PEMBANGUNAN DAERAH
(Studi Kasus: Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat)
MUHAMMAD ARAFAT ABDULLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Daerah Studi Kasus di Kab. Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 11 Juni 2011
on regional development (a case study in Mamasa Regency West Sulawesi Provinces). Supervised by BAMBANG JUANDA and DEDDY S. BRATAKUSUMAH.
This Research is aimed to indentity the feasibility of regional proliferation, investigate the impact of regional proliferation on the economic development, study how the impact of regional proliferation on the fiscal capacity and fiscal potency, how the impact of regional proliferation on the public service and official government in the mamasa regency. The result reseacrh showed that the improvements of economic development, fiscal capacity, official government and public service in Mamasa Regency are not better than those in Polewali Mandar Regency.
Keywords: Regional proliferation, economic development, fiscal capacity, official government and public service
Terhadap Pembangunan Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat). Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan DEDDY S. BRATAKUSUMAH.
Sejak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 dan dikeluarkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang “Pemerintahan Daerah” membuka peluang kepada daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk melakukan pemekaran daerah. Aturan pelaksanaan pemekaran diatur dalam PP No. 129 tahun 2000 direvisi menjadi PP No. 78 tahun 2007 yang mengatur tentang kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. Di Indonesia sendiri perkembangan jumlah daerah otonom baru mengalami peningkatan yang cukup besar sejak otonomi daerah,.
Tujuan pemekaran wilayah untuk memiliki suatu pemerintahan daerah otonom demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menciptakan daerah makin mandiri dan demokratis meskipun dapat memberikan berbagai manfaat yang dapat menyentuh langsung kepada masyarakat lokal, pemekaran wilayah juga berdampak negatif secara langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD Provinsi).
Fakta pelayanan kepada masyarakat, diangkat dari sebuah survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan otonomi daerah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat, Analisis LITBANG menyebutkan bahwa dengan data-data pemekaran 2003-2005 hasilnya menunjukan lebih dari 46 persen daerah pemekaran memperlihatkan pertumbuhan indeks evaluasi yang negatif dan daerah otonom baru menunjukkan potensi pembangunannya justru menurun dibandingkan sebelum pemekaran.
Salah satu daerah otonom baru adalah Kab. Mamasa terbentuk karena secara historis yakni dalam sejarah di daerah Mandar (sekarang merupakan wilayah Provinsi Sulawesi Barat) ada dua kelompok wilayah yaitu wilayah pitu ba’bana binanga dan wilayah pitu ulunna salu selain itu pembentukan Kab. Mamasa disebabkan pemenuhan syarat administratif kewilayahan pembentukan Prov. Sulawesi Barat pada tahun 2004, ketimpangan pembangunan sehingga pasca orde baru di tahun 2000 muncullah gerakan pembentukan Kab. Mamasa, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2002 terbentuklah Kab. Mamasa.
Setelah 8 tahun terbentuknya Kab. Mamasa diperlukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pembangunan daerah di wilayah tersebut setelah terbentuk, sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian yang bertujuan : 1. Bagaimana kelayakan pemekaran Kab. Mamasa. 2. Bagaimana dampak pemekaran terhadap pembangunan ekonomi di Kab. Mamasa. 3. Bagaimana dampak pemekaran terhadap kapasitas fiskal dan potensi fiskal daerah di Kab. Mamasa. 4. Bagaimana dampak pemekaran terhadap pelayanan publik dan aparatur pemerintahan di Kab. Mamasa.
direkomendasikan untuk membentuk kabupaten tetapi dari kriteria pengambilan keputusan pembentukan Kab. Mamasa dimana hasil skoring faktor kependudukan sebesar 30 dan faktor kemampuan ekonomi sebesar 55 masuk kategori belum layak atau ditolak karena ketentuan dalam PP. No. 78 tahun 2007 suatu daerah tidak layak jika ditinjau faktor kependudukan skornya dibawah 80 dan dari faktor kemampuan ekonomi skornya dibawah 60, sehingga dapat disimpulkan bahwa Kab. Mamasa belum layak atau ditolak menjadi kabupaten.
Perbandingan pembangunan ekonomi diperoleh laju pertumbuhan ekonomi di Kab. Polewali Mandar lebih baik peningkatannya dibandingkan Kab. Mamasa, perbandingan laju pertumbuhan PDRB perkapita diperoleh bahwa di Kab. Polewali Mandar peningkatan laju pertumbuhan PDRB perkapita lebih besar dibandingkan peningkatan di Kab. Mamasa terlihat pada periode tahun 2006-2008, perkembangan jumlah penduduk miskin menunjukkan laju penurunan jumlah penduduk miskin di Kab. Mamasa lebih baik penurunannya dibandingkan Kab. Polewali Mandar, dari perkembangan struktur ekonomi diperoleh bahwa laju pertumbuhan IDE di Kab. Polewali Mandar lebih baik dimana peningkatannya lebih stabil dibandingkan dengan Kab. Mamasa yang laju pertumbuhan IDEnya fluktuatif peningkatannya, dari pengaruh pemekaran wilayah terhadap PDRB Non Migas dengan menggunakan analisis regresi peubah dummy diperoleh bahwa pengaruh pemekaran wilayah di daerah induk yakni Kab. Polewali Mandar lebih besar dibandingkan di Kab. Mamasa.
Dari Kapasitas Fiskal diperoleh hasil perbandingan laju pertumbuhan pendapatan daerah walaupun mengalami penurunan di kedua wilayah tersebut tetapi di Kab. Mamasa lebih besar laju pertumbuhan pendapatan daerahnya dibandingkan pendapatan daerah di Kab. Polewali Mandar, laju pertumbuhan PAD di Kab. Mamasa mengalami penurunan begitupula dengan induknya, namun penurunan laju di Kab. Mamasa lebih tinggi dibandingkan dengan induknya, sehingga dapat dikatakan bahwa trend laju pertumbuhan PAD untuk kedua kabupaten cenderung sama, laju Pertumbuhan Dana Bagi Hasil di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa terutama pada tahun 2006-2009 terlihat bahwa laju pertumbuhan Kab. Polewali Mandar lebih baik dibandingkan Kab. Mamasa, laju pertumbuhan Belanja langsung di Kab. Polewali Mandar pada periode 2007-2008 lebih besar peningkatannya dibandingkan Kab. Mamasa, untuk pengaruh pemekaran wilayah terhadap PAD dengan menggunakan analisis regresi dengan peubah dummy diperoleh bahwa pengaruh pemekaran wilayah terhadap PAD di Kab. Polewali Mandar lebih besar dibandingkan di Kab. Mamasa.
laju pertumbuhan fasilitas kesehatan di Kab. Mamasa lebih besar dibandingkan di Kab. Polewali Mandar, untuk laju pertumbuhan tenaga kesehatan per 10.000 penduduk di Kab. Polewali Mandar lebih baik dibandingkan dengan Kab. Mamasa, ini diperoleh dari laju pertumbuhan tenaga kesehatan di Kab. Polewali Mandar mengalami peningkatan tetapi di Kab. Mamasa mengalami penurunan. Pelayanan publik untuk bidang infrastruktur menunjukkan perkembangan bahwa rasio panjang jalan dalam kondisi baik terhadap panjang ruas jalan di Kab. Mamasa tidak lebih baik dari Kab. Polewali Mandar ini dilihat dari peningkatannya yang tidak jauh berbeda dibandingkan laju pertumbuhan rasio jalan dalam kondisi baik terhadap panjang ruas jalan di Kab. Polewali Mandar sedangkan untuk aparatur daerah diperoleh perbandingan jumlah PNS S1 di Kab. Polewali Mandar lebih baik dibandingkan Kab. Mamasa, hal ini ditunjukkan dari laju pertumbuhan jumlah PNS S1 di Kab. Polewali Mandar yang lebih besar peningkatannya dibandingkan di Kab. Mamasa.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kab. Mamasa tidak layak dimekarkan ditinjau dari aspek kependudukan dan kemampuan ekonomi berdasarkan syarat teknis PP. No. 78 tahun 2007 tentang kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, (2) Hasil perbandingan dampak pemekaran wilayah terhadap pembangunan ekonomi diperoleh Kab. Mamasa lebih baik dari perbandingan jumlah penduduk miskin tetapi dari perbandingan laju pertumbuhan PDRB Non migas, perkembangan struktur ekonomi wilayah serta pengaruh pemekaran wilayah terhadap PDRB diperoleh Kab. Polewali Mandar masih lebih baik. (3) Hasil perbandingan dampak pemekaran wilayah terhadap kapasitas fiskal diperoleh Kab. Mamasa lebih baik dari perbandingan laju pendapatan daerah tetapi dari perbandingan perkembangan belanja langsung daerah, perkembangan dana bagi hasil dan pengaruh pemekaran wilayah terhadap PAD diperoleh Kab. Polewali Mandar masih lebih baik. (4) Hasil perbandingan dampak pemekaran wilayah terhadap pelayanan publik dan aparatur daerah diperoleh Kab. Mamasa lebih baik dari perbandingan siswa per guru tingkat SD dan SLTP serta SLTA, Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk tetapi dari perbandingan Rasio siswa per sekolah tingkat SD dan SLTP serta SLTA, Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk, Kualitas infrastruktur jalan serta pesentase jumlah PNS yang S1 diperoleh di Kab. Polewali Mandar masih lebih baik.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
MUHAMMAD ARAFAT ABDULLAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama Mahasiswa : Muhammad Arafat Abdullah
NRP : H152080081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Ketua Anggota
Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, MSc
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah PascaSarjana Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan Judul Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat) dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini tidak terlepas dari peran dan dukungan berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan dan dorongan serta semangat dari awal hingga akhir penulisan.
2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku tim penguji yang turut memberikan saran untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda almarhum H. Abdullah atas semangat untuk mencintai pendidikan sejak kecil, semoga ayahanda tercinta ditempatkan di tempat tertinggi bersama para syuhada dan Ibunda Hj. Sitti Ria yang selalu setia dan sabar memberikan dorongan doa, moril maupun materil selama penulis menuntut ilmu hingga selesainya. Saudaraku Muh. Asri Abdullah, Muh. Rahmat Abdullah, Muh. Ikhsan Abdulah, Anisa Abdullah, Satria Abdullah, Nahliana Abdullah, Muh. Afdhal Abdullah, Andi Amriana Khairani, Evi, Rahmat, Andi Gafri atas dukungan dan bantuan yang tidak pernah berhenti.
4. Guru-guruku mulai dari SD sampai perguruan tinggi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas segala ilmu yang sangat diberikan yang sangat berguna bagi penulis.
5. Rekan-rekan PWD 2008 atas bantuan dan semangat yang diberikan khususnya: Nurlaela, Said Mala, Adrianus K. Hudang, Michael Baransano, Adam, Eka Purna Yudha, Sutia Budi, Arif Rahman Hakim, Pak Rudi Hartono, Bu Andi Darmawati, Pak Tajerin, Pak Aditya Wardana, Pak Asep, Pak Stephen, Pak Hanan dan Bu Rika
6. Rekan-rekan Mahasiswa S2 dan S3 PWD khususnya : Pak Amir, Pak Bambang Tri Harsanto, Pak Junaidi, Pak Saad, dan Pak Mahyuddin. 7. Mba Elva atas bantuan pelayanan akademik yang amat membantu.
Penulis sadari bahwa penelitian ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasan. Namun demikian, semoga dari sedikit kelebihan penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Penulis dilahirkan di Tinambung Kab. Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat pada tanggal 10 November 1983 dari pasangan almarhum H. Abdullah dan Hj. Sitti Ria. Penulis adalah anak ke tujuh dari delapan bersaudara.
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 5
1.3 Tujuan Penelitian... 7
1.4 Kegunaan Penelitian... 7
1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep desentralisasi dan otonomi daerah... 11
2.1.1 Konsep desentralisasi... 11
2.1.2 Konsep Otonomi Daerah... 16
2.2 Pembangunan... 19
2.3Pembangunan Ekonomi Daerah... 20
2.4 Pendapatan daerah... 21
2.4.1 Pendapatan Asli Daerah... 22
2.4.2 Dana Perimbangan... 24
2.4.3 Lain-lain Pendapatan... 26
2.5 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)... 27
2.6Pemekaran Wilayah... 28
2.7Pelayanan Publik... 30
2.8Aparatur Pemerintah ... 32
2.9Indeks Pembangunan Manusia (IPM)... 33
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 34
3.2 Sumber dan Jenis Data... 34
3.3 Metode Pengumpulan Data... 34
3.4 Metode Analisis... 36
3.4.1 Analisis Deskriptif... 36
3.4.2 Analisis Indeks Diversitas Entropi (IDE)... 37
3.4.3 Analisis Analisis Kelayakan Pemekaran... 38
3.4.4 Analisis Regresi Dengan Peubah Dummy... 40
3.4.8 Kerangka Analisis Penelitian... 43
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Administratif... 45
4.2 Sosial Kependudukan... 46
4.2.1 Jumlah Penduduk... 46
4.2.2 Kepadatan Penduduk... 47
4.2.3 Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja... 47
4.2.4 Jumlah Penduduk Menurut Agama... 48
4.2.5 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan... 48
4.3 Perekonomian Daerah ... 48
4.3.1 Sektor Pertanian... 48
4.3.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian... 50
4.3.3 Sektor Pariwisata... 50
4.4 Keuangan Daerah... 51
4.4.1 Pendapatan Daerah... 51
4.4.2 Belanja Daerah... 51
4.5 Sarana dan Prasarana Daerah... 51
4.5.1 Sarana Pendidikan... 51
4.5.2 Sarana Kesehatan... 52
4.5.3 Sarana Peribadatan... 52
4.5.4 Sarana Telekomunikasi... 52
4.5.5 Energi/Listrik... 52
4.5.6 Jalan... 53
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kelayakan Pembentukan Kab. Mamasa... 54
5.1.1 Analisis Kelayakan Pembentukan Kab. Mamasa Berdasarkan PP. No. 78 Tahun 2007... 54
5.1.2 Kelayakan Pemekaran Kab. Mamasa Menurut Persepsi Stakeholder... 60
5.2 Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Ekonomi... 62
5.2.1 Pertumbuhan Struktur Ekonomi Wilayah... 62
5.2.2 PDRB Perkapita... 64
5.2.3 Jumlah Penduduk Miskin... 66
5.2.4 Kontribusi Sektor PDRB... 68
5.2.5 Perkembangan Struktrur Ekonomi Wilayah ... 71
5.2.6 Indeks Pembangunan Manusia... 73
5.3.1 Potensi Keuangan Daerah... 85
5.3.1.1Pendapatan Asli Daerah (PAD)... 89
5.3.1.2Dana Perimbangan... 91
5.3.1.3Lain-lain Pendapatan yang Sah... 94
5.3.2 Belanja Daerah... 96
5.3.3 Perkembangan Kapasitas Fiskal ... 100
5.3.4 Analisis Regresi Dengan Peubah Dummy: Model Pengaruh Pemekaran Terhadap PAD... 102
5.3.5 Estimasi Pajak Daerah... 106
5.3.5.1Estimasi Pajak Hotel... 107
5.3.5.2Estimasi Pajak Restoran... 109
5.4 Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pelayanan Publik... 115
5.4.1 Pendidikan... 115
5.4.2 Kesehatan... 120
5.4.3 Kualitas Infrastruktur... 123
5.4.4 Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pelayanan Publik Berdasarkan Persepsi Stakeholder... 125
5.5 Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Aparatur Daerah... 128
5.5.1 Kualitas Aparatur Daerah... 128
5.5.2 Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Aparatur Daerah Berdasarkan Persepsi Stakeholder di Kab. Mamasa... 130
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 132
6.2 Saran... 133
DAFTAR PUSTAKA... 134
Halaman
1 Aspek, variabel, analisis dan sumber pengumpulan data... 36
2 Bobot 11 faktor dan 35 indikator Kelayakan Pemekaran... 38
3 Kategori pengambilan keputusan kelayakan pemekaran... 40
4 Nilai Indikator Teknis Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar... 55
5 Hasil Skoring Kelayakan Pemekaran Kab. Mamasa Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007... 56
6 Nilai Kelulusan Kabupaten Mamasa... 57
7 Kelayakan pemekaran Kab. Mamasa berdasarkan persepsi masyarakat legislatif dan eksekutif... 61
8 Perbandingan PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekononomi Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar... 62
9 PDRB perkapita Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar tahun 1996-2008 berdasarkan harga konstan... 65
10 Nilai IDE Kab. Polewali Mamasa tahun 1996-2001... 71
11 Nilai IDE Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2002-2008... 72
12 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 73
13 Angka Harapan Hidup Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa... 74
14 Angka Melek Huruf Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 75
15 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa... 75
16 Pengeluaran Perkapita Riil Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 76
17 Analisis signifikansi koefisien regresi... 78
18 Persepsi Masyarakat, Legislatif dan Eksekutif mengenai perubahan Pembangunan ekonomi sebelum dan setelah pemekaran wilayah... 81
19 Perbandingan Pendapatan Daerah dan Laju Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 86
20 Proporsi PAD, Dana Perimbangan dan Pendapatan Lain-lain terhadap Pendapatan Daerah Kab.Mamasa... 88
21 Proporsi PAD, Dana Perimbangan dan Pendapatan Lain-lain terhada Pendapatan Daerah Kab. Polewali Mandar ... 88
Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 95
25 Belanja Daerah Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 96
26 Nilai IDE Pendapatan Daerah Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 100
27 Analisis signifikansi koefisien regresi... 104
28 Target dan Realisasi penerimaan pajak daerah Kab. Mamasa Per Tanggal 31 Desember 2009 (Rupiah)... 106
29 Nama Hotel, Kelas Kamar, tarif dan jumlah kamar... 108
30 Jumlah kamar yang terpakai dan Rata-rata tingkat hunian hotel... 108
31 Hasil estimasi potensi pajak hotel ... 109
32 Jumlah pengunjung dan rata-rata pengeluaran... 110
33 Perhitungan Estimasi Potensi Pajak Restoran... 111
34 Persepsi Masyarakat, Legislatif dan Eksekutif mengenai perubahan Pelayanan publik sebelum dan setelah pemekaran wilayah... 125
Halaman
1 Kerangka pemikiran... 10
2 Peta Lokasi Penelitian... 35
3 Kerangka Analisis Penelitian... 44
4 Penduduk Miskin tahun 2002-2008... 66
5 Laju Pertumbuhan Jumlah Penduduk Miskin di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 67
6 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Polewali Mandar tahun 1998... 68
7 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Mamasa tahun 2002... 69
8 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Polewali Mandar tahun 2002... 69
9 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kab. Mamasa tahun 2008... 70
10 Kontribusi setiap sektor dalam PDRB Kab. Polewali Mandar tahun 2008... 71
11 Laju Pertumbuhan IDE Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 72
12 Laju Pertumbuhan IPM Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 74
13 Laju Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar... 87
14 Laju pertumbuhan PAD Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar... 90
15 Laju pertumbuhan Dana Perimbangan Kab. Mamasa dan Kab.Polewali Mandar... 92
16 Jumlah Dana Bagi Hasil Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 93
17 Laju pertumbuhan Dana Bagi Hasil Kab. Mamasa dan Kab. Polewali Mandar... 94
18 Laju pertumbuhan Lain-lain Pendapatan yang sah Kab. Mamasa Dan Kab. Polewali Mandar... 95
19 Jumlah Belanja Langsung Daerah Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 97
20 Laju pertumbuhan jumlah belanja langsung daerah Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 98
21 Jumlah Belanja Tidak Langsung Daerah Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 99
Kab. Mamasa tahun 2003-2007... 116
25 Siswa per Sekolah SLTA di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2003-2007... 116
26 Laju Pertumbuhan Siswa per Sekolah SD dan SLTP di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2004-2008... 117
27 Laju Pertumbuhan Siswa per Sekolah SLTA di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2004-2008... 118
28 Siswa perguru SD dan SLTP di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2003-2007... 118
29 Siswa perguru SLTA di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2003-2007... 119
30 Laju pertumbuhan Siswa perguru SD dan SLTP di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2004-2007... 119
31 Laju pertumbuhan Siswa perguru SLTA di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa tahun 2004-2007... 120
32 Fasilitas kesehatan per 10000 penduduk... 121
33 Laju Pertumbuhan Fasilitas kesehatan per 10000 penduduk... 121
34 Tenaga kesehatan per 10000 penduduk... 122
35 Laju Pertumbuhan Tenaga kesehatan per 10000 ... 123
36 Rasio panjang jalan dalam kondisi baik terhadap panjang ruas jalan... 124
37 Laju Rasio panjang jalan dalam kondisi baik terhadap panjang ruas jalan. 124 38 Persentase jumlah PNS S1 tahun 2005-2008 di Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa... 129
Halaman
1 PDRB Harga Konstan Kab. Mamasa tahun 2001-2008 (juta rupiah)... 137
2 PDRB Harga Konstan Kab. Polewai Mandar tahun 2001-2008... 137
3 IDE PDRB harga konstan Kab. Mamasa tahun 2002... 138
4 IDE PDRB harga Konstan Kab. Mamasa tahun 2003... 138
5 IDE PDRB harga Konstan Kab. Mamasa tahun 2004... 139
6 IDE PDRB harga konstan Kab. Mamasa tahun 2005... 139
7 IDE PDRB harga Konstan Kab. Mamasa tahun 2006... 140
8 IDE PDRB harga Konstan Kab. Mamasa tahun 2007... 140
9 IDE PDRB harga Konstan Kab. Mamasa tahun 2007... 141
10 Pendapatan Daerah Kab. Mamasa Tahun 2003-2009... 141
11 Pendapatan Daerah Kab. Polewali Mandar Tahun 2003-2009... 142
12 Belanja Daerah Kab. Mamasa Tahun 2003-2005... 143
13 Belanja Daerah Kab. Mamasa Tahun 2006-2009... 144
14 Belanja Daerah Kab. Polewali Mandar Tahun 2003-2006... 145
15 Belanja Daerah Kab. Polewali Mandar Tahun 2007-2008... 146
16 Rekapitulasi jawaban kuesioner tentang kelayakan pemekaran dan dampak pemekaran wilayah terhadappembangunan ekonomi... 147
17 Rekapitulasi jawaban kuisioner tentang dampak pemekaran wilayah terhadap pelayanan publik... 148
18 Rekapitulasi Jawaban Kuesioner tentang dampak pemekaran wilayah terhadap aparatur daerah... 149
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada
tanggal 1 januari 2001, pemekaran daerah kabupaten dan kota dan juga propinsi
menjadi suatu fenomena, sejak saat itu jumlah daerah terus bertambah. Sebenarnya
pembentukan daerah baru dengan pertimbangan mendekatkan pelayanan publik pada
masyarakat atapun pertimbangan strategis geopolitik dan geoekonomi, sudah
dilakukan oleh Pemerintahan Indonesia sebelum dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diberlakukan sejak Januari
2001. Undang-Undang 22 tahun 1999 membuka peluang kepada daerah provinsi,
kabupaten dan kota untuk melakukan pemekaran daerah. Aturan pelaksanaan
pemekaran diatur dalam PP Nomor 129 tahun 2000 tentang kriteria pemekaran dan
persyaratan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah (Juanda, 2007).
Dalam PP Nomor 129 tahun 2000 ditetapkan beberapa kriteria penilaian
indikator yang harus dapat dipenuhi oleh daerah-daerah yang akan dimekarkan.
Walaupun UU Nomor 22 tahun 1999 sudah direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun
2004 yang mengatur 3 persyaratan untuk pembentukan daerah (yaitu syarat
administratif, teknis, kewilayahan), namun teknis pengaturan pemekaran daerah
masih mengacu pada PP Nomor 129 tahun 2000 (Juanda, 2007). Pada
perkembangannya PP Nomor 129 tahun 2000 direvisi menjadi PP Nomor 78 tahun
2007 tentang kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan, penghapusan, dan
penggabungan daerah.
yang terdiri dari 33 Provinsi dan 465 Kabupaten dan Kota. Sementara itu, Provinsi DKI Jakarta terdiri dari 1 Kabupaten administratif dan 5 Kota administratif, karena DKI Jakarta merupakan daerah khusus istimewa.
Terdapat beberapa alasan kenapa pemekaran wilayah sekarang menjadi salah
satu pendekatan yang cukup diminati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan peningkatan pelayanan publik, yaitu:
• Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan pelayanan melalui
pemerintahan daerah yang baru diasumsikan akan lebih dapat memberikan
pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan pelayanan melalui
pemerintahan daerah induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih
luas (Hermanislamet, 2005). Melalui proses perencanaan pembangunan
daerah pada skala yang lebih terbatas, maka pelayanan publik sesuai
kebutuhan lokal akan lebih tersedia.
• Mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal
(Hermanislamet, 2005). Dengan dikembangkannya daerah baru yang otonom,
maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi
daerah baru yang selama ini tidak tergali.
• Penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Kenyataan politik seperti ini
juga mendapat dukungan yang besar dari masyarakat sipil dan dunia usaha,
karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal
menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah.
Ada berbagai alasan yang mendorong meningkatnya keinginan pemekaran
wilayah. Hal tersebut dapat dipicu oleh faktor perbedaan agama, perbedaan etnis
(budaya), ketimpangan (disparitas) pembangunan ekonomi antar wilayah dan luas
wilayah. Secara formal, keinginan pemekaran wilayah dipicu dalam kerangka
besar. Akan tetapi tidak dapat pula dimungkiri bahwa keinginan untuk melakukan
pemekaran wilayah tersebut juga dipicu oleh aspek keuangan daerah dan politis.
Menurut Blane (2001) Aspek keuangan muncul sebagai akibat dari perubahan
sistem alokasi keuangan negara untuk daerah yang diberlakukan seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah (Sjafrizal, 2008). Dalam hal ini masing-masing
pemerintah daerah, termasuk daerah pemekaran baru berhak mendapatkan alokasi
dana perimbangan, baik dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sedangkan aspek politis yang sering
muncul adalah dalam bentuk keinginan dari beberapa tokoh politik untuk
mendapatkan jabatan baru, baik sebagai Kepala dan Wakil Kepala Daerah maupun
Anggota DPRD pada daerah pemekaran (Sjafrizal, 2008).
Fakta pelayanan kepada masyarakat, diangkat dari sebuah survei yang
dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan, otonomi daerah gagal
memberikan kesejahteraan kepada rakyat (Media Indonesia, 27 Maret 2007).
Sebagian besar responden mengatakan, aspek pendidikan, kesehatan, pengangguran, dan kemiskinan justru lebih parah jika dibandingkan dengan sistem sentralisasi sebelumnya. Analisis Litbang Kompas menyebutkan bahwa dengan data-data pemekaran 2003-2005 hasilnya menunjukan lebih dari 46 persen daerah pemekaran memperlihatkan pertumbuhan indeks evaluasi yang negatif. Hal ini menunjukkan potensi pembangunannya justru menurun dibandingkan sebelum pemekaran.
Salah satu daerah otonom baru yang memekarkan diri adalah Kabupaten Mamasa yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar) pada tahun 2002. Melihat sejarah Kabupaten Mamasa kebelakang, sejak tahun 1958muncul wacana pembentukan kabupaten Mamasa, pada tahun inilah dimulai gerakan pembentukan kabupaten Mamasa, akan tetapi hal itu kandas oleh
karena tidak satunya persepsi para tokoh adat dan tokoh masyarakat yang ada di
wilayah Pitu Ulunna Salu. Kegagalan ini juga diakibatkan oleh karena konspirasi
politisi yang ada Pitu ba’bana binanga, sehingga gerakan ini mengalami kegagalan,
pada tahun 1960, ketika keluarnya Kepres RI Nomor 5 tahun 1960 (Lembaran Negara
Sulawesi Selatan menjadi 27 daerah tingkat dua, dimana pemakaran dilakukan
berdasarkan eks kewedanan, maka di Mandar pada saat itu Cuma ada tiga kabupaten
diantaranya adalah kabupaten Majene, Mamuju dan Polewali Mamasa, maka pada
saat itu eks kewedanaan Mamasa dan Polewali digabung, sehingga kabupaten
Polewali Mamasa adalah penamaan alternatif.
Dalam sejarah di daerah Mandar (sekarang merupakan wilayah Provinsi
Sulawesi Barat) ada dua kelompok kerajaan. Pertama, Kerajaan Pitu Ba’bana
Binanga adalah tujuh kerajaan di Mandar yang berada dan masing-masing berpusat di
tujuh muara sungai atau di wilayah pantai, ketujuh kerajaan tersebut adalah: (1)
Kerajaan Balanipa, (2) Kerajaan Banggae, (3) Kerajaan Pamboang, (4) Kerajaan
Sendana, (5) Kerajaan Tapalang, (6) Kerajaan Mamuju, (7) Kerajaan Binuang.
Kedua, Kerajaan Pitu Ulunna Salu adalah Kerajaan yang berada di kawasan
pegunungan termasuk dalam wilayah mandar disebut kerajaan Pitu ulunna salu
karena kerajaan-kerajaan tersebut berpusat di tujuh hulu sungai semuanya dalam
wilayah Kabupaten Polmas, ketujuh kerajaan Pitu ulunna salu adalah: (1) Kerajaan
Rante Bulahan, (2) Kerajaan Aralle, (3) Kerajaan Mambi, (4) Kerajaan Tabulahan,
(5) Kerajaan Matangga, (6) Kerajaan Bambang, (7) Kerajaan Tabang. Secara historis
Kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga mayoritas suku mandar yang beragama Islam
sedangkan Kerajaan di Pitu Ulunna Salu mayoritas beragam Kristen dan banyak
dipengaruhi oleh Suku Tana Toraja.
Pasca orde baru adalah masa kebangkitan daerah atau kebangkitan identitas,
sehingga muncullah berbagai gerakan untuk memperjuangkan Demokrasi dan HAM,
Pasca orde baru kemudian bangkitlah isu tentang otonomi daerah. Pasca orde baru di
tahun 2000 muncullah gerakan pembentukan Kabupaten Mamasa untuk percepatan
pembangunan di wilayah Pitu Ulunna Salu karena harus diakui bahwa telah terjadi
ketidakseimbangan antara wilayah pantai dan wilayah pegunungan dalam hal
1.2 Perumusan Masalah
Menurut Juanda dan Tuerah (2007), tujuan pemekaran wilayah yang memiliki
suatu pemerintahan daerah otonom adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, serta menciptakan kesejahteraan masyarakat, serta menciptakan daerah
makin mandiri dan demokratis. Tujuan ideal ini dapat diwujud nyatakan melalui
peningkatan profesionalisme birokrasi daerah untuk dapat menyelenggarakan
pemerintahan yang efisien, dapat menciptakan kesempatan lebih luas untuk
masyarakat, serta dapat akses langsung pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar
dan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota.
Meskipun pada dasarnya tujuan akhir dari pemekaran wilayah adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui performance diatas, akan tetapi
menurut Tuerah (2006), dari beberapa tujuan pemekaran wilayah tersebut nampaknya
tujuan peningkatan transfer dana pemerintah ke daerah menjadi “hidden goal”.
Meskipun dapat memberikan berbagai manfaat yang dapat menyentuh
langsung kepada masyarakat lokal, pemekaran wilayah juga berdampak negatif
secara langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD Provinsi), Juanda (2007).
Berbagai konsekuensi biaya yang harus dibebankan pada APBN dan APBD Provinsi
untuk pemekaran daerah kabupaten dan kota, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Porsi Dana Alokasi Umum (DAU) tiap daerah penerima semakin berkurang.
2. Dana Alokasi Khusus (DAK) pra-sarana untuk daerah meningkat dalam
APBN.
3. Pembiayaan sarana-sarana pelayanan umum.
4. Dana Pendampingan Daerah. pemekaran wilayah selain menambah beban
terhadap APBN, membebani juga APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
5. Dana Bantuan Pemerintah Provinsi. Pemerintah provinsi berkewajiban
membantu dan membiayai pembangunan di Kabupaten dan Kota melalui dana
bagi hasil dan dana bantuan.
RPJMN 2004-2009 mengamanatkan adanya program penataan daerah otonom
pembentukan DOB agar pembentukannya tidak memberikan beban pada keuangan
negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan
pembangunan wilayah Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain :
1. Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2. Pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan/atau
penggabungan daerah otonom, termasuk perumusan kebijakan dan
pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat, dan
percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan daerah otonom
baru.
3. Penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara optimal,
serta
4. Penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru.
Evaluasi ini sangat terkait dengan kemampuan daerah dalam penyelenggaraan
otonomi daerah. Apabila lima tahun setelah mendapat kesempatan memperbaiki
kinerja dan mengembangkan potensinya, ternyata hasilnya tidak tercapai, maka
daerah yang bersangkutan dapat dihapus dan digabungkan dengan daerah lain
(Ratnawati et al. 2005) dalam (Bappenas dan UNDP. 2008). Evaluasi ini diharapkan
memberi gambaran secara umum tentang kondisi DOB hasil pemekaran, yang dapat
dijadikan bahan kebijakan yang cukup kuat dalam penentuan arah kebijakan
pemekaran wilayah selanjutnya, termasuk penggabungan daerah.
Pemekaran wilayah secara intensif berkembang di Indonesia sebagai salah
satu jalan untuk pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Setelah berjalan lebih dari lima tahun, banyak pihak ragu
apakah tujuan pemekaran tersebut dapat tercapai atau tidak, meski saat ini pemekaran
tidak dapat dielakkan lagi dalam situasi politik yang terjadi namun upaya
membangun penilaian yang lebih obyektif akan bermanfaat dalam menentukan arah
kebijakan pemekaran selanjutnya (Bappenas dan UNDP, 2008).
Kabupaten Mamasa yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Polewali
2001, terdiri atas 10 Kecamatan yakni Tabulahan, Mamasa, Tabang, Pana, Messawa,
Sumarorong, Sesenapadang, Tanduk Kalua, Mambi dan Aralle, di mana Ibu Kota
Kabupaten di Kecamatan Mamasa. Setelah terbentuk dari periode 2002-2010 perlu
diperlukan kajian untuk mendapatkan gambaran secara komprehensif mengenai
dampak yang ditimbulkan dari pemekaran wilayah di Kabupaten Mamasa.
Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti akan mengadakan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana kelayakan pemekaran Kabupaten Mamasa?
2. Bagaimana dampak pemekaran terhadap pembangunan ekonomi di
Kabupaten Mamasa?
3. Bagaimana dampak pemekaran terhadap kapasitas fiskal dan potensi fiskal
daerah di Kabupaten Mamasa?
4. Bagaimana dampak pemekaran terhadap pelayanan publik, aparatur
pemerintahan di Kabupaten Mamasa Kabupaten Mamasa?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai
dampak pemekaran wilayah di Kab. Mamasa, sedangkan secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Mengkaji kelayakan pemekaran Kabupaten Mamasa?
2. Mengkaji dampak pemekaran terhadap pembangunan ekonomi di Kabupaten
Mamasa?
3. Mengkaji dampak pemekaran terhadap kapasitas fiskal dan potensi fiskal di
Kabupaten Mamasa?
4. Mengkaji dampak pemekaran terhadap pelayanan publik, aparatur
pemerintahan di Kabupaten Mamasa?
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
2. Penelitian ini diharapkan berguna bagi perumus kebijakan pembangunan
dalam usaha pembangunan di Kabupaten Mamasa;
3. Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian yang membahas
pemekaran wilayah.
1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian
Studi ini akan melakukan kajian berdasarkan tujuan pemekaran yang telah
diuraikan sebelumnya. Landasan kajian pemekaran daerah didasarkan atas tujuan
pemekaran daerah itu sendiri, yang tertuang dalam PP 129/2000. Dalam Bab II
Tujuan pasal 2 disebutkan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan
penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan melalui:
1. peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
2. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
3. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
4. percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban;
5. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Ada dua hal penting yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat, yaitu pertama, bagaimana pemerintah melaksanakannya, dan kedua,
bagaimana dampaknya di masyarakat setelah pemekaran dilaksanakan. Untuk hal
yang pertama, aspek yang dikaji adalah sejauh mana ‘input’ yang diperoleh
pemerintah daerah pemekaran dapat digunakan semaksimal mungkin untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, aspek yang dikaji adalah
keuangan pemerintah daerah dan aparatur pemerintah daerah, kedua aspek tersebut
sangat dominan pengelolaannya oleh pemerintah daerah.
Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit direalisasikan tanpa
adanya keuangan dan aparatur yang melaksanakannya. Hal yang keduaialah melihat
kondisi yang langsung diterima oleh daerah dan masyarakat, baik sebagai dampak
langsung pemekaran daerah itu sendiri maupun disebabkan karena adanya perubahan
aspek kepentingan utama masyarakat dalam mempertahankan hidupnya, yakni sisi
ekonomi. Apabila kondisi ekonomi masyarakat semakin membaik, maka secara tidak
langsung hal ini berpengaruh kepada akses masyarakat terhadap pelayanan publik,
baik pendidikan maupun kesehatan.
Di sisi lain, pelayanan publik juga mencerminkan sejauh mana pemerintah
daerah mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta kondisi umum daerah
itu sendiri. Selain itu perlu dilakukan kajian tentang bagaimana perkembangan
tingkat pembangunan manusia di suatu wilayah karena mampu memberi gambaran
keberhasilan pembangunan manusia.
Manfaat pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada akhirnya harus
dinilai pada sejumlah mana kebijaksanaan ini mampu meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Studi otonomi daerah ini tidak akan langsung mengkaji dampak pelaksanaan
otonomi pada kesejahteraan rakyat, tetapi lebih ditujukan pada pengamatan
dampaknya terhadap pelaksanaan pelayanan publik. Hal ini perlu dilakukan karena
salah satu tujuan kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan melihat perkembangan pemekaran wilayah di Indonesia yang dinilai
kurang berhasil, menunjukkan bahwa aturan yang berjalan kurang efektif, ini dapat
disebabkan adanya dominasi lembaga legislatif dalam pembentukan daerah otonom
baru sehingga persyaratan pembentukan daerah otonom baru yang sesuai dengan
syarat fisik, kewilayahan, dan administrasi kurang dipenuhi, ini menjadikan dasar
perlunya evaluasi bagaimana kelayakan pembentukan daerah otonom baru yang
sesuai dengan undang-undang sehingga dapat menunjukkan wilayah tersebut
memang layak atau tidak untuk dimekarkan.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka kajian difokuskan pada: 1) Kelayakan
Pemekaran Wilayah, 2) Pembangunan ekonomi, 3) Kapasitas fiskal, 4) Pelayanan
Publik dan Aparatur Pemerintah Daerah. Keempat aspek tersebut saling terkait satu
sama lain. Secara teoritis, pemekaran daerah mendorong lahirnya pemerintahan baru,
1. Peningkatan Pelayanan
5. Peningkatan Keamanan dan Ketertiban;
6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
− Ketimpangan Pembangunan wilayah
− Perbedaan Suku dan Agama − Potensi Sumberdaya wilayah − Luas wilayah kab. Polmas − Tuntutan Aspirasi Masyarakat
Pitu Ulunna Salu
PEMEKARAN WILAYAH (UU No. 11 Tahun 2001) KAB. POLEWALI MAMASA
KAB. POLEWALI MANDAR KAB. MAMASA
- Perkembangan Pemekaran
wilayah yang sangat pesat;
- Tujuan Pemekaran wilayah
tercapai;
- Biaya Pemekaran yang sangat besar
PEMBANGUAN EKONOMI DAERAH PELAYANAN PUBLIK DAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah
2.1.1 Konsep Desentralisasi
Terjadinya negara kesatuan yang sentralistik ternyata banyak menimbulkan
dampak-dampak negatif yang tidak mengarah kepada peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan. Sentralisasi kekuasaan tidak memberikan insentif
kepada daerah-daerah untuk meningkatkan produktivitasnya, maupun dalam
memelihara sumberdaya dasar wilayah kearah berkelanjutan, oleh karena itu adanya
wacana desentralisasi, kekuasaan pusat yang dilimpahkan kepada daerah-daerah
otonom, diharapkan akan memperbaiki kinerja ekonomi secara lebih produktif dan
berkelanjutan di masa depan. (Anwar, 2000).
Di dalam arti ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi itu adalah
pelimpangan kekuasaan dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah
tangga sendiri. Logeman dalam Supriatna (1993) dalam Lumbessy (2005)
mengemukakan bahwa kelaziman desentralisasi dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu:
a. Dekonsentrasi (Deconcentratie) atau “ambtelijke decentralisatie” yaitu
berkaitan dengan pelimpahan kekuasaaan dari alat perlengkapan negara
tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan didalam
melaksanakan tugas pemerintahan.
b. Desentralisasi ketatanegaraan atau “ staatkundige decentralisatie yang sering
disebut juga pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan
(regelende en bertuurendebevoerheid) kepada daerah otonomi di dalam
lingkungannya.
Rondinelli, (1981) menyatakan bahwa desentralisasi sebagai : “The transfer
or delegatian of legal and outhority to plan, make decisions and manage public
functions from the central governmental its agencies to field organizations of those
areawide or regional development authorities; functional authorities, autonomous
local government, or non-governmental organizational”. (desentralisasi merupakan
transfer atau pendelegasian wewenang politik dan hukum untuk merencanakan,
membuat keputusan dan memanage fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat dan
lembagalembaganya terhadap organisasi-organisasi di lapangan dari
lembaga-lembaga tersebut, unit-unit pemerintah, otoritas pembangunan regional; wewenang
fungsional; pemerintahpemerintah otonomi lokal; atau lembaga-lembaga
non-pemerintahan).
Berdasarkan pendapat tersebut desentralisasi dikategorikan atas tiga kategori, yaitu:
1) Dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang kurang ekstensif, yang
sekedar merupakan pergeseran beban kerja dari kantor-kantor pusat
departemen kepada staff, itu mungkin tidak diberikan kewenangan untuk
merumuskan bagaimana yang dibebankan kepadanya harus dilaksanakan.
2) Delegasi adalah bentuk desentralisasi dalam wujud pembuatan keputusan dan
kewenangan-kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi
publik tertentu pada organisasi-organisasi tertentu dan hanya dikontrol secara
tidak langsung oleh departemen pusat.
3) Devolusi diartikan sebagai wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political
decentralization).
Menurut G. Shabbir Cheeman dan Dennis A. Rondinelli, desentralisasi dalam
bentuk yang murni mempunyai karakteristik mendasar sebagai berikut:
1. Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas
sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat
melakukan sedikit, atau tidak ada kontrol langsung oleh pusat terhadap
unit-unit tersebut.
2. Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui
secara hukum di mana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan
fungsi-fungsi publik.
3. Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan
4. Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan
lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang
memberikan pelayanan, dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai
pengaruh.
5. Dengan desetralisasi berarti ada hubungan timbal balik, saling
menguntungkan, dan hubungan yang terkoordinasikan antar pemerintah pusat
dengan pemerintahan daerah.
Desentralisasi bermakna penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kewenangan yang diserahkan tersebut, mencakup semua kewenangan
bidang pemerintahan, kecuali kewenengan politik luar negeri, pertahanan keamanan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan
dalam peraturan pemerintah (UU No. 32 Tahun 2004).
Dalam perspektif Cheeman dan Rondinelli (1983), rationale untuk kebijakan
desentralisasi:
1. Memungkinkan pejabat-pejabat untuk menyusun dan menyesuaikan rencana
serta program pembangunan dengan kebutuhan-kebutuhan wilayah dan
kelompok yang heterogen.
2. Mampu memotong sejumlah besar red tape dan prosedur yang rumit sebagai
karakteristik perencanaan dan manajemen terpusat dan over concentration
kekuasaan serta sumber-sumber di pusat.
3. Kontrak/hubungan yang lebih dekat antara pejabat-pejabat pemerintahan dan
masyarakat setempat memungkinkan keduanya untuk mendapatkan informasi
yang lebih baik guna memformulasi perencanaan atau program yang lebih
realistik dan efektif.
4. Dalam pembuatan keputusan dan alokasi sumber-sumber, desentralisasi
memungkinkan keterwakilan yang lebih besar untuk bermacam-macam
kelompok politik, agama, etnis, dan suku.
5. Desentralisasi memberikan kesempatan kepada pejabat-pejabat setempat
desentralisasi juga dapat meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat tersebut
untuk menangani urusan-urusan yang biasanya tidak ditangani secara baik
oleh departemen-departemen pusat (seperti pemeliharaan jalan dan
infrastruktur yang jauh dari ibukota negara).
6. Efisiensi dari pemerintah pusat meningkat karena membebaskan
pejabat-pejabat pusat dari tugas-tugas rutin, di mana tugas -tugas tersebut bisa
dilaksanakan secara lebih efektif oleh petugas lapangan atau pejabat-pejabat
lokal. Ini akan memungkinkan pejabat-pejabat pusat untuk menyusun
perencanaan dengan lebih hati-hati, serta mengawasi kebijakan pembangunan
secara lebih efektif.
7. Desentralisasi memungkinkan pemerintahan yang lebih fleksibel, inovatif dan
kreatif. Daerah bisa menjadi semacam laboratorium untuk eksperimen
kebijakan-kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada
tempat-tempat tertentu.
8. Desentralisasi dalam perencanaan pembangunan dan fungsi manajemen
memungkinkan pemimpin-pemimpin lokal untuk memberikan pelayanan dan
fasilitas lebih efektif, mengintegrasikan daerah-daerah terpecil (dan
terbelakang) ke dalam ekonomi regional, memonitor, dan Mengkaji
proyek-proyek pembangunan secara lebih efektif dibandingkan jawatan-jawatan
perencanaan dari pusat.
Daya tarik desentralisasi tidak semata-mata bahwa dia adalah lawan dari
sentralisasi, dan oleh karena itu diasumsikan memiliki kemampuan mengobati
akibat-akibat buruk dari sentralisasi. Desentralisasi juga mempunyai banyak sisi positif
(B.C. Smith: 1985). Hal ini secara umum dihubungkan dengan sejumlah
tujuan-tujuan ekonomis dan politis. Desentralisasi secara ekonomis dianggap mampu
meningkatkan efisiensi. Desentralisasi dapat mengurangi biaya, meningkatkan
output, dan human resources dapat dimanfaatkan secara lebih efektif. Secara politis,
desentralisasi memperkuat demokrasi dan accountability, meningkatkan kecakapan
Desentralisasi dapat pula dilihat sebagai pembalikan konsentrasi kekuasaan
pemerintahan pada satu pusat, dan memberikan kekuasaan tersebut kepada
pemerintah-pemerintah setempat. Desentralisasi secara luas mencakup delegasi
kekuasaan atau fungsi kepada jenjang-jenjang yang lebih rendah dalam suatu hierarki
teritorial, apakah jenjang tersebut adalah satu dari unit-unit pemerintahan di dalam
suatu negara, atau jawatan-jawatan dalam organisasi berskala besar. Desentralisasi
sebagai sebuah kondisi, diperlukan untuk pembangunan sosial, ekonomi dan politik.
Kecuali itu, banyak negara harus merespons tuntutan-tuntutan politik setempat akan
otonomi luas. Negara sulit mengabaikan ‘public hostility’ terhadap sentralisasi dan
uniformitas. Sehingga desentralisasi mungkin dapat digunakan untuk menghadapi
gerakan-gerakan seccesionists atau separatis. Apakah kemudian desentralisasi
merupakan sebuah respons yang cukup memadai terhadap tuntutan-tuntutan otonomi,
di antaranya akan sangat tergantung kepada seberapa ekstrim tuntutan tersebut, dan
derajat repressiveness (kekerasan) negara di masa lampau (B.C. Smith : 1985).
Abe (2002:7) mengemukakan : segi positif dari desentralisasi adalah Pertama,
bagi pemerintah pusat, desentralisasi tentu akan menjadi jalan (wahana) yang
mengurangi beban pusat. Kedua, program atau rencana-rencana pembangunan yang
hendak diwujudkan, akan lebih realistik, lebih mengena dan lebih dekat dengan
kebutuhan lokal. Ketiga, memberikan kesempatan kepada daerah untuk belajar
mengurus rumah tangganya sendiri, dan dengan demikian belajar untuk bisa
menangkap dan merumuskan aspirasi masyarakat setempat. Keempat, dengan adanya
pemberian kewenangan (politis kearah devolusi), maka berarti akan membuka
peluang bagi keterlibatan rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintah.
Secara spesifik, berdasarkan kepentingan nasional tujuan utama dari
desentralisasi adalah: (a) Untuk mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa,
(b) Sebagai sarana untuk training bagi calon-calon pemimpin nasional, (3) Untuk
mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi
kepentingan daerah, tujuan utama dari desentralasasi meliputi, antara lain, (a) untuk
mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal (political equality, Local accountability,
menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan
di daerah (Susanto et al, 2004).
2.1.2 Konsep Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu autos = sendiri dan nomos =
Undang-undang, yang berarti perundangan sendiri (Izelf Wetgeving). Ada beberapa
ahli yang memberi pengertian tentang otonomi, diantaranya yaitu Manan (1994) yang
mendefinisikan otonomi sebagai kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan
rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan
kewenangan serta tanggung jawab badan pemerintah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya sebagai manivestasi desentralisasi. Defenisi lebih sederhana
disampaikan oleh Mahwood dalam Agusniar (2006) yaitu kebebasan dari pemerintah
daerah dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sedangkan Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32 Tahun
2004).
Pemberian otonomi kepada daerah menurut Bratakusumah dan Riyadi (2003)
merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelolah pembangunan di
daerahnya. Kreativitas, inovasi dan kemandirianlah diharapkan akan dimiliki oleh
setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah
pusat. Hal penting lain adalah dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan
yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat, dengan kata
lain penyediaan barang-barang publik (public goods) dan pelayan publik (public
Dijelaskan lebih lanjut bahwa implementasi otonomi daerah harus lebih
berorientasi pada upaya pemberdayaan daerah, bila dilihat dari kontek kewilayahan
(teritorial), sedangkan bila dilihat dari struktur tata pemerintahan, berupa
pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelolah sumber-sumber daya yang
dimiliki dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip kesatuan bangsa dan negara.
Kemudian dalam konteks kemasyarakat, pemberdayaan yang diupayakan harus lebih
berorientasi pemberdayaan masyarakat di masing-masing daerah, sehingga lebih
berpartisipas dalam pembangunan.
Menurut Bratakusumah dan Riyadi (2003) ada tiga hal yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah dalam upaya memberdayakan masyarakat, yaitu (1)
pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi
masyarakat, (2) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial
ekonomi masyarakat, dan (3) pengembangan program untuk lebih meningkatkan
kemampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk aktif serta dalam
mengembangkan sumberdaya produktif yang tersedia, sehingga memiliki nilai
tambah guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dijelaskan pula oleh Mustopadidjaja (1999) dalam Agusniar (2006), bahwa
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik, ada tujuh prinsip yang harus
dikembangkan dan diimplementasikan dengan segala konsekuensi dan implikasinya,
yaitu:
1. Demokratisasi dan pemberdayaan;
2. Pelayanan;
3. Desentralisasi;
4. Transparansi dan akuntabilitas;
5. Partisipasi;
6. Konsistensi kebijakan dan kepastian hukum.
Lebih lanjut diterangkan bahwa ada beberapa permasalahan yang perlu dipahami
dalam penerapan otonomi, yaitu:
1. Kita harus memahami bahwa otonomi daerah adalah suatu sistem
otonomi adalah subsisten dalam sistem ketatanegaraan dan merupakan sistem
yang utuh dalam pemerintahan. Artinya, seluas apapun otonomi daerah
diterapkan tidak akan pernah lepas dari kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2. Perlu dipahami pula bahwa untuk dapat melaksanakan otonomi secara baik
dan benar diperlukan adanya political will (kemauan politik) dari semua
pihak, baik pemerintah pusat, masyarakat maupun pemerintah daerah,
kemauan politik ini sangat penting, karena diyakini dapat mempersatukan
berbagai kepentingan yang berbeda ke dalam suatu wadah pemahaman yang
berorientasi pada satu tujuan. Dengan kemauan politik ini pula diharapkan
pemikiran-pemikiran parsial, primoordial, rasial (etnosentris) dan separatisme
dapat terbendung, bahkan dapat direkomendasikan secara optimal menjadi
suatu kekuatan yang besar bagi proses pembangunan;
3. Perlu adanya komitmen bersama untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai
dengan aturan yang berlaku guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Ciri utama yang mewujudkan suatu daerah mampu berotonomi terletak pada
kemampuan keuangan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan
dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelolah dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerahnya (Anwar, 2005).
Kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah harus mengatur secara pasti
pengalokasian “dana perimbangan” smith (1985) membedakan dua sudut pandang
kepentingan: kepentingan Pemerintah Pusat dan kepentingan Pemerintahan Daerah.
Sedikitnya ada tempat tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah:
pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan
mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah.
Sementara, bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan
pertama, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan apa
yang disebut sebagai Political Equity. Ini berarti bahwa melalui pelaksanaan
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat local,
tujuan kedua, adalah untuk menciptakan local accountability, tujuan ketiga, adalah
untuk mewujudkan apa yang disebut dengan local responsiveness, karena pemerintah
daerah dianggap lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat.
2.2Pembangunan
Secara filosofi suatu proses pembangunan dapat diartikan “upaya yang
sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi warga yang
paling humanisti”. Dengan kata lain proses pembangunan merupakan proses
memanusiakan manusia UNDP mendefenisikan pembangunan dan khususnya
pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi
penduduk (a process of enlarging people’s choices). Menurut todaro (2000)
pembangunan harus memenuhi tiga konsep dasar yang dijadikan sebagai basis
konseptual dan pedoman praktis dalam memenuhi dalam memenuhi pembangunan
yang paling hakiki yaitu kecukupan (subtanance) memenuhi kebutuhan pokok,
meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem), serta kebebasan (freedom)
untuk memilih.
Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma menurut
Anwar (2001a), mengarahkan pembangunan wilayah kepada terjadinya pemerataan
(equty) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (effeciency), dan keberlanjutan
(substainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut,
dalam proses perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintasi waktu yang
ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti perubahan keadaan
sosial, ekonomi, serta realitas politik. Pembangunan dapat diartikan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara/wilayah untuk mengembangkan
kualitas hidup masyarakat.
Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2003), pembangunan sebagai suatu
kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai pertumbuhan menunjukkan
kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.
Lebih lanjut menurut Riyadi dan Bratakusumah (2003), pembangunan pada
dasarnya merupakan salah satu wujud tugas pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembangunan
merupakan implementasi dari tugas pelayanan, dimana perhatian utamanya adalah
kebutuhan masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam
kaitannya dengan peran pemerintah dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam
memikul tanggung jawab pembangunan. Peran pemerintah dalam pembangunan
dapat ditingkatkan antara lain melalui: (1) pengurangan hambatan dan
kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (2) perluasan akses pelayanan
untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (3)
pengembangan program untuk lebih meningkatkan kemampuan dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan dan
mendayagunakan sumberdaya produktif yang tersedia, sehingga memiliki nilai
tambah guna meningkatkan kesejahteraan mereka, oleh karena itu, salah satu
indikator utama untuk mengukur berhasil atau tidaknya suatu proses pembangunan
adalah seberapa besar tingkat kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat dari bagaimana
masyarakat dapat dengan mudah menikmati hasil-hasil pembangunan seperti listrik,
air bersih, BBM, sarana, dan prasarana perhubungan/transportasi dan sebagainya.
2.3Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan oleh suatu negara/daerah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi
dan kualitas hidup masyarakatnya. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian
dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi. Menurut Arsyad
(1999) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam
wialayah tersebut. Dalam kebijakan pembangunan ekonomi daerah penekanannya
didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development)
dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia dan sumber fisik secara lokal.
Agar pembangunan ekonomi tersebut dapat mencapai sasaran sesuai dengan
tujuan, yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan suatu strategis
pembangunan yang tepat. Program pembangunan di kebayakan negara sedang
berkembang sering lebih ditekankan pada pembangunan prasarana untuk
mempercepat pembangunan sektor produktif, hal ini dimaksud guna meningkatkan
produktivitas barang dan jasa sehingga PDP/PDRB negara/daerah tersebut juga akan
meningkatkan, oleh karena itu PDP/PDRB merupakan salah satu indikator yang
digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara/daerah.
Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan
ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami
pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau
kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah
perkembangan masyarakat. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi
didefenisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita
penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem
kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses
dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasikan dan
dianalisis dengan seksama.
2.4Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sumber
atas: a). Pendapatan Asli Daerah (PAD), b). Dana Perimbangan, dan c). Lain-lain
pendapatan daerah yang sah (UU No. 32 Tahun 2004).
2.4.1 Pendapatan Asli Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan)
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Penyerahan berbagai
kewenangan dalam rangka desentralisasi ini tentunya harus disertai dengan
penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Sumber pembiayaan yang paling penting
adalah sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli
Daerah) di mana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari
komponen pajak daerah dan retribusi daerah (Riduansyah, 2003).
Secara teoritik, PAD merupakan suatu sumbangan nyata yang diberikan oleh
masyarakat setempat guna mendukung status otonom yang diberikan kepada
daerahnya. Tanda dukungan dalam bentuk besarnya perolehan PAD penting artinya
bagi suatu pemerintah daerah agar memiliki keleluasaan yang lebih dalam
melaksanakan pemerintahan sehari-hari maupun pembangunan yang ada di
wilayahnya. Seorang pakar dari World Bank berpendapat bahwa batas 20 persen
perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah.
Sekiranya PAD kurang dari angka 20 persen tersebut, maka daerah tersebut akan
kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri (Conchrane, 1983).
Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis
pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan
jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis
pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari
tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan kondisi yang perlu
diciptakan dan menjadi suatu pandangan umum yang dikemukakan serta diterima
oleh para ahli yang menekuni kajian pemerintahan daerah, khususnya keuangan
daerah, seperti Nick Devas, Richard M. Bird, dan B. C. Smith. Agar pemerintah
daerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang
sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas
dalam pemungutan pajak daerah.
Pendapatan asli daerah (PAD) menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Asli
Daerah (PAD) bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD. Kewenangan
daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU Nomor 34 Tahun 2000
yang direvisi menjadi UU Nomor 28 tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan
dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan
PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut, pajak
daerah adalah Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah
dan pembangunan Daerah sedangkan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut
Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah, daerah diberikan
kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis
pajak dan retribusi didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut
secara umum dipungut oleh hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan
yang secara teoritis dan praktis merupakan, pungutan yang baik. Selain jenis pajak
dan retribusi tersebut, daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis