• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilai-

2. Pendekatan Psikologi

2. Pendekatan Psikologi

Dalam pengembangan dan pembentukkan nilai-nilai moral sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk bagi remaja dalam mencari jalannya sendiri dan untuk menumbuhkan identitas dirinya menuju kepribadian yang semakin matang di tengah-tengah masyarakat (lingkungan sekitar mereka), selain melalui pendekatan sosial, penulis memilih pembentukkan nilai-nilai moral ini dilakukan

118

juga melalui pendekatan psikologi, ulasan yang akan dikembangkan berikut ini adalah teori penalaran, behavior dan kata hati.

a. Teori Penalaran

Pendekatan teori penalaran, seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Lawrence Kohlberg. Keduanya mengemukakan tahapan perkembangan moral berdasarkan perkembangan kognitif.

Menurut Piaget, “perkembangan moral seseorang terjadi dalam dua tahap yang jelas. Tahap pertama disebut Piaget “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan.’ Tahap kedua disebutnya “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerja sama atau hubungan timbal balik”119

Dalam tahap pertama, “perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua dewasa yang berwenang sebagai yang berkuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan kepada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya”.120

Dalam tahap perkembangan moral ini, anak menilai tindakan sebagai “benar” atau “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakan tersebut. Sebagai contoh: suatu tindakan dianggap “salah” karena mengakibatkan hukuman dari orang lain. Dalam perkembangan moral menurut Piaget, hal ini terjadi pada tahapan sensorimotor, praoperasional dan operasional konkret.

Namun, dalam perkembangan moral pada tahap operasional konkret, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 dan berlanjut hingga usia 11 atau lebih. Antara usia 6 ke 7 atau 8 tahun, konsep anak tentang keadilan mulai berubah. Gagasan yang kaku dan tindakan luwes mengenai benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, secara bertahap dimodifikasi.

Akibatnya, anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia 5 tahun

119

Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 79 120

berbohong itu selalu “buruk”, tetapi anak yang lebih besar menyadari bahwa berbohong dibenarkan dalam situasi tertentu dan kerenanya tidak selalu “buruk”.

Tahap kedua, perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan operasional formal” dari Piaget dalam perkembangan kognitif, pada tahap ini anak sudah mampu mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil.121 Hal ini memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandangan dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkannya.

Kemudian, Kohlberg telah melanjutkan penelitian Piaget dan telah menguraikan teori Piaget secara terinci dengan memberi tiga tingkatan perkembangan moral alih-alih dua tingkatan dari Piaget, dan masing-masing tingkat terdiri atas dua tahap.

Pada tingkat 1, “Prakonvensional”, “perilaku anak tunduk pada kendali eksternal. Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, dan moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan.”122

Dalam hal ini, terdapat beberapa unsur resiprositas dan berbagi, tetapi hal itu lebih mempunyai dasar tukar-menukar daripada perasaan keadilan yang sesungguhnya.

Tingkat 2, “Konvensional”, atau moralitas peraturan konvensional dan persesuaian. Dalam tahap pertama tingkat ini, “Anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapat persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubunganbaik dengan mereka. Kemudian dalam tahap kedua tingkat ini, anak meyakini bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial”.123

Tingkat 3, oleh Kohlberg diberi nama “Pascakonvensional”, dalam tahap pertama tingkat ini, “anak yakin bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinan-keyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral

121

Ibid., h. 80 122

John W. Santrock., Op.cit., h. 55 123

bila ini terbukti akan menguntungkan kelompok sebagai suatu keseluruhan. Dalam tahap kedua tingkat ini, orang menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan untuk menghindari dar kecaman sosial”.124 Ia terutama merupakan moralitas yang lebih banyak berdasarkan penghargaan terhadap orang lain bukan pada keinginan pribadi.

Menurut analisis penulis, Kohlberg berkeyakinan bahwa tingkat-tingkat dan tahap-tahap ini merupakan sebuah rangkaian dan berkaitan dengan usia. Sebelum usia 9 tahun, sebagian besar anak menggunakan cara prakonvensional ketika dihadapkan pada dilemma moral. Di masa awal remaja, mereka bernalar secara lebih konvensional. Sebagian besar remaja bernalar pada tahap 3, dengan beberapa indikasi pada tahap 2 dan 4. Di masa dewasa awal, sejumlah kecil individu bernalar di tahap pascakonvensional.

Kohlberg berpendapat bahwa orientasi moral individu terbentang sebagai konsekuensi dari perkembangan kognitif. Anak-anak dan remaja menyusun pemikiran moralnya seiring dengan perkembangannya dari satu tahap ke tahap berikutnya.

Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi. Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian.

“Remaja dalam perkembangan moralnya, tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya.”125

Perkembangan moral remaja menurut Piaget mulai timbul pada tahap operasional formal di antara usia 11 hingga 15 tahun. Dan menurut Kohlberg mulai timbul pada tahap konvensional. Karakteristik yang paling menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah sifatnya yang lebih abstrak.

124

Elezabeth B. Hurlock., op. cit, h. 80 125

Mereka sudah dapat menciptakan situasi-situasi fantasi, peristiwa-peristiwa yang murni berupa kemungkinan-kemungkinan hipotesis atau hanya berupa proposal abstrak dan mencoba bernalar secara logis mengenainya.

Indikator lain yang memperlihatkan kualitas abstrak dari pemikiran remaja adalah meningkatnya tendensi untuk berpikir mengenai berpikir itu sendiri. Pemikiran yang menyertai abstrak dari pemikiran formal operasional adalah pemikiran yang banyak mengandung idealism dan kemungkinan. Sementara anak-anak sering kali berpikir secara konkret mengenai hal-hal yang bersifat riil dan terbatas. Di samping berpikir abstrak dan idealistik, remaja juga sudah mulai bisa berpikir logis.

b. Teori Perilaku Moral (behavior)

Perilaku yang dapat disebut “moralitas yang sesungguhnya” tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan primer pada kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan pribadi pada tempat kedua (kelompok). Moralitas yang sesungguhnya jarang ditemui pada anak-anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja.126

Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Ia merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. Sebelum anak memasuki usia remajanya, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan salah dalam situasi sederhana dan meletakkan dasar bagi perkembangan hati nurani. Sebelum masa kanak-kanak berakhir, anak diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral.

Pengetahuan moral atau penalaran moral, tidak menjamin tingkah laku moral karena dimotivasi oleh faktor yang lain dari pengetahuan. Tekanan sosial,

126

bagaimana perasaan remaja tentang dirinya, bagaimana mereka diperlakukan oleh anggota keluarga dan teman sebayanya, keinginan-keinginan pada saat itu dan banyak faktor lain yang mempengaruhi bagaimana remaja akan bersikap bila suatu pilihan harus diambil.

Di samping menekankan faktor dari pengaruh-pengaruh lingkungan, kesenjangan yang terdapat di antara pemikiran moral dengan tindakan moral dan faktor lainnya tadi, behavioris juga menekankan bahwa perilaku moral itu bersifat situasional. Dengan kata lain remaja tidak selalu memperlihatkan perilaku moralnya konsisten di berbagai situasi sosial.

Teori kognisi sosial mengenai perkembangan moral, menekankan adanya perbedaan antara kompetensi moral remaja, kemampuan untuk menghasilkan perilaku moral, dan performa moral, penampilan perilaku-perilaku moral di situasi khusus. Kompetensi atau kemahiran terutama bertumbuh dari proses-proses kognitif. Kompotensi dapat meliputi hal-hal yang mampu dilakukan dan diketahui oleh remaja, keterampilan yang dimiliki, kesadaran remaja mengenai peraturan-peraturan moral, kemampuan kognitif mereka untuk menyusun perilakunya. Sebaliknya, peforma atau perilaku moral remaja ditentukan oleh motivasi yang diterapkan ketika mereka menampilkan suatu perilaku moral tertentu.127

Albert Bandura, juga berpendapat bahwa perkembangan moral paling baik dipahami apabila mempertimbangkan kombinasi dari faktor-faktor sosial dan kognitif. Khususnya yang melibatkan kontrol-diri. Ia menyatakan bahwa ketika mengembangkan “diri moral (moral self), individu mengadopsi standar mengenai benar dan salah yang dapat berfungsi sebagai pedoman dan larangan dalam berperilaku. Itulah sebabnya perilaku moral yang akan dicapai harus terjadi dalam fase konsep moral yang jelas.128

c. Teori Kata Hati

Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai. Akibatnya, setiap anak yang masih kecil dapat dianggap nonmoral ketika ia

127

John W. santrock., op. cip., h. 314 128

melakukan kesalahan. Dan tidak seorang anak pun dapat diharapkan mengembangkan kode moral sendiri. Sebaliknya, setiap anak harus diajarkan standar kelompok tentang yang benar dan yang salah.

Perumusan mengenai teori kata hati/suara hati terhadap perkembangan moral, sama halnya membahas mengenai perkembangan perasaan moral. Di antaranya berbagai perumusan gagasan mengenai perkembangan moral adalah konsep-konsep yang sentral bagi teori psikoanalisis, sifat dasar dari empati dan peran emosi bagi perkembangan moral.

Sebagaimana yang telah dibahas oleh penulis di bab dua sebelumnya, teori psikoanalisis Sigmund Freud meyakini bahwa demikian pentingnya perkembangan masa kanak-kanak, yang menurut Freud seorang anak harus mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan seksual secara wajar, agar tidak mengalami tingkah laku yang menyimpang ketika ia memasuki usia dewasa. Freud juga mendeskripsikan superego sebagai salah satu dari tiga struktur utama kepribadian seseorang (dua struktur lainnya adalah id dan ego). Dalam teori psikoanalisis Freud, superego individu merupakan cabang moral dari kepribadian yang telah berkembang di masa kanak-kanak ketika anak-anak telah mampu menyelesaikan konflik Oedipud dan beridentifikasi dengan orang tua berjenis kelamin sama dengannya.

Menurut Freud salah satu alasan yang membuat anak-anak menyelesaikan konflik Oedipus adalah untuk menghilangkan ketakutan kehilangan cinta orang tua dan dihukum karena memiliki harapan-harapan seksual yang tidak diinginkan terhadap orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Untuk mengurangi kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan afeksi orang tua, anak-anak membentuk superego dengan cara beridentifikasi pada orang tua. Dalam pandangan Freud, melalui identifikasi inilah, anak-anak menginternalisasikan standar-standar orang tua mengenai benar dan salah yang merupakan cerminan dari larangan-larangan sosial.

Pada waktu yang sama juga, anak-anak mengarahkan rasa permusuhannya yang sebelumnya diarahkan ke orang tua sesama jenis kelamin, ke dalam dirinya. Permusuhan yang diarahkan ke dalam dirinya secara langsung kemudian dialami

sebagai kecenderungan untuk menghukum diri sendiri yang sifatnya tidak disadari, dan dikenali sebagai perasaan bersalah. Dalam penjelasan psikoanalisis mengenai perkembangan moral, kecenderungan untuk menghukum diri sendiri dalam bentuk perasaan bersalah ini akan menjaga agar anak-anak dan kelak ia remaja, dari kecenderungan untuk melanggar hukum.129 Artinya, anak-anak dan remaja taat terhadap standar sosial untuk menghindari rasa bersalah.

Kemudian, perasaan-perasan positif, seperti empati, juga berkontribusi terhadap perkembangan moral remaja. Perasaan empati berarti beraksi terhadap perasan orang lain yang disertai dengan respon emosional yang serupa dengan perasaan orang lain. Meskipun empati dialami sebagai kondisi emosional, perasaan empati memiliki komponen kognitif yang memiliki kemampuan untuk memahami kondisi psikologis dalam diri seseorang, atau yang biasa disebut sebagai pengambilan perspektif.130

Jika disimak, teori psikoanalisis menekankan bahwa pengaruh dari perasaan bersalah yang tidak disadari terhadap perkembangan moral. Namun pada perspektif kontemporer, teori lain seperti teori dari Damon menekankan selain peranan empati, perasaan-perasaan positif lainnya seperti simpati, kekaguman, harga diri, maupun perasan-perasaan negatif seperti kemarahan, perasaan malu, perasaan bersalah, juga dapat berkontribusi bagi perkembangan moral remaja. Ketika dialami secara kuat, emosi-emosi ini mempengaruhi remaja untuk bertindak menurut standar-standar benar dan salah.131

Emosi-emosi seperti empati, perasaan malu, perasaan bersalah, dan lain-lain, sudah dialami sejak awal perkembangan dan akan terus mengalami perubahan sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Emosi-emosi ini memberikan suatu landasan yang alamiah bagi pemerolehan nilai-nilai moral remaja, mengarahkan para remaja pada peristiwa-peristiwa moral dan memotivasi mereka untuk memberikan atensi terhadap peristiwa-peristiwa semacam itu.

129 Ibid., h. 316 130 Ibid., h. 317 131 Ibid., h. 318

C. Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk Penanaman Nilai-nilai

Dokumen terkait