• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAPAT PEREMPUAN DESA BUGEL TENTANG KONFLIK PEREBUTAN LAHAN PASIR KULON PROGO

PROFIL DESA BUGEL

PENDAPAT PEREMPUAN DESA BUGEL TENTANG KONFLIK PEREBUTAN LAHAN PASIR KULON PROGO

Bab ini berisi tentang pendapat perempuan pesisir Desa Bugel terhadap masalah yang mereka hadapi yakni konflik perebutan lahan pasir Kulon Progo antara JMI (PT. Indomines Australia, Kesultanan Jogjakarta, Paku Alaman), pemerintah, dan masyarakat pesisir serta pendapat mereka terhadap perlawanan yang mereka lakukan, baik perlawanan fisik maupun perlawanan non fisik.

Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Konflik Perebutan Lahan Bagi perempuan Desa Bugel konflik yang berlangsung antara masyarakat pesisir, Paku Alaman Ground, Sultan Ground, dan korporasi tidak hanya konflik perebutan lahan. Namun konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Menurut cerita perempuan Desa Bugel TSB, 41 tahun

Isu penambangan sudah ada sejak lama. Beberapa tahun lalu ada beberapa pihak yang masuk ke beberapa desa pesisir. Mereka meminta izin kepada sesepuh-sesepuh desa untuk meneliti kandungan-kandungan yang terdapat dalam lahan pasir. Kami tidak mengetahui hal tersebut, kami hanya melihat mereka sedang mengebor lahan pasir. Kami tidak tahu siapa mereka dan untuk apa itu dilakukan. Usut punya usut ketika isu pertambangan santer di masyarakat, kami tahu bahwa itu semua adalah untuk kepentingan penambangan. Tahun 2008 puncak-puncaknya tekanan yang diberikan kepada kami. JMI terus memaksa kami untuk menyetujui penambangan. Mereka mengklaim bahwa lahan pertanian kami milik PAG dan SG. Padahal kami jelas-jelas mempunyai bukti bahwa pada masa Sultan Hamengku Buwono IX lahan tersebut telah diberikan kepada kami dan dalam isi surat tersebut disebutkan bahwa lahan pesisir Kulon Progo hanya diperuntukan untuk kegiatan pertanian, tidak boleh diperuntukan untuk penambangan ataupun aktivitas-aktivitas yang dapat mengubah fungsi lahan. Kami benar-benar tidak menyangka bahwa Sultan Hamengku Buwono X menarik kembali surat tersebut, apa yang telah diberikan kepada rakyat. Mereka sudah dibutakan dengan kekuasaan dan uang. Raja justru berpihak kepada kepentingan asing. Kami seolah-seolah penghambat proyek pembangunan yang harus disingkirkan. Tidak hanya itu, sekarang Sultan sedang gencar membangun hotel-hotel diikuti aksi penggusuran di atas lahan masyarakat. Selain itu juga sudah dicanangkan pembangunan bandara untuk mendukung beroperasinya penambangan. Dimana hati nurani mereka semua?

Selain itu, Konflik di Kulon Progo juga merubah tatanan sosial masyarakat. Masyarakat jadi terkotak-kotak ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok masyarakat pro pertambangan, kelompok masyarakat kontra pertambangan, dan kelompok masyarakat netral. Kelompok masyarakat netral tidak berpihak ke kelompok mana pun, masyarakat pesisir menyebutnya “mereka pihak yang mengambil posisi aman, mereka hanya memikirkan kepentingan

mereka sendiri, mereka tidak ikut melawan, namun sebenarnya posisi mereka diuntungkan dengan adanya perlawanan masyarakat pesisir,”. Setidaknya terdapat tiga penyebab terbentuknya kelompok pro dan netral terhadap pertambangan.

Pertama, kelompok masyarakat pro pertambangan dan kelompok masyarakat netral pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang tidak bermata pencaharian sebagai petani. Pada umumnya mereka bekerja di setor pemerintahan, sebagai pegawai negeri sipil dan lain sebagainya. Mereka tidak menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Kedua, mereka adalah penduduk pendatang di pesisir Kulon Progo sehingga mereka tidak memiliki keterikatan sejarah dengan lahan pasir. Mereka tidak menjadi bagian dalam sejarah masyarakat pesisir Kulon Progo yang telah berhasil mengubah lahan tandus menjadi lahan subur untuk pertanian. Ketiga, mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai adat Kesultanan Jogjakarta. Kelompok ini menganggap bahwa seluruh tanah yang mereka miliki adalah milik raja. Raja berhak menentukan untuk apa diperuntukan lahan yang dimiliki rakyat. Segala sesuatu yang datang dari raja akan membawa berkah. Masyarakat harus “manut” dan menghormati perintah raja. Membangkang terhadap keputusan raja maka akan membawa petaka. Oleh karena itu ketika isu pertambangan pasir besi berhembus, masyarakat kelompok ini mempercayai bahwa pertambangan akan membawa pada kemakmuran dan kemajuan masyakat pesisir Kulon Progo.

Sejak adanya rencana pertambangan pasir besi, timbul kesenjangan di antara masyarakat pro dan kontra pertambangan. Perempuan pesisir Desa Bugel ELS, 29 tahun dan WWI, 44 tahun menuturkan bahwa

Kesenjangan tersebut sangat nyata terlihat di masyakarat. Kami sangat ketat menerapkan sanksi sosial kepada masyarakat yang pro pertambangan. Itu telah menjadi kesepakatan di seluruh desa pesisir Kulon Progo. Bentuk sanksi sosial tersebut adalah terputusnya hubungan dengan kelompok masyarakat pro pertambangan. Jika mereka adalah ibu dan anak, maka terputuslah hubungan antara ibu dan anak kandungnya, jika mereka adalah tetangga maka terputus lah hubungan tetangga diantara mereka. Antara kelompok masyarakat pro dan kontra pertambangan tidak boleh saling berkomunikasi, tidak boleh melayat masyarakat pro yang meninggal dunia, tidak boleh menghadiri hajatan yang diadakan oleh masyarakat pro, dan tidak boleh menjenguk masyarakat pro yang sedang sakit. Di Desa Karang Huni, bahkan mayat masyarakat pro tidak boleh dikebumikan di tanah pesisir Kulon Progo. Di Desa Bugel sendiri, tempat ibadah masyarakat pro dan kontra pertambangan terpisah. Pernah terjadi insiden bentrok antara masyarakat pro dan kontra pertambangan karena tiba-tiba masyarakat pro pertambangan melarang kami melintas jalan di depan masjid orang-orang pro. Kami ya tidak bisa menerima diperlakukan seperti itu. Itu kan jalan umum, mereka tidak berhak bertindak seperti itu. Kesenjangan tersebut tidak saja terjadi di antara kami orang dewasa, bahkan anak-anak secara otomatis di dalam alam bawah sadar mereka tertanam rasa untuk melawan dan menolak orang-orang yang pro pertambangan. Di sekolah, anak-anak kontra pertambangan tidak mau berteman dengan anak-anak pro pertambangan, bahkan mereka menolak sekelas dengan anak-anak pro. Kami para orang tua padahal tidak pernah mengajarkan seperti itu,

karena mereka masih anak-anak. Di sekolah, anak-anak kami tidak menggambar pemandangan seperti pada anak umumnya seumuran mereka, yang mereka gambar adalah truk-truk pihak penambangan yang datang ke desa kami, mereka juga menggambarkan mobil-mobil yang digunakan orang tuanya untuk melakukan aksi demonstrasi.

Namun menurut salah satu anggota PPLP, jumlah masyarakat yang pro pertambangan sekitar 10% dari total keseluruhan masyakat pesisir Kulon Progo. Pada umumnya mereka bertempat tinggal di bagian utara Kulon Progo. Di sisi lain, konflik tersebut juga menyatukan antara masyarakat desa pesisir satu dengan desa pesisir lainnya di sepanjang pantai selatan Kulon Progo. Sebelumnya perempuan pesisir tidak mengenal perempuan pesisir di desa lain karena kegiatan perkumpulan kelompok tani dihadiri oleh laki-laki. Sehingga mobilitas mereka terbatas di dalam desa tempat mereka tinggal. Rencana pertambangan membuat masyarakat pesisir memutuskan untuk menyatukan kekuatan melawan pertambangan. Seiring perlawanan dan pergerakan yang berlangsung intensitas interaksi antara masyarakat pesisir meningkat. Hal ini meningkatkan rasa memiliki dan rasa senasib sepenanggungan diantara masyarakat pesisir. Salah satu prakarsa yang dilakukan oleh perempuan pesisir adalah dilaksanakannya

“mujadahan”. Mujadahan merupakan bentuk perlawanan dari sisi agamawi

melalui doa-doa yang dipanjatkan setiap malam untuk menolak rencana pertambangan pasir besi.

Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo

Perempuan Desa Bugel berpendapat bahwa terdapat perbedaan perlawanan yang dilakukan oleh petani pada masa awal pergerakan petani dan pergerakan petani saat ini. Berbagai dinamika perlawanan mewarnai gerakan petani lahan pasir Kulon Progo baik dalam internal maupun eksternal masyarakat pesisir. Pada masa awal pergerakan, petani banyak melakukan perlawanan secara fisik. Di awal pergerakan, masyarakat pesisir berada pada tahap mempelajari strategi perlawanan yang tepat untuk diterapkan. Untuk itu, masyarakat pesisir melalui wadah PPLP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), aktivis, salah seorang kesultanan Jogjakarta, dan lain-lainnya. PPLP banyak menjalin solidaritas dengan kelompok-kelompok dan pihak-pihak yang berpihak kepada nasib petani. Seperti kebanyakan pergerakan petani di daerah maupun belahan dunia lain, PPLP juga menempuh berbagai jalur birokrasi untuk menyuarakan konflik perebutan lahan yang mereka hadapi.

Langkah yang telah ditempuh petani pesisir diantaranya adalah berdemonstrasi di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi; berdemonstrasi di Universitas Gadjah Mada menuntut penghentian kerjasama reklamasi lahan pascapenambangan oleh Fakultas Kehutanan dengan PT. JMI, dimana dalam aksi ini melibatkan sebanyak 3000 massa; menduduki kantor DPRD Kulon Progo menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi karena berpotensi pada

pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia); melakukan audiensi dengan komisi VII DPR RI dan Kedutaan Besar Australia untuk meminta kejelasan identitas Indo Mines Ltd, pihak Kedutaan Besar Australia menyatakan ketidaktahuannya atas keterlibatan Indo Mines Ltd dan memberikan keterangan bahwa alamat perusahaan Indo Mines Ltd tidak sesuai dengan yang diinformasikan kepada publik; melakukan dialog dengan Komnas HAM terkait proyek penambangan pasir besi yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM; mengadakan pertemuan dengan LBH; mengirimkan surat kepada DPRD untuk mengajukan pembatalan PERDA No.2 Tahun 2010; dan mengirimkan surat pernyataan sikap penolakan rencana pertambangan pasir besi kepada presiden RI.

Selain itu masyarakat juga banyak melakukan perlawanan-perlawanan fisik, seperti melakukan aksi-aksi demonstrasi, baik di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Kulon Progo, Universitas Gadjah Mada maupun di Kantor DPR RI; aksi memblokir jalan menuju kawasan pesisir untuk kepentingan pengagkutan material bahan Pilot Project PT. JMI; aksi langsung menghentindakan tindakan yang meresahkan masyarakat yakni datangnya enam mobil tanpa seizin warga yang dilakukan oleh oknum Pakualaman di Bugel; dan aksi melakukan penutupan Pilot Project di Gupit setelah tiga tahun beroperasi tanpa mengindahkan kepentingan lingkungan. Gerapan petani tersebut ada yang direncanakan dan ada pula yang dilakukan secara spontan. Aksi spontan tersebut banyak dilakukan oleh perempuan. Menurut pengakuan salah satu laki-laki pesisir PJO, 50 tahun menyatakan bahwa,

Perempuan-perempuan disini sangar mbak, pemberani-pemberani. Kalau ada orang asing yang masuk kesini, perempuan-perempuan disini langsung keluar bawa parang ngehadang, pernah kaca mobil dihancurin. Saya aja gak berani mbak. Istri saya sama anak perempuan saya itu gak takut sama sekali. Kalau ada aksi-aksi istri saya paling depan meneriakan

“bertani atau mati, tolak tambang besi!”. Kami para laki-laki pesisir, khususnya saya sendiri tidak pernah memaksa istri ataupun anak saya untuk ikut dalam aksi-aksi perlawanan fisik tersebut, tetapi itu kemauan mereka sendiri.

Namun masyarakat pesisir mengakui bahwa segala bentuk perlawanan fisik melalui jalur birokrasi dan aksi-aksi demontrasi ke kantor pemerintah tersebut tidak menghasilkan perubahan apa-apa, dalam artian rencana proyek pertambangan pasir besi belum dibatalkan. Berbagai bentuk aksi demonstrasi tersebut tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Proses perlawanan panjang tersebut membuat masyarakat menyadari bahwa penguasa (pemerintah, Kesultanan Jogjakarta, dan Paku Alaman) tidak pernah berpihak kepada nasib masyarakat pesisir Kulon Progo. Pihak penguasa justru berpihak kepada kepentingan pemodal dan memaksa masyarakat pesisir menerima logika-logika ekonomi pembangunan.

Bahkan salah satu desa pesisir, yakni Desa Karang Huni, sebagian besar warganya telah menjual lahan pertanian mereka kepada PT. JMI. Hal ini terjadi, salah satunya karena masyarakat Desa Karang Huni menokohkan salah satu warga sebagai pemimpin mereka. Hal ini berdampak ketika pemimpin tersebut memutuskan untuk menjual lahannya maka masyarakat lain juga ikut menjual

lahan mereka. Lahan Desa Karanghuni kini telah dibangun pabrik. Menurut masyarakat pesisir Desa Bugel WST, 29 tahun

Masyarakat pesisir Desa Karang Huni kini menyesal telah menjual lahannya. Mereka tidak dapat menanam lagi. Mereka kehilangan mata pencaharian yang selama ini menghidupi mereka. Mereka menjual lahannya dengan harga Rp. 75.000/m2. Harga yang sangat murah dan tidak sebanding dengan manfaat yang kami dapatkan jika ditanami cabai keriting, semangka, dan melon. Warga Karang Huni telah termakan janji- janji manis PT. JMI. PT. JMI membuat kesepakatan dengan warga Desa Karang Huni yang menjual lahannya dalam sebuah perjanjian. Perjanjian yang sifatnya rahasia. Kami mengetahui perjanjian tersebut dari warga Desa Karang Huni yang masih mempertahankan lahan pertaniannya. Hanya tiga warga Desa Karang Huni yang masih bertahan. Setelah kami pelajari, perjanjian tersebut sangat merugikan warga Desa Karang Huni sebagai penjual. Dalam satu pasal disebutkan bahwa jika ada pihak ketiga yang mengklaim lahan milik penjual, maka penjual wajib mengembalikan uang yang telah diterima dari pihak pembeli. Pihak ketiga tersebut bisa saja orang-orang PT. JMI dengan mengatasnamakan pihak lain. Yaa, orang-orang bayaran PT. JMI lah mbak. Namun, warga Desa Karang Huni tidak mempelajari bahkan tidak membaca isi perjanjian tersebut. PT. JMI sangat licik menggelabui masyarakat. Mereka menyodorkan isi perjanjian tersebut yang harus ditandatangi masyarakat beserta uang senilai Rp. 10.000.000,- sebagai uang muka. Hebatnya lagi mereka tidak berhubungan langsung dengan masyarakat Desa Karang Huni. JMI memanfaatkan kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memuluskan proses penjualan lahan tersebut.

Menyadari hal tersebut, masyarakat pesisir melalui wadah PPLP menyusun strategi perlawanan baru. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan secara mandiri, tidak bekerjasama dengan lembaga atau partai politik manapun. Masyarakat pesisir menunjukan bahwa perlawanan mereka tidak mewakili kepentingan pihak manapun, murni memperjuangkan ribuan ruang hidup masyarakat pesisir. Perlawanan panjang yang telah dilakukan membuat masyarakat pesisir selektif terhadap pihak-pihak yang berusaha masuk ke dalam kawasan pesisir Kulon Progo, dalam bentuk apapun baik sebagai peneliti, akademisi, aktivis, kaum intelektual, maupun calon-calon legislatif dari salah satu partai politik. Masyarakat mengakui tidak semua pihak dapat dipercaya dan loyal kepada masyarakat pesisir. Oleh karena itu, masyarakat pesisir memutuskan hanya ada satu pintu masuk bagi pihak yang ingin berinteraksi dan bersolidaritas dengan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir memiliki kesepakatan untuk menolak semua pihak yang masuk ke desa tanpa izin terlebih dahulu. Reaksi penolakan tersebut dapat berupa menutup mulut, mengintrogasi, mengusir, hingga aksi kekerasan. Menurut salah satu informan WDD, 34 tahun menyatakan bahwa

Kami harus tetap waspada kepada semua pihak yang datang kepada kami. Banyak pengkhianat berkeliaran di sekitar kami. Contohnya banyak orang yang mengaku mahasiswa untuk melakukan penelitian disini, padahal sebenarnya intel. Banyak lembaga yang mengaku ingin membantu kami, padahal ingin mempengaruhi kami untuk menerima

pertambangan. Kami pernah ditawarkan untuk melakukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Mereka mengatakan bahwa jika proyek pertambangan pasir besi tidak lolos AMDAL maka kami punya bukti untuk menolak pertambangan. Tapi kami tidak bodoh, kami tahu AMDAL dilakukan untuk kepentingan siapa. Semua itu hanya akal-akalan pemodal dan peguasa saja. Dengan kami menyetujui dilakukannya AMDAL sama saja dengan kami menyutujui dilaksanakannya proyek pertambangan. Oleh karena itu, kami harus sangat hati-hati memutuskan dengan siapa kami bersolidaritas. Kami tidak ingin dibuat bergantung dengan pihak mana pun.

Berikut adalah kronologi gerakan petani lahan pasir Kulon Progo

Tabel 2 Kronologi Perjuangan Petani Lahan Pasir Kulon Progo

No Tanggal Kegiatan Penolakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo 1 1 April 2006 Masyarakat pesisir dari 4 kecamatan dan 10 desa yang berkepentingan mempertahankan fungsi ekosistem dan matapencaharian sebagai petani lahan pantai membentuk organisasi perjuangan yang bersifat independen, yaitu Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP), dengan agenda utama penolakan rencana pertambangan pasir besi. 2 27 Agustus 2007 PPLP KP berdemonstrasi di Kantor Pemerintahan

Daerah Kabupaten Kulon Progo dengan tuntutan pembatalan proyek pertambangan pasir besi. Bupati (Toyo S, Dipo) dan Ketua DPRD Kulon Progo (Kasdiyono) menyetujui tuntutan masyarakat secara tertulis, dengan konsekuensi pengunduran diri. 3 1 Maret 2008 Warga Bugel melakukan aksi memblokir jalan

menuju kawasan pesisir untuk kepentingan pengangkutan material bahan Pilot Project PT JMI. Aksi ini terjadi karena Bupati dan Ketua DPRD Kulon Progo mengingkari kesepakatan dengan masyarakat yang ditandatangani di depan ribuan warga Kulon Progo pada 27 Agustus 2007.

4 4 Februari 2008 Sejumlah perwakilan masyarakat pesisir melakukan audiensi dengan Komisi VII DPR RI dan Kedutaan Australia untuk meminta kejelasan identitas Indo Mines Ltd, pihak Kedutaan Besar Australia menyatakan ketidaktahuannya atas keterlibatan Indo Mines Ltd dan memberikan keterangan bahwa alamat perusahaan Indo Mines Ltd tidak sesuai dengan yang diinformasikan kepada publik.

5 21 Juni 2008 Sebanyak 3000 massa PPLP KP berdemonstrasi di Universitas Gadjah Mada menuntut penghentian kerjasama reklamasi lahan pascapenambangan oleh Fakultas Kehutanan UGM dengan PT.JMI. Tuntutan

ini disetujui oleh Rektor UGM Prof. Soedjarwadi dan Dekan Fakultas Kehutanan UGM Prof. M. Na’iem dengan penandatangan surat pernyataan. Aksi ini terjadi karena UGM tidak memberi sikap secara resmi setelah PPLP KP mengirim surat permintaan klarifikasi sebanyak 3 kali.

6 23-25 Oktober 2008

Masyarakat pesisir menduduki kantor DPRD Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek penambangan pasir besi karena berpotensi pada pelanggaran Hak Azasi Manusia. Dalam aksi ini, legislatif tidak bersedia menemui masyarakat. Selanjutnya, PPLP KP meminta bantuan LBH DIY untuk mengirimkan surat pengaduan ke KOMNAS HAM agar KOMNAS HAM meminta kejelasan sikap Gubernur DIY dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo tentang aspek HAM dalam proyek tersebut.

7 3-6 Juni 2008 KOMNAS HAM telah melakukan penyilidikan dan pemeriksaan terhadap rencana proyek penambangan pasir besi di Kulon Progo Yogyakarta. Pemantauan tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang menjelaskan bahwa berdasarkan data, informasi, dan fakta proyek penambagan pasir besi di Kulon Progo sangat berpotensi memicu terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak atas tanah, hak atas pekerjaan, hak atas aman, hak atas informasi, dan hak petani.

8 27 Oktober 2008 Sekumpulan massa (sekitar 300 orang) dari luar kawasan konflik melakukan perusakan dan pembakaran 7 posko penolakan proyek dan 1 rumah milik warga pesisir yang menolak pertambangan. Peristiwa ini terdomentasikan melalui media televisi swasta, menurut kesaksian dan dokumentasi lapangan, satuan kepolisian yang siap di tempat kejadian melakukan pembiaran dan pengarahan tindakan kekerassan massa tidak bertanggungjawab tersebut.

9 19 Juli 2009 PPLP KP mengadakan pertemuan di LBH membahas kasus kriminalisasi terhadap Tukijo atas tuduhan pencemaran nama baik Kepala Dusun Bedoyo, Isdiyanto, karena Tukijo menyakan tujuan pendataan tanah warga.

10 20 Oktober 2009 Konsultasi publik terkait KA AMDAL oleh pemrakarsa yang tidak melibatkan masyarakat terundang dan tidak menampung aspirasi masyarakat terdampak. Konsultasi publik ini diwarnai aksi pemukulan dan penembakan gas air mata, jumlah terbesar korban kekerasan aparat negara adalah kaum

perempuan.

11 April 2010 Warga mengirimkan surat pernyataan sikap penolakan rencana pertambangan pasir besi kepada Presiden RI.

12 Mei 2010 Kunjungan ESDM di Bugel untuk investigasi permasalahan sosial di tingkat masyarakat terkait penolakan rencana pertambangan pasir besi. Warga mengirim surat kepada DPRD DIY yang isinya menuntut DPRD DIY mengusut dugaan skandal perundang-undangan dalam proses penyusunan Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY 2009- 2029 oleh Pemerintah DIY (Gubernur).

13 Juni 2010 Warga mengirimkan surat kepada DPRD untuk mengajukan pembatalan Perda No 2 Tahun 2010 karena secara hukum melanggar UU No 10 Tahun 2004 dan Permendagri No 28 Tahun 2008.

14 15 Desember 2010 Aksi rapat akbar menolak rencana pertambangan pasir besi bertepatan dengan penilain dokumen KA AMDAL di Bugel.

15 16 Desember 2010 Aksi langsung warga menghentikan tindakan yang meresahkan masyarakat yang dilakukan oleh oknum Pakualaman di Bugel, dimana datang enam mobil tanpa seizin warga.

16 9 Februari 2011 Mediasi oleh KOMNAS HAM di Bugel, menghasilkan rekomendasi deadlock untuk konteks mediasi (mempertemukan kepentingan para pihak).

Sumber: Dokumen PPLP-KP “Bertani atau Mati”

Periode berikutnya masyarakat pesisir banyak melakukan aksi-aksi untuk

menunjukan perlawanan mereka melalui sebuah buku yang berjudul “menanam adalah melawan”, melalui hasil karya petani pesisir Kulon Progo tersebut,

masyarakat pesisir Kulon Progo banyak diundang ke kampus-kampus dalam kegiatan bedah buku dan diskusi terkait konflik agraria. Selain itu, masyarakat pesisir memiliki dua website PPLP dan satu website solidaritas Australia, proses pembuatan website ini melibatkan aktivis yang bersolidaritas dengan PPLP. Beberapa masyarakat pesisir juga aktif menyuarakan issu-issu konflik agraria melalui media sosial seperti facebook. PPLP juga membentuk kesenian teater

yang diberi nama “unduk gurun”. Kesenian teater ini menceritakan tentang

konflik yang terjadi di Kulon Progo dan langsung diperankan oleh masyarakat pesisir Kulon Progo. Teater ini telah tampil di beberapa universitas, diantaranya yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Kampus Atma Jaya, dan di berbagai aksi solidaritas dan diskusi yang dilakukan di beberapa kota seperti Jakarta, Jogjakarta, dan Bogor.

Selain itu, masyarakat pesisir juga melakukan solidaritas dengan seniman Yogyakarta. Salah satu bentuk aksi solidaritas tersebut adalah kegiatan bedah buku, diskusi, dan kegiatan penggalangan dana. Kegiatan penggalangan dana

tersebut berupa penjualan buku “menanam adalah melawan”, penjualan kaos yang

bertemakan perlawanan, penjualan hasil lukisan yang mengangkat tema konflik pertambangan, penjualan kalender yang mengusung tema perlawanan dan

pergolakan konflik di pesisir Kulon Progo dan didesain langsung oleh seniman,