• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang tindak tutur dan kesantunan berbahasa memang telah cukup banyak dilakukan. Meskipun demikian, kajian pada penelitian-penelitian tersebut sangat beragam sesuai dengan permasalahan dan sumber data yang dianalisis. Ada empat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian Asim Gunarwan (1992 dan 1994), penelitian P.Ari Subagyo (2000), penelitian Ventianus Sarwoyo (2009), dan penelitian Edy Jauhari (2009). Penelitian mereka terkait dengan tindak tutur dan kesantunan berbahasa. Berikut ini adalah paparan ringkas penelitian-penelitian relevan tersebut.

Asim Gunarwan menulis kajian tentang kesantunan berbahasa. Dua penelitian pentingnya termuat dalam buku kajian linguistik, yaitu Pellba 5 dan Pellba 7. Penelitian Asim Gunarwan (1992) yang termuat dalam Pellba 5 berjudul “Persepsi Kesantunan Direktif di Dalam Bahasa Indonesia di Antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”. Penelitian ini ingin menjawab bagaimana persepsi sopan-santun bahasa penutur-penutur bahasa Indonesia dalam penggunaan tindak ujaran direktif. Secara

khusus yang coba dijawab adalah (1) bagaimana hierarki kesantunan sejumlah bentuk-bentuk ujaran yang (dapat) dipakai untuk menyatakan tindak ujaran direktif itu; (2) apakah ada korelasi di antara ketaklangsungan dan kesantunan berbahasa, seperti yang dicanangkan oleh Brown dan Levinson (1978); (3) apakah ada perbedaan-perbedaan persepsi sopan santun penggunaan direktif di antara beberapa suku bangsa di Indonesia; dan (4) apakah ada perbedaan persepsi sopan-santun penggunaan direktif itu di antara tiga kelompok usia (-25, 25-50, dan 50+). Dari penelitian ini, Gunarwan berkesimpulan bahwa

a) Secara umum, bagi semua responden, hierarki kesantunan bentuk-bentuk ujaran yang dipakai untuk menyatakan direktif tidak sama dengan hierarki kesantunan yang dipositkan atau dipakai di dalam proyek penelitian Cross-Cultural Speech Act Realization Patterns. Yang dipakai di dalam proyek itu mempunyai hierarki (menurut derajat ketaklangsungan): MI-Pf-PB-PKh-PKi-FS-Pt-IK-IH. Yang ditemukan di dalam penelitian ini adalah: MI-PKh-IH-IK-PKi-Pf-PB-Pt-FS.

b) Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa memang ada kesejajaran di antara ketaklangsungan tindak ujaran direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja, kesejajaran itu tidak selamanya berlaku.

c) Hierarki kesantunan direktif bagi para responden mempunyai varian-varian di antara kelompok-kelompok sosial yang dibedakan satu dari yang lain menurut kesukuan, kenis kelamin, dan kelompok usia.

d) Perbedaan persepsi kesantunan direktif di antara kelompok-kelompok etnik Jawa, Sunda, Minang, dan Batak di Jakarta kecil saja. Perbedaan “yang kecil” ini mengisyaratkan adanya kecenderungan penyatuan norma-norma kebudayaan Jawa, Sunda, Minang, dan Batak di daerah Jakarta.

Penelitian yang kedua dari Asim Gunarwan (1994) termuat dalam Pellba 7 berjudul “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”.Dari penelitian ini, Gunarwan memberikan kesimpulan:

a) Hierarki kesantunan direktif bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ternyata pada dasarnya sama. Hal ini mengisyaratkan bahwa para subjek penelitian ini menggunakan satu norma kebudayaan di dalam menilai kesantunan bentuk-bentuk ujaran direktif di dalam kedua bahasa tersebut. Para dwibahasawan bahasa Indonesia-bahasa Jawa itu adalah dwibahasawan yang monokultural, atau situasi kedwibahasaan di kalangan masyarakat tutur Jawa di Jakarta itu dapat dikatakan sebagai bilingualisme tanpa bikulturalisme.

b) Tidak ada perbedaan penilaian kesantunan direktif bahasa Jawa menurut variabel kelompok umur. Dari temuan ini diperoleh dua hal, pertama, derajat kesamaan kedua hierarki kesantunan bahasa Jawa (menurut kelompok umur) ternyata lebih kecil daripada derajat kesamaan yang bahasa Indonesia; dan kedua, kesamaan kedua hierarki kesantunan direktif bahasa Jawa itu mengandung paradoks.

c) Ketaklangsungan tindak ujaran tidak sejajar dengan kesantunan, seperti yang terlihat dari adanya perbedaan di antara hierarki penelitian dan hierarkis teoretis.

Temuan-temuan Asim Gunarwan melalui dua penelitiannya ini berguna sebagai panduan memahami dan menganalisis jenis tindak tutur, tingkat kesantunan tuturan, dan penanda lingual kesantunan sesuai topik penelitian ini. Gunarwan memberikan gambaran dasar tentang beberapa teori tindak tutur dan teori kesantunan berbahasa dengan merujuk pada pemikiran ahli pragmatik, seperti Brown dan Levinson (1978) dan Geoffrey Leech (1983).

Penelitian P.Ari Subagyo (2000) terfokus pada masalah wacana surat kabar, khususnya wacana pojok yang terdapat dalam berbagai surat kabar di Indonesia. Penelitiannya berjudul Wacana Pojok: Cara Mengkritik Khas Surat Kabar Indonesia dimuat dalam buku Sejarah dan Bahasa dalam Membangun Integrasi Bangsa Menuju Milenium Ketiga. Penelitian ini menganalisis sejauh mana wacana pojok dalam beberapa surat kabar di Indonesia memberikan kritik berupa sentilan sambil lalu. Subagyo menemukan bahwa betapapun tidak terlalu diacuhkan, pojok tetap memerankan diri sebagai jendela yang menyalurkan hasrat mengkritik lewat surat kabar. Ada dua pertanyaan pokok dalam penelitian ini, yaitu (1) apakah kolom/wacana pojok itu dan (2) mengapa kritik yang dilontarkan lewat kolom/wacana pojok tidak mengganggu “keselamatan” surat kabar pemuatnya?

Wacana pojok yang diteliti terdapat dalam beberapa Surat Kabar Harian (SKH) di Indonesia. Wacana pojok tersebut merupakan gejala kebahasaan yang

terdiri atas dua subbagian ISI, yakni KUTIPAN BERITA dan SENTILAN. Kutipan berita dan sentilan ini membentuk wacana yang mirip dengan sebuah dialog sederhana. Kolom pojok atau wacana pojok merupakan rubrik khas pada surat-surat kabar di Indonesia, made in Indonesia, “buatan asli Indonesia” (Assegaff, 1991:134 dan Naomi, 1996:288 dalam Subagyo, 2000:168-169). Dengan berdasar pada kaca mata pragmatik, khususnya teori tindak tutur Searle dan Leech, Subagyo menegaskan bahwa menyentil atau mengkritik dalam wacana pojok merupakan tindak ilokusi. Temuan Subagyo menggambarkan bahwa wacana pojok selama bulan Agustus 1997 dalam sebelas surat kabar harian (SKH) (berupa data 728 pasang kutipan berita-sentilan) menunjukkan fakta berikut.

Tabel 1. Jenis Ilokusi dalam11 SKH bulan Agustus 1997

Jenis Ilokusi Jumlah Persentase

Konfliktif 476 65,39 %

Kompetitif 167 22,94 %

Konvivial 71 9,75 %

Konvivial-Kompetitif 11 1,51 %

Konvivial-Konfliktif 3 0,41 %

Temuan tersebut menunjukkan bahwa kolom/wacana pojok pada masa Orde Baru sebenarnya memang kritis. Sekalipun demikian, ada pula yang cenderung mencari aman sehingga (sama sekali) tidak kritis. Ketidakkritisan itu menjadi pertanyaan peneliti dan ditemukan tiga jawaban, yaitu pertama, ketidakkritisan itu karena wacana pokok tersebut terkesan tidak serius; kedua, wacana pojok tidak berterus terang; dan ketiga, wacana pojok bernuansa humor.

Hubungan antara penelitian Subagyo dan penelitian ini ialah bahwa jika Subagyo menggunakan teori fungsi tindak tutur Leech untuk membahas wacana pojok pada surat kabar harian di Indonesia periode Agustus 1997, penelitian ini akan menggunakan teori fungsi tindak tutur Leech untuk menganalisis jenis-jenis tindak tutur dari tuturan calon gubernur, calon wakil gubernur, dan para pendukung dalam berita pemilukada Provinsi DKI Jakarta di dalam beberapa surat kabar nasional periode Juni sampai Agustus 2012. Penelitian ini akan terfokus pada wacana berita yang memuat lebih banyak tuturan langsung daripada wacana pojok yang berisi sentilan berupa dialog sederhana.

Penelitian tentang tindak tutur ilokusi dan penanda kesantunan dibuat oleh Ventianus Sarwoyo (2009) dalam skripsinya berjudul Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di Dalam Surat Kabar. Dengan data dari berita surat kabar nasional, Sarwoyo menemukan: (1) ada empat jenis tindak ilokusi tuturan dalam surat kabar, yaitu tindak ilokusi direktif, komisif, representatif, dan ekspresif. Pengungkapan keempat tindak ilokusi tersebut terwujud dalam tiga bentuk tuturan, yaitu tuturan imperatif, deklaratif, dan interogatif; dan (2) ada enam penanda tingkat kesantunan di dalam surat kabar, yaitu analogi, diksi atau pilihan kata, gaya bahasa, penggunaan keterangan atau kata modalitas, penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan bentuk tuturan.

Penelitian Sarwoyo ini memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu dalam hal sumber data yaitu tindak tutur dalam surat kabar. Sarwoyo memfokuskan pada tindak tutur yang terdapat dalam surat kabar secara umum, sedangkan penelitian

ini berkaitan dengan topik khusus, yaitu jenis-jenis tindak tutur dari tuturan calon gubernur dan wakil gubernur dan para pendukung dalam berita pemilihan umum kepala daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Dalam kaitannya dengan penanda tingkat kesantunan, penelitian Sarwoyo dan penelitian ini memiliki kesamaan yaitu mendeskripsikan jenis-jenis penanda lingual kesantunaan yang terdapat dalam setiap tuturan langsung sebagai datanya.

Penelitian Edy Jauhari tentang tindak tutur dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2009 menggunakan pendekatan tindak tutur. Penelitiannya berjudul “Wacana Politik dalam Kampanye Pilpres 2009: Kajian Tindak Tutur”. Di dalam penelitiannya ini, berbagai statemen dan slogan politik dianalisis untuk memperoleh gambaran tentang: (a) tindak tutur yang terdapat dalam statemen-statemen politik dari kubu JK-Wiranto, baik dalam bentuk iklan, slogan, maupun statemen politik yang lain, baik yang diungkapkan oleh capres-cawapres JK-Wiranto sendiri maupun oleh tim sukses dan pendukung-pendukung; (b) strategi-strategi atau modus-modus yang digunakan untuk mengekspresikan tindak tutur-tindak tutur tersebut; dan (c) implikatur daya pragmatik dari statemen-statemen politik atau slogan-slogan politik yang dikemukakan kubu JK-Wiranto kepada publik atau masyarakat luas. Jauhari menemukan bahwa (1) di dalam masa kampanye, kubu pasangan JK-Wiranto (juga pasangan yang lain) melakukan berbagai aktivitas bertutur yang berupa statemen, jargon, ataupun slogan politik untuk merebut hati rakyat dan (2) tindakan bertutur yang menonjol yang dikembangkan kubu JK-Wiranto dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (a) komisif, (b) direktif, dan (c) ekspresif.

Penelitian Jauhari dan penelitian ini menggunakan pendekatan teori tindak tutur. Jauhari menggunakan teori tindak tutur Searle (1975) yang mengklasifikasikan tindak ilokusi menjadi lima macam, yaitu representatif, direktif, komisif, deklarasi, dan ekspresif untuk menganalisis statemen dan slogan politik selama masa pilpres 2009, sedangkan penelitian ini memakai teori tindak tutur Leech, khususnya tentang fungsi tindak tutur, untuk menjelaskan berbagai jenis tindak tutur, tingkat kesantunan tuturan, dan penanda lingual kesantunan tuturan para calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2012dan para pendukungyang terdapat di dalam berita beberapa surat kabar nasional.