• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sumber pendapatan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal terdiri

atas: a). Pendapatan Asli Daerah (PAD), b). Dana Perimbangan, dan c). Lain-lain pendapatan daerah yang sah (UU No. 32 Tahun 2004).

2.4.1 Pendapatan Asli Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka desentralisasi ini tentunya harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah) di mana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah (Riduansyah, 2003).

Secara teoritik, PAD merupakan suatu sumbangan nyata yang diberikan oleh masyarakat setempat guna mendukung status otonom yang diberikan kepada daerahnya. Tanda dukungan dalam bentuk besarnya perolehan PAD penting artinya bagi suatu pemerintah daerah agar memiliki keleluasaan yang lebih dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari maupun pembangunan yang ada di wilayahnya. Seorang pakar dari World Bank berpendapat bahwa batas 20 persen perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang dari angka 20 persen tersebut, maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri (Conchrane, 1983).

Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan kondisi yang perlu diciptakan dan menjadi suatu pandangan umum yang dikemukakan serta diterima oleh para ahli yang menekuni kajian pemerintahan daerah, khususnya keuangan daerah, seperti Nick Devas, Richard M. Bird, dan B. C. Smith. Agar pemerintah daerah memiliki kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah yang ada di

daerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah.

Pendapatan asli daerah (PAD) menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 yang direvisi menjadi UU Nomor 28 tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut, pajak daerah adalah Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah sedangkan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut oleh hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktis merupakan, pungutan yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis pajak kecuali provinsi dan retribusi lainnya sesuai kriteria-kriteria tertentu yang

ditetapkan dalam undang-undang. Ditinjau dari kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah, sampai saat ini distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dengan pusat terjadi ketimpangan yang relatif besar.

Demikian juga distribusi pajak antara daerah juga sangat timpang sekali dan bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600 kali). Peranan pajak dalam pembiayaan daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat (Saefuddin, 2005).

Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah daerah adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua komponen ini merupakan komponen yang sangat menjanjikan dan selama ini pendapatan yang berasal dari perolehan hasil pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang besar dalam struktur pendapatan yang berasal dari pendatan asli daerah. Ada dua cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu menyempurnakan dan mengoptimalkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru. Untuk menempuh kedua cara tersebut, pemerintah daerah dapat menyempurnakan pengadministrasian pajak daerah dan retribusi daerah.

2.4.2 Dana Perimbangan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi yang terdiri dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil, bersumber dari pajak dan sumber daya alam sementara Dana Alokasi Umum dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dan pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan, pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus

yang ditentukan pemerintah atas prioritas nasional serta mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.

a. Dana Bagi Hasil

Merupakan bagian daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing) untuk menambah pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah. Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentasi tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.

Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, serta perikanan.

b. Dana Alokasi Umum

Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri). Berdasarkan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan menimbulkan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU bagi suatu daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap. Dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah fiskal yang terjadi karena kebutuhan daerah yang melebihi dari potensi daerah yang ada.

Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya

daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang memiliki fiscal capacity yang lebih besar dari fiscal needs hitungan DAU-nya akan negatif.

c. Dana Alokasi Khusus

Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.

Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

2.4.3 Lain-lain Pendapatan

Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan dari hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat, sedangkan hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri harus dilakukan melalui pemerintah. Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah dan pemberi hibah.

Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh karena dengan menggunakan sumber PAD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh presiden.

Dokumen terkait