PROFIL DESA BUGEL
I. Sebelum Pengolahan Lahan Pasir
Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Orang-orang yang dulu ingin memanfaatkan lahan pasir tersebut hanya bisa dilakukan di musim kemarau
3Lebih jauh lihat, makalah Pak karman tentang “Penaganan Hama Uret di Cabe Keriting” makalah sipresentasikan di UGM pada tahun 2007 (tidak diterbitkan), kemudian atas seizin beliau, temuanitu dikembangkan salah seorang calon doktor pertanian di UGM dan menjadikan temuannya itu sebagai bahan desertasinya, dan menjadikannya seorang Doktor pertanian. Pada bulan agustus 2009 lalu, pak Karman berkat jasa dan temuannya dalam dunia pertanian lahan pasir dan telah membantu dunia akademik dengan membimbing dan membantu puluhan mahasiswa S1, S2 dan S3 dalam kajian di pertanianlahan pasir, dianugerahi penghargaan sebagai petani pelopor petanian lahan pasir oleh fakultas Pertanian UGM. Lihat, Kompas, 29 September 2009.
4
Sejarah kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir ini berdasarkan hasil riset yang dilaksanakan atas kerjasama STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Negara) dan SAINS (Sajogyo Institute) yang berjudul Laporan Kabupeten Kulon Progo. Laporan ini menganalisis dinamika penguasaan agraria dan sistem produksi di wilayah pesisir yang berhimpitan dengan benturan klaim penguasaan dan kepentingan peruntukan uang.
dengan beberapa tanaman saja yaitu tanaman ketela dan kentang kleci (kecil). Sulit diharapkan gurun pasir tersebut memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Ketika musim kemarau datang angin laut yang keras yang mengarah ke desa selalu membawa penyakit debu dan pasir yang menyebabkan sakit mata massal (belek’an) di hampir seluruh desa di pesisir. Banyak warga yang keluar dan bekerja di luar desa karena tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Sebagian kecil menjadi TKI ke Malaysia, Hongkong, dan Timur Tengah.
Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan penggembala kambing. Menurut Pak Diro seorang pelopor dan ketua kelompok tani di Garongan, banyak warga Garongan dulu yang bekerja sebagai Rembang tebu (pemanen tebu), pembuat sungai, atau pencari batu apung di pantai, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Banyak diceritakan warga Garongan dan Bugel, bahwa dalam kehidupan sehari-hari untuk makan nasi saja hanya bisa sekali, selebihnya adalah ketela (ubi jalar atau ubi kayu) yang rebus atau digoreng. Rata-rata warga tidak mengecap pendidikan, jikapun ada hanya sampai Sekolah Dasar saja, dan sebagian besar tidak lulus. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, kondisi lingkungan masyarakat desa Garongan dan Bugel tergolong sangat tertinggal dan miskin secara sosial dan ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan Panjatan.
Secara fisik tempat tinggal mereka masih berupa gedek anyaman (bambu) dan beratap blarak (anyaman daun kelapa). Mayoritas basis subsitensi warga adalah buruh tani dan landless hanya bergantung pada petani kaya di sebelah desa (non-pasir). Meskipun mereka ada yang menanam tanaman di lahan pasir, di musim kemarau seperti: kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang
kleci. Namun tak cukup untuk kebutuhan minimum keseharian, maka apapun kerja buruh yang bisa menghasilkan akan dilakukan.
Kondisi kemiskinan dan ketertinggalan inilah yang kemudian membuat orang luar (non-pasir) yang lebih sejahtera sering menyebut mereka sebagai
“Wong Cubung”. Jika ditelusuri lebih jauh setidaknya ada empat hal yang menjadikan kemiskinan warga desa pesisir atau wong cubung ini bertahan terus menerus, yaitu; pertama: Persepsi terhadap lahan pasir dan gurun atau bentuk hubungan dengan alam (gurun pasir). Bagi masyarakat pesisir waktu itu gurun pasir hanyalah lahan kering yang sudah tak bisa diolah lagi ibarat tanah mati. Kalaupun mereka coba-coba untuk mengolahnya adalah sekedar saja, dan itupun bergantung pada air hujan atau ladang tadah hujan, dan sifatnya berpindah- pindah sesuai dengan kondisi lahan yang hendak ditanamai. Karena itu mayoiritas
‘wong cubung’ tidak berharap banyak dari lahan pertanian pasir mereka, tetapi lebih banyak kerja di luar pertanian, sebgaimana dijelaskan di muka.
Kedua, keterbatasan kemampuan untuk pemanfaatan lahan pasir. Ketidaktahuan, ketiadaan pengetahuan dan teknologi pertanian pengolahan lahan pasir menjadikan masyarakat pesisir atau wong cubung berasumsi bahwa sampai kapanpun tanaman yang cocok bagi lahan pasir kering mereka adalah tanaman tahan kering seperti kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang kleci. Meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa tanaman tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan subsistensi mereka sehari-hari. Namun, hanya itulah yang mereka mampu saat itu. Sementara untuk keluar dari dunia pertanian, tingkat keterampilan dan pendidikan mereka tak memungkinkan untuk berkompetisi.
Maka, sebagian anak muda mengadu nasib menjadi buruh kasar di kota terdekat atau merantau ke kota besar, sebagian kecil keluar negeri menjadi TKI, khususnya ke Singapura, Hongkong dan Timur Tengah.
Ketiga, Ketidakpastian ‘Identitas ‘ Lahan Pasir. Sebab pertama dan kedua
tak bisa dilepaskan dari faktor ketiga ini. Sebagian nenek-moyang pertama yang mendiami gurun pasir ini mengerti bahwa mereka hanyalah nunut (numpang) di lahan milik Paku Alaman Grond. Meskipun dapat dipastikan mereka tak tahu persis bagaimana bentuk legalitas identitas lahan Pakualaman Grond itu termasuk batas wilayahnya. Yang mereka tahu waktu itu adalah seluruh pesisir Kulon Progo adalah milik keraton Paku Alaman. Ketidaktahuan pengetahuan hukum formal
pertanahan di lahanpasir ini mengakibatkan para ‘wong cubung’ tak punya
kemampuan dan imajinasi lebih untuk mengolah lahan pasir yang mereka diami selama ini. Yang penting masih bisa hidup, tinggal dan menetap diatas lahan pasir tersebut sudah untung. Meskipun demikian seiring terbukanya informasi, mendorong sebagian kecil dari warga memahami status lahan yang disebut terlantar atau tanah merah dan boleh untuk diolah oleh warga yang mendiaminya selama tidak mengubah bentuk aslinya. Sebagian lain kemudian jug amengetahui status tanah absente, tanah swapraja dan UU Pokok Agraria 1960 yang mendorong dan menjamin mereka untuk mengelola lahan pasir tersebut sebgai lahan pertanian mereka.
Keempat, Relasi kuasa Timpang Pembangunan: Pusat-Pinggiran. Ketika sebagian warga pesisir sudah mulai menetap dan mengembangkan lahan pasir mereka menjadi pertanian meskipun belum seperti sekarang ini, mereka
dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah pesisir belum dipandang ‘potensial’
secara ekonomi-politik bagi pemerintah daerah dan provinsi. Sehingga pembangunan di sekitar pesisir tidak sekuat dan sepesat di daerah kabupaten lain, seperti Bantul dan Sleman. Disain pembangunan yang timpang ini bukan saja karena daya potensi pesisir Kulon Progo yang secara ekonomi politik tidak sekuat kabupaten lain, namun secara sosial daerah Garongan khususnya, dianggap tempat kriminalitas (para Garong) tinggal dan bersembunyi. Sehingga memakai istilah Chambers (1983), pembangunan pedesaan hanya berorientasi menurut kacamata
kalangan ‘elit’ dan ‘orang luar’ dan menutup potret ‘kemiskinan’ yang sebenarnya
berdiam kuat di dalam pinggir-pinggir pedesaan yang hampir ‘tak terdengar’ karena terlapisi oleh kebijakan pembangunanisasi yang melulu pada orientasi ke pusat dan meminggirkan yang pinggiran.
Keempat faktor yang saling terhubung dan membangun relasi secara dinamis inilah yang ikut mendorong proses kemiskinan di masyarakat pesisir atau wong cubung sebelum ditemukannya teknologi dan pengetahuan pengolahan lahan pasir.