• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERINGATAN DINI BERBASIS MASYARAKAT 6.1 Pendahuluan

7 PEMBAHASAN UMUM

7.1. Potensi Pengembangan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Kapuas

Pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat dapat dikembangkan dengan mensinergikan sistem peringatan dini yang sudah dibuat oleh pemerintah dan hasil penelitian dengan potensi lokal di daerah masing-masing. Hasil-hasil penelitian terkait karakteristik dan penyebab kebakaran, penentuan areal kebakaran, faktor pendukung dari kebijakan dan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan menjadi masukan penting bagi pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Dari hasil penelitian ditemukan potensi lokal masyarakat mencakup pengetahuan lokal tentang bahaya kebakaran, aktivitas pemantauan dan prediksi puncak musim kemarau, saluran komuniksi atau penyebarluasan informasi bahaya yang sesuai serta kemampuan masyarakat merespon pesan peringatan. Di Kabupaten Kapuas, semua potensi lokal tersebut ditemukan dari penelitian ini, baik dalam bentuk formal maupun dari kebiasaan atau budaya yang berkembang mengikuti perkembangan teknologi yang ada.

Informasi penting dalam sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan yang terkait dengan aktivitas masyarakat yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan adalah curah hujan dan jumlah hotspot. Curah hujan merupakan indikasi kuat yang berhubungan dengan periode dimana masyarakat yang bermatapencaharian bidang pertanian membuka lahan dengan sistem tebas dan bakar. Hasil penelitian pada Bab 3 menyebutkan bahwa puncak kebakaran berdasarkan analisa hubungan curah hujan dan hotspot terjadi pada bulan Agustus

- Oktober. Pada waktu tersebut umumnya petani mulai melakukan aktivitas persiapan lahan dengan cara membakar sampai akhir musim kemarau. Pada saat petani melakukan pembersihan lahan melalui cara membakar, teknologi penginderaan jauh melalui satelit Terra dan Aqua MODIS dengan conficende lebih dari 50% mendeteksi lonjakan jumlah titik panas yang tajam sampai melebihi 75 hotspot (nilai tengah 37 – 120) dalam satu bulan di Kabupaten Kapuas. Peningkatan jumlah hotspot yang tajam terjadi pada bulan Agustus – Oktober dimana curah hujan kumulatif empat bulan sebelumnya (April-Juli) pada tahun-tahun puncak kebakaran berada pada dibawah rata-rata > 300 mm (nilai tengah dari kisaran 282 mm – 349 mm). Hal ini menunjukkan bahwa indikasi peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan yang dikembangkan oleh penyedia data curah hujan dan titik panas (hotspot) kebakaran sesuai dengan aktivitas masyarakat di lapangan.

Selain periode kebakaran seperti dijelaskan di atas, karakterisktik lain kebakaran di Kabupaten Kapuas dijelaskan dari sebaran spasial dan penyebab kebakaran (Bab 3). Dari enam faktor pendorong kebakaran yaitu, tutupan lahan, jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari pusat desa, kedalaman gambut dan sistem lahan, aktivitas kebakaran yang tinggi umumnya berada di areal lahan gambut. Aktivitas kebakaran di Kabupaten Kapuas yang diindikasikan melalui kepadatan hotspot menemukan bahwa wilayah Selatan Kabupaten Kapuas khususnya di areal Eks PLG hampir setiap tahun terbakar. Areal Eks PLG dulunya merupakan areal lahan Gambut dengan tingkat kedalaman bervariasi dari sedang sampai sangat dalam sekali. Gambut yang terbakar mengalami pengeringan tidak balik (irreversible drying) sehingga tidak lagi mampu menyerap air. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali. Gambut kering dengan kadar air sangat rendah, di musim kemarau menjadi bahan bakar yang mudah sekali terbakar. Ditambah tutupan lahan di lahan gambut umumnya merupakan lahan terlantar yang ditumbuhi oleh semak belukar dan alang-alang. Hal ini juga ditegaskan oleh Agus dan Subiksa (2008) bahwa gambut yang mengering tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi dan mudah terbakar. Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar.

Di areal Eks PLG saat ini mudah ditemukan areal terlantar dengan tutupan lahan semak belukar rawa dan alang-alang. Areal inilah yang menurut pemahaman masyarakat sering menjadi sumber api, khususnya di musim kemarau. Aktivitas masyarakat yang berpotensi menimbulkan kebakaran seperti menangkap ikan, berburu, kelalaian dari api kegiatan merokok, membersihkan lahan untuk lahan baru sebagian besar dilakukan di areal terlantar dan jauh dari pengawasan masyarakat desa.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa masyarakat melakukan aktivitas pemantauan sehingga dapat mengenali penyebab dan sumber kebakaran hutan dan lahan. Lokasi-lokasi yang dianggap rawan terbakar oleh masyarakat dari hasil penelitian ini yaitu semak belukar, bekas tebasan purun, hutan rawa sekunder, alang-alang dan bekas lahan pertanian yang terlantar. Masyarakat juga memahami bahwa lahan gambut khususnya yang tidak terawat menjadi lahan yang sering terbakar secara berulang setiap tahun. Hasil pemantauan dan pemahaman masyarakat tersebut tidak berbeda dengan hasil dari analisis spasial dan model

penentuan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas melalui metode CMA pada Bab 4. Dari model tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dengan metode CMA ditemukan tiga variabel penting yang berhubungan erat dengan aktivitas kebakaran (kepadatan hotspot) yaitu kedalaman gambut, tutupan lahan dan jarak dari jalan. Model tingkat rawan kebakaran tersebut juga menemukan bahwa areal tutupan lahan berupa semak belukar, alang-alang, hutan rawa sekunder, areal gambut sangat dalam dan lokasi dekat dengan jalan berada pada areal dengan tingkat kerentanan tinggi. Oleh karena itu, peta kerawanan kebakaran dari hasil penelitian ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai acuan dalam menentukan daerah rawan kebakaran di Kabupaten Kapuas.

Dari pemodelan tingkat rawan kebakaran hutan dan lahan pada Bab 4, telah ditemukan faktor dengan bobot tertinggi (73%) adalah kedalaman gambut. Hasil ini mempekuat pembahasan pada Bab 3 bahwa aktivitas kebakaran yang tinggi (kepadatan hotspot tinggi) kerap muncul di areal bergambut sangat dalam- sangat dalam sekali. Hasil analisis sebaran tingkat kerawanan juga menemukan bahwa tingkat kerawanan tinggi kebakaran hutan dan lahan berada pada wilayah kecamatan yang didominasi lahan gambut yaitu kecamatan Mantangai, Kecamatan Dadahup dan Kecamatan Basarang. Hal ini menunjukkan bahwa lahan gambut menjadi areal prioritas dalam pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Lahan gambut di tiga wilayah kecamatan yang sebagian besar di areal Eks PLG ini, hampir setiap tahun terbakar pada musim kemarau. Lahan gambut di areal Eks PLG sejak tahun 1995 telah mengalami pengeringan dan saat ini meninggalkan areal terlantar dalam skala luas. Kondisi lahan gambut yang mengalami pengeringan telah meningkatkan risiko kebakaran dimana kebakaran secara luas terjadi di lahan gambut terutama pada tahun-tahun curah hujan di bawah normal (Harrison et al. 2009).

Analisis kebijakan dan kelembagaan menemukan bahwa terdapat potensi peningkatan peran dari masyarakat dalam pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan (Bab 5). Pemerintah daerah melalui Peraturan Gubernur Nomor 52 Tahun 2008 memberikan peran dan wewenang besar pada pemerintah desa untuk melakukan aktivitas pemantauan, penyebarlausan informasi dan pemberian izin pembakaran lahan dengan memperhatikan kondisi tingkat bahaya kebakaran dari pemerintah. Kebijakan tersebut telah memasukkan pengetahuan lokal adat dan peran pemangku adat khususnya dalam penerapan teknis pembakaran terbatas dan terkendali. Meskipun ditemukan kesenjangan antara norma dan implementasi aturan, khususnya dalam mengakomodir banyak hal yang menjadi potensi pengembangan di masyarakat, namun aturan ini mampu menyediakan pedoman bagi masyarakat dalam mencegah meluasnya kebakaran hutan, lahan dan pekarangan khususnya di wilayah Kabupaten Kapuas.

Hasil analisa pemangku kepentingan pada Bab 5 teridentifikasi pemangku kepentingan yang menjad key player, subject dan context setter yang bisa saling bekerjasama. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Disbunhut, BLH dan Pemerintah Desa merupakan key player atau aktor kunci memiliki pengaruh dan kepentingan tinggi terhadap pelaksanaan program pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Manggala Agni, BMKG, DPHTP, Lembaga Adat dan Kelompok Pengendali kebakaran berbasis masyarakat berada pada posisi subject dan context setter bisa ditingkatkan perannya dalam kelembagaan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten

Kapuas. Pemangku kepentingan tersebut perlu berada dalam sebuah lembaga bersama dalam pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan.

Sejak tahun 2012, di Kabupaten Kapuas telah terbentuk BPBD yang menjadi koordinator dan pusat komando dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Lembaga ini dari sisi pengaruh dan kepentingan tinggi karena mendapat amanah dari peraturan perundang-undangan yaitu PP No. 8 Tahun 2008 dan Perda Kabupaten Kapuas No. 2 Tahun 2012. Pemangku kepentingan seperti ini juga lazim ditemui pada setiap program atau proyek pengelolaan sumber daya alam, pengelola dimana yang mendapat kekuasaan secara legal selalu menempati posisi sebagai pemangku kepentingan utama (Sembiring et al. 2010; Li et al. 2012). Pada implementasinya, BPBD masih terkendala oleh sumberdaya manusia yang terbatas dari segi jumlah dan kemampuan penanganan kebakaran hutan dan lahan. Keterbatasan ini akan tercukupi bila BPBD mampu menjalin kerjasama dengan pemangku kepentingan lain pada posisi subject dan context setter. Salah satu pemangku kepentingan yang memiliki sumberdaya manusia, peralatan dan sistem kerja yang memadai di Kabupaten Kapuas adalah Manggala Agni Daerah Operasi (Daops) II Kapuas.

Manggala Agni dengan keterbatasan wewenang dan wilayah kerja namun memiliki sumberdaya yang memadai dari kuantitas dan kualitas serta perangkat dan prosedur pemantauan yang baik, perlu diperkuat pengaruhnya dalam implementasi sistem peringatan dini berbasis masyarakat. Manggala Agni, meskipun tidak dalam koordinasi langsung dengan kepala daerah (Bupati), namun keberadaan, fungsi dan perannya di masyarakat telah mendapat pengakuan positif. Selain menjadi lembaga penyedia data hotspot NOAA 18, Manggala Agni Daerah Operasi II Kapuas sejak tahun 2013 memiliki perangkat Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang juga berfungsi sebagai perangkat pengukur unsur cuaca seperti curah hujan, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin serta tekanan udara. Data hotspot dan data cuaca merupakan informasi yang sangat penting bagi penentuan status peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan. Manggala Agni, dalam rumusan model kelembagaan dan distribusi informasi sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan paling banyak berperan (Bab 6). Cakupan tugas dan sumberdaya yang dimiliki oleh Manggala Agni, lembaga ini bisa berperan pada berbagai tingkat dalam model, baik pada tingkat penyedia informasi deteksi dini kebakaran, analisis titik panas, penentuan daerah rawan kebakaran, pemantauan aktivitas masyarakat berpotensi kebakaran hutan dan lahan maupun fasilitasi kelompok pengendali kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat.

Di Kabupaten Kapuas, terdapat potensi besar dari kelembagaan berbasis masyarakat bagi pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Dari 49 kelompok yang teridentifikasi, RPK, MPA dan BPK memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Adapun KMPK sampai tahun 2013 belum aktif kembali karena BLH Kapuas tidak membuat program pendampingan lanjutan setelah bantuan dari BLH Provinsi Kalteng tidak terhenti tahun 2008. Bila KMPK mulai diaktifkan kembali melalui program pemberdayaan kelompok pengendali kebakaran maka akan bisa menambah sumberdaya pendukung sistem peringatan dini berbasis masyarakat kebakaran hutan dan lahan. Seluruh potensi kelompok pengendali kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat ini bisa diberdayakan untuk program penanggulangan bencana yang lain di masa mendatang dibawah koordinasi BPBD. Kelompok pengendali kebakaran hutan dan lahan berbasis

masyarakat ini bisa diberdayakan dan ditingkatkan menjadi sumberdaya pendukung seperti relawan penangggulangan bencana yang terlatih dan siap terjun pada kondisi darurat.

Berdasarkan rumusan model kelembagaan dan distribusi informasi sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan, diperlukan lembaga yang mampu mengkoordinir dan menjadi pusat komando dalam sistem peringatan dini. Lembaga tersebut mampu menyatukan potensi seluruh pemangku kepentingan dalam sebuah lembaga terpadu dan berkelanjutan khususnya dalam menjamin berjalannya sistem peringatan dini berbasis masyarakat. Lembaga yang saat ini memiliki pengaruh yang tinggi dan tingkat kepentingan tinggi serta mampu menjadi leader dalam mengorganisakan seluruh kepentingan adalah BPBD Kabupaten Kapuas (Bab 6).

7.2. Tantangan Pengembangan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Kapuas

Meskipun BPBD memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi, lembaga ini masih perlu ditingkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan fasilitas pendukungnya agar mampu berperan lebih besar dan mampu menjangkau cakupan kerja hingga ke wilayah desa rawan kebakaran. Di sisi lain, penguatan kebijakan diperlukan mendukung peran yang lebih besar dari Manggala Agni Daops II Kapuas mengingat eksistensi, dan kapasitasnya telah mendapat pengakuan dari mayarakat khususnya dalam sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Penguatan kebijakan yang diperlukan berupa perluasan peran secara legal formal dari pimpinan daerah agar meningkat motivasinya dalam pengedalian kebakaran hutan dan lahan. Peran Manggala Agni yang lebih luas bisa terwujud bila dalam struktur dan peran di POSKO diberi tanggung jawab yang lebih luas dengan dukungan anggaran dan legalitas yang jelas.

Informasi peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan yang berbasis masyarakat adalah model informasi yang mampu mengakomodasi informasi prediksi dari pengetahuan lokal masyarakat. Selain itu, penyebaran informasi berlangsung cepat, murah dan menjangkau sasaran yang luas. Penyebaran informasi bahaya kebakaran hutan dan lahan bisa menggunakan kombinasi teknologi komunikasi dan saluran penyebarluasan yang ada di masyarakat. Saat ini sebagian besar masyarakat memiliki telepon seluler karena harganya yang makin terjangkau, namun jaringan telekomunikasi seluler belum menjangkau ke seluruh desa-desa yang rawan kebakaran. Perluasan jaringan komunikasi ini sangat penting karena saluran komunikasi dengan telepon seluler bisa sangat cepat menyebar dan efisien. Pesan yang tersebar cepat ke masyarakat melalui POSKO kebakaran lahan hutan dan diharapkan dapat mempercepat pula respon masyarakat dalam mengantisipasi bahaya. Informasi melalui saluran komunikasi berteknologi canggih tentu saja akan lebih efektif bila mampu dihadirkan dan disebarkan kembali pada forum-forum yang ada di masyarakat baik formal maupun informal seperti acara adat, acara agama, acara pernikahan dan acara lain yang menghadirkan massa yang banyak.

Konten informasi peringatan yang ada di lingkungan masyarakat perlu disesuaikan dengan tema kondisi tertentu di wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan. Tema-tema penyebab kebakaran, lokasi yang perlu diwaspadai

dan aktivitas yang rawan menimbulkan api liar perlu disosialisasikan secara lebih intensif. Saat ini tema-tema peringatan bahaya kebakaran yang tersebar melalui berbagai media, hampir tidak menyentuh tema-tema yang spesifik yang memberikan informasi yang mudah dipahami, sesuai konten lokal dan tidak menjangkau seluruh areal rawan kebakaran.

Peran aparat pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi bidang penyuluhan dan dukungan dari aparat desa sangat penting untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya kebakaran. Saat ini penyuluh yang ada masih berperan sebatas pada kegiatan pokoknya seperti penyuluh pertanian masih fokus pada usaha budidaya tanaman, belum secara khusus menyentuh topik peringatan bahaya kebakaran. Di samping itu, desa-desa yang sudah memiliki kelompok pengendali kebakaran berbasis masyarakat perlu diperankan untuk menjadi agen penyampai pesan saat musim kemarau belum tiba atau di musim hujan. Saat ini, kelompok pengendali kebakaran berbasis masyarakat masih bergerak saat ada kejadian kebakaran yang sudah mengancam harta dan nyawa masyarakat. Ketiadaan peralatan seringkali dijadikan alasan untuk tidak aktif dalam program pengendalian kebakaran, sehingga kelompok yang terbentuk menjadi tidak aktif pada kegiatan-kegiatan pencegahan.

Potensi dan sekaligus menjadi tantangan lainnya adalah dari kelompok profesi dan tokoh masyarakat serta tokoh agama yang bisa menjadi agen penyebaran informasi bahaya dari pembakaran lahan yang tidak terkendali dan bahaya kabut asap bagi kesehatan. Kader-kader kesehatan berbasis masyarakat yang bisa dijadikan agen penyampai pesan tentang bahaya kabut asap kebakaran hutan dan lahan bagi kesehatan. Kader posyandu, dokter di Puskesmas dan pengelola layanan kesehatan menjadi potensi sekaligus tantangan sebagai agen penyebaran informasi yang efektif dalam sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Adapun tokoh agama bisa memasukkan tema-tema bahaya membakar lahan dan kabut asap pada ceramah, kajian dan khutbahnya. Selain itu tokoh adat sangat berperan dalam sosialisasi dan memberikan peringatan bahaya kebakaran dan memastikan cara-cara tradisional dalam membuka lahan yang terkendali tidak diabaikan masyarakat.

8 SIMPULAN DAN SARAN