• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL DESA BUGEL

II. Sesudah Pengolahan Lahan Pasir

Pada tahun 19855 setelah berulangkali berusaha untuk merubah lahan pasir sebagai lahan pertanian yang tidak berhasil, salah seorang dari (penduduk) yang

2 Dalam sebuah presentasi di UGM seorang petani Kulo Progo bernama Karman menjelaskan secara kronologis bagaimana mula rencana penambangan Pasir Besi di Kulon Progo. Disampaikan dalam acara Kuliah Umum Mahasiswa Baru Fakultas Pertanian UGM, 23 Agustus 2008, Gedung Auditorium Harjono Danusastro, Bulaksumur. Sukarman adalah Pengurus Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Pesisir Kulon Progo D.I. Yogyakarta, penangkar benih cabe, pengiat lembaga

sedang berjalan-jalan di bibir pantai tanpa sengaja melihat sebatang tanaman cabe liar yang tumbuh dan berbuah di tengah gumuk pasir yang menggurun. Muncullah

gagasan, “mengapa cabe ini bisa tumbuh di pasir ini, kenapa tak dicoba menanam cabe?”. Maka, dimulailah sejarah pertama penanaman cabe di lahan pasir yang

tandus dan kerontang itu.

Persolan awal yang muncul adalah air tawar. Lalu warga pesisir mulai menggali pasir yang terus-menerus longsor untuk menemukan air. Dari usaha keras tersebut warga menemukan bahwa 3 meter di bawah hamparan gumuk pasir pantai ini ternyata tersimpan air tawar, benar-benar tawar, sehingga ikan sungai pun mampu hidup. Penemuan ini oleh petani pesisir dianggap sebagai berkah yang luar biasa.

Namun kondisi pasir yang mudah longsor membuat warga kesulitan mengambil air setiap saat. Maka, berbagai macam eksperimentasi untuk mengatasi longsoran pasir tersebut di coba. Awalnya warga mencoba membuat dinding sumur dari anyaman kelapa berkerangka bambu (gronjong) bahkan dengan kain sarung. Cara ini pada mulanya cukup membantu. Akan tetapi timbul masalah baru, angin pantai yang membawa serta garam ternyata dapat mengeringkan tanaman warga. Maka, mulailah para petani pesisir memagari hamparan ladangnya dengan anyaman daun kelapa. Dengan pupuk, teknologi dan teknik pengolahan pertanian yang sederhana sudah cukup membawa dan mampu membantu warga pesisir pantai memperbaiki keadaan, setidaknya dua tahun berikutnya.

Pada tahun 1987-1989, sumur berdinding gronjong tradisional mulai diganti dengan sumur berdinding semen dan dilengkapi dengan timba. Pekerjaan menimba menjadi lebih ringan dari sebelumnya ketika masih harus mengangkut air ke atas. Simpanan penghasilan warga yang mulai cukup dikumpulkan secara gotong royong digunakan untuk memperbaiki pengairan dalam jangka waktu dua tahun.

Pada tahun 1990-1992, petani pesisir Kulon Progo mulai memikirkan cara pengairan yang lebih menghemat tenaga, yaitu dengan sumur renteng. Sumur induk yang sudah dibikin warga sebelumnya, dilengkapi dengan sumur-sumur kecil yang dihubungkan oleh pipa, yang pada awalnya terbuat dari bambu lalu kini berganti menjadi pipa plastik. Dengan adanya sumur-sumur penampung ini, petani pesisir tidak harus bolak-balik ketika menyiram tanaman. Bahkan akhirnya setelah cukup dana dan kemampuan warga dengan bergotong royong mampu membeli pompa air untuk mengangkut air dari sumur induk. Kini, beberapa kelompok tani termasuk PPLP (Paguyuan Petani Lahan Pasir) telah mengembangkan penyiraman dengan selang, tanpa sumur renteng lagi.

Menurut keterangan dari petani pesisir,6 pada tahun 1995, menteri pertanian waktu itu sempat berkunjung di daerah Kulon Progo dan membawa serta para pakar dan perwakilan kelompok tani dari seluruh Indonesia untuk belajar dari

ekonomi petani Gisik Pranaji. Bab ini hendak menjelaskan kilasan sejarah berdasarkan dari persepekif warga petani Kulon Progo tersebut dengan menambahkan, menganalisa dan membahas beberapa bagian yang terkait dengan tema kajian ini berdasarkan pada hasil diskusi dan wawancara penulis dengan petani Pesisir kulon Progo.

6

Presentasi dan Diskusi Petani Pesisir Kulon Progo di Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, tanggal 19 November 2008.

pengalaman petani pesisir tersebut mengubah lahan tandus menjadi lahan produktif yang subur. Satu tahun berikutnya, Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian untuk membantu menanggulangi angin dengan menanam cemara udang, sebagai benteng pertahanan menggantikan peran gumuk pasir yang telah berubah menjadi hamparan palawija. Kehadiran para ilmuwan kampus ini cukup sangat membantu petani pesisir Kulon Progo meningkatkan produksi dan keuntungan pertanian mereka. Pada saat teknologi sederhana dan tepat guna diterapkan, seperti: mulsa (penutup tanah) jerami dan pelapisan tanah liat di bawah permukaan ladang pasir membuat tanaman mereka lebih sehat dan subur.

Bisa dibayangkan kesenangan dan kebahagiaan warga atas hasil pertanian mereka, ketika harga cabe di tingkat petani Rp. 7000,00/kg pendapatan petani pesisir bisa mencapai per bulan (3-4 kali panen) dapat 5-10 juta rupiah. Padahal harga cabe belakangan ini rata-rata Rp. 15.000/ kg. Maka tak heran, menurut pengakuan para petani pesisir tersebut, mereka mampu meningkatkan taraf hidup serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri. Selain itu petani Pesisir juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang perguruan tinggi, dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi mengulang sejarah kemiskinan di pesisir Kulon Progo dulu.

Dampak lainnya, keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para pemuda di desa lebih memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke kota, sebab lahan kini pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga mampu membantu menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi buruh petik dengan upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum termasuk makan). Maka, tak heran jika petani pesisir Kulon Progo sekarang termasuk menjadi pemasok cabe yang cukup penting bagi pasar nasional, dengan hasil rata-rata 70 ton per hari. Belum lagi hasil tani yang lain seperti sawi, melon, semangka, jagung, dan bawang merah yang menjadi hasil sampingan yang juga dapat tumbuh subur di lahan pasir yang dulu tandus-kerontang itu.

Keberhasilan gemilang seperti inilah yang membawa petani pesisir bermimpi, suatu hari kelak, kawasan di mana mereka tinggal, akan berubah menjadi lebih kaya akan jenis tanaman dan satwa serta memberi manfaat kepada banyak orang disekitarnya, suatu ketika dapat menjadi kawasan wisata tani yang berwawasan lingkungan (desa wisata). Selain akan mendatangkan pemasukan bagi pemerintah melalui desa wisata, keanekaragaman dan keajaiban alam di kawasan ini akan melahirkan ilmuwan kampus yang mumpuni di bidang pertanian dan lebih banyak lagi.

Ikhtisar

Desa Bugel merupakan dataran rendah yang terletak di pinggiran Samudera Hindia meluas ke arah utara. Lahan yang digunakan untuk pertanian seluas 119 Ha.Salah satu tokoh pelopor utama penemu pengelolaan lahan pasir tinggal di Desa Bugel, beliau bernama Pak KMN. Temuan-temuannya adalah budidaya cabe keriting, palawija dan buah-buahan lainnya, seperti semangka dan jeruk. Beliau juga penemu teknologi pertanian lain seperti irigasi sumur bronjong. Sejarah kelompok tani dan sistem lelang juga datang salah satunya dari Pak KMN dan salah satunya dimulai dari Desa Bugel, sebelum akhirnya tersebar ke desa-

desa pesisisir lainnya. Sehingga bisa dikatakan pertanian lahan pasir untuk budidaya cabe keriting dan buah semangka di pesisir Kulon Progo yang terbaik (dari segi kualitas dan kuantitas) adalah di Garongan dan Bugel. Pak KMN juga

merupakan pendiri dan ‘sesepuh’ Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Kulon Progo, sehingga salah satu inisiator perundingan dan gerakan atau mobilisasi masa kerap datang dari Beliau, selain tentunya tokoh lainnya.

Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan penggembala kambing. Kondisi lingkungan masyarakat Desa Bugel tergolong sangat tertinggal dan miskin secara sosial dan ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan Panjatan. Namun, sejak adanya pengolaan lahan pasir, mereka mampu meningkatkan taraf hidup serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri. Selain itu petani Pesisir juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang perguruan tinggi, dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi mengulang sejarah kemiskinan di pesisir Kulon Progo dulu. Dampak lainnya, keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para pemuda di desa lebih memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke kota, sebab lahan kini pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga mampu memmbantu menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi buruh petik dengan upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum termasuk makan).

Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Bugel ialah Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Terdapat beberapa kelompok di desa ini yakni Kelompok Tani Sugih Mulyo, kelompok pasar lelang, Garuda, dan kelompok pengajian. Keseluruhan kelompok yang ada di Desa Bugel merupakan basis bagi pergerakan perlawanan petani menolak rencana pertambangan pasir besi. Sejak adanya isu pertambangan pasir besi, masyarakat pesisir Desa Bugel terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok masyarakat pro pertambangan dan kelompok masyarakat kontra pertambangan. Masyarakat kontra pertambangan memiliki kesepakatan bersama untuk memberikan sanksi sosial kepada masyarakat yang pro pertambangan. Sanksi sosial tersebut berupa diputuskannya hubungan kekeluargaan, baik antara tetangga maupun sesama saudara kandung.

PENDAPAT PEREMPUAN DESA BUGEL TENTANG KONFLIK