• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Analisis Data

4.2.3 Penanda Lingual Kesantunan Tuturan

Penanda lingual kesantunan adalah segala hal atau unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Santun tidaknya bahasa tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa dan terikat pada aspek linguistik dan pragmatik dari tuturan (Pranowo, 2009:90; Rahardi, 2005:118). Selain penanda lingual kesantunan, ada juga penanda nonlingual atau penanda nonkebahasaan, yaitu faktor-faktor ekstralingual atau hal-hal di luar kebahasaan yang turut menentukan santun tidaknya suatu tuturan yang terikat pada konteks tuturan tersebut (Pranowo, 2009:95). Dalam praktik berkomunikasi, penanda lingual dan nonlingual kesantunan berbahasa memang tidak dapat dipisahkan. Ketika berkomunikasi atau bertutur, penanda lingual dan nonlingual itu serentak ada dan menjadi bagian penting untuk menentukan santun tidaknya tuturan secara pragmatik. Sesuai dengan batasan penelitian ini, penanda lingual kesantunan saja yang akan dicermati dari data tuturan yang ada.

Penanda-penanda lingual kesantunan yang ditemukan dari data tuturan calon gubernur, calon wakil gubernur, dan pendukung dan diuraikan secara khusus dalam penelitian ini, yaitu (1) diksi atau pilihan kosa kata, (2) penggunaan gaya bahasa, (3) pemakaian pronomina, dan (4) penggunaan modalitas. Penggunaan penanda-penanda

lingual ini diuraikan juga sesuai dengan konteks fungsi dan jenis tindak tutur sehingga aspek kesantunan tindak tutur tersebut dapat diperjelas.

4.2.3.1Diksi

Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan dan bagaimana kata-kata itu secara tepat dan cocok mengungkapkan nuansa makna gagasan secara keseluruhan sesuai dengan situasi dan konteks antara penutur dan mitra tutur. Berdasarkan data tuturan yang ada, diksi seringkali dipakai untuk mempertegas apakah maksud tuturan itu santun atau tidak santun sesuai jenis tindak tutur yang dipakai dan mengandung fungsi atau tujuan tertentu di dalam bertutur. Meskipun demikian, sangat mungkin terjadi bahwa pilihan kata santun dipakai juga pada jenis tindak tutur yang mengandung fungsi kompetitif dan konfliktif, atau sebaliknya pilihan kata yang tidak atau kurang santun dipakai pada jenis tindak tutur yang mengandung fungsi konvivial dan netral.

Diksi atau pilihan kata yang dipakai di dalam jenis tindak tutur konvivial yang mengandung tingkat kesantunan santun dan jenis tindak tutur kolaboratif dengan tingkat kesantunan netral dapat dicermati pada contoh tuturan (139) s.d. (144) berikut.

(139) “Sugeng rawuh Mas Jokowi, terima kasih.” (Hidayat Nur Wahid). [V/2.18.(a).(A)] Konteks: Hidayat Nur Wahid menyambut silaturahim Jokowi di markasnya (Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11).

(140) “Dengan doa kiai, semoga Allah memberikan kemudahan, saat pemilukada berlangsung hingga terpilih dan menjalankan tugas sehari-hari.” (Nono Sampono). [III/1.60.(a).(A)] Konteks: Nono Sampono berkunjung ke Kiai Alawy Muhammad di pondok pesantren At-Thoroqi, Karongan, Sampang. (Republika, 23 Juni 2012, hlm. 2).

(141) “Ini silaturahmi dengan Ustad Dayat, kita sama-sama dari Solo.” (Jokowi)

[V/2.17.(b).(A)]

Konteks: Joko Widodo menerangkan kunjungannya ke markas pemenangan tim Hidayat-Didik (Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 1).

(142) “Pak Wali pancen oke, top markotop. Tetapi kalau menang, jangan melupakan Pasar

Gede, ya.” (Surati, pedangan ayam di Pasar Gede, Solo) [V/2.37.(a).(A)]

Konteks: Surati, warga Solo, menanggapi kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada penghitungan cepat. (Jawa Pos, 12 Juli 2012, hlm. 11) .

(143) “Pentingnya menjaga stabilitas Jakarta adalah karena kita harus menjaga kepercayaan

pihak penanam modal yang menanamkan modalnya di Jakarta.” (Fauzi Bowo) [IV/1.5.(b).(A)] Konteks: Fauzi Bowo memberikan pendapat tentang keamanan Jakarta dalam debat para calon gubernur yang disiarkan Metro TV. (Media Indonesia, 3 Juni 2012, hlm. 5).

(144) “Kaum Tionghoa adalah bagian dari kami karena kami lahir dan besar di Jakarta.”

(Nachrowi Ramli) [IV/1.12.(a).(A)]

Konteks: Nachrowi Ramli menyambut dukungan dari Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia. (Media Indonesia, 7 Juni 2012, hlm. 9).

Tuturan (139) termasuk tindak tutur konvivial dengan ilokusi ekspresif mengucapkan salam dan terima kasih. Pilihan kata pada tuturan (139) sangat santun, yaitu Sugeng rawuh, Mas, dan terima kasih. Ungkapan sugeng rawuh (bahasa Jawa, artinya selamat datang) dan Mas (bahasa Jawa, artinya kakak atau saudara laki-laki) dipakai oleh penutur untuk menerima mitra tutur. Tuturan dengan pilihan kata seperti ini hanya dipakai oleh orang yang saling mengenal dan akrab. Jokowi dan Hidayat Nur Wahid sama-sama orang Jawa dan berasal dari Solo serta memiliki pengalaman politik yang sama ketika berada di kota Solo. Demikian pun pilihan kata terima kasih, biasanya dalam tata krama berbahasa Jawa merupakan kelanjutan dari ucapan selamat datang. Ekspresi selamat datang dan terima kasih serta sapaan kakak dalam budaya Jawa mengandung kesopanan yang tinggi. Dengan tuturan ini, penutur menempatkan dirinya sederajat atau sama dengan mitra tuturnya (mengandung skala kesekawanan).

Tuturan (140) disampaikan penutur yang bermaksud mengucapkan terima kasih. Tindakan berterima kasih diutarakan secara tidak langsung karena alasan

penghormatan dan keharmonisan penutur dan mitra tutur. Dalam skala ketaklangsungan tuturan, tuturan dikategorikan santun (atau lebih santun) bila maksud tuturan disampaikan secara tak langsung. Pada tuturan (140), penutur tidak memakai penanda lingual (kata atau frasa) yang merujuk pada makna „terima kasih‟, tetapi proposisi Dengan doa kiai, semoga Allah… tanpa disertai nama pribadi yang merujuk pada pribadi Kiai Alawy Muhammad. Pilihan kata semoga merupakan bentuk imperatif harapan sebagai tanda kerendahan hati penutur di hadapan mitra tuturnya.

Pada tuturan (141) terdapat diksi silaturahmi yang mengandung arti kunjung-mengunjungi dalam konteks persaudaraan atau kekeluargaan. Kata sapaan Ustad Dayat oleh penutur juga mengindikasikan diksi santun untuk menyapa dengan hormat pribadi yang kompeten di bidang keagamaan Islam (guru agama Islam). Hidayat Nur Wahid memang tergolong Kiyai dan guru agama sehingga harus disapa demikian dengan penuh kehormatan.

Pada tuturan (142), penutur menggunakan tuturan bahasa iklan pancen oye, top markotop, yang dalam bahasa keseharian diksi tersebut mengekspresikan pujian dan hormat terhadap pribadi yang memang memiliki kemampuan khusus bagi orang lain. Dengan tuturan (143), khususnya diksi menjaga stabilitas, penutur bermaksud menyatakan pendapatnya tentang bagaimana membangun kota Jakarta. Diksi menjaga stabilitas merupakan penghalusan (eufemisme) dari kata “menjaga keamanan” atau “menjaga ketertiban”. Pilihan kata kaum Tionghoa dan bagian dari kami di dalam tuturan (144) sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa diksi tersebut

sangat santun untuk konteks tuturan fungsi konvivial dengan ilokusi meneguhkan tersebut.

Selain diksi atau pilihan kata yang santun, terdapat juga diksi yang tidak santun, atau bahkan lebih tidak santun. Pilihan kata seperti ini sering muncul di dalam jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif. Contoh-contoh diksi yang tidak santun dapat dicermati pada tuturan (145) s.d. (149) berikut.

(145) “Kalau begini caranya, tim sukses dan pasangan calon akan menyetop semua tahapan

Pemilukada DKI.” (M. Taufik, juru bicara tim sukses Jokowi-Basuki). [III/1.1.(d).(A)] Konteks: M.Taufik menganggap penetapan DPT oleh KPU masih bermasalah. Tim suksesnya mengancam akan mundur dalam pilkada DKI (Republika, 4 Juni 2012, hlm. 9).

(146) “Kalau tidak bersih, lima pasangan calon akan boikot.” (M. Taufik, juru bicara tim

Jokowi-Basuki). [III/1.21.(d).(B)]

Konteks: M.Taufik meminta KPU meyelesaikan masalah DPT. (Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9).

(147) “Menurut saya, keputusan DKPP itu banci.” (Hendardji Soepandji) [V/2.10.(c).(A)] Konteks: Hendardji Soepandji mengomentari DPT yang masih menjadi masalah serius dalam pilkada DKI Jakarta meskipun KPUD akhirnya merevisi DPT. (Jawa Pos, 10 Juli 2012, hlm. 11).

(148) “Sekarang lu nyolok siapa? Kalo nyolok Jokowi, mending mah bangun di Solo aja.”

(Fauzi Bowo) [IV/3.19.(c).(A)]

Konteks: Fauzi Bowo memberi komentar di hadapan korban kebakaran (beberapa ibu) di Tengsin, Jakarta Utara. Pernyataan ini disiarkan di situs Youtube. (Media Indonesia, 10 Agustus 2012, hlm. 6).

(149) “Tidak diduga ya. Foke bisa dibikin keok Pak Jokowi. Pak Jokowi memang jago dan

sangat didukung media yang selama ini setia membesarkan kepemimpinannya atas Solo.”

(seorang warga Surakarta di salah satu warung) [IV/2.32.(d).(A)]

Konteks: Seorang warga Surakarta menanggapi keunggulan sementara pasangan Jokowi-Ahok. (Media Indonesia, 12 Juli 2012, hlm. 7).

Tuturan (145) s.d (147) memiliki konteks yang sama, yaitu terkait dengan masalah penetapan DPT oleh KPUD. Di dalam tuturan tersebut, terdapat diksi yang tidak santun. Tuturan (145) dan (146) adalah tindak tutur konfliktif dengan ilokusi ekspresif mengancam, dan tuturan (147) adalah tindak tutur kompetitif dengan ilokusi mengkritik. Tindakan mengancam jelas terlihat pada pilihan kata disertai modalitas, yakni akan menyetop dan akan boikot. Kata menyetop pada tuturan (145) memiliki

arti menyuruh berhenti atau menghentikan. Kata boikot pada tuturan (146) memiliki arti menolak untuk bekerja sama. Pemakaian kata menyetop dan boikot disertai modalitas akan pada kedua fungsi tuturan tersebut secara langsung mengandung daya pengaruh pada isi tuturannya, yakni mengancam kelangsungan sesuatu sehingga pilihan kata tersebut dipersepsi tidak santun. Pilihan kata banci pada tuturan (147) sangat kasar. Kata banci dipakai sebagai lawan dari makna tegas, berani, dan jantan.

Tuturan (148) adalah tindak tutur kompetitif dengan ilokusi direktif menyindir. Penutur menyampaikan maksud sindirannya dalam konteks peristiwa kebakaran di Tengsin. Alih-alih bersimpati kepada korban kebakaran, penutur (Fauzi Bowo) justru mengeluarkan tuturan menyindir dengan diksi yang bernuansa kasar, yakni lu nyolok siapa. Diksi lu (Betawi: Anda, Saudara) untuk menyebut mitra tutur mengindikasikan dominasi penutur atas mitra tutur sehingga dipersepsi merendahkan atau melecehkan mitra tutur. Jadi, tidak ada penghormatan terhadap mitra tutur dalam konteks situasi komunikasi tersebut.

Pada tuturan (149), penutur bermaksud meremehkan. Diksi keok bermakna kalah. Tuturan tersebut disampaikan seorang warga kota Surakarta, pendukung Jokowi. Seharusnya, seseorang berstatus sosial lebih rendah bertutur lebih santun di dalam tuturannya atau terhadap mitra tutur. Dengan demikian, tuturan (149) dipersepsi sangat tidak santun karena mengandung fungsi bertentangan dengan tujuan sosial atau konfliktif.

4.2.3.2Gaya Bahasa

Gaya bahasa sering dipakai penutur dengan maksud tertentu ketika berkomunikasi. Ada gaya bahasa yang dipakai dengan tujuan agar apa yang disampaikannya itu tidak membuat lawan bicaranya malu atau kehilangan muka dan tersinggung, tetapi ada pula pemakaian gaya bahasa dengan tujuan agar apa yang dituturkannya membuat mitra tuturnya malu atau kehilangan muka. Gaya bahasa akan secara jelas terwujud dalam bentuk majas-majas, seperti perbandingan, pertentangan, dan pertautan dengan pelbagai ragamnya. Gaya bahasa dapat muncul pada berbagai jenis tindak tutur, seperti tingak tutur konvivial, kolaboratif, kompetitif, dan konfliktif. Dalam pembahasan ini, diberikan contoh-contoh gaya bahasa dalam dua kategori jenis tindak tutur, yaitu pada jenis tindak tutur konvivial dan kolaboratif dengan tingkat kesantunan santun dan netral dan pada jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif dengan tingkat kesantunan tidak santun dan lebih tidak santun.

Gaya bahasa yang dipakai di dalam jenis tindak tutur konvivial dan kolaboratif yang mengandung tingkat kesantunan santun dan netral dapat dicermati pada contoh-contoh (150) s.d. (156) berikut.

(150) “Apabila Foke-Nara terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI, PPP akan mengawal mereka dalam melaksanakan pembangunan agar komitmennya dalam membangun

Jakarta dapat lebih dirasakan masyarakat.” (Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP).

[IV/3.2.(a).(A)]

Konteks: Suryadharma Ali menyatakan secara resmi bahwa PPP mendukung pasangan Foke-Nara untuk pilkada pada putaran kedua. (Media Indonesia, 3 Agustus 2012, hlm. 7).

(151) “Bagi PPP, sosok Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli memiliki kapasitas untuk

membangun Jakarta menjadi lebih baik lagi.” (Suryadharma Ali, Ketua Umum DPP PPP)

[I/2.65.(a).(B)]

Konteks: Suryadharma Ali menyatakan dukungannya kepada pasangan Foke-Nara (Kompas, 21 Juli 2012, hlm. 26).

(152) “Jakarta merupakan pintu gerbang dan simbol Indonesia bagi dunia internasional.”

Konteks: Firman Jaya menyatakan kesiapan PDI-P mendukung Jokowi-Basuki (Kompas, 6 Juli 2012, hlm. 1).

(153) “Suara rakyat adalah suara Golkar. Karena itu, kami akan mengikuti suara rakyat Jakarta

dan suara rakyat Jakarta mengarah kepada pasangan Jokowi dan Ahok.” (Zaenuddin, Sekjen

DPD Partai Golkar Jakarta) [V/2.56.(b).(B)]

Konteks: Zaenuddin menanggapi kemenangan pasangan Jokowi-Ahok berdasarkan penghitungan cepat dan menjelaskan posisi Golkar untuk sementara. (Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11).

(154) “Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang kuat-kuatnya, Golkar

kalah di Jakarta.” (Hajriyanto Thohari, Ketua DPP Partai Golkar) [V/2.59.(b).(B)]

Konteks: Ferdi Semaun menerangkan perjuangan relawan Jokowi-Ahok menargetkan raih 80% suara pada putaran kedua. (Media Indonesia, 22 Juli 2012, hlm. 4).

(155) “Ini bukan sekadar basa-basi, melainkan ini upaya setulus hati untuk memperbaiki lingkungan di Jakarta, khususnya Ciliwung menjadi lebih bersih, hijau, dan tertata.” (Hidayat

Nur Wahid) [III/1.24.(b).(B)]

Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari kondisi kawasan Sungai Ciliwung dan menemukan timbunan sampah. (Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9).

(156) “Tidak benar tudingan bahwa PKS mendukung Foke karena akan mendapatkan beberapa

kursi kepala dinas.” (Mahfudz Siddiq, Wakil Sekjen DPP PKS) [III/3.32.(b).(B)]

Konteks: Mahfudz Siddiq menjelaskan alasan PKS mendukung pasangan Foke-Nara daripada pasangan Jokowi. (Republika, 30 Agustus 2012, hlm. 3).

Pada tuturan (150) dan (151) terdapat gaya bahasa sinekdoke pars pro toto, yaitu penggunaan kata PPP sebagai lembaga partai yang menggantikan keseluruhan anggotanya. Dalam tuturan tersebut, penutur mempertegas peran lembaga yang menghimpun banyak orang sebagai satu kesatuan. Dengan menyebut PPP, penutur, dalam hal ini Suryadharma Ali – Ketua Umum PPP, tidak terbebani tanggung jawab sebagai pendapat pribadi, tetapi mewakili suara atau komitmen keseluruhan partai sebab PPP mengacu kepada lembaga partai yang merepresentasi semua pengurus, anggota, simpatisan, dan pendukung. Kedua tuturan ini dipersepsi santun karena bermaksud meneguhkan dan tergolong jenis tindak tutur konvivial yang mengandung fungsi menyenangkan secara sosial.

Gaya bahasa metafora terdapat pada tuturan (152) dan (153). Metafora adalah gaya bahasa perbandingan langsung. Hal ini dapat dicermati pada bagian tuturan Jakarta merupakan pintu gerbang dan Suara rakyat adalah suara Golkar.

Keseluruhan tuturan (154) mengandung gaya bahasa paradoks, dan juga ironi. Dikatakan bergaya bahasa paradoks, karena mengandung pertentangan yang nyata di dalam proposisi tuturan (kalimat tuturan), yakni Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang kuat-kuatnya, Golkar kalah di Jakarta; disebut bergaya bahasa ironi karena konteks tuturannya adalah tanggapan atas kemenangan pasangan yang didukung PDI Perjuangan di satu pihak, sementara pasangan Golkar kalah telak. Dalam kesantunan berbahasa, prinsip ironi bertujuan merugikan atau menyudutkan orang lain. Di dalam ironi terdapat sopan santun yang tidak tulus sebagai pengganti sikap tidak sopan. Hal ini semakin jelas dari tuturan (154), sebab penutur adalah tokoh Golkar.

Tuturan (155) mengandung gaya bahasa hiperbola, terutama bagian proposisi tuturan Ini bukan sekadar basa-basi … . Gaya bahasa hiperbola mengandung suatu pernyataan yang berlebihan. Tuturan dengan gaya bahasa hiperbola sesuai dengan konteks tersebut mengandung sopan santun karena penutur bertanggung jawab terhadap kebenaran isi tuturannya. Pada tuturan (156) terdapat gaya bahasa metonomia, yaitu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Kata kursi pada tuturan (156) dan sesuai dengan konteks tuturan tersebut merupakan metonomia untuk kedudukan, jabatan, atau kekuasaan.

Penggunaan gaya bahasa di dalam jenis tindak tutur kompetitif dan konfliktif yang mengandung tingkat kesantunan tidak santun dan lebih tidak santun dapat dicermati pada contoh-contoh (157) s.d. (164) berikut.

(157) “KPUD tampaknya menjerat dirinya sendiri dengan lingkaran masalah DPT. Entah ini

disengaja atau tidak, namun kenyataannya demikian.” (Hidayat Nur Wahid). [V/2.8.(c).(B)] Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari DPT yang masih menjadi masalah serius dalam pilkada DKI Jakarta meskipun KPUD akhirnya merevisi DPT. (Jawa Pos, 10 Juli 2012, hlm. 11).

(158) “Kita tidak mau pemilukada ini berjalan dengan cacat.” (Prya Ramadhani, Ketua Tim Sukses Alex-Nono). [III/1.5.(b).(B)]

Konteks: Prya Ramadhani menganggap penetapan DPT oleh KPU masih bermasalah. Tim suksesnya mengancam akan mundur dalam pilkada DKI (Republika, 4 Juni 2012, hlm. 9). (159) “Ini tamparan buat Golkar.” (Yorrys Raweyai, Ketua DPP Partai Golkar) [II/2.46.(c).(B)] Konteks: Yorrys Raweyai mengakui kubu Partai Golkar tak solid mendukung Alex-Nono. (Koran Tempo, 13 Juli 2012, hlm. A3).

(160) “Jangan libatkan kami dalam keputusan karena mencederai demokrasi yang sedang dibangun.” (Fatahillah Ramli, anggota tim sukses Alex-Nono). [II/2.16.(c).(B)]

Konteks: Fatahillah Ramli menolak rapat pleno KPU DKI Jakarta yang memutuskan penghapusan 21.344 dari total 6.983.692 daftar pemilih tetap. (Koran Tempo, 10 Juli 2012, hlm. A4).

(161) “Kasihan warga Jakarta, kasihan gubernur yang akan dipilih, kasihan demokrasi di Indonesia.” (Hidayat Nur Wahid) [III/1.9.(c).(B)]

Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari sikap KPU yang bersikukuh terhadap DPT, meskipun lima pasangan calon lainnya mempersoalkan DPT. Pasangan Fauzi Bowo menandantangani DPT tersebut. (Republika, 5 Juni 2012, hlm. 9).

(162) “Kalau kawasan sekitar sungai tidak dikelola dengan baik, kekumuhan juga akan terus

berkembang. Itu paralel dengan kemiskinan yang juga terus berkembang.” (Hendradji

Soepandji) [III/1.31.(c).(B)]

Konteks: Hendardji Soepandji memaparkan program terkait pembangungan atau normalisasi kawansan di sekitar bantaran sungai (Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9).

(163) “Kalau tidak bersih, lima pasangan calon akan boikot.” (M. Taufik, juru bicara tim

Jokowi-Basuki) [III/1.21.(d).(B)]

Konteks: M.Taufik meminta KPU meyelesaikan masalah DPT. (Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9).

(164) “Ini bukti permasalahan Jakarta yang tidak pernah terselesaikan.” (Hidayat Nur Wahid)

[III/1.22.(d).(B)]

Konteks: Hidayat Nur Wahid mengomentari kondisi kawasan Sungai Ciliwung dan menemukan timbunan sampah. (Republika, 6 Juni 2012, hlm. 9).

Tuturan (157), mengandung majas perbandingan, khususnya personifikasi. Sifat-sifat insani dilekatkan pada barang yang tak bernyawa dan ide abstrak disebut personifikasi. KPUD sebagai lembaga atau institusi dibandingkan sebagai manusia

yang melakukan tindakan menjerat. Keseluruhan proposisi tuturan (157) merupakan gaya bahasa majas pertentangan ironi karena bermaksud mengkritik dan menyindir. Tuturan (158) juga menggunakan gaya bahasa perbandingan personifikasi, tetapi dalam nada tuturan yang tidak santun karena jenis tindak tutur itu adalah kompetitif dengan ilokusi mengkritik. Pemilukada dibandingkan dengan manusia yang berjalan dengan cacat.

Tuturan (159) mengandung gaya bahasa hiperbola. Penutur bermaksud menyindir dengan kasar terkait dengan kekalahan pasangan Golkar dalam pemilukada DKI Jakarta. Dengan tuturan (160), penutur menghaluskan maksud tuturannya dengan pilihan kata mencederai. Bentuk penghalusan demikian disebut gaya bahasa eufemisme. Penutur menghindari pemakaian kata kasar karena secara intrinsik jenis fungsi tuturan itu adalah kompetitif dengan ilokusi melarang. Pada tuturan (161) terdapat gaya bahasa perulangan atau repitisi. Dengan perulangan kata kasihan … , penutur mempertegas maksud sindiran di dalam tuturannya tersebut. Dengan tuturan (162), penutur bermaksud mempertegas isi kritik dengan gaya bahasa hiperbola, yakni kekumuhan juga akan terus berkembang. Tuturan (162) sebenarnya juga mengandung gaya bahasa sinsime yang secara intrinsik mengandung tingkat kesantunan yang tidak santun.

Pada tuturan (163), penutur menggunakan gaya bahasa eufemisme, yakni tidak bersih. Pilihan kata atau frasa tidak bersih mengacu pada pengertian: tidak jujur, tidak cermat, tidak teliti, tidak transparan terkait dengan konteks tuturan, yaitu mengenai masalah DPT. Penggunaan gaya bahasa eufemisme juga terdapat pada

tuturan (164), yakni permasalahan. Dengan gaya bahasa eufemisme, penutur berusaha menggunakan ungkapan kata-kata yang bermakna baik (positif) agar menjamin sopan santun negatif sehingga mitra tutur tidak menjadi malu.

4.2.3.3Pronomina

Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain (Alwi, 2003:249). Pemakaian pronomina dalam berkomunikasi atau bertutur erat hubungannya dengan aspek budaya, terutama mengenai hubungan sosial antarmanusia. Usia, status sosial, dan keakraban menjadi ukuran dalam penggunaan kata pronomina berupa sapaan untuk menghormati orang lain (mitra tutur). Oleh karena itu, dalam konteks tuturan tertentu, ada pronomina yang mengandung nuansa santun, tetapi pada konteks tuturan lain mungkin kurang santun atau lebih tidak santun. Hal ini dapat dicermati pada jenis fungsi tuturan dan ilokusi tuturan tersebut.

Pemakaian pronomina dalam tindak tutur konvivial dan tindak tutur kolaboratif mengandung kesantunan yang santun dan netral, sedangkan dalam tindak tutur kompetitif dan tindak tutur konfliktif mengandung kesantunan yang tidak santun dan lebih tidak santun. Dalam jenis tindak tutur konvivial dan kolaboratif, penggunaan pronomina dapat dicermati pada contoh tuturan (165) s.d. (171) berikut.

(165) “Karena itulah, saya percayakan anak muda (Ahmad Reza Patria) mendampingi saya guna memberikan semangat baru untuk perubahan Jakarta yang lebih baik.” (Hendardji

Soepandji) [III/1.27.(a).(C)]

Konteks: Hendardji Soepandji berdiskusi dengan para mahasiswa di Universitas Al-Ahzar,

dengan tema “Siapa Pemimpin yang Layak bagi Jakarta 1 ke Depan” (Republika, 7 Juni 2012, hlm. 9).

(166) “Saya dulu pernah mendukung beliau saat menjadi korwil Jateng-DIY.” (Agus Purnomo,

Konteks: Agus Purnomo mengomentari kemenangan pasangan Jokowi-Ahok berdasarkan penghitungan cepat. (Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11).

(167) “Ini lho, saya menelepon Pak Faisal Basri, delapan kali. Pak Fauzi juga, tapi gak

nyambung.” (Jokowi) [V/2.53.(b).(C)]

Konteks: Jokowi memberitahukan bahwa ia menjalin hubungan dengan kandidat lain. (Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11).

(168) “Bukan kami punya prasangka. Tapi, kami memantau supaya pelaksanaan pilkada ini terjamin sesuai dengan aturan yang ada dan apa yang telah kita sepakati.” (Megawati

Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP) [V/2.3.(b).(C)]

Konteks: Megawati mengomentari DPT yang masih menjadi masalah serius dan banyak warga yang belum terdata dengan baik. (Jawa Pos, 10 Juli 2012, hlm. 11).

(169) “Saat ini kami masih melakukan evaluasi terhadap rendahnya raihan suara Alex-Nono.”

(Lulung Lunggana, Ketua DPW PPP) [V/2.62.(b).(C)]

Konteks: Lulung Lunggana menjelaskan sikap kubu PPP menanggapi kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. (Jawa Pos, 13 Juli 2012, hlm. 11).

(170) “Mari kita bantu Panwaslu, mari kita bantu PPS untuk mengamankan suara warga, yang juga akan mengamankan kepentingan warga.” (Faisal Basri) [III/2.27.(a).(C)]

Konteks: Faisal Basri mengomentari Pilkada DKI yang segera memasuki masa tenang. (Republika, 9 Juli 2012, hlm. 9).

(171) “Tentu, kita akan dukung pasangan yang paling mirip agenda perjuangannya dengan PKS.” (Triwisaksana, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS Jakarta) [III/3.12.(b).(C)]

Konteks: Triwisaksana memberi keterangan perihal kunjungan Jokowi ke markas DPP PKS. (Republika, 6 Agustus 2012, hlm.3).

Penggunaan pronomina saya mengacu pada si penutur sendiri. Pada tuturan (165) s.d. (167), pronomina jelas merujuk pada diri penutur sehingga penutur bertanggung jawab atas kebenaran isi tuturannya tersebut. Hal ini dipertegas oleh jenis tindak tutur dari tuturan-tuturan tersebut yakni tindak tutur kolaboratif dengan ilokusi representatif, yaitu tindakan mempersilahkan (165), tindakan menginformasikan (166), dan tindakan menginformasikan (167).

Pada tuturan (168) dan (169) digunakan pronomina kami. Penutur bermaksud bahwa tuturannya itu merepresentasi semua pihak yang mendukungnya. Karena jenis tindak tuturnya adalah kolaboratif, kedua tuturan itu dengan pronomina kami dipersepsi mengandung tingkat kesantunan yang netral. Jadi, tidak ada potensi

mitra tutur kehilangan muka karena tuturan itu, demikian pun penutur sekadar bertanggung jawab sesuai dengan isi tuturannya tersebut.

Pada tuturan (170) dan (171), terdapat pronomina kita. Pronomina kita mengacu kepada pronomina pertama jamak, yang berbicara bersama orang lain, termasuk yang diajak bicara. Dengan menggunakan pronomina kita, sesuai dengan konteks tuturannya, penutur jelas menghargai mitra tutur, bahkan menanggap mitra tutur sebagai yang sederajat. Hal ini cukup jelas bila ditinjau dari jenis tindak tutur dan fungsi tuturan, yakni tuturan (170) adalah tindak tutur konvivial dengan ilokusi ekspresif mengajak yang berfungsi menyenangkan secara sosial, dan tuturan (171) adalah tindak tutur kolaboratif dengan ilokusi representatif menginformasikan yang berfungsi bekerja sama secara sosial.