• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kajian Pustaka

2. Pendidikan Karakter

individu memiliki karakter baik yang menjadi jati dirinya sehingga tercipta kebiasaan berperilaku yang baik pada diri anak.

3. Karakter religius merupakan wujud sikap keberimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dalam segala pikiran, perkataan, dan perilaku serta mau melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut.

4. Karakter tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

13

5. Karakter disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.

6. Karakter peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan seseorang yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

7. Karakter jujur merupakan wujud perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri dan pihak lain. 8. Karakter toleransi merupakan bentuk perilaku dan sikap memberikan respek

atau hormat terhadap berbagai macam hal baik berbentuk fisik, sifat, adat, karakter, suku, dan agama.

9. Buku cerita bergambar diartikan sebagai buku cerita yang didalamnya terdapat gambar-gambar yang saling berhubungan, saling berkaitan, dan mendukung isi cerita yang disajikan sehingga mampu membuat kesan buku lebih lengkap dan konkret.

10. Murid kelas II Sekolah Dasar adalah anak yang berusia antara 8-9 tahun yang memiliki minat terhadap kehidupan praktis yang konkret, sangat imajinatif, dan memiliki rasa ingin tahu dan ingin belajar yang besar.

14 F. Spesifikasi Produk yang Diharapkan

Produk yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini berupa buku cerita anak bergambar dengan spesifikasi produk sebagai berikut:

1. Buku cerita bergambar memiliki ukuran kertas 21 cm x 21 cm. 2. Cover buku cerita bergambar menggunakan kertas Ivory 230gr. 3. Isi buku cerita bergambar menggunakan kertas Hvs 80gr.

4. Font yang digunakan dalam buku cerita bergambar ini adalah Eusthalia

BT untuk judul buku, DFPOP-W9 untuk judul cerita, dan Candara untuk

isi cerita.

5. Buku cerita bergambar dibuat dengan bermacam-macam warna untuk menarik minat siswa.

6. Buku cerita bergambar memuat pembelajaran nilai-nilai pendidikan karakter (religius, jujur, tanggungjawab, toleransi, disiplin, dan peduli lingkungan) yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

7. Buku cerita bergambar menggunakan bahasa yang mudah dipahami. 8. Buku cerita bergambar bersifat ringkas dan langsung.

9. Judul buku cerita bergambar mewakili keseluruhan isi cerita.

10. Buku cerita bergambar memiliki gambar dan teks yang saling berhubungan.

11. Terdapat lembar refleksi di setiap cerita.

12. Ilustrasi yang terdapat pada buku cerita bergambar memperjelas latar, rangkaian cerita, dan karakter.

15

21 cm

21 cm Gambar 1.1 Cover Buku

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini, diuraikan mengenai kajian pustaka, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir.

A. Kajian Pustaka

Pada kajian pusaka, dijelaskan mengenai teori-teori yang mendukung penelitian ini, yaitu: (1) literasi, (2) pendidikan karakter, (3) buku cerita bergambar, dan (4) tahap perkembangan anak.

1. Literasi

a. Pengertian Literasi

Literasi berasal dari kata literacy yang artinya melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwacanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale dan Cooper dalam Kusmana, 2017:142). Baynham (dalam Kusuma, 2017:142) mengatakan bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis. Winterowd (dalam Kusuma, 2017:143) dalam National Assessment of

Educational Progress mengartikan literasi sebagai kemampuan performansi

membaca dan menulis yang diperlukan seseorang sepanjang hidupnya.

Sementara itu, berdasarkan perkembangannya, pada masa awal literasi didefinisikan sebagai kegiatan pemberantasan buta aksara (Abidin, Mulyati, & Yunansah, 2018:1). Lebih lanjut, Abidin dkk. (2018:1) memandang literasi sebagai bentuk kemampuan dalam membaca dan menulis sehingga orang dapat dikatakan literat jika sudah mampu membaca dan

17

menulis atau yang sering diistilahkan dengan bebas buta huruf. Berkaitan dengan itu, Kalantzis (dalam Priyatni & Nurhadi, 2017:157) juga berpendapat bahwa pada awal kemunculannya, literasi dimaknai sebagai melek aksara yang fokus utamanya merupakan dua keterampilan yang menjadi dasar untuk memahami berbagai hal, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Dewayani (2017:9) mengatakan bahwa literasi adalah jalan bagi kemajuan umat manusia dan alat bagi setiap individu untuk mewujudkan potensinya.

Sesuai dengan perkembangan jaman, pengertian literasi juga mengalami perkembangan menjadi kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak (Abidin dkk., 2018:1). Abidin dkk. (2018:1) melanjutkan, literasi merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan gambar dalam bentuk yang kaya dan beragam untuk membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, melihat, menyajikan, dan berpikir kritis. Sejalan dengan hal itu, Alwasilah (dalam Priyatni & Nurhadi, 2017:157) menjelaskan bahwa literasi atau yang disebut literasi kritis memfokuskan pada keterampilan kritis dan analitis yang diperlukan untuk memahami dan menginterpretasikan teks, baik teks lisan maupun teks tulis yang dapat memecahkan permasalahan kehidupan di masyarakat baik secara akademis maupun sosial. Puskur (dalam Priyatni & Nurhadi, 2017:157) memaknai literasi sebagai kemampuan individu dalam memecahkan masalah dengan menggunakan teks sebagai alatnya. Penggunaan teks sebagai alat pemecahan masalah juga diistilahkan sebagai kemampuan tingkat tinggi dimana kegiatan

18

literasi difokuskan pada kemampuan individu dalam berpikir kritis (Priyatni & Nurhadi, 2017:157).

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian literasi diperluas menjadi kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan gambar dalam bentuk yang kaya dan beragam untuk membaca, menulis, menyimak, berbicara, dan berpikir kritis yang diperlukan seseorang sepanjang hidupnya. Seseorang dapat dikatakan literat berdasarkan kemampuannya dalam membaca dan menulis. Kemampuan tersebut merupakan keterampilan dasar untuk memahami berbagai hal, salah satunya adalah alat untuk mewujudkan potensi dan memecahkan masalah. b. Ruang Lingkup Pembelajaran Literasi

Sesuai dengan berkembangnya paham tentang literasi, Abidin dkk. (2018:30) berpendapat bahwa standar pembelajaran literasi juga mengalami perkembangan. Perkembangan standar pembelajaran literasi sejalan dengan perkembangan fokus pembelajaran literasi atau ruang lingkup pembelajaran literasi. Menurut Abidin dkk. (2018:30), terdapat empat fokus pembelajaran literasi. Fokus pembelajaran literasi yang pertama adalah fokus teks. Fokus teks yang dimaksud adalah penetapan standar utama yang harus dicapai dalam pembelajaran literasi ditekankan pada aspek linguistik dalam sebuah teks. Hal-hal yang ditekankan dalam fokus pembelajaran ini untuk mencapai standar pembelajaran literasi adalah sebagai berikut:

1) penguasaan berbagai sistem bahasa yang digunakan untuk membuat makna;

19

2) penguasaan konsep tentang perbedaan bahasa tulis dan lisan; dan

3) penguasaan konsep sistem variasi bahasa yang terdapat dalam kelompok sosial seperti etnis, budaya, kelas sosial, agama, keluarga, rekreasi, pekerjaan, sekolah, dan pemerintah.

Fokus pembelajaran literasi yang kedua adalah fokus berpikir. Berdasarkan fokus ini, pembelajaran literasi bertujuan untuk mencapai beberapa standar berikut ini:

1) menjadi pembaca dan penulis yang aktif, selektif, dan konstruktif;

2) menggunakan pengetahuan awal yang relevan untuk membangun makna baru;

3) menggunakan berbagai proses dan strategi untuk menghasilkan makna; 4) menggunakan berbagai proses untuk mengatasi hambatan saat membaca

dan menulis; dan

5) menggunakan berbagai proses secara variatif berdasarkan keberagaman teks, tujuan dan audiens.

Fokus pembelajaran literasi yang ketiga adalah fokus kelompok. Dalam hal ini fokus pembelajaran literasi menetapkan sejumlah standar pembelajaran literasi. Standar pembelajaran literasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) memahami variasi tujuan dan pola praktik literasi dalam kelompok sosial, seperti misalnya etnis, budaya, kelas sosial, agama, keluarga, rekreasi, pekerjaan, sekolah, dan pemerintah;

20

2) memahami aturan dan norma dalam berinteraksi dengan bahasa tulis dalam kelompok;

3) memahami pengetahuan tentang gaya bahasa yang terdapat dalam berbagai teks;

4) memahami bagaimana mengaplikasikan berbagai cara penggunaan keterampilan literasi untuk memproduksi, mengonsumsi, menjaga, dan mengontrol pengetahuan;

5) memahami pengetahuan tentang bentuk dan fungsi literasi tertentu; dan 6) memiliki kemampuan untuk mengritik teks.

Fokus pembelajaran literasi yang keempat adalah fokus pertumbuhan. Fokus ini menetapkan beberapa standar pembelajaran literasi yang berbeda dengan ketiga fokus lain. Standar-standar pembelajaran literasi ini dipandang lebih komprehensif, jelas, dan lengkap dibanding dengan standar fokus-fokus yang lain. Pembelajaran literasi yang berfokus pada pertumbuhan memiliki standar sebagai berikut:

1) berperan aktif dan konstruktif dalam mengembangkan keterampilan literasi;

2) menggunakan berbagai strategi dan proses untuk membangun dimensi literasi;

3) mengobservasi dan bertransaksi dengan produk literasi yang digunakan pengguna yang lebih mahir di dalam dan di antara kelompok sosial;

21

4) memahami dan mengaplikasi cara memanfaatkan dukungan dan mediasi yang biasa digunakan oleh pengguna literasi yang lebih mahir di dalam dan di antara kelompok sosial;

5) menggunakan pengetahuan yang didapat melalui membaca untuk mendukung pengembangan menulis serta menggunakan pengetahuan yang didapat melalui tulisan untuk mendukung pengembangan membaca; dan

6) memahami dan mengaplikasikan cara menegosiasikan makna tekstual, melalui penggunaan dan dukungan sistem komunikasi alternatif, misalnya seni musik dan matematika.

Berdasarkan beberapa ruang lingkup pembelajaran literasi yang telah dijabarkan, terdapat empat fokus pembelajaran literasi, yaitu fokus teks, fokus berpikir, fokus kelompok, dan fokus pertumbuhan. Masing-masing fokus tersebut digunakan sebagai standar acuan yang harus dicapai dalam pembelajaran literasi.

c. Tujuan Pembelajaran Literasi

Pada masa perkembangan awal, pembelajaran literasi di sekolah hanya ditujukan agar siswa terampil menguasai dimensi linguistik literasi (Abidin dkk., 2018:22). Lingkup literasi yang diharapkan antara lain sistem bahasa (mencakup fonem, morfem, grafonemik, morfofonemik, dan sintaksis), konteks bahasa, dan variasi bahasa (Abidin dkk., 2018:22).

Dalam perkembangan selanjutnya, tujuan pembelajaran literasi mengalami perkembangan yang lebih kompleks. Berdasarkan dokumen pada

22

tahun 1998 dari The National Literacy Strategy yang dirangkum oleh Wray (dalam Abidin dkk., 2018:22), pembelajaran literasi bertujuan agar siswa mampu mencapai kompetensi-kompetensi sebagai berikut:

1) percaya diri, lancar, dan paham dalam membaca dan menulis;

2) tertarik pada buku-buku, menikmati kegiatan membaca, mengevaluasi dan menilai bacaan yang dibaca;

3) mengetahui dan memahami berbagai genre fiksi dan puisi; 4) memahami dan mengakrabi struktur dasar narasi;

5) memahami dan menggunakan berbagai teks nonfiksi;

6) dapat menggunakan berbagai macam petunjuk baca (fonik, grafis, sintaksis, dan konteks) untuk memonitor dan mengoreksi kegiatan membaca secara mandiri;

7) merencanakan, menyusun draf, merevisi, dan mengedit tulisan secara mandiri;

8) memiliki ketertarikan terhadap kata dan makna, serta secara aktif mengembangkan kosakata;

9) memahami sistem bunyi dan ejaan, serta menggunakannya untuk mengeja dan membaca secara akurat; dan

10) lancar dan terbiasa menulis tulisan tangan.

Berdasarkan beberapa tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran literasi pada era tahun 1998 bertujuan untuk mengembangkan tiga kompetensi, yaitu kompetensi pada tingkat kata, tingkat kalimat, dan tingkat teks. Pada tingkat kata, siswa diharapkan mampu menguasai sistem

23

bunyi dan ejaan kosakata; pada tingkat kalimat, siswa diharapkan mampu menguasai kemampuan membaca tanda baca dan tata bahasa; dan pada tingkat teks siswa diharapkan mampu menguasai pemahaman teks dan komposisi teks.

Sehubungan dengan itu, Abidin dkk. (2018:23) menambahkan dengan adanya perkembangan jaman di era tahun 2000-an, pembelajaran literasi mengalami perluasan tujuan yang terbagi sesuai jenjang sekolah. Pada jenjang kelas rendah yaitu SD, pembelajaran literasi bertujuan memperkenalkan anak-anak tentang dasar-dasar membaca dan menulis, memelihara kesadaran bahasa, dan motivasi untuk belajar. Dalam memasuki abad ke-21, Abidin dkk. (2018:25) mengemukakan setidaknya ada empat tujuan utama untuk memberikan kesempatan atau peluang kepada siswa dalam mengembangkan dirinya sebagai komunikator yang kompeten dalam konteks literasi. Empat tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1) membentuk siswa menjadi pembaca, penulis, dan komunikator yang strategis;

2) meningkatkan kemampuan berpikir dan mengembangkan kebiasaan berpikir pada siswa;

3) meningkatkan dan memperdalam motivasi belajar siswa; dan

4) mengembangkan kemandirian siswa sebagai seorang pembelajar yang kreatif, inovatif, produktif, dan berkarakter.

Secara rinci, empat tujuan yang diungkapkan Abidin dkk. (2018:25) di atas dapat disimpulkan bahwa (1) tujuan pertama, pembelajaran literasi

24

bertujuan agar siswa mampu memiliki kemampuan mengidentifikasi tujuan teks, sasaran pembaca teks, dan implikatur teks serta mampu membuat beragam bentuk teks; (2) tujuan kedua, pembelajaran literasi ditujukan agar siswa mampu menjadi pembaca dan penulis efektif dimana hal itu ditunjukkan dengan kemampuan siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk mengatur proses membaca dan proses menulis yang dilakukannya; (3) tujuan ketiga, pembelajaran literasi adalah untuk menanamkan apresiasi pada siswa agar mereka memiliki motivasi untuk berliterasi sepanjang hidupnya atas kesadaran bahwa berliterasi mampu membantu mereka mempelajari dirinya sendiri, memecahkan masalah, mengeksplorasi, dan mempengaruhi dunia; (4) tujuan keempat, pembelajaran literasi berupaya untuk mengembangkan kemandirian siswa sebagai seorang pembelajar yang kreatif, inovatif, produktif, sekaligus berkarakter.

2. Pendidikan Karakter

a. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan sebuah proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional, bakat, talenta, kemampuan fisik, atau daya seni (Koesoema, 2010:53). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

25

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Kosim, 2011:87). Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Samani & Hariyanto, 2012:33), pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Samani & Hariyanto (2012:34) menambahkan, pendidikan merupakan setiap tindakan atau pengalaman yang memberikan efek formatif pada pikiran, karakter, atau pada kecakapan fisik seseorang. Sedangkan menurut Dewey (dalam Listyarti, 2012:2), pendidikan adalah salah satu proses pembaharuan makna pengalaman yang terjadi secara terus-menerus.

Sementara itu, karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas sebagaimana yang dikatakan oleh Fathurrohman, Suryana, & Fatriany (2013:17) merupakan bawaan hati, jiwa, kepribadian, karakter dan akhlak mulia, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan yang meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik dalam dirinya (Zubaedi, 2012:10). Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Zubaedi, 2012:12).

Sejalan dengan itu, Douglas (dalam Samani & Hariyanto, 2012:41) mengatakan bahwa karakter tidak diwariskan, tetapi dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan. Griek (dalam Zubaedi, 2012:9) menambahkan bahwa karakter dapat didefinisikan

26

sebagai paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain.

Zubaedi (2012:11) berpendapat bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik dinilai berdasarkan kemampuannya dalam membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuat. Individu yang berkarakter baik juga akan selalu berusaha melakukan hal-hal baik dengan mengoptimalkan segala pengetahuan yang dimiliki dengan kesadaran, emosi, dan motivasi yang baik (Zubaedi, 2012:11).

Istilah karakter erat kaitannya dengan kepribadian seseorang. Seseorang dapat dikatakan berkarakter apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral. Karakter seseorang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak lahir atau yang dikenal sebagai karakter dasar yang bersifat biologis. Dewantara (dalam Zubaedi, 2012:13) menyatakan aktualisasi karakter dalam bentuk perilaku merupakan hasil perpaduan antara karakter biologis dan hasil hubungan atau interaksi dengan lingkungannya. Untuk itu, karakter dapat dibentuk melalui pendidikan, karena pendidikan dipercaya merupakan alat yang paling efektif untuk menyadarkan dan menanamkan jati diri. Dengan pendidikan akan dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, kecekatan raga, dan kesadaran akan kehidupannya.

27

Williams (dalam Zubaedi, 2011:15) menekankan, pendidikan karakter merupakan usaha yang dilakukan oleh para warga sekolah yang bekerja sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak remaja, agar menjadi dan memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.

Menurut Kusuma (dalam Zubaedi, 2011:19), pendidikan karakter merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Samani & Hariyanto, 2012:45). Sejalan dengan hal itu, Megawangi (dalam Kesuma, Triatna, & Permana, 2011:5) mengatakan pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter juga dapat dipahami sebagai upaya yang dilakukan untuk mengembangkan karakter mulia dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhannya (Samani & Hariyanto, 2012:44). Untuk itu, pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar atau salah,

28

namun juga mencakup proses pembiasaan perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku yang baik.

Sementara itu, Elkind dan Sweet (dalam Fathurrohman dkk., 2013:16) berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru dengan sengaja dan sadar yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik, untuk membantu individu memahami, peduli, dan melaksanakan nilai-nilai inti yang terkandung dalam Pancasila. Guru dalam hal ini berperan membantu membentuk watak peserta didik yang mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal yang terkait lainnya. Pendidikan karakter tidak hanya membuat individu memiliki akhlak yang mulia, namun juga dapat meningkatkan kualitas akademiknya. Hubungan antara keberhasilan pendidikan karakter dengan keberhasilan akademik merupakan dua hal yang dapat menumbuhkan suasana sekolah yang menyenangkan. Namun begitu, pendidikan karakter harus diajarkan sesuai dengan usia peserta didik. Fathurrohman dkk. (2013:116) mengatakan, anak yang terlalu dipaksakan untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini hanya akan membuat anak stres karena terjadi ketidaksesuaian dengan usia yang seharusnya lebih banyak bermain dan bereksplorasi. Sehubungan dengan hal itu, terlalu mengharapkan keberhasilan akademik anak yang diukur dengan pencapaian angka dan rangking, bukan kepada proses belajar, maka akan menyebabkan orang tua dan guru memaksa anak untuk belajar keras karena menuntut pencapaian target (Fathurrohman dkk., 2013:116).

29

Berdasarkan pengertian di atas, disimpulkan bahwa pendidikan karakter dipahami sebagai upaya sadar dan terencana dalam pengembangan kemampuan sikap peserta didik agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter juga dipahami sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter mulia pada anak agar tercipta pembiasaan perilaku yang baik sehingga anak dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku yang baik dan dapat dijadikan identitas individu sebagai hasil pengalaman peserta didik.

b. Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Selama ini, karakter yang dimiliki Bangsa Indonesia menurut Koenjaraningrat (dalam Listyarti, 2012:4) adalah meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, etos kerja buruk, suka feodalisme, dan tak punya malu. Karakter lemah tersebut menjadi realitas dalam kehidupan bangsa Indonesia dan sudah ada sejak bangsa Indonesia masih dijajah bangsa asing beratus-ratus tahun yang lalu. Karakter lemah tersebut akhirnya mengkristal dan sangat melekat pada diri warga negara Indonesia. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi lahirnya pendidikan karakter yang diusung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sejak tahun 2011 seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Fathurrohman dkk., 2013:19), 18 nilai yang terkandung dalam pendidikan berkarakter bangsa adalah antara lain:

30 Tabel 2.1

Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Karakter

NILAI DESKRIPSI

1. Religius Sikap yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, menunjukkan sikap yang toleran, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Religius yang dimaksud adalah proses mengikat kembali tradisi dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia di lingkungannya.

2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada usaha menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menggambarkan individu menghargai perbedaan agama, ras, suku, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari diri individu tersebut.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku taat, tertib, dan patuh pada berbagai ketentuan serta peraturan.

5. Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta mampu menyelesaikan tugas dengan sebaik mungkin.

6. Kreatif Perilaku berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang menggambarkan individu tersebut tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai serta menganggap sama antara hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain.

9. Rasa ingin tahu

Sikap serta tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui hal-hal lebih mendalam atas sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.

10. Semangat kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

11. Cinta tanah air

Sudut pandang berpikir dan bertindak, serta berbuat

Dokumen terkait