• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk

3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan

Pokok ketiga yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu.

145

Setelah remaja mengembangkan hati nuraninya, hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Bila perilaku remaja tidak memenuhi standar yang ditetapkan hati nuraninya, maka anak merasa bersalah, malu atau kedua-duanya.

Rasa bersalah dapat dijelaskan sebagai jenis evaluasi diri khusus yang negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. remaja yang merasa bersalah tentang apa yang telah dilakukannya, telah mengakui pada dirinya sendiri bahwa perilakunya jatuh di bawah standar yang ditetapkannya sendiri.

Namun, sebelum rasa bersalah ini dialami, minimal ada empat kondisi yang harus diarahkan oleh orang tua kepada remajanya. Pertama, remaja harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan yang salah atau baik dan buruk sebagai standar perilaku mereka. Kedua, mereka harus menerima kewajiban untuk disiplin mengatur perilakunya agar sesuai dengan standar yang telah mereka terima sebelumnya. Ketiga, mereka harus merasa bertanggung jawab atas setiap penyelewengan dari standar tersebut, dan mengakui bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan. Keempat, mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa suatu ketidaksesuaian antara perilaku mereka dengan standar internal mereka adalah perilaku yang telah terjadi.146

Kemudian, “rasa malu telah didefinisikan sebagai reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Penilaian ini, yang belum tentu benar-benar ada, mengakibatkan rasa rendah diri terhadap kelompoknya”.147 Adapun penilaian negatif ini dapat berbentuk apabila seseorang berbuat kurang sopan, merasa malu, atau seperti apabila seseorang mendapat penilaian negatif karena perilakunya jatuh di bawah standar kelompok.

Moralitas dalam arti kata sebenarnya, selalu mencakup rasa bersalah. Orang harus berbuat sesuai dengan adat istiadat kelompok, dibimbing oleh standar

146

Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 77 147

yang lebih dikendalikan dari dalam ketimbang dari luar. Ausabel telah menjelaskannya sebagai berikut, rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologi yang paling penting dalam proses sosialisasi. Ia juga merupakan unsur yang penting bagi kelangsungan hidup budaya karena ia merupakan penjaga yang paling efisien di dalam diri tiap individu, dan bertugas menjaga keselarasan perilaku individu dengan nilai moral masyarakatnya.148

Bila remaja tidak merasa bersalah dan malu atas perilaku negatif yang telah ia perbuat, ia tidak akan merasa terdorong untuk belajar apa yang diharapkan kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan tersebut.

4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral

Pokok keempat yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Tanpa interaksi dengan orang lain, mereka tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara sosial, maupun memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hatinya.

Prinsip paling penting yang harus dipelajari oleh orang tua adalah perilaku anak yang menyimpang itu merupakan akibat dari kurangnya dorongan semangat oleh orang tuanya sehingga anak merasa dirinya tidak baik. Akibat lain, mereka merasa putus asa dan kecewa karena merasa dirinya tidak berhasil memenuhi keinginan orang tuanya atau kelompoknya. Hilangnya kepercayaan diri pada kemampuan yang mereka miliki itulah yang mengembalikan mereka kepada perbuatan yang kurang baik untuk menyelamatkan rasa harga diri.149

Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Remaja belajar dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga lain, apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok tersebut. Dari penolakan sosial atau hukuman bagi perilaku yang salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku

148

Ibid., h. 78 149

Maurice Balson, Bagaimana Menjadi Orang Tua yang Baik, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. 2, h. 84

yang benar, anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan anggota keluarga.

“Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, memberikan anak standar perilaku yang disetujui kelompok sosialnya. Kedua, memberikan mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut melalui persetujuan dan ketidaksetujuan sosial”.150 Membantu remaja agar memiliki kepercayaan kepada diri sendiri menjadi tugas dan kewajiban orang tua. Seluruh perilaku anak yang salah dan menyimpang bersumber dari hilangnya rasa percaya diri dan rasa takut berbuat, keadaan demikian terjadi karena mereka tidak mendapatkan dorongan semangat atau motivasi dari orang tuanya dan disamping itu juga tiadanya suasana saling membantu dalam kehidupan keluarganya.

Motivasi utama dibalik semua perilaku tersebut adalah keinginan untuk diberi peranan, untuk diterima dalam keluarga atau anggota kelompok lainnya, dan untuk dapat memainkan fungsi peranan tersebut dalam kelompoknya. Dengan bila mereka ikut berperan dalam keluarga atau suatu kelompok, dan mereka merasa menjadi anggota yang berguna dan penting, barulah mereka dapat berfungsi dengan baik, dapat membantu dan bekerja sama.

Dengan meluasnya cakrawala sosial hingga kepada lingkungan luar rumah dan sekolah, anak remaja melalui permainan dan komunikasi dengan teman-teman sebayanya mulai belajar bahwa beberapa standar perilaku yang dipelajari mereka di rumah sama dengan standar mereka berteman dan beberapa yang lainnya berbeda.

Karena pengaruh yang kuat dari kelompok sosial pada perkembangan moral remaja, penting sekali bagi orang tua dan anggota keluarga lainnya (saudara/i) untuk saling membantu dan tidak lengah mengarahkan mereka bahwa kelompok sosial tempat mereka mengidentifikasikan dirinya harus mempunyai standar moral yang sesuai dengan kelompok sosial yang lebih besar dalam masyarakat. Itulah sebabnya, orang tua harus mengontrol dan mengarahkan jenis teman bermain untuk anaknya jauh lebih penting dibandingkan dengan jumlahnya.

150

Kemudian berbicara fase perkembangan moral, bila moralitas yang sesungguhnya harus dicapai oleh remaja, maka perkembangan moral harus terjadi dalam dua fase yang jelas, yaitu: pertama, perkembangan perilaku moral. Kedua, perkembangan konsep moral.151

Sumber lain menyatakan, bila perilaku moral sesungguhnya harus dicapai, maka ada beberapa jenis perkembangan moral yang harus terjadi, yaitu

1. Sensitifitas moral (moral sensitifity). Kemampuan untuk menginterpretasikan dan menyadari akibat-akibat perilaku terhadap orang lain. Kemampuan ini berasal dari petimbangan kognitif maupun perasaan (afektif)

2. Kuputusan moral (moral judgment). Kemampuan individu untuk dapat memutuskan suatu tindakan benar-salahnya, dengan memiliki kesadaran tentang moral yang tinggi.

3. Motivasi moral (moral motivation). Kemampuan individu untuk melakukan tindakan moral di atas standar nilai-nilai diri sendiri.

4. Karakter moral (moral character). Suatu sifa-sifat yang tumbuh dan berkembang dalam diri individu, sehingga dengan keberanian moral dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral. Ia akan berupaya mematuhi aturan moral itu, walaupun dianggap merugikan diri sendiri. 152

Perkembangan moral remaja harus terjadi dalam dua fase yang jelas. Pertama, perkembangan perilaku moral. Remaja dapat belajar untuk berperilaku sesuai dengan cara yang disetujuinya. Salah satu prinsip dasar yang dapat digunakan orang tua sebagai pedoman untuk memahami perilaku anaknya adalah anggap bahwa anak berperilaku tertentu dengan tujuan untuk memperoleh tempat dalam keluarga. Salah satu kesalahan besar orang tua ialah terkadang lebih memusatkan pada perilaku itu sendiri daripada memahami tujuannya.

Metode modeling bisa menjadi pilihan bagi orang tua untuk menunjang perkembangan perilaku moral remaja. Dengan cara menghadirkan sebuah model yang berargumen dengan menggunakan pemikiran moral satu tahap di atas tingkat

151

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op.cit., h. 80 152

yang telah dicapai remaja. Metode modeling ini didasarkan pada konsep perkembangan kognitif mengenai ekuilibrium dan konflik. Dari sinilah terjadinya proses imitasi, sugesti dan identifikasi pada remaja.

Dengan menyajikan informasi moral yang melampaui tingkat kognitif remaja, remaja akan mengalami disekuilibrium yang akan memotivasinya untuk melakukan restrukturisasi terhadap pemikiran moralnya. 153 Melalui metode modeling oleh orang tuanya, dengan memberikan keteladanan dalam menanamkan nilai-nilai esensial bagi remaja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh penulis. Kemudian dengan keteladanan yang disiplin, pada diri remaja akan terjadi proses imitasi. Remaja akan meniru segala kegiatan yang terjadi dalam keluarganya, bahkan mulai dari hal-hal yang kecil seperti gaya bahasa/berbicara orang tua kepada dirinya mau pun orang lain, cara-cara berpakaian, dan sebagainya.

Teladan moral adalah orang yang hidupnya patut untuk dijadikan contoh. Di dalam konteks keluarga, yang menjadi panutan atau teladan bagi para remaja adalah Ibu dan Bapak. Hubungan orang tua dan anak memperkenalkan mereka pada kewajiban mutual dalam hubungan interpersonal yang erat. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten dan berkepribadian baik.

Di lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai peranannya, sebab mengimitasi/mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Melalui dari apa yang dilihatnya/pelajarinya (proses modeling yang baik dari orang tua) melalui interaksi sosial, atau bisa juga dengan cara memberikan gambaran-gambaran keteladan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya para nabi dan sahabat), imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik.

Namun peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di atas juga bisa menjadi negatif. Apabila hal-hal yang dicontohkan oleh orang tua atau pun anggota lainnya dari keluarga adalah pencontohan yang

153

kurang baik, mungkin salah atau pun secara moril ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi oleh anak, maka proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif pada remaja. Justru itulah sebagai orang tua hendaknya mengemas keteladanan kepada anak-anaknya secara baik dan juga berhati-hati.

Dengan adanya teladan yang baik, maka akan menumbuhkan hasrat bagi remaja untuk meniru atau mengikutinya. Karena memang pada dasarnya dengan adanya contoh ucapan, perbuatan dan contoh tingkah laku yang baik dalam hal apapun, maka hal itu merupakan suatu amaliyah yang paling penting dan paling berkesan bagi pendidikan anak, maupun dalam kehidupan dan pergaulan mereka sehari-hari.

Kemudian proses sugesti di sini terletak pada keterkaitannya dalam penalaran si remaja. Melalui metode persuasif, agar remaja tidak salah mengimitasi, orang tua tetap harus disiplin mengarahkan mereka dengan mengajak mereka merenungkan terlebih dahulu apa yang harus ia tiru dan apa yang tidak boleh ia tiru dengan memberinya standar perilaku yang disetujui kelompok sosial dan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut. Setelah mereka telah memiliki motivasi moral tersebut, maka orang tua bisa melanjutkan dengan metode pembiasaan dalam penanaman nilai-nilai moral pada remaja.

Pada metode pembiasaan ini, orang tua melakukan pengkondisian diri remaja, diawali dengan memberikan mereka pelatihan-pelatihan melakukan beberapa nilai moral. Bila remaja belajar untuk bersikap sesuai dengan apa yang diterima secara sosial oleh anggota kelompoknya (keluarga atau pun masyarakat) dengan cara terus berlatih (tetap dibawah arahan atau pembinaan dari orang tua), maka mereka akan melakukannya dengan mencoba suatu jenis perilaku untuk melihat apakah itu memenuhi standar sosial dan memperoleh persetujuan sosial. Bila tidak, mereka bisa diarahkan untuk mencoba lagi dan melakukan dengan cara yang lain, dan seterusnya begitu hingga memenuhi dan memperoleh persetujuan sosial. Hingga suatu saat, secara kebetulan dan bukan karena direncanakan, mereka akan menemukan caranya sendiri yang memberi hasil yang diinginkan,

yaitu dengan cara pembiasaan. Metode ini memang cukup menghabiskan waktu dan tenaga, dan hasil akhirnya pun seringkali jauh dari memuaskan.

Jadi melalui keteladanan dan pembiasaan, melalui proses asimilasi maka remaja akan berupaya untuk mengubah hal-hal yang berasal dari luar, untuk disesuaikan dengan apa yang sudah ada dalam dirinya. Dan melalui proses akomodasi, remaja akan termotivasi untuk mengubah konsep, pemahaman ataupun pengertian yang lama, agar sesuai dengan yang baru. Disadari atau tidak disadari, remaja sedang melakukan proses identifikasi pada dirinya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan melalui studi pustaka dalam menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga, penulis mengemukakan kesimpulan, bahwa:

1. Nilai-nilai moral esensial yang penting ditanamkan pada remaja di antaranya adalah jujur, disiplin, percaya diri, peduli dan mandiri. Nilai-nilai moral esensial ini merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak mulia/karakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum remaja. Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi menyentuh perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan untuk mengamalkannya.

2. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan pendekatan sosial yang dilakukan dengan cara interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan identifikasi. Pendekatan ini berfungsi untuk mempelajari contoh-contoh penerapan nilai-nilai moral secara konkrit dari keteladanan orang tua dan anggota keluarga lainnya secara praktis, dan tersedianya kondisi yang baik di dalam keluarga, ini memudahkan remaja untuk meniru. Selanjutnya orang tua membeiasakan dan mengontrol sikap dan perbuatan remaja.

3. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan juga pendekatan psikologi yang dilakukan dengan cara mempersiapkan mental remaja dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan secara rasional, pengendalian perilaku moral dan pembentukkan kata hati. Pendekatan ini berfungsi membangun kesadaran remaja melalui pengetahuan dan kemampuan nalar dan hati nuraninya (intuisi) untuk meyakini bahwa nilai-nilai esensial itu memang merupakan nilai kebajikan dan bermanfaat yang harus diikuti atau diterapkan. 4. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja untuk mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga perilaku yang dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial. Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran

diri remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku yang menyimpang dari standar sosial.

B. Saran

1. Bagi orang tua hendaknya mempelajari perkembangan ciri-ciri jiwa remaja, dekat dengan anak remajanya agar terjalin komunikasi, sehingga dengan lancarnya komunikasi akan ada keterbukaan diantara keduanya, dan nasehat-nasehat orang tua akan lebih bisa didengar oleh remaja. Orang tua hendaknya juga melakukan keteladanan nilai-nilai moral esensial tadi (jujur, disiplin, percaya diri, peduli,dsb) baik dari segi perkataan dan perbuatan, karena apa saja yang dilihat maupun didengar oleh remaja, itulah yang akan mereka tiru. Orang tua juga hendaknya sadar akan tanggung jawab terhadap anak-anaknya agar mereka banyak memberikan perhatikan, pengawasan dan bimbingan yang sebaik-baiknya, ini dapat dilakukan melalui bacaan-bacaan seperti: koran, majalah, buku-buku. Atau penerangan TV, radio, mengikuti seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan, sebagainya.

2. Bagi masyarakat hendaknya ikut menertibkan perilaku-perilaku masyarakat sekitar yang kurang kondusif demi menghindari kerusakan moral remaja, begitupun untuk guru-guru di sekolah. Masyarakat dan guru juga hendaknya menjadi figur teladan yang baik.

3. Bagi remaja hendaknya mengerti perkembangan dirinya, menekan gejolak emosionalnya sehingga mampu untuk mengendalikan sikap atau perbuatannya. Remaja juga hendaknya bersikap kritis terhadap perilaku yang ada di sekelilingnya, sehingga tidak hanya asal meniru tetapi juga mampu membedakan mana perilaku yang buruk dan mana perilaku yang baik untuk ikuti. Sibukkan diri dengan menyalurkan bakat-bakat yang ada di dalam diri melalui organisasi-organisasi tertentu, misalnya: organisasi sport, organisasi kesenian, pramuka, dan sebagainya, hal ini agar remaja tidak mempunyai waktu terluang yang tidak berguna.

97

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Abu, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)

Azhari Akyas, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004 Agama Departemen, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2004),

cet. 5, juz ke-21

Ali Mohammad dan Asrori Mohammad, Psikologi remaja, (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2011)

Alisuf Sabri M, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3 Abdullah M. Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah,

2007), cet. 1

Bachri Thalib syamsul., Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1

Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet. 4

Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)

Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet. 1

Darajat Zakiah, Ahmad Sadali, dkk., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet ke-10

Daradjat Zakiah, Pendidikan islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV Ruhama, 1994)

Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). Cet. 4

Djunaidi Ghony Muhammad, Nilai Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)

Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia, 2006), cet 1

Erika Endang, “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), skripsi

Farida. HM, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini”, ( Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012), skripsi

Gerungan W. A. DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, (Jakarta: PT Eresco, 1981), cet. 7

Herien Puspitawati, Seks Bebas dikalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa), Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02Feb 2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalangan-remaja-pelajar.html)

Humanitas., Indonesian Psychological Journal, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2008),Vol. 5 No.1

Haitami Salim Moh, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013)

Hurlock Elizabeth B, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke-6

Irawan Dedi. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk

Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014),

(http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuk-tawuran_111160.html)

Koswara E, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), cet ke-2

Kompas.com. Mohammad Nuh., Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014),

http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013 Kasiram. Moh, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) cet. I Khiriah Husen Thaha, Konsep Ibu Teladan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994) Listyarti Retno, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan kreatif,

(Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012)

M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta,

(diakses pada tanggal 20 Maret 2014),

(http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-Jumlah-Pengguna-Narkotika-Capai-5)

Nata Abudin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5 Narendrany Hidayati Heny dan Yudiantoro Andri, Psikologi Agama, (Jakarta:

Noor Syam Mohammad, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988)

Pramono Wahyudi, Srijanti dan Purwanto, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet. 1

Rosyadi Khoiron, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) Ruqoyah Siti, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak Usia Dini”, (Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012),

Sujanto Agus, PsikologiPerkembangan, ( Jakarta: AksaraBaru,1982) cet. 3 Syamsul Arifin Bambang, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, ((Jakarta: Rineka Cipta,

1989), cet. 1

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11 Toriquddin Moh., Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia

modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1

Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), Cet. 1

Wardani Kristi, “Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”, Proceedings of The 4th International

Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, (Bandung: Indonesia, 8-10 November 2010)

W. Santrock John Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1 Edisi ke-11

W. Sarwono Sarlito, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 14

Zed Mestika, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet. 1

Zuriah Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. I

Dokumen terkait