• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.3 Teori Kesantunan Berbahasa

2.3.1 Beberapa Teori Kesantunan Berbahasa

2.3.1.1 Teori Kesantunan Berbahasa Menurut Geoffrey Leech

Teori kesantunan berbahasa menurut Leech mencakup tiga hal, yaitu jenis tindak tutur yang mengandung sopan santun (kesantunan), skala kesopanan tuturan, dan prinsip kesopanan (Baryadi, 2005:72-75; Subagyo, 2000:172-175; Pranowo, 2009:145-147). Teori kesantunan berbahasa ini dijelaskan Leech dalam bukunya berjudul Principles of Pragmatics (1983), dan diterjemahkan oleh M.M.D. Oka ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip-prinsip Pragmatik (1993). Teori Leech tentang prinsip-prinsip pragmatik berangkat dari kelemahan Prinsip Kerja Sama yang dikemukakan Grice (1975). Menurut Grice, ada empat maksim yang harus „dipatuhi‟ penutur dan mitra tutur ketika berkomunikasi, yaitu (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim pelaksanaan. Inilah yang disebut prinsip kerja sama. Namun, dalam kenyataannya, prinsip kerja sama seperti yang dilontarkan Grice tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, bahkan mungkin tidak dipatuhi atau harus dilanggar.

Dalam kajian Asim Gunarwan (1992:184), seandainya di dalam berkomunikasi tujuan kita adalah menyampaikan informasi semata-mata, strategi yang paling baik untuk diambil adalah yang menjamin “kejelasan pragmatik”

(pragmatic clarity). Maksim-maksim Grice harus dipatuhi, yakni menyangkut bentuk ujaran kita disusun sedemikian rupa sehingga benar-benar informatif, betul, relevan, singkat, tidak samar-samar, dan tidak ambigu. Namun, pada kenyataannya bentuk ujaran seperti itu tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Selain menyampaikan amanat (informasi), kebutuhan (dan tugas) penutur adalah menjaga atau memelihara hubungan sosial penutur-pendengar. Bagian inilah, menurut Leech, yang menuntut adanya prinsip kesantunan dalam komunikasi.

Secara garis besar, teori kesantunan berbahasa menurut Leech mencakup tiga hal, yaitu (1) jenis tindak tutur yang mengandung kesantunan, (2) skala kesantunan, dan (3) prinsip kesantunan (Baryadi, 2000:72-75). Istilah kesantunan berbahasa di sini dapat disejajarkan dengan pengeritan “sopan santun berbahasa” dalam uraian Baryadi, yaitu tata krama berbahasa (politeness) atau etiket berbahasa (language etiquette). Sopan santun berbahasa merupakan sikap hormat penutur kepada mitra tutur yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan dan tuturan yang sopan dilahirkan dari sikap yang hormat pula.

a. Jenis Tindak Tutur yang Mengandung Sopan Santun

Dalam uraian terdahulu tentang tindak tutur, telah dijelaskan bahwa Leech memaparkan empat jenis tindak tutur atau ilokusi. Pertama, tindak tutur kompetitif adalah tindak tutur yang bersaing dengan tujuan sosial, misalnya memerintah, meminta, menuntut, dan mengemis. Kedua, tindak tutur konvival adalah tindak tutur yang sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan, mengajak atau mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan

mengucapkan selamat. Ketiga, tindak tutur kolaboratif adalah tindak tutur yang tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, melaporkan, mengumumkan, dan mengajarkan. Keempat, tindak tutur konfliktif adalah tindak tutur yang bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi.

Menurut Leech, jenis tindak tutur yang melibatkan sopan santun adalah tindak tutur kompetitif dan tindak tutur konvivial. Pada tindak tutur kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya adalah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang dicapai oleh penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan santun. Pada tindak tutur konvivial, sopan santun lebih positif bentuknya dan bertujuan mencari kesempatan untuk beramah tamah. Tindak tutur kolaboratif tidak melibatkan sopan santun karena tindak tutur tersebut bertujuan untuk menyampaikan sesuatu secara objektif. Tindak tutur konfliktif sama sekali tidak melibatkan sopan santun. Tindak tutur konfliktif bersifat marginal dan tidak memegang peranan penting dalam komunikasi.

Bagan fungsi tindak tutur, tujuan tindak tutur, dan contoh tindak tutur yang terjadi dalam komunikasi berdasarkan pendapat Leech dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Fungsi, Tujuan, dan Jenis Tindak Tutur No Fungsi Tindak

Tutur

Tujuan Tindak Tutur / Aspek Tata Krama

Jenis Tindak Tutur / Aspek Kesantunan

1 Kompetitif/ bersaing

Bersaing dengan tujuan sosial

memerintah, meminta, menuntut, mengemis

2 Konvivial /menyenangkan

Sejalan dengan tujuan sosial menawarkan (bantuan), mengajak,

mengundang, menyapa,

mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat

3 Kolaboratif /bekerja sama

Tidak menghiraukan tujuan sosial

menyatakan, melapor,

mengumumkan, mengajarkan 4 Konfliktif

/bertentangan

Bertentangan dengan tujuan sosial

mengancam, menuduh,

menyumpahi, memarahi

Berdasarkan penjelasan Leech ini, Subagyo (2000: loc.cit.) mengurutkan skala tingkat kesopanan keempat ilokusi tersebut sebagai berikut.

Jenis tindak tutur Tingkat kesopanan

konvivial sopan

kolaboratif netral

kompetitif tidak sopan

konfliktif lebih tidak sopan.

Dari perspektif lain, Baryadi (2012:31-34) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat merepresentasikan kekuasaan, khususnya praktik dominasi. Bertolak dari pemikiran Leech tentang fungsi-fungsi tindak tutur di atas, Baryadi menerangkan bahwa keempat jenis tindak tutur tersebut terdapat kadar kekuatan dominasi yang berbeda. Dimulai dari tindak tutur konfliktif yang paling kuat kadar dominasinya, kemudian tindak tutur kompetitif, tindak tutur kolaboratif, dan tindak tutur konvivial yang paling lemah kadar dominasinya. Berikut gambaran tingkat kekuatan dominasi sebagari praktik dominasi dari keempat tuturan tersebut.

Jenis tindak tutur Kadar kekuatan dominasi

tindak tutur konvivial dominasi kuat tindak tutur kolaboratif

tindak tutur kompetitif

tindak tutur konfliktif dominasi lemah.

Dengan pemikiran ini, Baryadi (2012), seperti halnya hasil penelitian Subagyo (2000) di atas, memberikan gambaran tentang tingkat kesopanan dari tuturan-tuturan tersebut.

Jenis tindak tutur Tingkat kesopanan

tindak tutur konvivial kesopanan tinggi tindak tutur kolaboratif

tindak tutur kompetitif

tindak tutur konfliktif kesopanan rendah

Gambar di atas menjelaskan bahwa kadar kekuatan dominasi suatu tindak tutur berbanding terbalik dengan tingkat kesopanan suatu tindak tutur. Semakin tinggi kekuatan dominasi suatu tindak tutur semakin rendah tingkat kesopanannya, semakin rendah kekuatan dominasi suatu tindak tutur semakin tinggi tingkat kesopanannya. Dengan demikian, tindak tutur konvivial tingkat kesopanannya paling tinggi, kemudian tindak tutur kolaboratif, tindak tutut kompetitif, dan tindak tutur konfliktif kesopanannya paling rendah.

b. Skala Kesopanan Tuturan

Kesopanan memiliki rentangan skala yang menunjukkan sopan atau tidak sopannya (santun atau tidak santunnya) tuturan. Leech (dalam Oka,

1993:194-200) menyebut rentangan skala ini sebagai skala pragmatik. Ada lima skala kesopanan yang dikemukakan Leech, yaitu

a) Skala untung rugi (the cost-benefit scale)

Skala untung rugi berkenaan dengan besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada penutur dan mitra tutur. Apabila sebuah tuturan semakin merugikan penutur dan semakin menguntungkan mitra tutur, tuturan tersebut semakin tinggi derajat kesopanannya. Sebaliknya, apabila sebuah tuturan semakin menguntungkan penutur dan semakin merugikan mitra tutur, tuturan tersebut semakin rendah derajat kesopanannya.

b) Skala pilihan (the optionality scale)

Skala pilihan berkenaan dengan banyak sedikitnya pilihan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Apabila sebuah tuturan semakin banyak memberikan pilihan kepada mitra tutur, tuturan itu memiliki derajat kesopanan yang tinggi. Sebaliknya, apabila sebuah tuturan semakin kecil memberikan pilihan kepada mitra tutur, tuturan tersebut memiliki derajat kesopanan yang rendah.

c) Skala ketaklangsungan (indirectness scale)

Skala ketaklangsungan berkenaan dengan langsung tidaknya pengungkapan maksud dalam tuturan. Skala ini berkaitan dengan panjang pendeknya jalan yang menghubungkan tindak ilokusi dengan tujuan ilokusi. Apabila sebuah tuturan semakin tak langsung mengungkapkan

maksud penutur kepada mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan tuturan itu. Apabila sebuah tuturan semakin langsung mengungkapkan maksud penutur kepada mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturan itu.

d) Skala keotoritasan (authority scale)

Skala keotoritasan berkenaan dengan derajat otoritas penutur kepada mitra tutur. Semakin rendah otoritas penutur terhadap mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan tuturan. Sebaliknya, semakin tinggi otoritas penutur terhadap mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturannya.

e) Skala jarak sosial (social distance scale)

Skala jarak sosial berkenan dengan jauh dekatnya hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur. Semakin jauh jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur, semakin tinggilah derajat kesopanan tuturannya. Semakin dekat jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur, semakin rendahlah derajat kesopanan tuturannya.

Selain Leech, ada ahli lain yang memberikan gambaran tentang skala kesantunan, yaitu Brown dan Levinson (1987) dan Robin Lakoff (1973). Brown dan Levinson menyebutkan tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut: (1) skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, (2)

skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, dan (3) skala peringkat tindak tutur. Robin Lakoff memaparkan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur, yaitu (1) skala formalitas, (2) skala ketidaktegasan, dan (3) skala kesamaan atau kesekawanan.

c. Prinsip Kesopanan

Kesopanan atau kesantunan tuturan menjadi prinsip hubungan komunikasi antarpribadi. Leech telah menjelaskan mengapa tuturan berbentuk tak langsung bersifat sopan atau santun daripada tuturan yang berbentuk langsung. Di sini, penutur biasanya menggunakan implikatur, yaitu apa yang tersirat dalam suatu ujaran, atau apa yang dikomunikasikan penutur kepada mitra tutur (Pranowo, 2009:102). Oleh karena itu, Leech memberikan enam prinsip kesantunan tuturan yang disebutnya sebagai maxim yang di dalamnya mengandung dua kaidah berpasangan(Gunarwan, 1992:187; Bariyadi, 2000:74-75; Pranowo, 2009:103). Prinsip kesantunan Leech ini dianggap dapat menerangkan kesantunan berbahasa dalam situasi yang lain, bukan berbahasa dalam interaksi bersemuka saja. Pemahaman tentang maksim-maksim kesantunan Leech didasarkan pada pengertiannya tentang diri dan pihak lain yang berada dalam situasi tutur. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

1. Maksim timbang rasa

(a) Minimalkan biaya kepada pihak lain

2. Maksim kemurahan hati

(a) Minimalkan keuntungan pada diri

(b) Maksimalkan keuntungan pada pihak lain 3. Maksim pujian

(a) Minimalkan penjelekan terhadap pihak lain (b) Maksimalkan pujian kepada pihak lain 4. Maksim kerendahan hati

(a) Minimalkan pujian kepada diri (b) Maksimalkan penjelekan terhada diri 5. Maksim kesetujuan

(a) Minimalkan ketidaksetujuan antara diri dan pihak lain (b) Maksimalkan kesetujuan antara diri dan pihak lain 6. Maksim simpati

(a) Minimalkan antipati antara diri dan pihak lain (b) Maksimalkan simpati antara diri dan pihak lain