• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peneliti atau pengarang artikel jurnal secara umum memiliki pandangan yang sama tentang jurnal sebagai sarana komunikasi ilmiah: (a) pilihan jurnal yang dipilih sebagai sarana

publikasi, (b) proses peer-review, (c) impact factor, (d) biaya yang harus dibayarkan untuk

mendaftarkan tulisannya, (e) hak kepengarangan, (f) akses terhadap tulisannya setelah

dipublikasi dalam suatu jurnal. Proses peer-review sebagai bagian dari komunikasi ilmiah

memegang peranan penting untuk menentukan kualitas suatu tulisan dipublikasi. Melalui

proses peer-review tersebut, sebagai bagian yang penting dalam suatu komunikasi ilmiah.

Pustakawan harus memiliki kemampuan dan memiliki pengetahuan yang luas akan berbagai ragam media untuk mendesiminasikan hasil informasi ilmiah dari penggunanya, dan mampu memberi rekomendasi yang tepat kepada pengguna, dalam hal publikasi informasi ilmiah. Menurut UNESCO

P R O S I D I N G : S e m i l o k a N a s i o n a l I n o v a s i P e r p u s t a k a a n 2 0 1 7

| 171

(2015), media untuk mendiseminasi komunikasi ilmiah dibagi dalam beberapa kategori seperti: academic journals, conference proceedings, research monographs, research papers, working papers, theses and dissertations, and patents/standards. Sedangkan untuk tipe artikel dalam lingkungan akademisi: research paper, review paper, feature article, short/research communications, opnini/commentary paper, perspectives/insight, news or views, letter, book review dan editorial.

Aktivitas yang dapat dilakukan perpustakaan dalam siklus komunikasi ilmiah menurut Dehua, Aijin, Haixia (2012), perpustakaan berperan sebagai penerbit yang terkemuka, untuk memfasilitasi luaran dari karya-karya ilmiah institusi. Demikian pula, Navin & Vanderver (2011) menyatakan, luaran hasil penelitian dapat ditampilkan dalam blog peneliti, ataupun basis data yang dikelola perpustakaan. Penentuan kriteria aspek apa saja yang akan ditampilkan dalam basis data berada di bawah kendali pustakawan untuk menyeleksi, melakukan ulasan, dan mempresentasikan melalui perangkat aplikasi yang bersifat terbuka, mudah digunakan. Dengan demikian proses komunikasi ilmiah dapat dibangun. Tidak kalah penting adalah bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah ditulis dalam bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang banyak digunakan sebagai komunikasi tulisan antar peneliti, maupun dalam komunitas-komunitasilmiah berbasis subyek ilmiah lainnya.

Perpustakaan dapat mengadopsi prinsip open access dalam mendesiminasi informasi ilmiah, karena harga berlangganan informasi ilmiah dalam bentuk electronic journal setiap tahun mengalami kenaikan. Ketersediaan electronic journal sangat diharapkan bagi peneliti perguruan tinggi, karena konten-konten dalam electronic journal, terutama dalam ketegori bereputasi, menjadi pilihan bagi penelitia untuk dijadikan rujukan maupun pencarian ide-ide pengetahuan baru. Keberadaan open access sebagai penyeimbang bagi perpustakaan yang memiliki anggaran terbatas, tapi pada sisi lain, konten informasi ilmiah dalam open access memberi pengaruh pada proses komunikasi ilmiah seperti yang dikemukakan (Woodward, 2010), adanya model-model penerbitan, tantangan komersial dan adanya jurnal, buku yang tidak berbayar dan munculnya penerbit-penerbit komersil. Bagi Woodward, pustakawan berperan untuk memberi impak bagi perkembangan open access, salah satunya dengan penyediaan repositori institusi.

Penyediaan open access tidak hanya dilakukan satu lembaga/institusi, tetapi juga dapat dibangun dengan melakukan kerjasama seperti yang dikemukakan Emmett, Stratton, Peterson, Church-Duran dan Haricombe (2011). Salah satu diseminasi komunikasi ilmiah yang sudah dikembangkan yaitu keberadaan aplikasi Indonesia One Search yang dikelola Perpustakaan Nasional. Melalui sarana Indonesia One Search, pengguna perpustakaan dapat menelusur hasil riset ataupun bentuk lain dari informasi ilmiah dari perguruan tinggi. Kemudahan lain, melalui Indonesia One Search dapat saling berkomunikasi antara peneliti dengan peneliti lainnya melalui berbagai penyedia open access yang sudah bergabung dalam Indonesia One Search.

Sistem komunikasi ilmiah dapat berlangsung dengan baik melalui proses berkesinambungan, seperti peneliti sebagai penghasil hasil penelitian, pustakawan sebagai penyedia sumber-sumber informasi untuk mendukung penelitian maupun sebagai pengelola dan pendeseminasi hasil penelitian, serta dari sisi pengguna yang dilayaninya. Semua komponen tersebut dapat membentuk sebuah sistem komunikasi ilmiah.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, pustakawan perguruan tinggi memang telah menjalankan proses komunikasi ilmiah baik secara konvensional maupun dengan mengadopsi kemajuan teknologi informasi terkini. Peran pustakawan dinyatakan dengan jelas, yaitu sebagai penghubung antara koleksi penelitian dengan pemustaka, peneliti dengan peneliti lainnya, pengelola hasil penelitian dalam rangkaian sistem komunikasi ilmiah.

C. RESEARCH DATA MANAGEMENT (MANAJEMEN DATA RISET)

Siklus komunikasi ilmiah yang sudah dipaparkan di atas, dapat dikembangkan lebih lanjut terutama pada aspek pengelolaan atau manajemen luaran hasil riset. Perkembangan teknologi

P R O S I D I N G : S e m i l o k a N a s i o n a l I n o v a s i P e r p u s t a k a a n 2 0 1 7

| 172

informasi yang maju dapat memacu pustakawan untuk meningkatkan kontribusi dalam mengelola luaran hasil riset.

Manajemen data menurut Charbonneau (2013) adalah pendekatan secara komprehensif untuk proses berbagi data secara efektif, mengelola, proses kurasi dan preservasi serta penggunaan kembali dari sejumlah data-data yang bertumbuh cepat dan yang dihasilkan dari riset.

Beberapa peneliti ada yang mampu mengelola hasil riset, tetapi belum tentu peneliti mau berbagi hasil riset kepada peneliti lainnya. Banyak kemungkinan keengganan para peneliti membagikan data-data hasil penelitian kepada pihak lain ataup peneliti lain, terkait aspek legal, etika ataupun data yang sudah diperoleh menjadi berbeda arti ketika peneliti lain menggunakan data riset tersebut untuk kepentingan berbeda pula. Salah satu faktor mengapa peneliti tidak bersedia berbagi data, karena data itu sendiri merupakan aspek yang paling penting dan terintegrasi dalam sebuah riset (Stamatoplos,Neville, Henry, 2013).

Herbert (2013) mengemukakan pentingnya manajemen data riset dalam perguruan tinggi, mengingat pentingnya preservasi data riset dalam kurun waktu lama serta dan penggunaan kembali akan luaran data riset tersebut. Data riset yang ditekankan Herbet pada kategori dataset, artinya data- data yang didapatkan dari hasil penelitian. Pendapat lain, Vaughan et.al (2013) menyebutkan bahwa perpustakaan dapat mengembangkan layanan perpustakaan untuk mendukung manajemen data riset yang mengacu pada beberapa tahapan siklus komunikasi, antara lain pada aspek pengembangan ide penelitian, pendanaan (grant), proposal, manajemen sitasi dan diseminasi. Komponen dalam manajemen data riset, meliputi: perencanaan manajemen data, etika, legalitas, data capture, penyimpanan data, preservasi data, akses dan penggunaan data kembali (Priyanto, 2017).

Dalam kajian konseptual di bawah ini adalah pengembangan research data management services dapat dikolaborasikan dengan layanan perpustakaan yang sudah ada.

D. PENGEMBANGAN RESEARCH DATA MANAGEMENT SERVICES (LAYANAN

MANAJEMEN DATA RISET)

Tenopir, Birch & Allard (2012) mendefinisikan konsep research data services, sebagai layanan yang disediakan perpustakaan kepada para peneliti yang berkaitan dengan pengelolaan data, termasuk layanan informasi (layanan konsultasi dengan fakultas, staf, dan mahasiswa, manajemen data (seperti konsultasi tentang standar metadata), rujukan untuk penelusuran, kumpulan data sitasi, atau bantuan berbasis web, penyediaan dukungan untuk pencarian kumpulan data), seperti halnya layanan teknis untuk pengelolaan repositori institusi. Konsep research data services berfokus siklus hidup dari keseluruhan data, yang meliputi pada tahap awal yaitu: plan, collect, assure, describe, preserve, discover, integrate, dan tahap akhir pada proses analyze, kemudian kembali ke tahap awal dan akhir secara terus menerus, diungkapkan Tenopir, Sandusky, Birch & Allard (2012) tentang siklus atau tahapan research data services. Melihat definisi yang dikemukakan Tenopir, Birch & Allard konsep research data services hampir memiliki siklus yang sama dengan sistem komunikasi ilmiah. Jalinan kesamaan terlihat dari siklus

Mengacu pada aspek-aspek tersebut di atas, dalam research data services terdapat peran pustakawan yang terlibat dalam layanan tersebut. Tenoir, Sandusky, Allard & Birch (2014) dalam hasil penelitian mereka, mengungkapkan bahwa pustakawan harus memiliki inisiatif dan berkolaborasi lebih intensif dengan kelompok dosen dan peneliti. Untuk dapat berkolaborasi dituntut keterampilan lebih dari seorang pustakawan, terutama dalam ranah penelitian, terutama dalam mendukung data-data penelitian. Charbonneau (2013) menyebutkan, perpustakaan perlu memperbarui perannya dalam mendukung data-data riset lanjutan.

Saat ini kegiatan research data services merupakan kebutuhan bagi peneliti merupakan layanan yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi bagian dari layanan perpustakaan. Seperti yang dikemukakan Chiware & Mathe (2015), kebutuhan layanan research data management menjadi kebutuhan dengan globalisasi dunia saat, artinya peneliti bisa saja berkolaborasi dengan peneliti lain di

P R O S I D I N G : S e m i l o k a N a s i o n a l I n o v a s i P e r p u s t a k a a n 2 0 1 7

| 173

belahan negara lain. Menurut Chiware & Mathe (2015) research data managemet services, diimplementasikan dalam rangkaian proses repositori institusi yang didalamnya mencakup hasil penelitian-penelitian. Mengacu pada konsep siklus komunikasi ilmiah, dengan keberadaan repositori institusi, dapat dijadikan peluang layanan research data services.

Penekanan pada research data services tidak hanya pada pengembangan repositori institusi, tetapi pada pustakawan sebagai pelaku yang akan melayankan research data services tersebut. Pustakawan akan lebih banyak memberi konsultasi dalam pengumpulan data-data penelitian, dan mengedukasikan untuk membagikan hasil penelitian kepada peneliti lain (open access) serta perlu pemahaman akan curation data, karena hasil penelitian harus dipreservasi secara mandiri oleh peneliti.

Beberapa aspek yang bisa diedukasi oleh pustakawan kepada peneliti, misalnya kemajuan teknologi informasi berbasis web 2.0 juga munculnya model-model penerbitan berbasis media sosial. Terkait dengan distribusi dan desimasi informasi ilmiah hak cipta menjadi hal penting. Pustakawan harus mampu memberi akses informasi ilmiah secara adil kepada pengguna melalui penyediaan sarana infrastruktur teknologi informasi tersebut. Keterampilan lain yang harus diperlengkapi pustakawan dalam mengembangkan research data management services seperti : pengetahuan tentang siklus data, alur dan proses riset, standar metadata khususnya metadata terkait dataset, pengetahuan secara prinsip dan praktis akan alat bantu untuk mengelola dataset atau aplikasi berbagi data riset.

Disamping itu pula, pustakawan harus mampu merekomendasikan kepada mahasiswa terutama pada tingkat master dan doktoral memilih saluran komunikasi ilmiah di luar repositori institusi sebagai salah satu cara mengajarkan mahasiswa tentang publikasi karya ilmiah ke saluran komunikasi ilmiah. Publikasi seperti ini sebagai sarana berbagi atau mendesiminasikan pengetahuan dalam komunitas ilmiah yang sesuai dengan kesesuaian atau kesamaan minatnya. Sebagai contoh membuat akun Google Scholar, menggunggah tulisannya ke suatu aplikasi berbagi, antara lain: ResearchGate.com, Academia.edu, Figshare.com; pemahaman hak cipta pengarang atau penerbit, dan sebagainya.

PENUTUP

Berdasarkan pemaparan di atas, siklus komunikasi ilmiah dapat dikembangkan lebih baik lagi, melalui pengelolaan manajemen data riset, karena diseminasi hasil riset sebagai salah sikulus komunikasi ilmiah dapat berjalan dengan baik, ditunjang dengan manajemen data riset yang handal. Manajemen data riset menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem komunikasi ilmiah. Layanan research data services sebagai garda terdepan dari manajemen data riset, dapat memadukan layanan digital, layanan referensi serta, sumber pengetahuan yang sudah ada yaitu repositori institusi. Ketiga komponen tersebut hampir sudah dimiliki perpustakaan perguruan tinggi.

Bagi perpustakaan yang sudah memiliki repositori institusi, perlu meningkatkan pengelolaan lebih intensif repositori institusi dalam menyebarkan luaran hasil penelitian. Tuntutan perguruan tinggi harus menghasilkan penelitian sebanyak-banyaknya, seharusnya dijadikan peluang bagi pustakawan mengelola hasil penelitian yang dihasilkan perguruan tinggi agar memberi manfaat untuk peneliti maupun peneliti di luar perguruan tinggi. Pustakawan perlu meningkatkan keterampilan baru

khususnya bidang ’kurasi data’, menjalin kolaborasi dengan lembaga penelitian, maupun

menumbuhkan rasa percaya diri, karena dengan adanya research data management services, peran pustakawan dituntut lebih banyak sebagai sumber utama dan yang paling dipercayai oleh kelompok peneliti.

DAFTAR PUSTAKA

Association of College & Research Libraries. (2013). Intersections of scholarly communications and information literacy: creating strategies collaborations for a changing academic environment. ACRL. Chicago: Illinois.

P R O S I D I N G : S e m i l o k a N a s i o n a l I n o v a s i P e r p u s t a k a a n 2 0 1 7

| 174

Bjork, BC. (2007). A Model of scientific communication as a global distributed information system. information research. (12):2. [http://informationr.net/ir/12-2/paper307.html], diakses tanggal 20 September 2017.

Bosch, S. (2005). Buy, build or lease: managing serials for scholarly communications. Serials Review. 31(2):107-115.

Charbonneau. D.H. (2013). Strategies for data management engagement. Medical Reference Services Quarterly. 32(3): 365–374.

Chiware E & Mathe Z (2015). Academic libraries’ role in research data management services: a South African perspective. South African Journal of Libraries and Information Science. 81(2), 2-10. Dehua Hu, Aijing Luo, Haizia Liu. (2013). Open access in china and its effect on academic libraries.

The Journal of Academic Librarianship. 39 (1), 110–112.

Dillon D. (2011). Hand wringing in paradise: Scholarly communication and the intimate twinges of conscience. Journal of Library Administration. (51): 415-431.

Emmett A, Stratton J, Peterson AT, Church-Duran J, Haricombe LJ. (2011). Toward open access: it

takes a ‘village’. Journal of Library Administration. 51: 557-579.

Hahn TB, Burright M, Duggan HN. (2011). Has the revolution in scholarly communication Lived up to its promise. Bulletinof the American Society for Information Science and Technology. (37): 5, 25-28.

Herbert, M. (2013). Prospects for research data management. In Council on Library and Information Resources, Research data management: principles, practices, and prospects. (pp.1-15). Washington DC: Council on Library and Information Resources.

Lyden FC. (2002). Scholarly communication report. Collection Management 27 (3-4), 95-102.

Mabe MA. (2010). Scholarly communication: a long view. New Review of Academic Librarianship. 16 (S1): 132-144.

Martin, A. (2006). Literacies for the digital age: preview of part 1. In Martin, A., & Madigan, D., (Ed.). Digital literacies learning. (h. 3-25). London: Facet Publishing.

Navin, JC, Vandever, JM. (201)1. The market for scholary communication. Journal of Library Administration. 51: 451-463.

Ponte, D, Simon J. (2011). Scholarly communication 2.0: exploring researchers’ opinions on web 2.0 for scientific knowledge creation, evaluation and dissemination. Serials Review. 37 (3): 149-156. Priyanto, IF., 2017. Research data management. Seminar Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi

Indonesia – DIY. FE-UII, Yogyakarta, 26 April 2017.

Stamatoplos, A., Neville, T., Henry, D. (2016). Analyzing the data management environment in a master's-level institution. The Journal of Academic Librarianship. 42 : 154–160.

Stephen, P. Andrew M. Cox, A.M, Smith, J. (2014). Research data management and libraries: relationships, activities, drivers and influences. PLoS ONE 9(12): e114734. doi.org/10.1371/journal.pone.0114734.

Rao. MK. (2001). Scholarly communication an (news electronic journals: issues and prospects for academic and research. Library Review. 50(4): 169-175.

Tenopir, C, Birch, B., Allard, S. Association of College & Research Libraries. (2012). Academic libraries and research data services: current practices and plan for the future (an ACRL White Paper). Association of College & Research Libraries. Chicago: Illinois.

Tenopir, C, Sandusky, J., Allard, S., Birch, B. (2014). Research data management services in academic research libraries and perceptions of librarians. Library & Information Science Research. http://dx.doi.org/10.1016/j.lisr.2013.11.003.

Thomes, K. Scholarly communication in flux. 2002. Science & Technology Libraries. 22: 101-111. Thomas, Wm. Joseph. The Structure of scholarly communications within academic libraries. (2013).

Serial Review. 39(3): 167-171.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. (2015). Scholarly communications: Open access for researches. UNESCO. Paris: France.

Vaughan, K.T.L, Hayes, B.E., Lerner, R.C., McElfresh, K.R., Pavlech, L.,Romito, D., Reeves, LH., Morris, E.N. (2013). Development of the research lifecycle model for library services. Journal of Medical Library Assocication. 101(4): 310-314.

Woodward, H. (2010). Dissemination models in scholarly communication. New Review of Academic Librarianship. 16 (1): 1-3.

P R O S I D I N G : S e m i l o k a N a s i o n a l I n o v a s i P e r p u s t a k a a n 2 0 1 7

| 175

PENGEMBANGAN PROTOTIPE SISTEM INFORMASI MANAJEMEN