• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.4 Penanda Lingual Kesantunan

Penerapan prinsip-prinsip atau maksim-maksim yang berkaitan dengan prinsip kerja sama (Grice) dan prinsip kesantunan (Leech, Brown dan Levinson, dan Lakoff) dapat dianalisis pada bentuk konkret tuturan, baik lisan maupun tertulis. Bentuk tuturan lisan terkait dengan komunikasi secara lisan, sedangkan bentuk tuturan tertulis berhubungan dengan komunikasi tertulis di mana kedua-duanya menggunakan piranti bahasa atau linguistik sebagai sarana utamanya.

Menurut Pranowo (2009:76), penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Dalam hal

ini santun tidaknya bahasa tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa. Oleh karena itu, untuk menilai tingkat kesantunan sebuah tuturan konteks penggunaan bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi harus dilibatkan. Rahardi (2005:118) membahas masalah ini dalam bagian kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik imperatif.Kesantunan linguistik berkenaan dengan ciri linguistik, sedangkan kesantunan pragmatik menyangkut ciri nonlinguistik dari tuturan.

Menurut Rahardi (2005), kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia mencakup hal-hal berikut: (1) panjang-pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik, dan (4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan. Dalam penelitian Rahardi ditemukan bahwa makna pragmatik imperatif itu kebanyakan tidak diwujudkan dengan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan nonimperatif. Kesantunan pragmatik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia justru banyak ditemukan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna pragmatik imperatif itu, biasanya, mengandung ketidaklangsungan.

Dalam pembahasan tentang pemakaian ungkapan penanda kesantunan, Rahardi (2005:125) menyebutkan bermacam-macam penanda kesantunan, yaitu: tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap, hendaknya, hendaklah, -lah, sudi kiranya, sudilah kiranya, sudi apalah kiranya. Pemakaian ungkapan-ungkapan penanda kesantunan ini dijelaskannya juga dalam pembahasan tentang wujud pragmatik imperatif (Rahardi, 2005: 93-117). Adapun yang dimaksud dengan wujud pragmatik adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia apabila

dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Makna pragmatik imperatif tuturan yang demikian sangat ditentukan oleh konteksnya. Konteks yang dimaksud dapat bersifat ekstralinguistik dan dapat pula bersifat intralinguistik.

Konteks yang bersifat intralinguistik sering disebut dengan koteks (cotex), yaitu konteks pada teks itu sendiri. Konteks tindak tutur merupakan pengetahuan bersama yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur, sedangkan konteks berupa cotext akan muncul pada tuturan itu sendiri. Penanda koteks itu berupa piranti bahasa seperti diksi, gaya bahasa, pronomina, modalitas, dan satuan kebahasaan lainnya.

Dalam konteks analisis wacana formal, piranti bahasa yang digunakan dalam teks atau wacana sangat menentukan pemahaman tentang cara-cara teks memperlakukan peristiwa dan hubungan sosial dan juga mengkonstruk versi realitas tertentu, identitas sosial, dan hubungan sosial. Jorgensen dan Philips (dalam Syukur Ibrahim, 2007:152), mengutip Fairclough, mengusulkan sejumlah piranti untuk menganalisis teks, yakni (1) kendali interaksional – hubungan antara penutur-penutur, termasuk pertanyaan tentang siapa yang menetapkan agenda percakapan, (2) etos – bagaimana identitas dikonstruk melalui bahasa dan aspek-aspek tubuh, (3) metafora, (4) kata, dan (5) tata bahasa. Fairlclough (dalam Eriyanto, 2006:285) membangun suatu model analisis wacana yang mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Analisisnya berpusat pada

bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.

Salah satu implikasi dari pemikiran Fairclough di atas adalah bahwa wacana merupakan bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai tindak pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas. Implikasi lainnya adalah bahwa adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Dalam konteks analisis wacana yang terfokus pada teks, aspek yang dianalisis adalah linguistiknya, seperti kosa kata, semantik, dan tata kalimat. Ada tiga hal yang bisa dilihat dalam teks, yaitu representasi, relasi, dan identitas (Eriyanto, 2006:285; bdk. juga Widharyanto, 2000). Lebih lanjut, Fairclough mengeksploarasi teks terkait dengan penggunaan kosa kata, metafora, dan tata bahasa dari teks tersebut. Pilihan kosa kata yang dipakai terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dikategorisasikan dalam suatu set tertentu. Kosakata ini sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa itu memunculkan realitas bentukan tertentu. Selain pilihan kosakata, pemakaian metafora juga menentukan representasi teks. Metafora yang dipakai merupakan kunci bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan yang lain. Dalam pemakaian tatabahasa, analisis Fairclough terutama dipusatkan pada apakah tata bahasa ditampilkan dalam bentuk proses ataukah dalam bentuk partisipan.

Uraian Fairclough di atas, khususnya tentang bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial,

memiliki kaitan dengan pandangan Leech yang memosisikan tindak tutur (tuturan) ilokusi dalam konteks tujuan atau fungsi. Leech mengklasifikasikan fungsi-fungsi ilokusi atas empat jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat. Keempat fungsi ilokusi itu adalah menyenangkan (convivial), bekerja sama (collaborative), kompetitif (competitive),dan bertentangan (conflictive).

Selain Fairclough yang memakai ancangan analisis wacana secara tekstual, dan Leech yang mengkaji tuturan dalam konteks fungsi-fungsi ilokusi dan tujuan-tujuan sosial, Roger Fowler, dkk. (dalam Eriyanto, 2006:133-134) juga memusatkan perhatiannya pada aspek linguistik dari wacana. Fowler, dkk. meletakkan tata bahasa dan praktik pemakaiannya tersebut untuk mengetahui praktik ideologi. Bahasa dilihat sebagai sistem klasifikasi, dan bahasa menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat, memberi kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitas sosial.

Ada dua elemen penting yang perlu dikaji dari sebuah teks terkait dengan bahasa, yaitu kosakata dan tata bahasa. Penggunaan kosakata menjadikan realitas diklasifikasi, membatasi pandangan, menjadi pertarungan wacana, dan adanya proses marjinalisasi. Dalam penggunaan tata bahasa, Fowler menjelaskan bahwa bahasa sebagai satu set kategori dan proses. Ketegori yang penting disebutnya sebagai “model” yang menggambarkan hubungan antara objek dengan peristiwa. Ada tiga model yang bisa menunjukkan pola hubungan antara tindakan, proses, dan aktor, yaitu (1) model transitif, (2) model intransitif, dan (3) model relasional. Model

transitif dipakai untuk menunjukkan tindakan yang dilihat sebagai dilakukan oleh aktor melalui suatu proses yang ditunjukkan dengan kata kerja (verba). Model intransitif menjelaskan seorang aktor dihubungkan dengan suatu proses tetapi tanpa menjelaskan atau menggambarkan akibat atau objek yang dikenai. Model relasional merujuk pada hubungan antara tindakan dan akibat dari tindakan tersebut.

Satuan kebahasaan lainnya yang penting dalam sebuah tuturan adalah modalitas. Modalitas terkait dengan faktor pragmatik yang menunjukkan gerak dalam batin seseorang atau anggapan ketika menghadapi sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Mungkin orang merasa yakin dan mengiyakan; mungkin pula orang merasa sangsi dan memustahilkan, atau merasa berharap atau mengimbau. Cara-cara anggapan seperti inilah yang dapat disebut sebagai modalitas (Sudiati, 1996:53; bdk. juga Fowler, 1986; Fowler, 1991 dalam Widharyanto, 2000).

Berdasarkan studi-studi di atas, penanda lingual kesantunan berbahasa pada dasarnya terkait dengan dua hal penting, yaitu (1) prinsip-prinsip kesantunan berbahasa, dan (2) piranti-piranti bahasa yang dipakai sebagai penunjuk santun tidaknya bahasa (tuturan) ketika berkomunikasi. Penentu atau penanda kesantunan meliputi aspek kebahasaan (linguistik) dan nonkebahasaan (nonlinguistik). Karena penelitian ini menggunakan data tuturan tertulis, penanda kesantunan linguistiklah yang akan diterapkan dalam analisis datanya. Meskipun demikian, penanda linguistik dan nonlinguistik umumnya dapat diterapkan sekaligus untuk mencermati aspek kesantunan setiap tuturan. Adapun piranti-piranti kesantunan bahasa itu berhubungan erat dengan kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik. Kesantunan linguistik

(Rahardi, 2005:118-148) berkaitan dengan ciri-ciri linguistik dari tuturan, sedangkan kesantunan pragmatik berkaitan dengan ciri-ciri nonlinguistik. Secara khusus, penanda lingual kesantunan yang akan dijelaskan dalam penelitian ini terkait dengan penanda kesantunan lingustik dalam kaitannya dengan penanda kesantunan faktor kebahasaan, yaitu aspek verbal kebahasaan. Dengan merujuk pada pendapat para ahli di atas, terdapat beberapa penanda lingual kesantunan, yaitu: (1) penggunaan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan (Rahardi, 2005:125);(2) diksi, gaya bahasa, dan penggunaan pronomina (Pranowo, 2009); (3) penggunaan kosakata/diksi dan tata bahasa (Fairlclough dalam Eriyanto, 2006:285; Fairclough dalam Widharyanto, 2000; Fowler, dkk. dalam Eriyanto, 2006:133-134); (4) penggunaan gaya bahasa, seperti metafora, hiperbola, litotes, eufemisme, ironi (Leech, 1983); dan (5) penggunaan modalitas (Fowler, 1986; Fowler, 1991 dalam Widharyanto, 2000; Sudiati, 1996:53).

Dalam penelitian ini, tidak semua penanda lingual kesantunan itu diuraikan satu persatu. Peneliti berusaha mengklasifikasi dan mengelaborasi semua pendapat ahli tersebut sesuai data tuturan yang ditemukan dan konteks tuturannya. Penjelasan tentang penggunaan penanda lingual kesantunan dari setiap tuturan akan dianalisis sesuai daya pengaruhnya untuk konteks tuturan secara keseluruhan. Namun, agar mempermudah analisis, berikut diberikan penanda-penanda lingual kesantunan yang sering muncul dalam setiap tuturan.

2.4.1 Diksi

Diksi terkait dengan pilihan kata yang dipakai penulis atau penutur dalam teks tertulis atau lisan. Menurut Fairclough (1989, dalam Widharyanto, 2000), pilihan kata dalam suatu teks, termasuk juga dalam tuturan, menandai secara sosial maupun ideologis bidang-bidang pengalaman yang berbeda dari penulisnya, baik berupa nilai eksperiental, nilai relasional, dan nilai ekspresif. Suatu kata tidak hanya menunjukkan pengalaman dalam artian umum, tetapi juga berpotensi merepresentasikan adanya konsep pembedaan kelas, golongan, maupun ideologi.

Keraf (2008:24) memberikan tiga kesimpulan mengenai diksi. Pertama, diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, diksi atau pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Pengertian pertama dan kedua ini dapat dikatakan sebagai faktor penanda lingual kesantunan dari tuturan. Dalam konteks ini, Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi (pilihan kata) adalah sebagai berikut.

b) gunakan frasa frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain,

c) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan orang lain,

d) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan sesuatu,

e) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih dihormati,

f) gunakan kata “Bapak”, “Ibu” untuk menyebut orang kedua dewasa.

2.4.2 Gaya Bahasa

Pemakaian gaya bahasa menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan pemakaian bahasa menjadi santun. Gorys Keraf (2008:113), gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Menurut Pranowo (2009:92), gaya bahasa adalah optimalisasi pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu untuk mengefektifkan komunikasi. Dari dua pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pemakaian bahasa secara khas dan optimal dengan cara-cara tertentu untuk mengefektifkan komunikasi. Penggunaan gaya bahasa itu dapat berupa majas-majas (Moeliono, 1989:175-177), yaitumajas-majas perbandingan (seperti perumpamaan, kiasan atau metafora, dan personifikasi); majas pertentangan (seperti hiperbola, litotes, dan ironi); dan majas pertautan (seperti metonomia, sinekdoke, kilatan atau

allusion, dan eufemisme). Penggunaan majas-majas ini menjadi gaya bahasa yang dipakai penutur agar maksud tuturannya sampai kepada mitra tutur (pendengar atau pembaca).

Leech (1983 dalam Oka, 1993) menekankan prinsip kesopanan agar tujuan-tujuan sosial tercapai atau sesuai dengan yang diharapkan penutur dan mitra tutur. Pemakaian kata-kata tabu dan penggunaan gaya bahasa hiperbola perlu dihindari dalam komunikasi. Sebaliknya, pemakaian gaya bahasa penghalus, seperti ungkapan litotes dan eufemisme (penghalusan dari litotes), dan penggunaan ungkapan bermakna penghormatan atau penghargaan (honorifik) terhadap mitra tutur dianjurkan demi terpeliharanya kesopanan dan tercapainya tujuan sosial.

2.4.3 Pronomina

Pronomina atau kata ganti sering dipakai dalam tuturan untuk memberikan nuansa kesantunan. Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain (Alwi, 2003:249). Dalam konteks bahasa Indonesia, pemakaian pronomina sangat erat hubungannya dengan aspek budaya, terutama mengenai hubungan sosial antarmanusia. Usia, status sosial, dan keakraban menjadi ukuran dalam penggunaan kata pronomina berupa sapaan untuk menghormati orang lain (mitra tutur). Misalnya, penggunaan kata aku terasa lebih santun daripada saya; atau kata beliau untuk menggantikan dia sebagai bentuk penghormatan; atau kata sapaan Saudara dan Bapak atau Ibu untuk tidak menyebut nama pribadi secara langsung.

Dalam praktik berkomunikasi sehari-hari, situasi dan suasana juga memengaruhi penggunaan pronomina sebagai kata sapaan kepada orang lain. Pada konteks situasi dan suasana resmi, kata-kata sapaan hormat selalu dipakai, seperti Anda, Saudara, Bapak, dan Ibu, sedangkan dalam konteks situasi dan suasana santai dan akrab, kata kamu, kalian, kau, lebih sering dipakai.

Jason Jones dan Shan Wareing (dalam Syukur Ibrahim, 2007:75) menjelaskan bahwa pronomina atau kata ganti yang digunakan untuk menyebut pembicara, menyebut haluan politik dan menyebut pendengar, bisa digunakan untuk mengedepankan atau menyembunyikan agen (yaitu orang atau partai yang melakukan tindak tertentu) dan pertanggungjawaban atas tindakan itu. Perubahan dari “saya” menjadi “kami” atau sebaliknya dari tuturan tokoh politik akan memberikan nuansa maksud tuturannya.

2.4.4 Modalitas

Modalitas terkait dengan faktor pragmatik yang menunjukkan gerak dalam batin seseorang atau anggapan ketika menghadapi sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Mungkin orang merasa yakin dan mengiyakan; mungkin pula orang merasa sangsi dan memustahilkan, atau merasa berharap atau mengimbau. Cara-cara anggapan seperti inilah yang dapat disebut sebagai modalitas (Sudiati, 1996:53).

Dalam penelitian Widharyanto (2000), modalitas sering dipakai penulis (wartawan) dalam rangka membangun perspektif pemberitaan. Modalitas dimengerti sebagai komentar atau sikap, yang berasal dari teks, baik secara eksplisit atau

implisit, diberikan penulis terhadap hal yang dilaporkan, yakni keadaan, peristiwa, dan tindakan (Fowler, 1986; 1991 dalam Widharyanto, 2000). Dalam konteks tuturan pelaku politik yang diberitakan media surat kabar, modalitas dapat dilihat pada komentar atau sikap penutur yang terwujud dalam proposisi-proposisi pernyataannya secara langsung.

Modalitas ini dapat dibagi mejadi empat jenis, yakni (1) kebenaran, (2) keharusan, (3) izin, dan (4) keinginan (Widharyanto, 2000). Pertama, dengan modalitas kebenaran penulis (penutur) mengindikasikan atau menyatakan secara tidak langsung suatu komitmen pada kebenaran dari suatu proposisi/makna yang diutarakannya, atau pada suatu prediksi tingkat kemungkinan dari deskripsi suatu kejadian yang terjadi. Macam-macam modalitas kebenaran terentang sepanjang skala dari sangat pasti, sampai tidak pasti. Kedua, dengan modalitas keharusan, penulis (penutur) menetapkan bahwa partisipan dalam suatu proposisi seharusnya atau tidak seharusnya melakukan tindakan khusus dalam proposisi itu. Ketiga, dengan modalitas izin, penulis (penutur) mengindikasikan suatu persetujuan (izin) atau sebaliknya pada partisipan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kata-kata yang dapat dipakai adalah boleh, dapat, dan bisa. Keempat, dengan modalitas keinginan, penulis (penutur) menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya tentang keadaan atau peristiwa yang dikomunikasikan dalam proposisi. Modalitas keinginan implisit terdapat dalam modalitas keharusan dan izin, dan eksplisit ada dalam suatu rentangan adjektif dan adverb evaluatif.

Penggunaan dan wujud modalitas telah ditunjukkan dalam uraian Fowler (dalam Widharyanto, 2000) di atas. Poerwadarminta (dalam Sudati, 1996:55) juga merincikan cara-cara untuk menyatakan modalitas sebagai berikut.

a) Lagu kalimat (intonasi). Intonasi menjadi alat terpenting untuk mengetahui kepastian atau kesangsian; pertanyaan ataukah pernyataan; perintah atau anjuran, dan lain sebagainya dalam sebuah tuturan.

b) Kata tambahan modalitas, seperti mudah-mudahan, sudilah kiranya, rupanya, sama sekali tidak, sekali-kali jangan, seyogianya, dan sebagainya. c) Kata penghubung modalitas, seperti jikalau, seandainya, sekalipun,

seolah-olah, supaya, dan sebagainya.

d) Kata-kata yang menurut artinya sudah menyatakan modalitas, seperti wajib, mungkin, mustahil, dan sebagainya.

e) Bentuk kata kerja, yaitu bentuk kata kerja yang berkenaan dengan pernyataan perintah, termasuk harapan dan permintaan.

f) Ungkapan dan suasana kalimat yang menyatakan modalitas seperti: mana ada, boleh jadi, kecil kemungkinannya, tipis harapannya, boleh saja, dan sebagainya.