• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan sosial dan psikologi untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendekatan sosial dan psikologi untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Akademik Program Kualifikasi S1 Kependidikan dan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh: LESNI BOREZA NIM: 109011000008

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat

siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. "Ya Tuhan Kami, janganlah

Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami

beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.

beri ma'aflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.

Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

(6)

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,

Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang

Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah

dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan,

yang Mengadakan, yang Membentuk Rupa, yang mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadanya apa

yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana.

(7)

i ABSTRAK

Lesni Boreza (109011000008). Pendekatan Sosial dan Psikologi untuk Menanamkan Nilai-nilai Moral pada Remaja dalam Keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang penting dan perlu ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja, mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral dan untuk mengetahui penerapan dari pendekatan yang dipakai untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi pustaka, adapun dalam analisisnya menggunakan teknik analisis isi (Content Analisys) yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang di lakukan secara objektif dan sistematis yang berhubungan dengan pendektan sosial dan psikologi untuk menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga. Setelah semua data telah dperoleh dan kumpulkan, maka tahap selanjutnya adalah penganalisaan secara cermat agar pembahasannya dapat tersusun secara sistematis menurut pokok pembahasannya masing-masing, ini memudahkan memberi arti terhadap data. Kemudian dirumuskan suatu kesimpulan yang dapat diuji kebenarannya.

(8)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Seluruh pujian hanya milik Allah, Pencipta, Pengatur, Pendidik alam semesta. Kasih sayang-Nya tidak pernah henti

tercurah kepada kita setiap saat. Rasa syukur penulis sesungguhnya juga adalah

bentuk kasih sayang-Nya, karena Allah memudahkan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini dengan baik, sehingga sangat mustahil penulis mampu

bersyukur secara sempurna, karena setiap syukur yang penulis ucapkan

memerlukan syukur lainnya yang tak mungkin berakhir.

Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw yang senantiasa mampu

menunjukkan bukti kehambaannya. Mudah-mudahan penulis dapat mengikuti

jejak langkah beliau dalam mendekati Allah SWT sedekat-dekatnya.

Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa

adanya dukungan dan motivasi baik moril maupun materil dari berbagai pihak.

Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku ketua jurusan Pendidikan Agama

Islam, yang selalu memberikan masukan dan semangat kepada penulis.

3. Marhamah Sholeh, Lc. MA., selaku sekertaris jurusan Pendidikan Agama

Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dra. Djunaidatul Munawwarah, MA, Selaku dosen pembimbing skripsi yang

senantiasa memberikan semangat, bimbingan dan masukan dengan penuh

kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa

melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan untuk ibu, amin.

5. Ahmad Irfan Mufid, MA., Selaku Dosen Penguji I dan Drs. Abd. Haris,

M.Ag., selaku Dosen Penguji II.

6. Bapak dan ibu dosen dengan penuh keikhlasan telah memberikan pelajaran

paling berharga bagi penulis.

7. Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan serta Pimpinan dan seluruh

staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan

(9)

iii

8. Terkhusus penulis persembahkan skripsi ini untuk ibunda tercinta Leswita dan

ayahanda tercinta Supuan Cik, kakak tercinta Bogi Nopriansyah, keponakan

tersayang Adelia Andini dan Chika Despi Idil Fitri. Dan terkhusus juga telah

usainya kuliahku ini ku persembahkan untuk ayunda tercinta Almarhumah

Nefi Hailes, salam rindu yang tak henti untukmu, serta seluruh keluarga besar

lainnya, yang selalu memotivasi baik moril maupun materil, mendoakan,

menyemangati, dan mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya, sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Doa penulis selalu, semoga Allah

memberikan umur yang panjang, melimpahkan keberkahan dan kesehatan,

serta senantiasa memuliakan keluarga kita di dunia dan di akhirat, amin.

9. Habibi tersayang Afrengki Sabta Roma beserta seluruh keluarga, atas cinta

kasih, doa dan motivasinya untuk terus berjuang dalam menjalani dan

melewati setiap proses studyku. Semoga Allah selalu melimpahkan

kebahagiaan dan kesehatan untuk kalian, amin.

10.Untuk teman-temanku di rumah Al-Family; Amiroh Adilah, Sari Bunga, Santi

Yuniartiningsih, Annisa, Sinta, Rina dan semuanya. Terima kasih banyak

dalam kebersamaan kurang lebih 3 tahun ini, semoga tali persaudaraan kita

terus terjaga & sukses selalu untuk menjalankan tantangan kehidupan ataupun

pendidikan selanjutnya, amin.

11.Teman-teman PAI angkatan 2009 khususnya kelas A yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, semoga persaudaraan yang terjalin selama ini

membawa kebaikan untuk kita semua, sukses selalu untuk kita semua, amin.

Akhirnya, penulis hanya bisa memanjatkan doa kepada Sang Pemberi Rahmatan

Lil ‘Alamin Allah SWT, semoga segala doa, ilmu, motivasi, bantuan, serta masukan dari mereka dibalas oleh-Nya dengan beribu-ribu kebaikan dan dicatat

menjadi amal ibadah. Amin.

Jakarta, 11 Juni 2015

(10)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... C.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... D.Tujuan Penelitian ... 8

E.Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A.Nilai Moral Dalam Islam ... 9

1. Pengertian Nilai Moral ... 9

2. Sumber Nilai Moral... 13

B.Konsep Keluarga dalam Islam ... 15

1. Pengertian Keluarga ... 15

2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga .. 16

3. Interaksi Harmonis dalam keluarga ... 20

C.Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya ... 25

1. Pengertian Remaja ... 25

2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja ... 28

a.Perkembangan Fisik ... 29

b.Perkembangan Emosi ... 31

c.Perkembangan Kecerdasan ... 32

d.Perkembangan Jiwa Sosial ... 33

e.Perkembangan Keberagamaan ... 34

1) Percaya turut-turutan. ... 36

2) Percaya dengan kesadaran ... 36

3) Kebimbangan Beragama ... 37

4) Tidak Percaya Kepada Tuhan ... 38

(11)

v

E.Penelitian yang Relevan ... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Waktudan Objek Penelitian ... 50

B.Metode Penelitian ... 53

C.Fokus Penelitian ... 55

D.Prosedur Penelitian ... 55

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Nilai-nilai Moral Esensial Bagi Remaja ... 57

1. Jujur ... 57

2. Disiplin ... 59

3. Percaya Diri ... 61

4. Peduli... 63

5. Mandiri ... 64

B.Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilai-nilai Moral bagi Remaja ... 66

1. Pendekatan Sosial... 66

a. Imitasi ... 67

b. Sugesti ... 68

c. Identifikasi ... 69

2. Pendekatan Psikologi ... 70

a. Teori Penalaran ... 71

b. Teori Perilaku Moral (behavior) ... 74

c. Teori Kata Hati ... 76

C.Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk Penanaman Nilai-nilai Moral Remaja dalam Keluarga ... 78

1. Peran hukum, kebiasaan dan peraturan dalam perkembangan moral ... 81

2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral ... 83

(12)

vi

4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 95

B.Saran ... 96

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat suatu pandangan “Tegaknya suatu bangsa tergantung pada moralnya, dan runtuhnya moral bangsa tergantung pada penghayatan dan pengamalan pada agama.” Paradigma di atas relevan dengan diutusnya para Nabi dan Rasul, dengan salah satu tugasnya untuk menyempurnakan akhlak.

Sebagaimana yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

                               

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:21)1

Dari generasi ke generasi masyarakat suatu bangsa akan mengalami

pertumbuhan yang berbeda di mana kualitas masyarakatnya akan ditentukan oleh

pengalaman dan pembelajaran yang berkualitas pula, begitu juga sebaliknya.

Salah satu indikator yang menentukan kualitas suatu generasi masyarakat

ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh baik itu melalui pendidikan formal,

informal maupun pendidikan non formal. Secara teoritik, penanaman akhlak atau

pun moral pada anak juga harus diterapkan dalam berbagai lingkungan

pendidikan.

Dewasa ini pendidikan di Indonesia diarahkan pada pembinaan karakter

bangsa, berkaitan dengan ini Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Pendidikan

Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 2010-2014 telah

mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh jenjang pendidikan

di Indonesia mulai tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan

(14)

Tinggi (PT) dalam sistem pendidikan di Indonesia.2 Dalam implementasinya

pendidikan karakter merupakan upaya pembimbingan perilaku siswa agar

mengetahui, mencintai dan melakukan kebaikan. Fokusnya pada tujuan-tujuan

etika melalui proses pendalaman apresiasi dan pembiasaan.

Kemudian setelah itu turunlah kurikulum 2013 yang selain berisi deskripsi

Kompetensi Dasar, berisi pula Kompetensi Inti dan Struktur Kurikulum. “Kompetensi Dasar dikembangkan dari Kompetensi Inti, sedangkan pengembangan Kompetensi Inti mengacu pada Struktur Kurikulum”.3 Kompetensi

Inti merupakan kompetensi yang mengikat berbagai Kompetensi Dasar ke dalam

aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik

untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran. Kompetensi Inti harus

dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran dengan pendekatan

pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata

pelajaran untuk setiap kelas.

Dari pernyataan di atas telah terlihat bahwa ini menandakan telah

terjadinya krisis moral dan merosotnya nilai-nilai positif bangsa kita, yang pada

akhirnya hal ini menjadi kekhawatiran untuk kita semua. Diantaranya

masalah-masalah yang telah menggejala di tengah masyarakat, dapat dilihat pada problem

tentang penanaman moral di instansi keluarga: Keluarga pada saat ini dihadapkan

pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan anak agar

mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat.

Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran

aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.4

Kini hubungan orang tua dan remaja cenderung menjadi renggang, karena

lingkungan makin luas dan kesibukan orang tuapun semakin tinggi. Hingga

2

Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012), h. 2

3

Kompas.com. oleh Mohammad Nuh, Kurikulum 2013, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013

4

(15)

hubungan remaja dengan lingkungan luarpun semakin luas pula. Hal ini

menyebabkan pertemuan remaja dengan orang tua semakin berkurang, karena itu

kesempatan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama dan norma pada

remaja juga semakin berkurang. Dengan kata lain, peran institusi keluarga

menjadi tidak kokoh lagi atau tidak solid. Kemudian cara yang memberikan

kebebasan kepada anaknya, egois orang tua karena pandangan liberal telah

menjamur di masyarakat, gaya hidup orang tua yang glamour, ketidaktauan

tentang penanganan dalam penanaman moral pada remaja, juga tidak adanya

keteladanan dari keluarga terutama kedua orangtua, hal inilah yang sering terjadi

dalam suatu keluarga di tengah-tengah masyarakat.

Kemudian dilihat pada problem kecenderungan remaja berprilaku yang

melanggar nilai-nilai moral;

Kurangnya sopan santun kepada orang tua dan yang lebih tua darinya, adab berpakaian, pergaulan antara laki-laki dan perempuan seolah-olah tidak ada lagi batasan-batasannya. Budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat dari remaja, dari mulai gaya hidup modern yang konsumeris-kapitalistik dan hedonis yang tidak didasari akhlak dan budi pekerti yang luhur dari bangsa ini cepat masuk dan mudah ditiru oleh generasi muda.5

Perilaku negatif yang lainnya, seperti tawuran, anarkis, sikap cepat marah,

ikut dalam geng-geng motor, kemudian terbaru lagi belakangan ini ada yang

namanya cabe-cabean menjadi budaya baru remaja yang dapat membuat resah

masyarakat, bahkan pada taraf tertentu menjadi tindakan anarkis, sampai ada yang

menjadi korban atau terbunuh, dan lain-lain. Premanisme ada di mana-mana,

emosi meluap-luap, cepat tersinggung, serta ingin menang sendiri menjadi bagian

hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat sendiri terutama

di kalangan remaja. Tindak anti sosial dan peraturan, kejahatan mencuri ataupun

menyakiti orang lain, menodong, bahkan membajak bus umum pelakunya adalah

pelajar sekolah. Salah satu contoh; Puluhan pelajar SMA Negeri 46 Jakarta

ditangkap aparat kepolisian karena membajak bus Kopaja untuk tawuran

dikawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aksi pembajakan tersebut gagal

5

(16)

dilakukan karena sopir Kopaja dengan berani membelokan kendaraannya kedalam

kantor polisi. Tidak hanya membajak, mereka mempersenjatai diri dengan

berbagai senjata yang mampu melukai dan melumpuhkan pelajar sekolah lain,

misalnya sabuk gir motor.6 Entah apa yang ada di benak para pelajar SMA Negeri

46 Jakarta yang telah diamankan di Mapolsek Metro Kebayoran Baru ini. Waktu

jam pelajaran yang harusnya berada di kelas, mereka manfaatkan justru untuk

menyerang pelajar sekolah lain. Yang lebih parah lagi, penyerangan dilakukan

dengan membajak sebuah bus Kopaja yang sedang beroperasi.

Kenyataan lain yang juga menunjukkan adanya indikator kemerosotan

moral yaitu banyaknya terjadi kasus peredaran narkoba dan kasus pelecehan

seksual yang dilakukan juga oleh pelajar sekolah. Dalam hal ini, terjadinya pelaku

pengedar dan pemakai narkoba di antaranya adalah kalangan pelajar, sementara

pelecehan seksual juga terjadi di kalangan remaja, hal ini sebagai akibat dari

pergaulan bebas.

Di Indonesia pada tahun 1980-an hanya terdapat 80.000 sampai 130.000

kasus penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya

(NAPZA), namun pada tahun 2008 telah meningkat menjadi sekitar 5 juta kasus

penyalahgunaan napza. Pemerintah melihat semakin berbahayanya persoalan

napza ini. Hal ini dikemudian hari mendorong lembaga- lembaga swadaya

masyarakat untuk ikut terlibat dalam menanggulangi masalah napza ini seperti

Granat, kelompok No-Drugs, dan Lain-lain. Kelompok yang menjadi sasaran

Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) adalah generasi muda

yang merupakan calon-calon pemimpin bangsa. Apa jadinya jika generasi muda

tidak sibuk untuk meraih prestasi tertinggi, tetapi malah asik dalam

penyalahgunaan napza.7

Siti Alfiasih, Kasubdit Masyarakat BNN mengatakan “saat ini (tahun

2013) diperkirakan 4 juta orang yang menjadi penyalahguna narkoba di Indonesia.

6

Dedi Irawan. (PATROLI), Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk

Tawuran, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014),

(http://www.indosiar.com/patroli/40-pelajar-bajak-kopaja-untuk-tawuran_111160.html) 7

(17)

Pada tahun 2015, diproyeksikan angka ini akan meningkat sampai sekitar 5,1 juta

orang. Bila tanpa ada kemampuan masyarakat untuk menolak, katanya, maka

angka ini akan terlampaui dan menimbulkan dampak buruk yang lebih besar bagi

Indonesia”.8

Kemudian berdasarkan beberapa data mengenai pergaulan bebas di

kalangan remaja, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota

besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks.

Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan

hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan

keperawanannya saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2 persen di

antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Bagi mereka aborsi

dilakukan sebagai jalan keluar akibat dari perilaku seks bebas.9 Pergaulan seks

bebas di kalangan remaja Indonesia saat ini sungguh sangat ironis dan

memprihatinkan.

Begitulah dalam kehidupan sekarang ini, generasi muda banyak berbuat

sesuatu diluar pemikiran akal sehatnya karena tidak dilandasi iman yang kuat.

Kasus peredaran narkoba melibatkan para remaja juga pelajar, demikian pula

kasus tawuran antar pelajar tadi, penyimpangan yang dilakukan generasi muda

tidak lepas dari pengaruh perkembangan kehidupan kejiwaannya yang sedang

mengalami kegoncangan akibat perubahan atau berada pada masa transisi, baik

dari segi jasmani maupun rohaninya yang berjalan begitu cepat. Kegoncangan

pada jiwa tersebut menimbulkan berbagai keresahan yang menyebabkan labilnya

pikiran, perasaan, dan kemauan begitu juga keyakinan terhadap Tuhan

berubah-ubah sesuai dengan kondisi emosinya yang tidak stabil. Sebenarnya yang lebih

berbahaya justru yang timbul pada diri dari masing- masing setiap orang itu

sendiri.10

8

M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta, (diakses pada tanggal 20 Maret 2014), (http://id.scribd.com/doc/151518762/BNN-Perkirakan-2015-Jumlah-Pengguna-Narkotika-Capai-5)

9

Puspitawati Herien, Seks Bebas di Kalangan Remaja (Pelajar dan Mahasiswa), Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,(diakses pada tanggal 02 Feb 2014), (http://sule-gratis.blogspot.com/2013/01/seks-bebas-di-kalangan-remaja-pelajar.html)

10

(18)

Memperhatikan kasus-kasus tersebut di atas, jelas bahwa penanaman

moral pada remaja tidak secara tiba-tiba ditanamkan di lingkungan sekolah

(institut formal), tetapi jauh dari sebelumnya sudah harus ada penanaman

nilai-nilai moral untuk bekal remaja pada lingkungan keluarga (institut informal).

Untuk itu para pendidik khususnya para orang tua, perlu menguasai beberapa

pendekatan dalam penanaman moral, baik secara persuasif mau pun normatif

berdasarkan nilai-nilai agama Islam, melalui interaksi yang efektif, antara lain

melalui pendekatan sosial dan pendekatan psikologi. Maka skripsi ini

dimaksudkan untuk menjadi rambu-rambu teoritik penanaman nilai-nilai moral

pada remaja dalam keluarga. Lebih jelasnya dengan skripsi yang berjudul:

“PENDEKATAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI UNTUK MENANAMKAN

NILAI-NILAI MORAL PADA REMAJA DALAM KELUARGA”

B. Identifikasi Masalah

Seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka

penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Masuknya budaya asing yang negatif, dapat mempengaruhi perilaku dan

kepribadian remaja, terutama di kalangan mereka yang tidak dibekali dengan

nilai-nilai moral agama yang kuat sebagai filter.

2. Kurangnya kepekaan orangtua terhadap emosi anak (remaja), yang mana di

usia remaja mereka harus mendapatkan perhatian khusus dan arahan dalam

membentuk kepribadian yang baik.

3. Banyaknya kasus-kasus pelanggaran nilai-nilai moral dan sosial yang terjadi

pada usia remaja di Indonesia karena orang tua kurang memperhatikan

pendidikan agama Islam untuk anak (remaja).

4. Terjadinya komunikasi yang kurang baik antara orangtua dan anak,

mengakibatkan kurangnya pendekatan persuasif dan interaksi yang baik.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang menggambarkan luasnya

persoalan moral remaja, penulis memberikan batasan masalah pada:

1. Nilai-nilai moral yang penting ditanamkan kepada anak khususnya usia

(19)

a. Jujur

b. Disiplin

c. Percaya Diri

d. Peduli

e. Mandiri

Kemudian yang dimaksud nilai moral di sini adalah tidak hanya yang

dipandang oleh masyarakat, tetapi juga yang terkandung dalam ajaran Agama

Islam seperti Al-Qur’an dan Hadis.

2. Analisis terhadap penanaman nilai-nilai moral di atas, yaitu ditinjau dari

pendekatan sosial dan psikologi.

a. Pendekatan sosial yang dimaksud adalah ditekankan pada interaksi dalam

keluarga antara orangtua dan anak (remaja), baik berupa penciptaan

kondisi dalam keluarga, sehingga terjadinya proses imitasi, sugesti hingga

identifikasi pada anak (remaja). Ini akan dikembangkan melalui teori

interaksi sosial.

b. Pendekatan psikologi yang dimaksud adalah ditekankan pada persiapan

mental remaja, dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan

secara rasional, pengendalian perilaku moral (behavior) dan

pembentukkan kata hati, dalam membentuk sikap/perilaku, sehingga

terlahirlah kepribadian.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, supaya tidak terjadi perbedaan

interpretasi dan pemahaman, maka masalah ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Nilai-nilai moral apa saja yang penting ditanamkan pada anak dalam keluarga

khususnya pada usia remaja?

2. Bagaimanakah cara menanamkan nilai-nilai moral pada anak dalam keluarga

khususnya di usia remaja?

3. Bagaimana implementasi pendekatan sosial dalam penanaman nilai-nilai

moral pada anak dalam keluarga khususnya di usia remaja?

4. Bagaimana implementasi pendekatan Psikologi dalam penanaman nilai-nilai

(20)

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui nilai-nilai moral apa saja yang penting dan perlu

ditanamkan kepada anak khususnya pada usia remaja dalam keluarga.

2. Untuk mengetahui pendekatan dalam penanaman nilai-nilai moral pada anak

khususnya untuk usia remaja.

3. Untuk mengetahui penerapan dari pendekatan yang dipakai dalam

menanamkan nilai-nilai moral pada anak khususnya untuk usia remaja.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yakni secara teoritis dan

secara praktis.

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan

dikalangan akademis khususnya Ilmu Pendidikan Agama Islam untuk

mengungkap kompleksitas terkait berbagai permasalahan perilaku

menyimpang bermasyarakat pada remaja. (Teoritis).

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi

masyarakat umum terutama untuk para orangtua (keluarga) agar lebih

memperhatikan keadaan serta perkembangan anak dengan memasukkan

hal-hal yang bersifat positif untuk menjadi faktor terpenting dalam membantu

memberikan arahan yang baik untuk remaja. (Praktis).

3. Sebagai bahan untuk menentukan pendekatan yang tepat dalam memberikan

contoh yang baik untuk remaja. (Praktis).

(21)

9

BAB II KAJIAN TEORI

A. Nilai Moral Dalam Islam 1. Pengertian Nilai Moral

“Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola

pemikiran, perasaan, keterkaitan maupun perilaku.”11

Mohammad Noor Syam menyatakan dalam bukunya yang berjudul

Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, bahwa “nilai

adalah suatu penetapan atau kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis

apresiasi atau minat.”12

“Nilai merupakan implikasi hubungan yang diadakan manusia yang sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan

realitas abstrak. Nilai dirasakan dalam diri masing-masing sebagai daya

pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai

pada suatu tingkat, dimana sementara orang-orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.”13

Menurut Muhammad Djunaidi Ghony dalam bukunya “Nilai Pendidikan”, menyimpulkan bahwa nilai itu mempunyai 4 macam arti, antara lain:

a. Bernilai, artinya berguna

b. Merupakan nilai, artinya baik, benar atau indah

c. Mengandung nilai, artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang

menimbulkan sikap setuju serta suatu predikat

d. Memberi nilai, artinya memutuskan bahwa sesuatu itu diinginkan atau

menunjukkan nilai.14

11

Zakiah Darajat, Ahmad Sajali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 260

12

Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133

13

Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 114-115

14

(22)

Definisi nilai menurut M. Ali dan M. Asrori “nilai diartikan sebagai suatu

tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih

alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu”.15 Dalam perspektif ini,

kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan

kesejarahan.

Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa nilai adalah

sesuatu yang bermanfaat dan diyakini kebenarannya serta mendorong orang untuk

mewujudkannya bagi kehidupan manusia sebagai acuan tingkah laku. Secara

filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut

dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan

dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.

Perilaku Moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Menurut Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Perkembangan Anak”, “Moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti tatacara, kebiasaan dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan perilaku yang telah

menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku

yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok”.16 Sedangkan menurut Moh.

Toriquddin, “moral berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk

melakukan sesuatu perbuatan”.17

Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi

seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.18 Maksudnya

adalah nilai dan norma moral yang bersumber dari adat istiadat dan budaya

bermasyarakat. Misalnya perbuatan seseorang dikatakan tidak bermoral,

maksudnya bahwa perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan

norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.

15

Mohamad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta didik”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. 7, h. 134

16

Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), Jilid 2 Edisi ke-6, h. 74

17Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf “Membumikan Tasawuf dalam Dunia modern”, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet. 1, h. 11

18

(23)

Dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang

memuat ajaran tentang baik buruknya suatu perbuatan, perbuatan itu dinilai

sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Secara umum moral itu

berasal dari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.

Masalah moral itu sendiri adalah suatu masalah yang menjadi perhatian

orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam

masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan moral seseorang

mengganggu ketenteraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang

yang rusak moralnya, maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu.

Secara dinamis, nilai moral dipelajari dari produk sosial dan secara

perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama

dengan kelompoknya. Jadi nilai moral merupakan sesuatu yang memungkinkan

individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan

atau sebagai suatu yang ingin dicapai.

Nilai moral dalam Islam disebut akhlak. “Akhlak ialah bentuk jamak dari

khuluk (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.

Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau

ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk

melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika. Sedangkan etika

adalah ilmu pengetahuan asas-asas akhlak (moral)”.19 Jadi khuluk merupakan

gambaran sifat batin manusia, kondisi mental yang mendorong perbuatan dengan

mudah, tanpa pemikiran dan alasan-alasan, dalam artian adalah spontanitas. “Akhlak adalah keadaan jiwa yang menyebabkan munculnya perbuatan -perbuatan tanpa pertimbangan yang mendalam”. 20 Pada dasarnya akhlak

merupakan tingkah laku dan gerak-gerik seseorang yang sering dilakukan.

Misalnya, tingkah laku dan gerak-gerik seseorang ketika bertemu dengan

orangtuanya, orang yang lebih tua, temannya baik laki-laki ataupun perempuan,

saudaranya, Tuhannya, dirinya atau bahkan dengan lingkungannya. Karena,

19

M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah, 2007), cet. 1, h. 2-3

20

(24)

memang objek akhlak itu bukan hanya dalam hubungan manusia dengan manusia

lainnya, akan tetapi juga dalam hubungannya dengan Tuhan, alam sekitar dan

dirinya sendiri.

Dalam hubungan ini Abudin Nata berpendapat dalam bukunya “akhlak

tasawuf” yaitu:

Bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk. Tetapi tidak semua amal yang baik atau buruk itu dapat dikatakan perbuatan akhlak. Banyak perbuatan yang tidak dapat disebut perbuatan akhlaki, dan tidak dapat dikatakan perbuatan baik atau buruk. Perbuatan manusia yang dilakukan atas dasar kemauannya atau pilihannya seperti bernafas, berkedip, berbolak-baliknya hati dan terkejut ketika tiba-tiba terang sebelum gelap tidaklah disebut akhlak, karena perbuatan tersebut yang dilakukan tanpa pilihan.21

Akhlak dapat ditarik kesimpulan sebagai ilmu tata krama, yang berusaha

mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik

atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila yang bersumber dari

nilai-nilai ajaran Islam.

Moral (akhlak) memiliki kaitan erat dengan keimanan (aqidah). Bahkan

seringkali disebut bahwa akhlak itu buah dari iman, karena orang yang kuat

imannya, akan terpelihara perbuatan-perbuatannya dari hal-hal yang keji dan

rendah, dan sebaliknya juga orang yang buruk moralnya (berbuat keji dan rendah)

menunjukkan ketidaksempurnaan imannya. Oleh sebab itu nilai-nilai moral dalam

Islam adalah nilai-nilai yang bersumber dalam ajaran Islam itu sendiri.

Bahkan menurut Islam akhlak merupakan tolak ukur dari nilai keimanan

seseorang, semakin baik akhlak seseorang maka semakin sempurna pula imannya.

Sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw:

Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya

(akhlaknya)”.22

21

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 5, h. 6 22

(25)

Bahkan kesempurnaan akhlak adalah sebagai tujuan dari diutusnya Nabi

Muhammad saw. seperti dalam hadits:

“Sesungguhnya aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan

kemuliaan akhlak.” (H.R Maliki).23

2. Sumber Nilai Moral

Moral dalam Islam (akhlak), tidak terbatas pada adat istiadat dan budaya

yang ada dalam masyarakat, akan tetapi mendahulukan nilai-nilai yang bersumber

dari Al-Qur’an dan Hadist. Adapun M. Yatimin Abdullah menegaskan bahwa “sumber ajaran moral (akhlak) yang utama ialah Al-Qur’an dan hadis”.24 Tingkah laku Nabi Muhammad saw merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia. Ini

ditegaskan oleh Allah dalam A-Qur’an:

                               

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)25

Hadis Rasulullah saw meliputi perkataan dan tingkah laku beliau,

merupakan sumber akhlak yang kedua setelah Al-Qur’an. Segala ucapan dan

perilaku beliau senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah SWT. Allah SWT

berfirman:                   

Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm [53]: 3-4)26

23

Ibid., h. 7 24

Ibid., h. 4 25

Departemen Agama, loc. cit. 26

(26)

Dalam ayat lain Allah memerintahkan agar selalu mengikuti jejak

Rasulullah saw dan tunduk kepada apa yang dibawa oleh beliau. Allah SWT

berfirman:                              

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukuman-Nya”. (QS. Al-Hasyr [59]: 7)27

Kemudian Zakiyah Daradjat menegaskan bahwa sumber nilai yaitu:

1. Nilai yang Ilahi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

2. Nilai yang duniawi yaitu ra’yu (pikiran), adat istiadat dan kejadian alam.28

Bagi umat Islam, “sumber nilai yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan

Sunnah hanya digunakan sepanjang tidak menyimpang atau yang menunjang

sistem nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah”.29 Allah SWT

berfirman:                              

Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikauti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (QS. Al-An’am [6]:153)30

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa sumber nilai moral bisa berasal dari hasil

pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks

pendidikan Islam, maka sumber nilai moral yang paling utama adalah Al-Qur’an

dan As-sunnah Nabi Muhammad saw, yang kemudian dikembangkan menjadi

nilai-nilai hasil ijtihad para ulama, dan nilai-nilai yang terimplementasi dalam

kehidupan budaya umat Islam.

27

Ibid., h. 436 28

Zakiah Darajat dan Ahmad Sajali, dkk, op. cit., h. 262 29

Ibid., h. 262 30

(27)

B. Konsep Keluarga dalam Islam

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan suatu unit yang terdiri dari beberapa orang yang

masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan tertentu. Keluarga itu dibina

oleh sepasang manusia yang telah sepakat untuk mengarungi hidup bersama

dengan tulus dan setia, didasari keyakinan yang dikukuhkan melalui pernikahan,

dipateri dengan kasih sayang, ditujukan untuk saling melengkapi dan

meningkatkan diri dalam menuju ridha Allah SWT.31

Menurut Abu Ahmad, “keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil

yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok

ini, dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan

sebutan primary group, kelompok inilah yang melahirkan individu dengan

berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat”.32

“Keluarga adalah multibodied organism, organism yang terdiri dari banyak badan. Keluarga merupakan satu kesatuan (entity) atau orginisme,

mempunyai komponen-komponen yang membentuk organisme keluarga itu”.33

Komponen-komponen tersebut ialah anggota keluarga.

Sedangkan menurut pandangan agama Islam, terbentuknya lembaga

keluarga bermula pada saat seseorang membutuhkan orang lain, yang dapat

mendampinginya, ikut memikul bebannya dan saling tolong menolong di dalam

merealisasikan tugas-tugas pengabdiannya terhadap Allah SWT.34

Sebagaimana Firman Allah SWT yang berbunyi:

                                    

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu

31

Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), Cet. 1, h.19

32

Abu Ahmad, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 87 33

Ulfatmi, loc. cit., h. 19 34

(28)

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S Ar-Rum [30]: 21)35

Keluarga dapat diterjemahkan juga ke dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit pengertian keluarga didasarkan pada hubungan darah yang terdiri atas ayah, ibu dan anak, yang disebut dengan keluarga inti. Sedangkan dalam arti yang luas, semua pihak yang ada hubungan darah sehingga tampil sebagai clan atau marga yang dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama keluarga atau marga. Sementara itu arti keluarga dalam hubungan sosial tampil dalam berbagai jenis, ada yang kaitannya dengan silsilah, lingkungan kerja, mata pencaharian, profesi dan sebagainya.36

Ulfatmi menyebutkan lima ciri khas keluarga sebagai berikut:

a. Adanya hubungan yang berpasangan antara kedua jenis (pria dan wanita)

b. Dikukuhkan oleh suatu pernikahan

c. Adanya pengakuan terhadap keturunan (anak) yang dilahirkan dalam rangka

hubungan tersebut

d. Adanya kehidupan ekonomis yang diselenggarakan bersama

e. Dilaksanakannya kehidupan berumah tangga37

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa keluarga

adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat yang bersifat

langsung, artinya oleh keturunan darah perkawinan. Sebagai kelompok primer

yang penting dalam masyarakat serta kesatuan sosial yang utuh, maka disitulah

tahap awal proses permasyarakatan serta penanaman nilai-nilai moral pada

remaja, melalui interaksi tersebut maka didapatkan pengetahuan, keterampilan,

minat, nilai-nilai emosi serta sikap dalam hidup dan dengan itu akan didapatkan

ketenangan dan ketentraman.

2. Fungsi dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga

Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh keluarga dipengaruhi

oleh kebudayaan sekitar dan intensitas keluarga dalam turut sertanya dengan

kebudayaan dan lingkungannya, keyakinan, pandangan hidup dan sistem nilai

35

Departemen Agama, op. cit., h. 324 36

Ulfatmi, op.cit., h. 20 37

(29)

yang menggariskan tujuan hidup serta kebijaksanaan keluarga dalam rangka

melaksanakan tata laksana fungsi dan tanggung jawabnya.

Sebenarnya, keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku

penerus keturunan. Keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya. Dalam

bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala

pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari

orang tua dan anggota keluarganya sendiri.

Melihat unsur-unsur yang terkandung dalam keluarga, maka keluarga akan

memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi Religius

b. Fungsi Biologis

c. Fungsi Edukasi

d. Fungsi Sosialisasi

e. Fungsi Afeksi dan Perasaan

f. Fungsi Ekonomis

g. Fungsi Rekreasi

h. Fungsi proteksi atau Perlindungan38

“Dalam kajian tentang pendidikan dalam keluarga, fungsi edukatiflah yang paling menonjol. Tetapi dalam implementasinya, terlaksananya fungsi edukatif ini

sangat dipengaruhi oleh terealisirnya fungsi-fungsi keluarga lainnya yaitu fungsi

affeksi, proteksi, sosialisasi, religius dan sebagainya”.39 Pelaksanaan edukasi

keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orang tua.

Sebagai salah satu momen dari tri pusat pendidikan, keluarga merupakan

pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Iklim lingkungan keluarga, sikap

dan kebiasaan hidup semua anggota keluarga, keberagamaan dalam keluarga,

akan memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan dan pembentukan

kepribadian remaja kelak.

Zakiah Daradjat menegaskan tentang peran keluarga sebagai lembaga

pendidikan dalam salah satu tulisannya;

38

Ibid., h. 21 39

(30)

Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula. Jika tidak, maka akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam keluarga amat penting. Dialah yang mengantarkan dan membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga. Menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya.40

Dalam membicarakan pasal tempat-tempat pendidikan, memang benar

bahwa rumah tangga dan masyarakat termasuk dalam kategori wadah

dilaksanakannya pendidikan. Rumah tangga, memiliki pengaruh yang lebih dalam

pendidikan terutama dalam aspek pengaruh bahasa dan percakapan, moral dan

perilaku, perasaan dan sebagainya.

Sejalan dengan hal itu, maka sebagai wadah dimana pendidikan

dilaksanakan, rumah tangga atau keluarga berfungsi dan mempunyai tanggung

jawab dalam tiga hal penting:

a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan

membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.

b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam

memenuhi perannya sebagai orang dewasa.

c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.41

Pendidikan anak secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah,

tanpa disadari oleh orang tua bahkan anggota keluarga lainnya, namun pengaruh

dan akibatnya sangatlah besar. Terutama pada tahun-tahun pertama dari

kehidupan anak atau pada masa balita (di bawah lima tahun). Pada umur tersebut

pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait kepada panca inderanya dan belum

bertumbuh pemikiran logis atau maknawinya (abstrak), atau dapat kita katakan

bahwa anak masih berpikir inderawi.

Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga terutama para

orang tua untuk lebih memperhatikan dan memahami ciri-ciri anak pada

umur-umur tertentu dan mengetahui keperluan utama anak pada berbagai tahap umur-umur,

40

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung, CV Ruhama, 1994), h. 47

41

(31)

hal ini guna mencapai tujuan dan fungsi-fungsi pendidikan dalam keluarga, yang

salah satunya adalah mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasanya yang akan

datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa. Karena dalam kondisi

apapun pada dasarnya manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan, dan

bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya

berjalan secara baik dan benar.

Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya

adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati.

Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati ibu dan bapak

diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri

ini, timbul rasa kasih dan sayang para orang tua kepada anak-anaknya, hingga

secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara,

mengawasi, melindungi dan membimbing keturunan mereka.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan anak. Perkembangan agama adalah terjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia sangat kompleks. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah, agama itu dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Rasul yang mulia menekankan tanggung jawab itu kepada kedua orang tua.42

Berkaitan dengan perkembangan agama, fungsi dan peran orang tua

bahkan mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap bayi yang

dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan

agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan,

pemeliharaan dan pengaruh kedua orangtuanya.

Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Karena

nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat

dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada agama. Karena itu dalam

42

(32)

pembinaan anak khususnya generasi muda, perlulah kehidupan moral dan agama

itu sejalan dan mendapat perhatian yang serius terutama bagi kedua orang tua.43

Dalam pendidikan dan pembinaan generasi muda, peranan wanita sangat

penting, karena seorang ibulah biasanya yang paling lama berada di rumah di sisi

anak-anaknya dan pembinaan itu berarti pembinaan segala aspek dari kehidupan

mereka, terutama pembinaan pribadi yang mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak

dalam kandungan. Di samping itu perlu kita sadari bahwa pembinaan pribadi dan

moral itu terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan,

pendengaran dan pengalaman/perlakuan yang diterimanya. Atau melalui

pendidikan dalam arti yang luas. Maka semakin besar umur si anak semakin

banyak ia bergaul dengan ibunya dan semakin banyaklah ia menyerap

pengalaman yang akan ikut membina pribadinya dari ibunya sendiri. Namun,

tidak bisa kita pungkiri, bahwa peranan seorang bapak yang sebagai kepala rumah

tangga (pemimpin) juga sangat penting peranannya bagi anak-anaknya.

Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah SWT, dan setiap

amanat wajib dipertanggung jawabkan. Karena itu kedua orang tua memiliki

tanggung jawab yang besar bagi anak-anaknya, terutama dalam penyelenggaraan

pendidikan dalam keluarga dan pembinaan pribadinya. Peran kedua orangtua

dalam pendidikan anak menjadi dasar bagi perkembangan pola pikir, perilaku dan

sikap anak yang terbentuk, dengan harapan anak-anak yang tumbuh nanti menjadi

anak yang shaleh dan berbudi pekerti baik.

3. Interaksi Harmonis dalam keluarga

Masyarakat merupakan ajang hidup anak remaja di samping keluarga dan

lingkungan sekolah. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang sudah cukup

lama mengadakan interaksi sosial dalam kehidupan bersama yang diliputi oleh

struktur serta sistem yang mengatur kehidupan. Disamping itu di dalamnya

terdapat pula kebudayaan dan salah satu unsur pokok masyarakat, yakni:

Solidaritas sosial. Di dalam kehidupan manusia pastinya terjadi interaksi sosial di

43

(33)

antara individu dengan individu yang masing-masing mamiliki kesadaran dan

pengertian tentang hubungan timbal balik tersebut.44

Adanya kesadaran dan pengertian akan tercerminnya dalam sifat

kehidupan sehari-hari mereka yang satu sama lainnya merasa saling bergantung.

Memang di dalam kehidupan sehari-hari seorang individu ternyata jarang sekali

untuk mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara sendiri. Dengan

demikian hubungan manusia dengan manusia lainnya di dalam masyarakat

memerlukan perekat dan bekal agar hubungan tersebut terjalin dengan baik dan

akrab. Agar dapat menjalin hubungan dengan baik antar sesama individu, maka

peranan keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal individu sangat

dibutuhkan.

Seperti halnya yang telah kita ketahui sebelumnya, keluarga terdiri dari

suami, isteri dan anak-anaknya. Anak-anak inilah yang nantinya berkembang dan

mulai bisa belajar melalui pengenalan itu. Apa yang dilihatnya, pada akhirnya

akan memberinya suatu pengalaman individual. Dari situlah ia mulai dikenal

sebagai individu. Individu ini pada tahap selanjutnya mulai merasakan bahwa

telah ada individu-individu lainnya yang berhubungan secara fungsional.

Individu-individu tersebut adalah keluarganyalah yang memelihara cara pandang

dan cara menghadapi masalah-masalahnya, membinanya dengan cara menelusuri

dan meramalkan hari esoknya untuk mempersiapkan pendidikan, keterampilan

dan budi pekertinya. Akhirnya keluarga menjadi semacam model untuk

mengidentifikasikan sebagai keluarga menjadi yang broken home, moderate atau

keluarga yang harmonis.

Keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal anak, sangat

berpengaruh secara langsung terhadap perkembangannya sebelum maupun

sesudah terjun langsung secara individual di masyarakat. Jadi sebagian besar anak

dibesarkan oleh keluarga, di samping itu kenyataan menunjukkan bahwa di dalam

keluargalah anak mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang pertamakali. Pada

dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil, akan

44

(34)

tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di dalam mendidik dan

membina anak, dengan demikian seluk beluk kehidupan keluarga memiliki

pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan anak dan remaja.

Sudarsono menjelaskan, “sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan

juga untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga, maka

sepantasnyalah ketika kemungkinan adanya deviasi pada perkembangan anak

khususnya remaja sebagian besar pula bisa berasal dari keluarga.”45

Dalam kenyataannya sering terjadi hubungan individu dengan individu

atau bahkan hubungan individu dengan kelompok mengalami gangguan yang

disebabkan karena terdapat seorang atau sebagian anggota kelompok di dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang

lain, gangguan-gangguan yang terjadi tidak jarang muncul dari

perbuatan-perbuatan anak remaja yang tidak terpuji serta mengancam hak-hak orang lain di

tengah-tengah masyarakat, antara lain:

a. Mengancam hak milik orang lain misalnya: pencurian, penipuan dan

penggelapan.

b. Mengancam hak-hak hidup dan kesehatan orang lain, seperti: pembunuhan

dan penganiayaan.

c. Mengancam kehormatan orang lain dan bersifat tidak susila, seperti:

pemerkosaan dan perzinahan.46

Perbuatan-perbuatan anak remaja tersebut pada akhirnya akan

menimbulkan keresahan sosial sehingga kehidupan di dalam keluarga karena

perbuatan si remaja tadi dan dalam masyarakat tidak harmonis lagi, ikatan

solidaritas menjadi runtuh. Secara yuridis formal perbuatan-perbuatan mereka

jelas melawan hukum tertulis atau undang-undang. Kemudian jika ditinjau dari

segi moral dan kesusilaan, perbuatan-perbuatan tersebut melanggar moral,

menyalahi norma-norma sosial dan bersifat anti susila. Kenakalan remaja yang

dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat, sebenarnya bukanlah suatu

keadaan yang berdiri sendiri, kenakalan remaja akan muncul karena beberapa

45

Ibid., h. 20 46

(35)

sebab, baik karena keadaan lingkungan masyarakat dan terlebih bisa juga karena

keadaan keluarga si remaja.

Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya

kenakalan remaja itu bersifat kompleks. Di antaranya kondisi tersebut dapat

terjadi karena kelahiran anak di luar perkawinan yang syah menurut hukum atau

agama. Di samping itu kenakalan anak atau remaja juga dapat disebabkan keadaan

keluarga yang tidak normal, yang mencakup keadaan ekonomi keluarga, terutama

menyangkut keluarga miskin atau keluarga yang menderita kekurangan jika

dibandingkan dengan keadaan ekonomi penduduk pada umumnya. Bahkan sering

terjadi dalam keadaan mendesak seluruh anggota keluarga ikut mencari nafkah

untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi keluarga seperti ini biasanya memiliki

konsekuensi lebih lanjut dan kompleks terhadap anak-anak, antara lain: hampir

setiap hari anak terlantar, biaya sekolah anak-anak tidak tercukupi, di samping itu

biaya kebutuhan lainnya juga tidak tercukupi. Akibatnya akan kompleks pula,

dalam kondisi yang serba sulit dapat mendorong anak atau remaja menjadi

sembarangan bergaul, kemudian bisa terpengaruh gaya hidup temen sebayanya,

sehingga bisa menjadi penyebab deviasi pada perkembangan anak dan remaja.47

Dalam perspektif teori sosial-psikologi memandang bahwa

kebutuhan-kebutuhan remaja itu adalah berkaitan erat dengan pemuasan kebutuhan-kebutuhan mereka

dalam kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan psikologi yang pokok akan

mengarahkan tercapainya rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, adalah sebagai berikut:

a. Kebutuhan untuk menerima afeksi dari kelompok atau individu lain, meliputi:

1) Menerima rasa kasih sayang dari keluarga atau orang lain di luar

kehidupan keluarga

2) Menerima pemujaan atau sambutan hangat dari teman-temannya

3) Menerima penghargaan dan apresiasi dari guru dan pendidik lainnya.

b. Kebutuhan untuk memberikan sumbangan kepada kelompoknya, meliputi:

1) Menyatakan afeksi kepada kelompoknya

2) Turut serta memikul tanggung jawab kelompok

47

(36)

3) Menyatakan kesediaan dan kesetiaan kepada kelompok

4) Menghayati keberhasilan dalam kelompok

c. Kebutuhan untuk memahami

d. Kebutuhan untuk mempelajari dan menyelidiki sesuatu

Jika dikaji lebih lanjut tentang interaksi dalam keluarga. Keluarga

memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan remaja. Untuk

mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam keluarga, di antaranya memang

diperlukan penciptaan suasana yang baik adalah usaha menciptakan terwujudnya

saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling percaya dan saling

menyayangi di antara suami isteri dan antara seluruh anggoata keluarga lainnya.48

Untuk pencapaian tujuan tersebut maka setiap rumah tangga dituntut untuk

memiliki pola pembinaan terencana untuk keluarga khususnya terhadap anak. Di

antara pola pembinaan terencana tersebut ialah memberi suri tauladan yang baik

kepada anak-anak dalam berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama dan akhlak

yang mulia, menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di

mana mereka mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterimanya dari orang

tuanya, memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka

merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya, menunjukkan bahwa keluarga

selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana dalam sikap dan tingkah

laku kehidupan sehari-hari mereka, menjaga mereka dari pergaulan teman-teman

yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan moral.

Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga dengan

anggota kelompoknya pada dasarnya dapat diidentifikasi sebagai sebuah kelas

yang menjalankan proses transformasi perilaku, pengetahuan serta sikap, terutama

sikap terampil dan mandiri. Selain itu sebagai sebuah lembaga pendidikan rumah

tangga berkepentingan menyediakan pendidikan pra-nikah agar keharmonisan

yang telah dicapai dapat diwariskan kepada generasi sesudahnya.49 Ada banyak

problema yang bisa dijadikan bahan ajar terhadap remaja-remaja yang beranjak

dewasa di dalam keluarga sebagai bekal bagi mereka ketika berumah tangga.

48

Zakiah Daradjat, op.cit., h. 47 49

(37)

Isyu-isyu kekerasan dalam rumah tangga, perilaku seks remaja dan akibatnya,

ragam pesoalan suami isteri, pengaturan ekonomi dan pendidikan, perilaku

berumah tangga serta memahami hubungan rumah tangga dengan masyarakat

semuanya adalah bahan kajian yang bisa ditransfer kepada para remaja dalam

rangka mempersiapkan diri mereka munuju gerbang pernikahan.

C. Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya

1. Pengertian Remaja

Remaja ada di dalam tempat marginal. Berhubung ada macam-macam

persyaratan untuk dapat dikatakan dewasa, maka lebih mudah untuk dimasukkan

kategori anak dari pada kategori dewasa. Baru pada akhir abad ke-18 maka masa

remaja dipandang sebagai periode tertentu lepas dari periode kanak-kanak.

Meskipun begitu kedudukan dan stasus remaja berbeda dari pada anak.

“Remaja berasal dari kata latin adilenscere (kata bendanya, adolensecentia yang berarti remaja), yang berarti pula “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa”.50

Lazimnya masa remaja dianggap sebagai permulaan seorang anak secara seksual

menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

Umur remaja dalam pandangan hukum dapat diketahui dari posisinya

dimata hukum. Undang-Undang No. 22/ 2009 tentang lalu lintas, pasal 81 ayat 2

menetapkan syarat usia 17 tahun untuk SIM-A (Surat Izin Mengemudi Mobil) dan

SIM-C (surat izin mengemudi Sepeda Motor). Undang-undang ini tidak

mengecualikan mereka yang sudah menikah di bawah usia tersebut dan

memperlakukan semua yang di bawah usia tersebut sebagai belum cukup usia,

atau belum dewasa untuk mengemudi kendaraan bermotor. Sementara itu,

Undang-Undang No. 10/ 2008, tentang Pemilu, pasal 1 angka 22 menetapkan usia

17 tahun atau sudah menikah sebagai batas usia seseorang berhak memilih dalam

pemilihan umum.51

Dalam hubungannya dengan hukum, tampaknya hanya Undang-Undang Perkawinan saja yang mengenal konsep “remaja walaupun secara tidak terbuka.

50

Zakiah darajat, Psikologi, (Bandung: Teraju Mizan, 1974), h. 178 51

(38)

Usia minimal untuk suatu perkawinan menurut undang-undang tersebut adalah 16

tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 7 UU No. 1/ 1974 tentang

perkawinan). Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap orang di atas usia

tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah.

Dari segi ajaran Islam istilah remaja atau kata yang berarti remaja tidak

ada dalam Islam. Di dalam Al-Quran ada kata (alfiyatu-fityatun) yang artinya

orang muda. Seperti firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Kahfi :

                         

Artinya: “(ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)”. (QS. Al-Kahfi [18]: 10)52

Dan terdapat pula kata baligh yang menunjukkan seseorang tidak

kanak-kanak lagi, misalnya dalam surat An-Nuur:

                                     

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.dan

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur [24]: 59)53

Pada kata baligh tersebut terdapat istilah kata baligh yang dikaitkan

dengan mimpi. Kata baligh dalam istilah hukum Islam digunakan untuk

penentuan umur awal kewajiban-kewajiban melaksanakan hukum Islam dalam

kehidupan sehari-hari.

“Masa remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan. Masa ini dikenal sebagai suatu periode peralihan, suatu masa perubahan yang

sangat pesat, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang

52

Departemen Agama, op. cit., h. 235 53

(39)

menakutkan, masa yang tidak realistic dan pada akhirnya mengalami masa ambang dewasa”.54

Kemudian mengenai perkembangan remaja. Para ahli psikologi pada

umumnya menunjuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses

perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan

karakterisitik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak terlepas dari perubahan

yang terjadi pada struktur biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan

dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. Perubahan

kemampuan dan karakterisitik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan struktur biologis sering dikenal istilah “kematangan”.55

Perkembangan berkaitan erat dengan pertumbuhan. Berkat adanya

pertumbuhan maka pada saatnya anak akan mencapai kematangan. Perbedaan

antara pertumbuhan dan kematangan, pertumbuhan menunjukkan perubahan

biologis yang bersifat kuantitatif, seperti bertambah panjang ukuran tungkai,

bertambah lebarnya lingkar kepala, bertambah beratnya tubuh, dan semakin

sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf.

Adapun tahapan fase perkembangan individu berdasarkan psikologis. Para

ahli menggunakan aspek psikologis sebagai landasan menganalisa tahap

perkembangan yang khas bagi individu pada umumnya dapat digunakan sebagai

masa perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain dalam perkembangannya.

Dalam hal ini para ahli berpendapat bahwa dalam perkembangan pada umumnya

individu mengalami kegoncangan. Kegoncangan tersebut terjadi dua kali yaitu

pada tahun ketiga dan keempat dan pada permulaan masa pubertas.

Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu

dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:

a. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang

disebut masa kanak-kanak).

b. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang

disebut masa keserasian bersekolah.

54

M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007), cet. 3, h. 25 55

(40)

c. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang disebut masa

kematangan.56

Pendapat para ahli tentang pembagian fase atau rentangan usia adalah

beragam, tetapi pada umumnya setiap fase melewati atau melalui proses

perkembangan yang sama. Dan pada umumnya fase usia tersebut terdapat pada

tiga fase usia yaitu masa kanak,

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Uji Hipotesis tentang Faktor-Faktor Tugas Perkembangan Remaja dengan Penyesuaian Diri Remaja menurut Orang Tua.. Pembahasan mengenai Faktor-faktor dari

Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam upaya yang dilakukan orang tua dalam menanamkan nilai rukun pada remaja dalam kehidupan sehari-hari dan mengetahui sikap

Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana Metode Da’i dalam Menanamkan Nilai-nilai Kejujuran Pada Remaja di BTN Bumi Samata Permai Gowa. Dari pokok masalah

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa peran keluarga dalam menanamkan nilai budaya sumang pada remaja yaitu orang tua memberikan aturan-aturan serta memperhatikan

Mean dari dimensi bentuk kesadaran sosial pengalaman orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri dilihat dari identifikasi terhadap nilai moral individualisme

(2) Makna simbolik Upacara Melasti dalam Sosialisasi Nilai Moral pada Remaja Hindu di Kota Palu mampu memberikan kontribusi untuk mengembangkan nilai-nilai

14 Melihat pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai-nilai budaya Jawa dan pengaruh Islam dapat mempengaruhi keterbukaan diri remaja, karena di dalam

Untuk penedekatan yang dilakukan oleh orang tua buruh tani didusun kaweden sudah berjalan dengan, dimana anak sudah diberikan pendekatan- pendekatan yang baik