• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan Temuan

4.3.2 Tingkat Kesantunan Tuturan

Tingkat kesantunan tuturan memiliki hubungan yang sangat erat dengan jenis dan fungsi tindak tutur. Di dalam uraian tentang fungsi tuturan, Leech menyebutkan bahwa tindak tutur konvivial dan kompetitiflah yang relevan dengan sopan santun atau melibatkan sopan santun. Artinya, pada jenis ilokusi yang berfungsi kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya ialah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan santun. Pada jenis ilokusi yang berfungsi konvivial, sopan santun lebih positif sifatnya dan penutur menaati prinsip sopan santun. Jenis ilokusi yang berfungsi kolaboratif bersifat netral dari segi sopan santun dan jenis ilokusi yang berfungsi konfliktif di dalamnya mengandung sopan santun yang lebih tidak santun dibandingkan dengan ilokusi yang mengandung fungsi kompetitif.

Fungsi-fungsi tuturan berkaitan juga dengan keenam kategori maksim- maksim Prinsip Sopan Santun dan skala pragmatik yang dikemukakan Leech (1983 dalam Oka, 1993:206-217). Skala pragmatik, yang dimaksudkan Leech yaitu rentangan skala yang menunjukkan sopan atau tidak sopannya (santun atau tidak santunnya) tuturan. Skala pragmatik itu mencakup skala untung-rugi, skala pilihan, skala ketaklangsungan, skala keotoritasan, dan skala jarak sosial. Skala pragmatik

dapat dipakai untuk menjelaskan tingkat kesantunan tuturan para calon gubernur, calon wakil gubernur, dan pendukung dalam kaitan dengan jenis fungsi tuturan yang dipakai penutur. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat kesantunan tuturan calon gubernur, wakil gubernur, dan para pendukung yang dikategorikan santun atau lebih santun dari pasangan lainnya adalah tuturan pasangan Foke-Nara; kemudian pasangan Hendardji-Riza dan pasangan Faisal-Biem; pasangan Alex-Nono dan pasangan Hidayat-Didik; dan terakhir pasangan Jokowi-Ahok. Hal ini dapat dimaklumi karena pasangan Foke-Nara adalah calon petahana (dengan dukungan sejumlah partai besar) yang berusaha tetap menjaga agar tuturan-tuturan mereka menjamin komunikasi dan interaksi sosial dengan publik pemilih. Demikian pun pasangan calon independen, Hendardji-Reza dan Faisal-Biem, tuturan-tuturan mereka juga bertujuan menyenangkan publik dan lebih kurang menyampaikan tuturan yang bersaing dan bertentangan dengan tujuan sosial. Pada tuturan pasangan yang diusung partai, seperti Hidayat-Didik (PKS) dan Alex-Nono (Partai Golkar), ada kecenderungan untuk lebih menekankan aspek bersaing dan bertentangan melalui tindak tutur kompetitif dan konfliktif. Pada tuturan pasangan Jokowi-Ahok (PDI Perjuangan), aspek bersaing dan bertentangan juga lebih menonjol di dalam berbagai tuturan mereka.

Analisis tingkat kesantunan tuturan calon gubernur, wakil gubernur, dan para pendukung di sini tidak dibuat lebih khusus karena jumlah tuturan yang sangat beragam. Untuk itu, persepsi tingkat kesantunan tuturan di sini hanya difokuskan pada tingkat kesantunan secara umum berdasarkan jenis fungsi tuturan yang ada.

Tingkat kesantunan tuturan para calon gubernur, calon wakil gubernur, dan pendukung dapat disimpulkan berturut-turut adalah netral, tidak santun, santun, dan lebih tidak santun.

Jenis tindak tutur yang pertama adalah kolaboratif dengan tingkat kesantunan netral. Tujuan ilokusinya adalah tidak menghiraukan tujuan sosial karena itu dipersepsi tidak melibatkan sopan santun. Fungsi kolaboratif dengan ilokusi representatif pada dasarnya bertujuan menyampaikan kebenaran sesuai dengan yang tersirat di dalam ilokusi representatif tersebut. Penutur terikat pada kebenaran isi tuturannya sehingga dianggap tidak menghiraukan tujuan sosial. Tuturan yang diucapkan penutur itu mengikat penutur sendiri akan kebenaran dari apa yang diucapkan; mitra tutur bukanlah pihak yang menjadi pusat perhatian utama. Sopan santun penutur dan mitra tutur tidak menjadi relevan dalam hal ini.

Temuan data tuturan para calon gubernur, calon wakil gubernur, dan pendukung menunjukkan bahwa mereka lebih sering memakai jenis fungsi kolaboratif dengan ilokusi representatif, seperti tuturan menyatakan, menginformasikan, menyatakan pendapat, menjelaskan, dan menyimpulkan. Hal ini mengindikasikan bahwa penutur secara objektif lebih menekankan proposisi kebenaran tuturan, bukan pada diri penutur atau mitra tutur. Dalam hal ini, penutur tidak menghiraukan skala untung rugi di dalam tuturannya. Skala untung rugi berkenaan dengan besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada penutur dan mitra tutur. Apabila sebuah tuturan semakin

merugikan penutur dan semakin menguntungkan mitra tutur, tuturan tersebut semakin tinggi derajat kesopanannya. Sebaliknya, apabila sebuah tuturan semakin menguntungkan penutur dan semakin merugikan mitra tutur, tuturan tersebut semakin rendah derajat kesopanannya. Tindak tutur kolaboratif dipersepsi tidak menghiraukan tujuan sosial karena itu netral dari segi sopan santun. Data tuturan berikut merupakan contoh penggunaan ilokusi representatif menginformasikan (222) dan menyatakan pendapat (223) yang dipersepsi netral dari segi sopan santun (kesantunan).

(222) “Dua anggota posko kami diculik selang satu hari setelah kejadian penyerangan posko. Besok akan kami buat laporannya.” (Nono Sampono) [II/2.6.(b).(A)]

Konteks: Nono Sampono menjelaskan kepada media terkait anggota poskonya yang diculik. (Koran Tempo, 1 Juli 2012, hlm. A3).

(223) “Jakarta ini milik kita bersama, bukan milik golongan tertentu. Saya setuju empat pilar dijadikan pegangan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini harus dipertahankan dan dijadikan pegangan dalam menjalankan kehidupan berbangsa,

bermasyarakat, dan bernegara.” (Nachrowi Ramli) [IV/2.70.(b).(A)]

Konteks: Nachrowi Ramli berkomentar pada saat buka puasa bersama yang dilakukan oleh KPU DKI Jakarta dengan pemuka agama, tim sukses, dan kandidat pemilukada DKI. (Media Indonesia, 30 Juli 2012, hlm. 6).

Tindak tutur kolaboratif ini bisa diubah menjadi santun, tidak santun, atau lebih tidak santun. Hal itu berimplikasi pada perubahan makna fungsi tuturannya. Artinya, perubahan dari tingkat kesantunan netral menjadi santun, tidak santun, atau lebih tidak santun akan turut mengubah fungsi atau tujuan tuturan. Untuk menjelaskan kasus ini, tuturan (222) dan (223) dapat diubah menjadi tuturan santun, tidak santun, atau lebih tidak santun seperti contoh tuturan berikut.

(222a) “Mohon bantuannya, dua anggota posko kami diculik selang satu hari setelah kejadian penyerangan posko karena besok akan kami buat laporannya.”– Santun

(222b) “Kami heran mengapa sampai terjadi dua anggota posko kami diculik selang satu hari setelah kejadian penyerangan posko. Besok akan kami buat laporannya.”– Tidak Santun

(222c) “Kami yakin dua anggota posko kami telah diculik selang satu hari setelah kejadian penyerangan posko. Karena itu, besok akan kami buat laporannya.”– Lebih Tidak Santun

Dengan tuturan (222a), penutur bertujuan untuk meminta tolong atau mengajak mitra tutur untuk memberikan bantuan kepada penutur terkait dengan hal yang dituturkannya. Tuturan mengajak tergolong ilokusi ekspresif yang dipersepsi santun karena fungsinya mengekspresikan perasaan penutur sesuai dengan isi dan konteks tuturan. Tuturan (222b) dipersepsi tidak santun karena penutur melakukan protes atau mengkritik atas apa yang terjadi. Tuturan memprotes dan mengkritik tergolong ilokusi direktif dan mengandung fungsi kompetitif. Penutur meminta mitra tutur melakukan tindakan sesuai dengan isi protes dan kritikan tersebut. Pada tuturan (222c), penutur bermaksud menuduh. Tindakan menuduh dipertegas oleh penanda pronomina kami dan modalitas yakin dan telah sehingga isi tuturan keseluruhan dipersepsi lebih tidak santun. Tindakan menuduh tergolong ilokusi ekspresif dan mengandung fungsi konfliktif.

(223a) “Jakarta ini milik kita bersama, bukan milik golongan tertentu seperti yang dikatakan Ketua KPUD. Saya sangat setuju empat pilar dijadikan pegangan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini harus dipertahankan dan dijadikan pegangan dalam

menjalankan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara.”– Santun

(223b) “Karena Jakarta ini milik kita bersama, bukan milik golongan tertentu karena itu saya setuju empat pilar harus dijadikan pegangan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dan ini harus dipertahankan dan dijadikan pegangan dalam menjalankan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara.”– Tidak Santun

(223c) “Siapa bilang Jakarta ini milik kita bersama, bukan milik golongan tertentu. Saya sih setujusetuju saja empat pilar dijadikan pegangan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini harus dipertahankan dan dijadikan pegangan dalam menjalankan

kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara.”– Lebih Tidak Santun

Tuturan (223a) dapat dipersepsi santun karena mengandung fungsi konvivial. Tuturan tersebut tersebut dapat digolongkan ilokusi ekspresif meneguhkan

atau menghargai. Tuturan (223b) dapat dipersepsi tidak santun bila ditinjau dari keseluruhan proposisi kalimat tuturan dan pemakaian penanda modalitas harus. Tuturan ini dapat digolongkan sebagai ilokusi direktif menyuruh atau menuntut yang mengandung fungsi kompetitif. Penutur bermaksud agar mitra tutur melakukan tindakan seperti isi tuturannya. Tuturan (223c) dipersepsi lebih tidak santun karena isi tuturannya meremehkan. Tindakan meremehkan tergolong ilokusi ekspresif dan mengandung fungsi konfliktif.

Jenis tindak tutur yang kedua adalah kompetitif dengan tingkat kesantunan tidak santun. Di dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa jumlah jenis tindak tutur kompetitif lebih banyak daripada tindak tutur konvivial khususnya pada kelima pasangan calon, yaitu Hendardji-Riza (11 tuturan), Jokowi-Basuki (47 tuturan), Hidayat-Didik (26 tuturan), Faisal-Biem (10 tuturan), dan Alex-Nono (31 tuturan). Data ini mencerminkan bahwa di dalam wacana pemilukada yang disebut sebagai arena pertarungan politik, para penutur sering menggunakan tuturan yang bersaing dengan tujuan sosial. Dalam konteks ini, penutur bermaksud agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai dengan isi tuturan. Hal ini semakin jelas terlihat dalam tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif, yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan. Jenis tindak tutur kompetitif dengan macam-macam bentuk ilokusi direktif dipersepsikan sebagai tuturan yang tidak santun. Dari segi skala pragmatik, tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif berpautan dengan pelaksanaan skala untung rugi, skala

pilihan, dan skala keotoritasan. Namun, tidak berarti bahwa skala pragmatik yang lain tidak memiliki kaitannya dengan jenis tindak tutur kompetitif. Tuturan para calon gubernur dan calon wakil gubernur serta pendukung seringkali menguntungkan diri sendiri (penutur). Dengan tuturan memprotes, meminta, menyindir, menuntut, mengkritik, menyuruh, melarang, dan menyangkal, penutur mengurangi keuntungan pada mitra tutur. Demikian pun pada skala pilihan, tuturan memprotes, meminta, menyindir, menuntut, mengkritik, menyuruh, melarang, dan menyangkal., justru meminimalkan pilihan pada mitra tutur untuk melakukan tindakan sesuai dengan isi tuturan. Dari segi skala keotoritasan, dengan tuturannya, penutur memperlihatkan dominasinya atas mitra tutur sesuai dengan isi tuturan memprotes, meminta, menyindir, menuntut, mengkritik, menyuruh, melarang, dan menyangkal. Hal ini serentak mengabaikan skala jarak sosial. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, akan menjadi kurang santunlah tuturan itu. Demikian juga sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara keduanya, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan keduanya. Namun di dalam bertutur, para kandidat gubernur dan wakil gubernur serta pendukung tidak menghiraukan jarak peringkat sosial demikian. Penutur lebih menghiraukan apakah fungsi atau tujuan tuturannya terwujud atau tidak melalui ilokusi-ilokusi kompetitif. Data tuturan berikut dapat memberikan contoh jenis tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif meminta (224) dan mengkritik (225) yang dipersepsi tidak santun dari segi kesantunan.

(224) “Kami meminta KPU menggunakan haknya agar kami bisa mendapatkan lokasi ini (GOR

Soemantri).” (Ampal Astomo, anggota tim sukses Hidayat-Didik) [II/1.10.(c).(C)]

Konteks: Ampal Astomo mempersoalkan lokasi kampanye pemilu DKI. Pasangan Hidayat- Didik tidak mendapatkan tempat kampanye. (Koran Tempo, 20 Juni 2012, hlm. A4).

(225) “Kita sudah capek dengan Ibu Kota sekarang ini yang macet di mana-mana. Pemilukada

11 Juli nanti bukan hanya untuk Jakarta, tapi untuk Indonesia.” (Prabowo Subianto, Ketua

Umum Partai Gerindra) [IV/2.12.(c).(B)]

Konteks: Prabowo Subianto berkampanye untuk pasangan Jokowi-Basuki di lapangan parkir timur Senayan, Gelora Bung Karno. (Media Indonesia, 2 Juli 2012, hlm. 7).

Dengan tuturan (224), penutur mengharapkan mitra tutur melakukan tindakan seperti isi tuturan meminta. Demikian pun dengan tuturan (225), penutur memberi evaluasi atas situasi macet di Jakarta dalam bentuk tindakan mengkritik. Meskipun demikian, tingkat kesantunan tidak santun dari tuturan-tuturan tersebut dapat diubah demi mewujudkan kesantunan ataupun ketidaksantun dalam bertutur. Tuturan meminta (224) dapat diubah menjadi tuturan yang santun, netral, atau lebih tidak santun seperti berikut ini.

(224a) “Kami berharap KPU jangan takut menggunakan haknya agar kami bisa mendapatkan lokasi ini GOR Soemantri.” - Santun

(224b) “Kami yakin KPU dapat menggunakan haknya sehingga kami bisa mendapatkan lokasi ini GOR Soemantri.”– Netral

(224c) “Kami heran KPU koq tidak menggunakan haknya sama sekali agar kami bisa mendapatkan lokasi ini GOR Soemantri.” - Lebih Tidak Santun

Tuturan (224a) adalah tuturan meneguhkan yang mengandung fungsi konvivial. Penutur bermaksud mengekspresikan sikap dukungan atau peneguhannya terhadap mitra tutur sesuai dengan kapasitas atau kewenangan mitra tutur, dalam hal ini KPU. Tuturan meneguhkan dipersepsi santun. Pada tuturan (224b), penutur bermaksud menyatakan kebenaran sesuai dengan isi tuturannya yaitu menyatakan pendapat mengenai suatu hal yang dibicarakan penutur. Tuturan menyatakan pendapat

mengandung fungsi kolaboratif sehingga dipersepsi netral karena penutur terikat pada kebenaran tuturan sesuai dengan isi keseluruhan tuturan tersebut. Tuturan (224c) adalah tuturan mengecam yang mengandung fungsi konfliktif sehingga dipersepsi lebih tidak santun. Penutur bermaksud mengkritik secara langsung dan menohok mitra tutur dengan isi kecaman di dalam tuturannya tersebut.

Demikian pun tuturan mengkritik (225) dapat diubah ke dalam bentuk tuturan yang santun, netral, dan lebih tidak santun.

(225a) “Kita memang sudah capek dengan Ibu Kota sekarang ini yang macet di mana-mana. Tapi ingat ya, Pemilukada 11 Juli nanti bukan hanya untuk Jakarta, tapi untuk Indonesia.” – Santun

(225b) “Saya kira, kita semua sudah capek dengan Ibu Kota sekarang ini yang macet di mana- mana. Bagaimanapun juga Pemilukada 11 Juli nanti bukan hanya untuk Jakarta, tapi untuk

Indonesia.” – Netral

(225c) “Kita sudah sangat-sangat capek dengan Ibu Kota sekarang ini yang macet di mana- mana. Padahal, Pemilukada 11 Juli nanti bukan hanya untuk Jakarta, tapi untuk Indonesia.” – Lebih Tidak Santun

Pada tuturan (225a) terdapat maksud mengajak sehingga tuturan tersebut tergolong tindak tutur konvivial dengan ilokusi ekspresif mengajak. Dengan rumusan kalimat tuturan Tapi ingat ya, Pemilukada 11 Juli nanti … merupakan kelanjutan dari isi tuturan pada kalimat sebelumnya yang mengindikasikan adanya tujuan mengajak pendengar untuk terlibat dalam pemilukada. Tuturan (225b) digolongkan sebagai tindak tutur kolaboratif dengan ilokusi representatif menyatakan pendapat. Dua kalimat tuturan tersebut mengindikasikan adanya tujuan menyatakan pendapat untuk menegaskan konteks tuturan yaitu tentang situasi kota Jakarta yang macet dan pentingnya pemilukada. Dengan tuturan (225c), penutur tidak sekadar mengkritik, tetapi lebih sebagai tindakan mengecam sehingga tuturan tersebut dapat dikategorikan