• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilai-

1. Pendekatan Sosial

Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai yang ada sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri, untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentukan nilai-nilai ini dilakukan melalui pendekatan sosial dan yang akan dikembangkan melalui teori interaksi sosial.

Berbicara interaksi sosial, berarti berbicara mengenai pergaulan dalam penyesuaian seseorang dengan lingkungannya. Untuk menggambarkan saling keterhubungan ini, penulis memberikan pengertian mengenai interaksi sosial, diambil dari buku Psychologi Sosial karangan Dr. W. A. Gerungan, “interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya”.113 Rumusan ini menggambarkan kelangsungan hubungan timbal balik dari interaksi sosial antara dua atau lebih manusia itu.

113

Kelangsungan interaksi sosial ini sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Awal interaksi sosial terjadi ada di dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain dari apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Dalam hal ini penulis mencoba mengemukakan beberapa faktor yang mendasari kelangsungan interaksi sosial dalam penanaman nilai-nilai moral, ialah:

a. Imitasi

Telah diuraikan dalam sejarah pendek ilmu jiwa sosial mengenai pendapat Gabriel tarde, yang beranggapan bahwa “seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Kemudian arti kata dari imitasi itu sendiri adalah suatu proses peniruan atau meniru”.114

Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidaklah kecil. Misalnya saja jika kita mengamati bagaiman seorang anak belajar berbahasa. Mula-mula ia seakan-akan mengimitasi dirinya sendiri, ia mengulang-ulangi bunyi kata seperti ma-ma-ma-ma atau ba-ba-ba-ba, ini berguna melatih fungsi-fungsi lidah dan mulutnya untuk berbicara. Kemudian ia mengimitasi orang lain, biasanya ibunya terlebih dahulu dalam mempelajari mengucapkan kata-kata pertama dan selanjutnya.

Alat komunikasi tidak sebatas berbahasa, termasuk di dalamnya ialah cara-cara lain untuk menyatakan diri yang dapat dipelajarinya melalui proses imitasi. Misalnya tingkah laku tertentu yang dilakukan seseorang atau orang dewasa, antara lain: cara memberi hormat kepada orang yang lebih tua, cara menyatakan terima kasih kepada orang lain,cara menyatakan ungkapan senang kepada orang lain, cara-cara memberi isyarat tanpa bahasa, juga cara-cara berpakaian (mode), dapat dipelajari remaja dengan jalan imitasi.

Demikian pula halnya dengan perkembangan moral remaja. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di bab dua, bahwa nilai moral itu berasal dari

114

adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat, kemudian penulis menambahkan penjelasan lagi bahwa imitasi itu mempunyai peranannya dalam hal ini, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang.

Peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di atas, juga mempunyai segi-segi yang negatif antara lain ialah hal-hal yang diimitasi itu kemungkinan salah atau secara moril dan yuridis ditolak. “Proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah serba besar.”115

Adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan kebiasaan orang untuk mengimitasi sesuatu tanpa kritik, dalam artian meniru apa adanya tanpa seleksi, terutama pada anak-anak, sejalan dengan ini, bahwa imitasi seperti ini juga terjadi pada remaja. Hal ini dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis. Akibatnya imitasi dalam interaksi sosial ini dapat menimbulkan kebiasaan malas berpikir kritis pada remaja. Bagi para orang tua yang bijak akan mengerti, mendukung, dan dirinya dapat menjadi model keteladanan yang dapat ditiru anaknya, akan tetapi, harus dengan pengarahan dan menyertakan alasan-alasannya, hikmah atau manfaat dari keteladanan itu, maka hal ini tidak akan menghambat perkembangan berpikir kritis pada remaja.

Imitasi bukan menjadi dasar pokok dari semua interaksi sosial seperti yang diuraikan oleh Gabriel Tarde di atas, tetapi imitasi merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial, yang menyebabkan terjadinya keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku antara orang banyak. Dengan cara imitasi pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap, ide dan adat istiadat dari suatu kelompok masyarakat. Dengan berimitasi orang tersebut dapat lebih mudah menjalin hubungan sosial dengan orang lain secara lebih luas.

b. Sugesti

“Sugesti adalah suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku orang lain tanpa kritik terlebih dahulu”.116 115 Ibid., h. 63 116 Ibid., h. 64

Yang dimaksud sugesti di sini adalah pengaruh pysic, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik. Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial adalah hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada imitasi, seseorang mengikuti orang lain, sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap kepada orang lain, lalu diterima oleh orang lain.

Sugesti dapat dipahami pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak kepada pihak lain. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi akan tergerak mengikuti pengaruh atau pandangan itu dan akan menerimanya secara sadar atau tidak sadar tanpa berpikir panjang. Sugesti biasanya diperoleh dari orang-orang yang berwibawa dan memiliki pengaruh besar di lingkungan sosialnya. Akan tetapi, sugesti dapat pula berasal dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, ataupun orang dewasa terhadap anak-anak (bisa ayah, ibu atau kakak mau pun orang dewasa lainnya).

c. Identifikasi

“Identifikasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain”.117 Dalam hal ini proses identifikasi dapat diperoleh melalui cara-cara seseorang belajar norma-norma sosial. Dalam garis-garis besarnya remaja itu belajar menyadari bahwa dalam kehidupan itu ada norma-norma dan peraturan-peraturan yang hendaknya dipenuhi. Hal ini dapat dipelajarinya melalui dua cara, pertama-tama remaja mempelajarinya karena didikan orangtuanya, yang menghargai tingkah laku wajarnya dan memenuhi cita-cita tertentunya dan menghukum tingkah lakunya ketika ia melanggar norma-norma. Kemudian lambat laun remaja itu memperoleh pengetahuan mengenai apa yang disebut dengan perbuatan baik, dan apa yang disebut dengan perbuatan yang tidak baik, melalui didikan orangtuanya tersebut. Dalam artian dapat membedakan mana yang dan mana yang buruk.

Identifikasi dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang dianggapnya ideal dalam suatu segi, untuk memperoleh sistem norma-norma, sikap dan

117

nilai yang dianggapnya ideal atau yang masih kurang dalam dirinya.

Pengalaman individu berhubungan dengan lingkungan sosial (teman, orangtua atau orang dewasa lainnya), akan membawa pengaruh pada penilaian atau kemampuan untuk mengevaluasi diri dan orang lain. Ia dapat menilai kemampuan dan kelemahan diri sendiri maupun orang lain. Dari situ seseorang akan belajar dari pengalaman orang lain untuk memperbaiki diri sendiri, tetapi bisa juga untuk membantu perkembangan orang lain.118

Dalam kaitannya dengan nilai moral dan perkembangan kepribadian remaja, pada interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan indentifikasi mempunyai fungsinya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Dari keteladanan melalui proses imitasi, dapat mendorong remaja ataupun suatu kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Selanjutnya apabila remaja telah dididik dalam suatu “tradisi” tertentu yang melingkupi segala situasi-situasi sosialnya, melalui pengkondisian diri dengan terus berlatih dalam mengkondisikan sikap, perilaku dan mentalnya, sehingga timbullah suatu kemauan dari diri remaja sendiri untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik tersebut. Namun hal ini dilakukan tetap pada pembiasaan diri remaja melakukan latihan-latihan tersebut. Kemudian setelah itu secara otomatis remaja akan mencontoh keteladanan perbuatan-perbuatan yang baik itu untuk diidentifikasi olehnya. Dengan begitu, remaja akan memiliki suatu kerangka cara-cara bertingkah laku dan sikap-sikap moral yang dapat menjadi pokok pangkal untuk memperluas perkembangan moralnya dengan positif, sehingga terlahirlah kepribadian yang baik.

Dokumen terkait