalisasi menjadi perilaku dan pandangan pribadinya. Fenomena ini disebut dengan modeling dalam ilmu psikologi (Pervin, Cervone, dan John, 2005). Fenomena ketika remaja berperilaku dan berpandangan seperti anggota kelompok ini dalam kajian sosiologi dikatakan sebagai hasil dari proses sosialisasi (Berry et. al., 1999).

Albert Bandura yang pertama kali mengungkapkan konsep modeling mengatakan bahwa dalam situasi sosial, individu dapat belajar lebih cepat dengan mengamati atau melihat tingkah laku orang lain (Cloninger, 2004). Individu belajar mengenali tipe-tipe perilaku yang di terima dan tidak di terima dengan cara mengobservasi perilaku anggota kelompoknya (Pervin, Cervone, dan John, 2005). Oleh karena itu, individu menjadi tahu perilaku yang di terima kelompok dan perilaku yang tidak di terima kelompok.

(48)

Melalui proses sosialisasi dan modeling, individu dalam hal ini remaja menjadi bagian dari kelompok sosial. Remaja memperoleh sosialisasi tentang nilai-nilai atau perilaku yang berkembang di kelompoknya dan selanjutnya remaja meniru nilai-nilai dan perilaku tersebut. Proses tersebut berlangsung terus menerus sehingga lama kelamaan remaja memiliki nilai-nilai dan perilaku yang relatif sama dengan yang dimiliki oleh kelompoknya.

C. Keintiman Dalam Pacaran

1. Pacaran

1.1 Pengertian Pacaran

(49)

remaja adalah mempersiapkan diri secara fisik, psikis dan sosial untuk berkomitmen dengan lawan jenis dan selanjutnya membentuk keintiman sebagai wujud kematangan psikologis.

Pacaran merupakan proses saling menyayangi antara dua manusia dengan jenis kelamin yang berbeda dimana didalamnya terdapat usaha untuk saling mengenal sifat, kebiasaan dan reaksi masing-masing terhadap berbagai peristiwa hidup, memahami tentang apa yang diiginkan dan diharapkan satu sama lain, serta sekaligus proses belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan pada saat sudah menikah (Ma’shum &Wahyurini, 2004 & Rogacion, 1996)..

Berbeda dengan beberapa pengertian yang telah diungkapkan di atas, pacaran diartikan pula sebagai upaya untuk mencari seorang teman dekat dan didalamnya terdapat upaya belajar mengkomunikasikan berbagai hal kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan sekaligus proses pendewasaan kepribadian. Pacaran biasanya dimulai dengan membuat janji, kemudian kencan dan dilanjutkan membuat komitmen tertentu. Apabila ada kecocokan antara dua individu, maka mereka akan meneruskan hubungan tersebut masuk dalam tahap pacaran. (Pusat Studi Seksualitas PKBI DIY, 2002)

(50)

pustaka tentang definisi pacaran dengan menyatakan pendapatnya bahwa pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai dengan keintiman. Keduanya terlibat dalam dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangnnya sebagai pacar. Oleh karena itu, pacaran dapat dikatakan pula sebagai usaha untuk melangkah lebih jauh dalam mengenal lawan jenis yang didasari komitmen antara kedua pasangan.

Pacaran juga diartikan sebagai terjalinnya hubungan romantis yang melibatkan emosi cinta pada pasangan pria dan wanita. Pacaran bisa dikatakan sebagai hubungan antara dua orang lawan jenis yang memiliki keterikatan emosi, dimana hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing. Perasaan-perasaan tersebut antara lain seperti rasa sayang dan cinta, ingin memperhatikan dan diperhatikan, ingin memiliki, selalu ingin berdekatan, serta rasa rindu (Kar’an, 2003).

(51)

sayang, ingin saling memiliki, selalu ingin berdekatan, ingin saling memperhatikan serta rasa rindu antara dua orang berlawanan jenis.

1.2 Alasan dan Fungsi Pacaran

Paul & White (dalam Rice & Dolgin, 2002; Santrock, 1998) menyebutkan beberapa alasan dan fungsi dari pacaran, khususnya pacaran pada remaja, yakni :

1. Pacaran sebagai proses sosialisasi. Dalam masa pacaran, individu akan dapat bergaul untuk belajar mengenal, menyerap nilai-nilai, norma dan etika sosial dari kelompok sosial yang lain, sehingga diharapkan mereka mampu berperilaku sesuai dengan aturan dan norma yang ada. 2. Pacaran merupakan cara bagi remaja untuk memiliki teman akrab, sehingga mereka dapat saling mengekspresikan perasaan, pemikiran maupun pengalaman masig-masing. Masa pacaran akan memberikan kesempatan bagi remaja agar dapat berperan sebagai teman untuk berbagi suka dan duka serta saling memberi dan menerima, sehingga mereka dapat mengurangi beban masalah pribadi, membantu mengikis egoisme pribadi dan menghindari kesendirian.

(52)

dari identitas pribadinya yang telah terpisah dari identitas keluarganya.

4. Pacaran sebagai sumber status dan prestasi. Remaja yang telah memiliki pacar akan memperoleh pengakuan sosial baik dari teman sebaya maupun lingkungan. Ia akan dikenal atau lebih popular, dianggap sudah dewasa dan memiliki daya tarik lebih besar dibandingkan dengan remaja lain yang belum mempunyai pacar. Selain itu, pacaran juga dapat dijadikan sebagai penyemangat dalam belajar dan berprestasi.

5. Pacaran sebagai masa rekreasi dan sarana untuk mencari hiburan, karena dengan pacaran remaja dapat bersenang-senang dan mengisi waktu luang bersama pacar.

6. Pacaran sebagai masa persiapan sebelum menikah. Artinya, masa pacaran ini berfungsi sebagai masa pencarian, pemilihan dan penentuan calon teman hidup sekaligus sebagai kesempatan untuk mengenal sifat, kepribadian, kelebihan serta kekurangan pasangan masing-masing.

(53)

dukungan. Sedangkan remaja awal dan pertengahan menurut Berk (2007) cenderung memandang pacaran sebagai sarana rekreasi untuk mencari kesenangan dan status sosial. Arsih (2006) dan Yuni (dalam Dimas, 2008) menambahkan pula bahwa kini banyak remaja yang berpacaran hanya karena alasan mengikuti trend yang sedang berkembang. Pacaran digunakan sebagai sarana untuk having fun, supaya tidak dianggap ketinggalan jaman oleh teman-teman sebaya. Bagi sebagian remaja, pacaran dimaknai pula sebagai ajang mempertahankan harga diri semata, demi menjauhkan diri dari status tidak punya pacar yang berarti negatif (tidak laku) di kalangan remaja Bahkan lebih ironisnya lagi, pacaran tidak jarang digunakan sebagai ajang untuk menyalurkan hasarat biologis semata. Padahal, pacaran biasanya dimulai pada masa pubertas atau remaja awal (Dickinson dalam Santrock, 2003). Oleh karena itu, masa remaja awal menjadi masa yang rentan terhadap kemungkinan munculnya berbagai risiko dalam hubungan pacaran.

1.3 Risiko Pacaran

(54)

dalam masa pacaran ini dapat berakibat pada terjadinya kasus kehamilan tidak diinginkan (Creagh, 2004). Masalah-masalah dalam masa pacaran seperti adanya hubungan seksual di luar nikah atau terjadinya kehamilan tidak diinginkan dapat terjadi antara lain karena adanya kesalahan dan kebingungan remaja dalam mengartikan keintiman dalam pacaran (Zastrow, dalam Farlina, 2002 ).

2. Keintiman Dalam Pacaran

2.1 Pengertian Keintiman

Konsep keintiman didefinisikan Prager (1995) dalam dua penekanan, yaitu :

1. Interaksi yang intim (intimate interaction)

Interaksi yang intim adalah dialog antara dua individu yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Interaksi yang intim terdiri dari :

1.a. Perilaku intim, yaitu berbagai tindakan aktual baik verbal maupun non-verbal yang dapat diamati dan tampak dalam situasi atau kondisi ketika individu berinteraksi secara intim, misalnya sentuhan afeksi, pengungkapan informasi personal dan pengekspresian emosi pada orang lain.

(55)

Contoh pengalaman intim adalah adanya perasaan penuh kasih sayang kepada orang lain maupun perasaan dipahami, diperhatikan dan disayangi orang lain.

2. Hubungan yang intim (intimaterelationships)

Hubungan yang intim diartikan sebagai hubungan yang terbentuk dari serangkaian interaksi yang bersifat intim, terjadi terus-menerus secara konsisten dan melahirkan pengharapan supaya interaksi tersebut berlangsung dengan tak kunjung berhenti. Persahabatan karib dan hubungan cinta romantis baik pacaran maupun suami istri merupakan contoh dari hubungan yang bersifat intim.

Beberapa ahli yang berbeda juga memberikan definisi keintiman yang mengacu pada konsep interaksi intim milik Prager, yaitu gabungan antara perilaku dan pengalaman intim. Misalnya Sullivan (1953) mendeskripsikan keintiman sebagai sebuah interaksi antara dua orang yang saling mengungkapkan keinginan-keinginan yang terdalam dan menginginkan terpenuhinya keinginan-keinginan terdalam itu dari satu sama lain. Selain itu, berbeda dengan Sullivan, Reis & Shaver (dalam Monsour, 1992) juga mendefinisikan keintiman sebagai proses pertukaran informasi antara dua orang yang bersifat pribadi dan ditanggapi secara positif oleh masing-masing orang sehingga membuat masing-masing merasa dipahami, dihargai, diperhatikan dan dihormati.

(56)

dengan orang lain (Sternberg, 1997). Pendapat di atas lebih mengarah pada definisi keintiman sebagai pengalaman intim seperti yang telah diungkapkan Prager sebelumya, karena lebih menyoroti keintiman dari segi perasaan dan emosi.

Berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Erikson (1966) memandang keintiman sebagai karakteristik individual yaitu salah satu fase dalam tahapan perkembangan psikososial yang dapat menyebabkan terjadinya isolasi apabila tidak terpenuhi. Ia juga mendefinisikan keintiman sebagai keinginan atau kemampuan untuk membuka diri, mengadakan hubungan yang hangat dan mendukung serta mengembangkan suatu kekariban, kerukunan yang timbal balik dan sejati dengan orang lain tanpa kehilangan identitas diri. Keintiman dapat terjadi dalam berbagai konteks relasi, seperti dalam hubungan orang tua-anak, persahabatan, maupun dalam hubungan cinta romatis, baik suami-istri maupun pacaran (Erikson, 1963)

(57)

2.2 Pengertian Keintiman Dalam Pacaran

Setiap orang dapat mengalami keintiman dalam berbagai macam hubugan antarpribadi. Namun, keintiman secara khusus lebih jelas terlihat dalam hubungan romantis seperti hubungan suami – istri maupun pacaran (Moss & Schwebel, 1993)

Secara umum, Sternberg (1997) melihat keintiman dalam hubungan cinta atau pacaran sebagai perasaan kedekatan, keterhubungan dan keterikatan antar pasangan yang timbul karena adanya hubungan timbale balik yang menyenangkan antara seseorang dengan pasangannya. Keintiman dalam hubungan romantis itu sendiri merupakan komponen emosi yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan dan keinginan untuk membina hubungan (Tambunan, 2001). Moss & Schwebel (1993) mengungkapkan bahwa keintiman dalam hubungan romantis setidaknya memiliki lima komponen utama, yaitu komitmen, keintiman afektif, keintiman kognitif, keintiman fisik dan mutualitas.

Keintiman dalam pacaran dapat dialami oleh siapa saja. Usia, jenis kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan atau latar belakang ekonomi tidak membatasi seseorang untuk mengembangkan keintiman. Selain itu, keintiman dalam pacaran juga tidak hanya terbatas pada pasangan heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan dengan jenis kelamin yang sama (Heaphy, Weeks & Donovan, 1998).

(58)

secara fisik, afektif maupun kognitif yang timbul karena adanya hubungan timbal balik yang menyenangkan antara seseorang dengan pasangannya tanpa memandang jenis kelamin dan latar belakang satu sama lain.

2.3 Ekspresi Keintiman

Ekspresi keintiman adalah cara untuk mengungkapkan keintiman oleh seseorang terhadap orang lain, yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ekspresi keintiman pada manusia sangat bervariasi dan kompleks. Bral E., Shaughnessy M., Eisenman R, (2002) mengatakan bahwa seseorang dapat mengekpresikan keintiman secara verbal dan non verbal, secara langsung ataupun tidak langsung serta yang bersifat seksual maupun non-seksual.

Prager & Buhrmester (1998) serta Breuess & Pearson (dalam Pearson, et.al, 2008) secara lebih spesifik menggolongkan ekspresi keintiman ke dalam dua jenis, yaitu :

a. Ekspresi Verbal

(59)

b. Ekspresi Non-verbal

Ekspresi non-verbal adalah semua bentuk ungkapan keintiman selain menggunkana kata-kata. Ekspresi non-verbal nampak pada sentuhan-sentuhan afeksi seperti memeluk, membelai rambut, mencium kening) dan sentuhan seksual seperti ML (making love). Selain itu, ekspresi keintiman non-verbal juga dapat ditunjukkan dengan perilaku-perilaku memberikan hadiah kepada seseorang atau membantu orang lain melakukan sesuatu.

Beberapa ekspresi keintiman yang muncul dalam penelitian Seki, Matsumoto dan Imahori (2002) adalah :

a. Mengungkapkan secara langsung tentang apa yang dirasakan terhadap seseorang dengan kata-kata

b. Mengungkapkan secara tidak langsung tentang apa yang dirasakan terhadap seseorang dengan kata-kata

c. Menyatakan penghargaanan dan apresiasi kepada seseorang d. Memberi pujian kepada seseorang

e. Menunjukkan perhatian kepada seseorang

f. Mengungkapkan masalah-masalah pribadi yang sedang dialami secara terbuka pada seseorang

g. Membesarkan hati dan memberi dorongan pada seseorang h. Bercanda dan tertawa bersama-sama

(60)

j. Terlibat dalam kontak fisik yang bersifat non seksual dengan orang lain

k. Terlibat dalam kontak fisik yang bersifat seksual dengan orang lain

l. Membantu atau melakukan sesuatu untuk orang lain m. Melakukan berbagai aktivitas bersama-sama

n. Memberi hadiah kepada orang lain o. Mengungkapkan perasaan lewat surat

2.4 Aspek-Aspek Keintiman

Keintiman adalah sebuah konsep yang luas dan memiliki batas-batas yang masih kabur atau kurang jelas (Prager, 1995). Beberapa ahli mengoperasionalisasikan keintiman dalam penelitiannya dengan cara yang unik dan berbeda antara satu dengan yang lain (Hegelson, Shaver, Dyer, 1987). Tidak ada konsensus antar para ahli tentang operasionalisasi keintiman, termasuk berkaitan dengan indikator atau aspek-aspek keintiman itu sendiri.

Monsour (1992) & Monsour (dalam Gruenet, 2003) adalah salah satu ahli yang menjabarkan keintiman secara komprehensif dalam sembilan belas aspek, yaitu meliputi:

1. Pengungkapan Diri (Self disclosure)

(61)

atau disadari oleh orang lain. Seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaan pribadinya maupun informasi pesonal tentang dirinya kepada orang lain. Pengungkapan diri ini meliputi pengungkapan perasaan, persepsi, ketakutan dan keraguan atau ketidakyakinan dirinya kepada orang lain (Spurgin, 1989). Self disclosure melibatkan kemampuan verbal untuk berbicara, membuka diri, dan berbagi maupun bercerita mengenai hal-hal yang sifatnya pribadi kepada orang lain. Self disclosure terjadi misalnya ketika seseorang bercakap-cakap secara mendalam tentang hidup dan opini-opininya atau berdiskusi tentang masalah-masalah yang sedang dialaminya dengan orang lain (Monsour, 1992; Floyd & Parks, 1996; Azmitia & Radmacher, 2006). 2.Ekspresivitas Emosi(Emotional Expressiveness)

(62)

3.Melakukan Aktivitas Bersama(SharedActivity)

Shared Activiy berarti suatu bentuk melakukan kesenangan, selera, nilai-nilai, kepercayaan atau aktivitas bersama-sama. Aspek ini mencakup hal-hal yang berhubungan dengan melakukan hobi secara bersama-sama, menentukan sikap, pilihan-pilihan atau minat seperti misalnya minat akan politik dan spiritualitas secara bersama-sama serta sekedar bercakap-cakap dengan orang lain mengenai topik yang ringan, tidak sampai pada taraf berbagi pikiran atau perasaan. Aspek ini tidak berlaku intuk interaksi seperti bercakap-cakap atau aktivitas yang pada dasarnya bersifat seksual (Schaefer & Olson, 1981; Monsour, 1992; Floyd & Parks, 1996).

4. Bantuan dan Dukungan(Assistance & Support)

Assistance & Support merupakan keinginan seseorang untuk memberikan bantuan atau dukungan yang bersifat non-emosi kepada orang lain. Bantuan atau dukungan yang bersifat non-emosi emosi ini dapat berupa tenaga, waktu, alat, maupun materi (Monsour, 1992; & Azmitia & Radmacher, 2006).

5. Apresiasi, Perhatian dan Rasa Hormat (Appreciation, care and respect)

(63)

6.Pemahaman dan Empati(Understanding and Emphaty)

Understanding and Emphaty merujuk pada adanya rasa saling mengenal dan mengerti satu sama lain, yaitu adanya perasaan dimengerti dan dipahami oleh orang lain sekaligus adanya kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain, yang dapat akhirnya dapat menimbulkan empati pada orang lain. Semakin intim sebuah hubungan, perasaan dimengerti dan mengerti ini dapat dicapai tanpa perlu disampaikan melalui kata-kata (Monsour, 1992; Seki, et.al., 2002; Azmitia & Radmacher, 2006).

7.Pengenalan Diri Secara Mendalam (Deepened self awareness)

Seseorang merasa intim dengan orang lain apabila ia terbantu untuk dapat mengenal, mengetahui dan memahami dirinya sendiri secara lebih mendalam melalui hubungannya dengan orang lain tersebut (Monsour, 1992).

8.Kepuasan dalam Hubungan dan Kesenangan (Relationships satisfaction and enjoyment)

(64)

9.Perilaku Otentik (Genuine behavior)

Genuine behavior dapat dideskripsikan sebagai kemampuan untuk bertindak sesuai apa yang diinginkan dan berkata sesuai apa yang dipikirkan. Aspek ini juga menyangkut adanya kebebasan untuk menjadi siri sendiri secara spontan, otentik dan tidak dibuat-buat (Monsour, 1992).

10. Kedekatan dan Keterikatan(Closeness and Connectedness)

Closeness and connectedness merupakan suatu perasaan kedekatan, keterikatan dan keterhubungan yang erat dengan orang lain. Perasaan-perasaan seperti di atas dapat tercipta apabila seseorang memiliki hubungan yang intim dengan orang lain (Monsour, 1992)

11. Kontak Fisik (Physical Contact)

(65)

12. Kontak Seksual (Sexual Contact)

Kontak seksual adalah kontak fisik yang bersifat seksual seperti misalnya ciuman bibir, meraba-raba bagian tubuh, petting hingga melakukan hubungan seksual atau bersenggama. (Ramiro, 2005)

13. Ketiadaan Konflik(Lack of Conflict)

Ketiadaan konflik atau adanya kesepakatan mengenai berbagai hal antara seseorang dengan orang lain mendukung terjadinya keintiman dalam hubungan yang melibatkan orang-orang tersebut (Monsour, 1992).

14. Kepercayaan(Trust)

Kepercayaan merupakan sikap meyakini bahwa tidak ada satu pihak yang mencoba menarik keuntungan dari pihak lain, masing-masing pihak saling menaruh rasa percaya pada satu sama lain (Monsour, 1992; Floyd & Parks, 1996).

15. Penerimaan dan Dorongan(Acceptance and Encouragement)

Acceptance and encouragement berarti saling menerima sikap, peilaku dan pilihan-pilihan satu sama lain sebagai bentuk dorongan atau semangat kepada satu sama lain tanpa disertai adanya prasangka atau kepura-puraan (Monsour, 1992; Floyd & Parks, 1996)

16. Berbagi Jaringan Pertemanan(Shared Network)

(66)

dengan yang lain sebagai usaha untuk memperluas sosialisasi satu sama lain (Monsour, 1992).

17. Menciptakan Makna Bersama(Created Meaning)

Created Meaning merupakan perilaku verbal maupun non-verbal tertentu yang dikembangkan dalam konteks hubungan yang intim. Dua orang saling berbagi kata-kata, tindakan atau kebiasaan-kebiasaan pribadi yang kemudian dimaknai bersama dan secara khusus dimiliki dan digunakan atau dilakukan bersama oleh dua orang yang memiliki hubungan intim tersebut (Monsour, dalam Gruenert, 2003).

18. Adanya Persamaan(Likeness and Similiarity)

Likeness and Similiarity merupakan suatu bentuk konformitas, yaitu adanya suatu pandangan bahwa penting bagi dua orang yang menjalin hubungan intim untuk terlihat mirip dan memiliki berbagai kesamaan dalam berbagai hal (Elbedour, et.al., 1997) 19. Kontrol dan Pengaruh dalam Hubungan (Relationships Control &

Power)

(67)

aturannya sendiri dapat dipenuhi orang lain (Monsour, 1992; Elbedour, et.al., 1997).

Sembilan belas aspek keintiman yang dikemukan Monsour (1992) sebagai hasil beberapa penelitiannya seperti yang telah dijabarkan di atas juga ditemukan pula dalam beberapa penelitian tentang keintiman dalam konteks berbagai relasi. Aspek-aspek keintiman ini paling sering ditemukan dalam penelitian tentang keintiman dalam relasi persahabatan baik dengan sesama jenis kelamin maupun dengan jenis kelamin yang bebeda (Azmitia & Radmacher, 2006; Park & Flyod, 1996; Helgeson, et.al., 1987). Selain itu, aspek-aspek keintiman tersebut juga ditemukan dalam penelitian keintiman dalam relasi antara pria dan wanita dewasa muda dengan orang tua (Gruenert, 2003; Seki, et.al., 2002). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah aspek-aspek keintiman seperti di atas juga ditemukan dalam konteks hubungan pacaran pada remaja awal, baik dalam tataran definisi maupun ekspresi.

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keintiman

(68)

a. Lamanya hubungan (waktu)

Lamanya hubungan antara dua pribadi mempengaruhi intimasi diantara keduanya. Semakin lama hubungan yang telah terjalin maka intimasi akan semakin dapat dikembangkan.

b. Frekuensi pertemuan

Frekuensi pertemuan menunjukkan seberapa sering pertemuan interpersonal dilakukan, semakin sering individu bertemu maka akan semakin mempengaruhi intimasi yang terjalin.

c. Kesempatan berinteraksi

Kesempatan berinteraksi merupakan usaha meluangkan waktu untuk dapat berinteraksi secara informal dan santai dengan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi intimasi, yaitu: lamanya hubungan, frekuensi pertemuan, dan kesempatan berinteraksi.

2.6 Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi Keintiman

(69)

dan perempuan. Stereotip peran gender ini sangat dipengaruhi kondisi budaya dan akan menentukan sikap dan perilaku individu (Lips, 1988). Peningkatan kepercayaan terhadap peran gender tersebut,

khususnya pada awal masa remaja memiliki hubungan yang erat dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masa remaja, baik dalam segi fisik, kognitif dan terutama sosial. Remaja cenderung menjadikan penampilan fisiknya yang berubah karena efek pubertas sebagai pusat perhatian dan akan berusaha menampilkan diri mereka sesuai dengan peran gender yang melekat padanya. Selain itu, kepekaan terhadap pikiran dan pendapat orang lain sebagai ciri perubahan kognitif pada awal masa remaja akan membuat remaja lebih responsif terhadap pengharapan terhadap peran gender yang ada padanya. Pengaruh orang tua dan lingkungan dalam mengarahkan remaja untuk berperilaku sesuai peran gendernya juga membentuk kecenderungan berperilaku yang sama pada remaja ketika berpacaran. Hal ini dilakukan remaja dalam usaha meningkatkan daya tarik dirinya dalam pergaulan sosial dengan lawan jenis (Berk, 2007)

(70)

Canary, et.al., 1998). Perbedaan tujuan dalam menjalin hubungan sosial ini dapat berpengaruh pada respon pikiran dan perilaku yang ditampilkan remaja.

(71)

D. Penelitian-Penelitian Tentang Keintiman Yang Sejenis

Beberapa penelitian berkaitan dengan keintiman yang sudah ada sebelumnya secara khusus juga meneliti tentang konseptualisasi keintiman, namun dalam berbagai relasi di luar relasi pacaran. Sebagian besar penelitian mengenai konseptuaslisasi keintiman meneliti keintiman dalam konteks relasi persahabatan baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis (Helgeson, et.al, 1987; Monsour, 1992; Elbedou, et.al., 1997; Azmitia Radmacher, 2006) serta ada pula yang meneliti konseptualisasi keintiman dalam konteks relasi dengan keluarga (Seki, et.al., 2002). Ada pula peneliti yang meneliti konseptualisasi keintiman dalam konteks relasi yang umum (Patrick & Backenbach, 2009).

Metode yang sering digunakan dalam berbagai penelitian mengenai konseptualisasi keintiman tersebut adalah metode suvey kuantitatif dengan alat pengumpulan data berupa kuisioner pertanyaan terbuka (Helgeson, et.al., 1987; Monsour, 1992; Elbedour, et.al., 1997; Seki, et.al., 2002; Azmitia & Radmacher, 2006). Hanya sebagian kecil penelitian mengenai konseptualisasi keintiman yang menggunakan metode wawancara mendalam untuk mengumpulkan data (Patrick & Backenbach, 2009).

(72)

menggali konteks munculnya ekspresi keintiman dalam rangka mengetahui konseptuaslisasi keintiman dari indikasi-indikasi yang lebih situasional, sehingga mereka menambahkan pertanyaan terkait ekspresi keintiman dalam penelitian mereka tidak hanya terbatas pada bagaimana cara mengekpresikan keintiman, namun juga kapan dan dimana perilaku keintiman tersebut biasanya muncul.

Gambar

Gambar I.1 : Gambar penelusuran mesin pencari Google dengan kata kunci intim bagian 1
Gambar I.2 : Gambar penelusuran mesin pencari Google dengan kata kunci intim bagian 2
Tabel 1.1 : Prevalensi Jenis Perilaku Pacaran Remaja Dari Beberapa Penelitian
Gambar II.1 : Kerangka Penelitian Konseptualisasi Remaja Tentang KDP
+7

Referensi

Dokumen terkait

11 Melakukan hobi seperti melukis bisa mengalihkan dorongan seksual V 12 Pengetahuan kesehatan reproduksi tidak ada hubungannya dengan. perilaku

tentang perubahan fisik pada masa pubertas cemas sedang yang dialami remaja putri hal tersebut di mungkinkan diingkungan sekitar tidak pernah membahas tentang perubahan

kematangan fisik, yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal, yang terutama terjadi selama masa remaja awal (Santrock,1995)..2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap tentang perubahan fisik masa pubertas memiliki hubungan yang bermakna dengan gambaran diri remaja, (Istiqomah,

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis

Karya Tulis Ilmiah: Hubungan Konsep Diri terhadap Penerimaan Perubahan Fisik Remaja Putri pada Masa Pubertas di SLTP Kemala Bhayangkari 1 Medan.. Jakarta: PT

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara

Masa remaja awal seseorang adalah peralihan dari anak-anak anak ke fase remaja, sehingga aspek perkembangan fisik, sosial, dan emosional belum mencapai kematangan sedangkan remaja