• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Perkembangan Moral Remaja

“Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku mengenai standar tentang benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi sosial, dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik.”77

Ditinjau dari kesadaran moral yang berkaitan dengan perkembangan kognisi seseorang, perkembangan secara kognitif sebelumnya telah dikembangkan oleh Piaget, yang mengungkapkan bahwa “pada tahap operasional kongkret (8-12 tahun), anak sudah dapat memahami dan menghargai aturan-aturan. Mereka sudah dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, serta akibat-akibatnya”. 78 Jadi menurut Piaget, moral anak itu diturunkan dari perkembangan kognitifnya.

Menurut Piaget, individu berkembang melalui empat tahap kognitif, di mana pada setiap tahap tahap yang terkait dengan usia ini mengandung cara-cara pemikiran yang berbeda-beda.

Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget Tahap Sensorimotor Bayi membangun pemahaman mengenai dunia dengan mengordinasikan pengalaman sensoris dengan tindakan fisik. Bayi mengalami kemajuan dari tindakan reflex sampai mulai

menggunakan pikiran simbolis hingga akhir tahap. Tahap Praoperasional Anak mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Kata-kata dan gambar ini mencerminkan peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensoris dan tindakan fisik. Tahap Operasional Konkret

Anak saat ini dapat bernalar secara logis mengenai peristiwa-peristiwa konkret dan menghasilkan obyek-obyek ke dalam bentuk – bentuk yang berbeda. Tahap Operasional Formal Remaja bernalar secara lebih

abstrak, idealis, dan logis.

Lahir-2 tahun 2-7 tahun 7-11 tahun 11 tahun-dewasa

77

John W. santrock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 2, Edisi ke-11, h. 117

78

Syamsul Bachri Thalib, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 54

Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget:

1. Pemikiran Sensorimotor dan Praoperasional Tahap sensorimotor. Berlangsung mulai dari lahir hingga usia 2 tahun. Dalam tahap ini bayi mengonstruksikan suatu pemahaman mengenai dunia dengan cara mengordinasikan pengalaman sensoris (seperti melihat dan mendengar) melalui tindakan fisik-motorik-oleh karena itu dinamakan istilah sensorimotor. Pada awal dari tahap ini, bayi-bayi yang baru lahir memiliki lebih dari sekadar refleks-refleks. Pada akhir dari tahap sensorimotor, bayi berusia 2 tahun dapat menghasilkan pola-pola sensorimotor yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol.

2. Tahap Praoperasional. Yang berlangsung antara usia 2 hingga 7 tahun, meupakan tahap Piaget yang kedua. Dalam tahap ini anak-anak mulai mempresentasikan dunianya dalam bentuk kata-kata, bayangan, dan gambar. Pemikiran simbolis mereka tadi lebih dari sekadar koneksi antara informasi dan aksi.

3. Tahap Pemikiran Operasi Konkret. Yang berlangsung antara usia 7 hingga 11 tahun, adalah tahap ketiga menurut Piaget. Penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif selama penalaran dapat diterapkan ke contoh-contoh yang spesifik atau konkret.

4. Tahap Pemikiran Operasi Formal. Tahap keempat dan terakhir dari perkembangan kognitif menurut Piaget. Menurut Piaget, tahap ini muncul di usia antara 11 hingga 15 tahun. Perkembangan kekuatan berpikir remaja membuka cakrawala kognitif dan sosial yang baru. Karakteristik yang paling menonjol dari pemikiran operasi formal yang menurut Piaget berkembang di masa remaja adalah sifatnya yang lebih abstrak dibandingkan pemikiran operasi konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya.79

Setiap tahap-tahap yang berkaitan dengan usia ini mengandung cara-cara pemikiran yang berbeda-beda. Cara yang berbeda dalam memahami dunia inilah yang membuat suatu tahap lebih maju dibandingkan tahap lainnya. Hanya sekadar

79

John W. Santrock, Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), edisi 11 jilid 1, h. 124-126Op.cit., h. 124-126

memiliki informasi lebih banyak tidak membuat pemkiran seorang remaja lebih maju. Dengan demikian, dalam teori Piaget, kognisi seseorang di tahap yang satu berbeda secara kualitatif dari tahap lainnya.

Dalam bagian ini, penulis tidak akan menyebutkan secara menyeluruh, tetapi hanya akan disebutkan bagian tahap operasi konkrit dan operasi formal. Untuk tahap sensorimotor maupun praoperasional, lebih tepat dijelaskan pada bagian psikologi perkembangan anak.

Ciri-ciri perkembangan kognitif tahap operasi konkret. Agoes dariyo mengemukakan bahwa ada 4 ciri-ciri individu yang masih dalam perkembangan pada tahap ini, yakni: Keinginan untuk memiliki penjelasan secara pasti dan detail, ketidakmampuan untuk beralih dari tugas satu ke tugas lain secara langsung, ketidakmampuan untuk mengetahui hubungan antar ide/gagasan, dan individu sering menginterpretasikan sesuatu hal secara harpiah (apa yang tertulis dalam bacaan yang ditemuinya). Sedangkan ciri-ciri perkembangan kognitif tahap operasi formal. Menurut Bracee dan Bracee dalam buku psikologi perkembangan remaja oleh Agoes dariyo, mengemukakan bahwa ciri-ciri perkembangan kognitif pada tahap ini yaitu: individu telah memiliki pengetahuan gagasan inderawi yang cukup baik, individu mampu memahami hubungan antara 2 ide atau lebih, individu dapat melaksanakan tugas tanpa perintah/instruksi dari gurunya, dan individu dapat menjawab secara praktis, menyeluruh, dan mengartikan suatu informasi yang dangkal.80

Secara ekstensif Piaget melakukan pengamatan dan wawancara terhadap anak-anak yang berusia antara 4 hingga 12 tahun. Salah satu pengamatan beliau, Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng untuk mempelajari mengenai bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan-aturan permainan. Ia juga mengajukan sejumlah pertanyaan kepada anak-anak itu mengenai isu-isu yang menyangkut etika-contohnya, pencurian, kebohongan, hukuman dan keadilan.

80

Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2004), cet 1, h. 56-57

Piaget berkesimpulan bahwa anak-anak berpikir melalui dua cara yang berbeda mengenai moralitas, tergantung pada kematangan perkembangannya, yaitu: moralitas heteronom (heteronomous morality) adalah perkembangan moral dalam teori Piaget yang berlangsung antara usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dipandang sebagai sifat-sifat mengenai dunia yang tidak dapat diubah dan dihilangkan dari control manusia. Moralitas otonom (autonomous morality) adalah perkembangan moral dalam teori Piaget yang diperlihatkan oleh-oleh anak-anak yang lebih besar (sekitar umur 10 tahun ke atas). Anak menjadi menyadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh orang, dan bahwa dalam memutuskan suatu tindakan, seseorang seharusnya mempertimbangkan intensi aktor maupun konsekuensinya. 81

Seorang pemikir heteronom menentukan benar atau baiknya perilaku dengan mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku tersebut, bukan intense dari aktor. Sebagai contoh, pemikir heteronom mengatakan bahwa memecahkan 12 piring secara tak sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue, itu lebih buruk dibandingkan apabila memecahkan sebuah piring secara sengaja. Bagi seorang otonomis moral, malah kebalikannyalah yang benar. Intensi aktor dianggap sebagai hal yang lebih penting.

Pemikir heteronom juga berpendapat bahwa aturan-aturan itu tidak dapat diubah dan dibuat oleh otoritas yang memiliki kuasa penuh. Ketika Piaget memperkenalkan sebuah aturan baru dalam permainan kelereng kepada sekelompok anak kecil, mereka menolak. Sebaliknya anak-anak yang lebih besar-seorang otonomis moral, bersedia menerima perubahan dan mengenali aturan-aturan tersebut hanya sebagai suatu kesepakatan yang disetujui bersama secara sosial dan dapat diubah melalui consensus.

Pemikir heteronom juga mempercayai immanent justice, gagasan bahwa apabila sebuah aturan dilanggar, maka hukuman akan segera diterima. Anak kecil berpendapat bahwa pelanggaran secara otomatis berkaitan dengan hukuman.

Kemudian Lawrence Kohlberg mengembangkan pemikiran tersebut (Piaget), melalui penelitiannya untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang mendasari perkembangan pemikiran moral. Kemudian dari penelusuran teori yang

81

dicetuskan Kohlberg, perkembangan moral telah memberikan dasar bagi analisis dari banyak pertanyaan yang berkaitan dengan moralitas.

Kohlberg mencoba untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang mendasari perkembangan pemikiran moral, melalui serangkaian penelitiannya. Dia menanyakan kepada responden (72 Remaja laki-laki berusia 10, 13 dan 16 tahun), tentang apa yang mereka pikirkan mengenai perbedaan “pilihan moral”. Pilihan moral tersebut antara lain adalah tentang kasus Heints yang menghadapi istrinya yang nyaris mati karena sakit kanker. Heints dihadapkan pada pilihan. Apakah harus membiarkan istrinya sampai mati lantaran tidak bisa membelikan obat yang harganya sangat mahal, atau harus mengambil obat tersebut secara paksa dari apoteker tersebut. Pada akhirnya Heints mengambil keputusan untuk masuk dengan paksa ke dalam toko obat tersebut guna mencuri obat untuk istrinya.

Para remaja tadi diminta untuk mengomentari keputusan Heints serta mengidentifikasi alasan-alasannya. Kemudian berdasarkan tanggapan para remaja terhadap dilemma Heints tersebut, Kohlberg mengambil kesimpulan bahwa perkembangan setiap individu itu melalui tiga fase tingkatan dari perkembangan moral, yang masing-masing memiliki sub tahapan.

Tahap-tahap Kohlberg Atas Perkembangan Moral Anak-anak dan Remaja

Tingkat Perkembangan Moral

Karakteristik Perkembangan Moral

1. Prakonvensional 1. Ketaatan terhadap hukuman: berupaya untuk menghindari hukuman.

2. Instrumental: aku akan melakukan itu jika kamu melakukan sesuatu untuk aku.

2. Konvensional 3. Persetujuan interpersonal: aku akan melakukan itu dengan baik, dan kamu juga melakukannya, sebagaimana aku melakukannya.

4. Hukum dan aturan: saya akan melakukan itu sebab adalah hukum.

3. Postkonvensional 5. Kontrak sosial: saya akan melakukan itu sebab hal itu adalah yang terbaik untuk semua orang. 6. Etika Universal: aku akan melakukan itu sebab

1. Tahap prakonvensional

Pada level prakonvensional, individu-individu merespon perhatian personal dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan personal secara fisik dan hedonistik.

Tahap pertama orientasi hukuman. Individu-individu pada tahap pertama penalaran moral melakukan penilaian (judgments) dalam terminologi konsekuensi secara fisik. Mereka menghindari hukuman dan bahkan kadang-kadang mereka mengalah untuk menghindari hukuman.

Tahap kedua orientasi instrumental. Individu-individu pada tahap kedua perkembangan penalaran moral melakukan penilaian dalam cara atau aturan yang sesuai dengan kebutuhannya. Mereka tidak loyal terhadap orang lain. Meskipun demikian, unsur-unsur berbagi rasa dan hubungan persahabatan, dilakukan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan dan keuntungan pribadi, bukan diarahkan terhadap kepentingan dan loyalitas terhadap orang lain.

2. Tahap Konvensional

Pada tahap konvensional. Kebutuhan egosentrik digantikan dengan harapan terhadap grup. Konformitas, loyalitas, dan identifikasi dengan grup berbasis pada penilaian moral.

Tahap ketiga orientasi hubungan interpersonal. Berdasar penilaian moral, remaja pada tahap ini sering kali dikenal sebagai anak laki-laki yang baik, atau anak perempuan yang manis. Perilaku pada tahap ini ditandai dengan penerimaan perilaku oleh orang lain. Terutama dalam hal otoritas.

Tahap keempat orientasi hukum dan aturan. Tugas, aturan, pemeliharaan norma-norma sosial dan rasa hormat untuk otoritas membentuk basis keputusan moral pada tahap keempat perkembangan moral. Apa yang benar adalah apa yang mendikte otoritas.

3. Postkonvensional

Sebagaimana diketahui bahwa tahap otonomi dan prinsip pada tahap sebelumnya menjadi basis penilaian moral pada tahap postkonvensional. Pada tahap postkonvensional ketidaktaatan sosial masih dapat ditoleransi.

Tahap kelima orientasi kontrak sosial. Pada tahap kelima ini, hak-hak/kebenaran menggantikan otoritas individu. Demikian pula pengambilan keputusan, tergantung atau didasarkan pada kepentingan bersama. Penekanan pada consensus menjadi basis untuk mengembangkan kontrak sosial.

Tahap keenam orientasi prinsip etika universal. Kesadaran, perkembangan penalaran logis, kekomprehensifan, dan universalitas menjadi basis penilaian moral. Prinsip-prinsip abstrak menjadi basis keadilan. Pada tahap postkonvensional, individu mengikuti aturan sebagaimana adanya sesuai dengan asa hukum universal. Pada tahap ini, individu tidak memerlukan penguatan untuk mengikuti suatu aturan.82

Pada dasarnya “setiap tahapan dibedakan oleh alasan moral yang lebih kompleks, lebih konferhensif, lebih terintegrasi dan lebih membedakan dari pada alasan tahapan sebelumnya.”83

Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi. Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian.

Selain kasus Heints, Kohlberg juga mengidentifikasi isu dilema moral remaja dari kasus-kasus yang lain yang dapat menimbulkan konflik, diantaranya: termasuk hukuman, property, afiliasi, otoritas, karakter watak, norma atau aturan-aturan, kesepakatan (contrac), kebenaran, kebebasan, kehidupan dan seks. Sebagai contoh, jika seorang remaja berada pada posisi dilemma antara otoritas dan afiliasi, maka remaja dapat menggunakan pemikiran moral untuk mengambil keputusan, termasuk mengikuti standar moral, konsekuensi, kewajaran dan kesadaran moral dengan perspektif sosial untuk mendukung pilihan itu.84

Menurut perspektif psikoanalisa, Sigmund Freud sebagai tokoh dari aliran ini berasumsi bahwa mental dan kepribadian seseorang dipandang sebagai suatu struktur yang tediri dari tiga unsur atau sistem, yakni yang pertama “id” (Das Es) adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id merupakan sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, namun dalam soal energi ini id tidak bisa mentoleransi penumpukan energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf

82

Ibid., h. 55-56 83

Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, op. cit., h. 83 84

tegangan individu secara keseluruhan, degan demikian individu membutuhkan sistem lain yang bisa mengarahkannya kepada pengurangan-pengurangan ketegangan secara nyata atau sesuai dengan kenyataannya yaitu ego. Kedua, “ego” yang merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut Freud, ego terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Ketiga, “Superego” (das Ueberich) adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk) sebagai pengendali dorongan-dorongan naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan dalam cara dan bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.85

Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan, prinsip-prinsip operasi, dinamisme dan mekanismenya masing-masing, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas sebagai pemelihara kelangsuangan hidup individu.

Dari pandangan psikoanalisa, “dorongan pembawaan (innate) terutama dorongan seksual dan agresif dikontrol oleh perkembangan superego, demikian pula perilaku moral yang muncul sebagai hasil dari kecemasan yang berasosiasi dengan pikiran dan perasaan bersalah, dikontrol oleh perkembangan superego yang sifatnya instintif”.86

Mengenai perkembangan kepribadian individu berlandaskan pada dua premis. Pertama, bahwa kepribadian individu dibentuk oleh berbagai jenis pengalaman masa kanak-kanak awal. Kedua, energi seksual (libido) ada sejak lahir, dan kemudian berkembang melalui serangkaian tahapan psikoseksual yang bersumber pada proses-proses naluriah organisme.

Sigmund freud menegaskan serangkaian tahapan psikoseksual pada manusia terdapat empat fase yang kesemuanya menentukan bagi pembentukan kepribadian dan masing-masing fase berkaitan dengan daerah erogan tertentu. Adapun fase-fase tersebut adalah fase perkembangan yang berlangsung pada

85

E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2, h. 32-34 86

tahun pertama dari kehidupan individu dan daerah yang erogan pada fase ini adalah mulut (fase oral), yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan makanan atau air. (fase anal) yang dimulai dari tahun kedua sampai ketiga dan pada fase ini fokus kepada energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur, serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dalam kaitannya dengan tindakan mempermainkan atau menahan faeces (kotoran). Dengan demikian pada fase ini disebut pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang tuanya. (fase falik) berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni fase ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin. Dan (fase genital) terjadi pada masa-masa memasuki pubertas, individu mengalami kebangkitan atau peningkatan dalam dorongan seksual, dan mulai menaruh perhatian terhadap lawan jenis.87

Secara psikologis kaitannya dengan perkembangan moral remaja, gangguan atau kekacauan jiwa dan pada akhirnya melahirkan tindakan devian (menyimpang) yang dialami oleh remaja ditimbulkan oleh karena frustasi kebutuhan seksual yang dialaminya pada masa kanak-kanak. Sigmund Freud meyakinkan mengenai demikian pentingnya perkembangan masa kanak-kanak, sehingga jika seorang anak tidak mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan seksual secara wajar, maka ia akan mengalami tingkah laku yang menyimpang ketika ia memasuki usia dewasa. 88 Perkembangan moral berdasarkan perspektif ini menekankan pada disiplin pengasuhan sejak dini hingga dewasa.

Perkembangan moralitas berdasarkan perspektif behavioristik adalah melalui model, proses imitasi, dan penguatan (reinforcement). Remaja mengalami perkembangan moral sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang menyediakan model perilaku moral. Syamsul Bachri Thalib menemukan bahwa gender, status sosial ekonomi, religiositas, intelegensi, fokus kendali, dan karakteristik kepribadian dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Sebagai contoh, ia menemukan bahwa faktor-faktor eksternal (orang tua, teman sebaya, dan tokoh-tokoh agama,dll) berpengaruh terhadap perkembangan remaja,

87

E. Koswara, Op.cit., h. 49-53 88

Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), h. 50

termasuk perkembangan moralnya.89 Teori ini adalah teori pembentukan moral yang berangkat dari proses imitasi, modeling, latihan-latihan dan pembiasaan. Untuk mengokohkan perilaku-perilaku yang dibentuk harus dilakukan secara terus menerus dan diperlukan penguatan, sehingga menjadi kebiasaan.

Kemudian berdasarkan perspektif kognitif, internalisasi peran masyarakat dan belajar sosial berperan penting dalam perkembangan moralitas remaja, tetapi keduanya bukan merupakan faktor tunggal yang cukup mengeksplanasi perkembangan moral dan perilaku remaja. Seperti halnya menurut Piaget, perkembangan moral berkaitan dengan kemampuan kognitif remaja.90 Dengan perkataan lain, perkembangan moral menurut perspektif ini menekankan pada perkembangan penalaran rasional. Seseorang tersebut sadar secara moral, ketika ia sudah matang kognisinya.

Secara khusus moral dapat dipahami, lebih kepada interaksi kepada orang lain. Teori sosialisasi menekankan interaksi manusia dalam perkembangan moral, sedangkan teori kognitif lebih menekankan peran kognisi, termasuk informasi-informasi yang relevan dengan proses perkembangan moral. Jadi perkembangan moral remaja merupakan hasil dari interaksi yang kompleks nilai-nilai dan perilaku pengasuhan, aktivitas pemrosesan pikiran, dan faktor-faktor lingkungan pada umumnya, termasuk lingkungan pergaulan/teman sebaya, sekolah, aktivitas dalam kehidupan keseharian remaja di dalam keluarga.

Dokumen terkait