• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Terdahulu

BAB II KERANGKA PIKIR DAN RUANG LINGKUP

2.2 REVIEW KAJIAN PUSTAKA PKL

2.2.2 Penelitian Terdahulu

a. Lokasi usaha

Dari 92.751 usaha kaki lima yang beroperasi di DKI, hanya 19.960 usaha yang beroperasi pada lokasi dengan status resmi atau sebesar 21,52% dari keseluruhan usaha. Sisanya sebanyak 72.791 usaha atau sebesar 78,42% merupakan usaha yang menempati lokasi tidak resmi atau lokasi liar.

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 17! b. Sarana tempat usaha

Sarana tempat usaha berperan sebagai tempat untuk menjajakan barang dagangan kaki lima. Sarana tempat usaha yang paling banyak digunakan oleh para pengusaha kaki lima adalah meja sejumlah 18.731 usaha atau sekitar 20,19%, kemudian kios sebanyak 18.169 usaha atau 19,59% dan gerobak beroda menetap, gelaran menetap, serta tenda terpal/plastik dengan jumlah masing-masing usaha sebesar 17.686 usaha atau 19,07%; 15.795 usaha atau 17,02%; dan 12.260 usaha atau 13,22%.

c. Jenis kegiatan utama

Jika diamati menurut kegiatan utama usaha kaki lima berdasarkan kategori usaha, yang terbanyak adalah penjual produk pertanian, seperti: penjual sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, ikan hias, dan sejenisnya dengan jumlah usaha mencapai 25.012 usaha atau sebesar 26,97% dari populasi usaha kaki lima. Usaha penjual makanan/minuman proses menjadi yang t er b a n ya k k e d u a d e n g a n j u m l a h us a h a 2 3. 1 8 9 u s a h a at a u 2 5% , p e d a g a n g makanan/minuman jadi, termasuk rokok dengan jumlah usaha 13.376 usaha atau 14,42%, pedagang perkakas/perabot rumah tangga sebanyak 9.667 usaha atau sebesar 10,42%.

d. Modal usaha

Modal sering kali menjadi penghambat bagi sebagian besar pengusaha pada saat akan memulai ataupun jika ingin mengembangkan suatu usaha. Informasi yang diperoleh dari pengusaha kaki lima, sebagian besar modal mereka berasal dari milik sendiri yang berjumlah 58.902 usaha atau sebesar 63,51% dari populasi, kemudian yang berasal dari pinjaman sebanyak 4.594 usaha atau sebesar 4,95%. Sisanya berasal dari hibah maupun Iainnya.

e. Penggunaan tempat usaha

PKL yang menempati lokasi usaha di badan jalan sebesar 31,05%, di trotoar sebesar 28,64%, 15,91% di halaman pasar/pertokoan, u 7,14% menempati lahan/lahan kosong, dan sisanya menempati lainnya seperti terminal bus, jalur hijau/taman halte dan sebagainya.

f. Kepemilikan KTP

Hampir separuh dari keseluruhan pengelola usaha kaki lima yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, atau sebanyak 39.238 pengusaha atau sebesar 42,30% bukan merupakan pemegang kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta, sebesar 4,10% Pemegang Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM), pemegang kartu tanda penduduk (KTP) daerah sebesar 36,42%, dan tidak memiliki KTP sebesar 1,78%. Data ini menunjukkan betapa besar beban sosial

(social cost) yang harus ditanggung oleh Pemda DKI

Jakarta untuk menanggulangi dampak negatif dari keberadaan usaha-usaha kaki lima, padahal pengusahanya berasal dari daerah lain di luar Jakarta.

g. Tingkat pendidikan

Sebagian terbesar dari PKL yaitu sebanyak 48,33% berpendidikan SD, 28,78% SLTP, dan 21,17% berpendidikan SLTA. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan PKL cukup rendah. Rendahnya pendidikan para pengelola usaha kaki lima memberikan cerminan bagaimana komitmen para pelaku usaha ini terhadap penggunaan ruang publik yang mereka pakai seperti kesadaran terhadap pemeliharaan kebersihan, munculnya kemacetan lalu lintas dan pemahaman atas hak penggunaan lahan yang dipakai untuk berusaha.

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 19! h. Akses terhadap pendukung usaha, kendala, dan prospek

usaha

Sebagian terbesar PKL yaitu 94,69% tidak pernah mengikuti pembinaan, sisanya 5,31% yang pernah mengikuti pembinaan. Kelompok yang terakhir ini sebagian terbesar pembinaannya dilakukan oleh pemerintah daerah.

Rendahnya persentase jumlah usaha kaki lima yang pernah mengikuti pembinaan, tentu berkorelasi sangat kuat terhadap rendahnya pemahaman para PKL tentang penggunaan ruang publik (public area) yang dimanfaatkan untuk usaha. Padahal penggunaan ruang publik ini menimbulkan beban sosial (social cost) bagi pemerintah daerah maupun masyarakat Jakarta.

Usaha pembinaan PKL akan menjadi efektif jika dilakukan melalui kelompok atau organisasi. Ternyata sebagian terbesar dari PKL tidak menjadi anggota kelompok/organisasi kaki lima yang jumlahnya mencapai 84.802 usaha atau sebesar 91,43%. Data ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menjadi anggota kelompok/organisasi kaki lima.

i. Hambatan Yang Dihadapi.

Hambatan secara konseptual didefinisikan sebagai suatu keadaan atau situasi yang secara langsung memberi pengaruh negatif terhadap kelancaran operasi atau perkembangan kinerja usaha. Hambatan dapat berasal dari faktor eksternal maupun dari faktor internal perusahaan. Banyaknya usaha yang menyatakan kekurangan modal sebagai hambatan berjumlah 49.635 usaha atau 53,51% dari keseluruhan usaha; lokasi usaha tidak strategis sebanyak 7.256 usaha atau 7,83%; kurang memahami manajemen pengelolaan usaha sebanyak 1.966 usaha atau 2,12%; persaingan usaha sangat ketat sebanyak

26.006 usaha atau 28,05%; sarana usaha kurang/tidak memadai sebanyak 8.497 usaha atau 9,16%; dan lain-lain hambatan sebanyak 17.702 usaha atau 19,09% dari keseluruhan usaha.

j. Pengetahuan tentang peraturan daerah

Kecilnya jumlah pengusaha kaki lima yang mengetahui adanya peraturan daerah (perda) yang secara khusus mengatur usaha kaki lima dan ketertiban umum, tentu merupakan sinyal yang mengindikasikan besarnya beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk mensosialisasikan perda dimaksud, sehingga substansi dari keberadaan perda dapat tercapai secara efektif. Sebagian terbesar dari PKL yaitu 85,07% belum mengetahui tentang perda ketertiban, sedang yang sudah mengetahui hanya berjumlah 14,93%. Ini membuktikan bahwa pemda belum atau tidak pernah memberikan sosialisasi langsung kepada PKL mengenai perda ketertiban.

k. Tenaga kerja

Jumlah pekerja yang berhasil ditampung usaha kaki lima berjumlah 139.394 pekerja, yang terdiri atas 99.648 pekerja laki-laki dan 39.746 pekerja perempuan. Dari data ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tenaga kerja pada usaha kaki lima adalah 1,5 orang. Ditinjau dari status ketenaga-kerjaan, ternyata para pekerja usaha kaki lima didominasi oleh pekerja tidak dibayar, yakni mencapai 116.996 pekerja atau sebesar 89,93%. Hanya sebanyak 22.398 pekerja atau sebesar 16,07% yang merupakan pekerja dibayar. Ini membuktikan bahwa sebagian terbesar dari pekerja usaha kaki lima adalah pemilik itu sendiri.

l. Omzet perhari

Omzet atau nilai penjualan merupakan indikator yang sangat relevan menunjukkan kinerja usaha. Untuk berbagai jenis

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 21!

usaha, omzet memberikan pengertian yang agak berbeda. Bagi usaha perdagangan, omzet diartikan sebagai nilai penjualan kotor (gross sales). Bagi usaha yang bergerak dalam bidang produksi, omzet merupakan penjualan dari nilai barang yang diproduksi. Sebagian besar PKL yaitu 59,68% memiliki omzet harian sebanyak 100-500 ribu per harian, dan 29,81% memiliki omzet di bawah 100 ribu per hari, sedang sisanya memiliki omzet lebih dari 500 ribu per hari. Dari uraian tersebut, walaupun pengertian omzet nampaknya berbeda untuk beberapa sektor sesuai kegiatannya, namun pengertian omzet secara substansial tidak berbeda secara signifikan.

Dari hasil sensus PKL tahun 2005 dapat diketahui tentang omzet yang diterima mereka rata-rata per hari. Kelompok yang memiliki omzet per hari di bawah Rp 250.000, rata-rata pekerja per usaha adalah 1,33 orang. Rata-rata ini secara konsisten meningkat mengikuti kelompok omzet. Untuk kelompok omzet Rp 250.000 sampai Rp 500.000, rata-rata tenaga per usaha mencapai 1,68 orang dan 1,98 orang untuk kelompok omzet yang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000, serta 2,62 orang untuk usaha yang mempunyai omzet satu juta ke atas. Usaha kaki lima yang berlokasi di Jakarta Utara lebih bersifat labour intensive,

dibandingkan usaha kaki lima di empat kota lainnya. Sedangkan usaha yang menggunakan tenaga kerja secara rata-rata terkecil adalah usaha kaki lima yang terdapat di Jakarta Barat dengan rata-rata 1,40 pekerja per usaha.

m. Jumlah hari kerja perbulan

Sebagian terbesar yaitu 92,45% jam kerja PKL memiliki jam kerja 23-31 hari, dan sisanya 7,54% kurang dari 23 hari kerja. Ini membuktikan bahwa PKL hampir setiap hari melakukan kegiatan usahanya.

n. Keinginan berganti pekerjaan

Sebagian besar pengusaha ternyata punya keinginan untuk beralih profesi. Pernyataan ini diungkapkan oleh 83.979 pengusaha atau sebesar 90,57% terhadap keseluruhan pengusaha kaki lima, sisanya sebanyak 8.772 pengusaha atau sebesar 9,43% tidak mempunyai keingi nan untuk beral ih prof esi. Dari mereka yang bersedia untuk beral ih prof esi , dilatarbelakangi oleh berbagai penyebab, dan yang terutama adalah akibat kekurangan modal dan persaingan antar pengusaha kaki lima yang mereka rasakan sudah sangat ketat.

2. Hasil Penelitian Universitas Pejajaran (1985). a. Berdasarkan lokasi tempat usaha

Hasil penelitian empirik di berbagai kota, khususnya di DKI Jakarta menunjukkan bahwa pedagang yang bergerak di sektor informal, khususnya PKL mempunyai karakteristik yang bermacam-macam sehingga perlu dirumuskan secara konsepsional. Perumusan ini sangat penting dilakukan untuk mempermudah dan memperjelas dalam melakukan pembinaannya. Pada Gambar 1. diperlihatkan tentang tipologi dari Lokasi Usaha PKL di DKI Jakarta berdasarkan letak tempat usahanya. Pedagang dapat dibedakan ke dalam dua golongan besar, yaitu pedagang yang bergerak di sektor formal dan di sektor informal. Pedagang yang bergerak di sektor informal dapat dibagi menjadi PKL berkeliling dan PKL menetap. PKL berkeliling adalah PKL yang menjajakan barang dagangannya dengan cara mendatangi konsumen, sedangkan PKL menetap adalah PKL yang menjajakan barang dagangannya dengan cara menunggu konsumen (menetap). Di DKI Jakarta, untuk PKL yang berkeliling saat ini sudah tidak diperkenankan lagi melakukan operasinya. Mereka digiring untuk lebih tertib dan teratur dengan cara

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 23!

merelokasi atau melokalisirnya. Dengan demikian, unit observasi yang dilakukan dalam studi ini adalah PKL yang menetap.

Dalam kenyataannya PKL menetap ini dapat diidentifikasikan ke dalam PKL yang letak usahanya di pasar tertutup dan yang di pasar terbuka. Pengertian pasar tertutup adalah pasar yang telah dibangun secara permanen atau semi permanen serta secara formal telah diakui oleh pemerintah. Walaupun di sini mungkin pedagang tersebut tidak selalu menempati bangunan pasar yang telah ada, tetapi juga emperan-emperan toko, pada halaman pasar dan lain-lain, misalnya saja pada pasar Senen, pasar Blok M, pasar-pasar Inpres dan lain-lain. Sedang pasar terbuka adalah pasar-pasar yang dibangun atau digunakan secara darurat, misalnya saja lokalisasi PKL resmi, yang banyak dijumpai pada trotoar-trotoar jalan, taman, di atas saluran air, lapangan parkir, jalan yang digunakan untuk pasar hanya pada sore atau malam hari dan lain sebagainya.

PKL yang berada di pasar tertutup menjual barang dagangannya pada kios-kios atau jongko, baik yang telah menggunakan tenda atau tidak. Sedang pada pasar terbuka selain yang menjual barang dagangannya pada kios-kios dan jongko, juga ditemui yang menjajakan barang dagangannya begitu saja di atas lahan, dengan atau tanpa menggunakan alas untuk tempat barang dagangannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKL yang telah menggunakan kios dalam berdagang, hanya ditemui PKL pemilik dan PKL setengah pemilik, sedangkan yang berdagang dengan menggunakan jongko ditemui tiga macam status pemilikan, yaitu PKL pemilik, PKL setengah pemilik dan PKL non-pemilik.

! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !

Gambar 1 Tipologi PKL Berdasarkan Lokasi tempat Usaha b. Berdasarkan status kepemilikan

Secara umum dapat dilihat bahwa pedagang ada yang berstatus ”formal" dan ada yang "informal". Keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda, dan yang menonjol adalah bahwa yang disebutkan ”pedagang formal” pada umumnya sudah mendapat "sentuhan" kebijaksanaan pemerintah sedangkan ”pedagang informal” pada umumnya belum.

Dengan menelusuri aktivitas para PKL di DKI Jakarta telah pula ditemukan tiga (klasifikasi) status kepemilikan antara lain; (1) PKL pemilik, (2) PKL setengah pemilik dan (3) PKL non pemilik. PKL yang pemilik adalah PKL yang memiliki seluruh ba-rang dagangannya, baik milik sendiri sepenuhnya maupun

"#$%$%&'! ! (#&#)*+ ! ,#-)./!0./1*$ ! ,#-)./! 2&3./1*$! ! 4*5*/! 6#/78-* ! 4*5*/! 6#/)8)8+ ! 9%:*1+*/-*& ! "%.5 ! ;.&'-.< 6#&=*! ! ;.&'-.! ! "%.5 ! ,#)#&'*:!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#1%$%-! ,#)#&'*:!4#1%$%-! ! >.&!4#1%$%-! 4#=*'*&'! !

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 25!

bersama-sama keluarga atau temannya. PKL yang berstatus setengah pemilik di mana sebagian barang yang dijualnya milik sendiri sedangkan yang lainnya milik orang lain. Mengenai milik orang lain ini dapat dibedakan lagi menjadi barang komisi dan konsinyasi. Barang komisi adalah barang dagangan di mana yang menjual hanya memperoleh imbalan dalam persentase, baik persentase tetap maupun tidak tetap. Jenis barang yang disebutkan tadi pada umumnya apabila tidak laku dijual barang tersebut dapat dikembalikan. Namun pada jenis barang konsinyasi, kalau barang tersebut tidak habis terjual maka sisa barang tidak dapat dikembalikan, dan ada yang dapat dikembalikan tapi hanya sebagian saja. Sedangkan PKL non pemilik adalah bilamana seluruh barang yang dijualnya bukan miliknya sendiri, di mana barang yang dijual ada yang merupakan barang komisi, dan ada pula barang konsinyasi.

! ! ! ! ! ! ! "#$%&%'& "#()*)+ ,-'!"#()*)+ .#/#'&%0 "#()*)+ 1)*)+!2#34%(% 1)*)+!.#'$)3) 2)4%!5)+#(6%*)+%' .#6%&)%' 7)$%+!2)4%!5)+#(6%*)+%' "3-4#'/%4#!7)$%+!7#/%8 "3-4#'/%4#!7#/%8 2)4%!5)+#(6%*)+%' .#6%&)%' 7)$%+!2)4%!5)+#(6%*)+%' "3-4#'/%4# 7)$%+!7#/%8 "3-4#'/%4#!7#/%8 9-'4)':%4) 9-()4) 9-'4)':%4) 9-()4) .#+/-3! ;-3(%* .#+/-3!<'=-3(%*

Gambar 2 Tipologi PKL Berdasarkan Status Kepemilikan Tempat Usaha

c. Pertumbuhan tak terhentikan

Kehadiran PKL dipandang sebagai masalah perkotaan bukanlah hal baru. Di Jakarta telah muncul sejak masa pemerintahan kolonial. Itulah sebabnya muncul Peraturan Tata Tertib Umum Jakarta Raya Tahun 1942, yang melarang digunakannya tempat-tempat umum seperti trotoar, badan jalan, jalur hijau, taman dan lain sebagainya sebagai tempat berusaha.

Tidak ada laporan berapa jumlah PKL pada saat itu, sehingga dipandang telah mengganggu ketertiban kota. Namun, seperti dilaporkan Wertheim,2 selama akhir tahun 1930-an Batavia telah mengalami pertambahan penduduk yang sangat pesat melalui arus migrasi. Migrasi yang "berlebihan" itu telah menimbulkan berbagai persoalan perkotaan, seperti kemiskinan, kekumuhan dan lain sebagainya, dan pada kenyataannya sektor informal telah menjadi dan merupakan cara kaum miskin untuk tetap dapat survive di kota.

Jumlah PKL di Jakarta secara resmi baru diketahui pada tahun 1978. Pada saat itu, melalui pencacahan, jumlah PKL di Jakarta sebanyak 88.497 orang/unit usaha. Pencacahan tersebut merupakan yang pertama untuk kota-kota di Indonesia. Di Surabaya, kota terbesar kedua, baru melakukan pencacahan pada tahun 1985, sedang di kota-kota lain tidak ada yang lebih awal dari tahun tersebut. Pada tahun itu jumlah PKL di Surabaya diketahui telah mencapai 18.931 orang/unit usaha (Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan, 1994).

Jumlah PKL tersebut tentunya merupakan akumulasi dari pertumbuhan tahun ke tahun. Dengan demikian, berarti sejak masa kolonial, meskipun ada pelarang, jumlah PKL terus

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 27!

bertambah. Bahkan pada pencacahan kedua, tahun 1985, yakni delapan tahun kemudian, setelah pencacahan pertama, jumlah PKL di Jakarta telah berkembang menjadi 91.339 orang/unit usaha, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8% pertahun. Sedangkan di Surabaya pada pencacahan kedua, tahun 1986, diketahui jumlahnya telah berkembang menjadi 19.898 orang/unit usaha, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 5% pertahun.

Angka-angka pertumbuhan tersebut cukup mengejutkan. Pertumbuhan itu, di Jakarta pada tahun yang sama, ternyata jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan di sektor formal, yaitu sebesar 4,21%; begitu pula di Surabaya, pertumbuhan di sektor formal jauh lebih rendah. Padahal sektor formal perkembangannya mendapat dorongan secara terus menerus dari pemerintah melalui berbagai kebijakan. Sebaliknya, sektor informal, sejak pencacahan pertama, pertumbuhannya sengaja dihambat dan dikendalikan.

PKL ditekan pertumbuhannya melalui berbagai cara, diasingkan dari konsumennya dan disingkirkan dari tempat hidupnya. Terhadap konsumennya, oleh pemda, diciptakan suatu iklim yang merangsang meningkatnya filosofi dan cara berpikir atas pentingnya mutu dan pelayanan yang baik, sehingga diharapkan nantinya konsumen (masyarakat) akan meninggalkan kaki lima.

Areal tempat usahanya juga dibatasi. Lokasi PKL yang telah ditetapkan (resmi) pada tahun 1985 sebanyak 458 lokasi atau 20 Ha, ternyata oleh pemda sedapat mungkin tidak diperbanyak lagi. Lokasi-lokasi itu, meskipun legalitasnya b e r d a s a r k a n p a d a S u r a t K e p u t u s a n G u b e r n u r , n a m u n s t a t u s pemakaiannya bersifat sementara, yang sewaktu-waktu dapat dicabut kembali. Pencabutan legalitas

lokasi itu dilakukan apabila lokasi tersebut diperlukan untuk suatu keperluan resmi atau untuk sektor formal, misalnya pembangunan gedung, pelebaran jalan dan lain sebagainya, termasuk keperluan-keperluan atas alasan guna menciptakan keindahan lingkungan setempat. Pada tahun 1990 luas areal tersebut ternyata sudah berkurang, tinggal 368 lokasi, dan pada tahun 1991 menurun lagi tinggal 361 lokasi (Biro Bangproda DKI Jakarta, 1985).

Pertumbuhan PKL juga dikekang melalui cara-cara yang dapat disebut "kekerasan", yaitu cara-cara yang lazim dikenal dengan sebutan "penertiban PKL". Intensitas pengendalian dengan cara ini sangat tinggi karena wewenangnya diberikan kepada banyak pihak. Di Jakarta dan Surabaya, hak melakukan penertiban bisa dilakukan oleh lebih dari satu instansi yang pelaksanaannya tergabung dalam satu tim. Namun ditemukan beberapa kasus beberapa instansi melakukannya secara terpisah; bahkan ditemukan banyak oknum petugas keamanan di tingkat kecamatan juga melakukan razia.

Namun apakah dengan cara-cara pengendalian seperti itu jumlah PKL menjadi berkurang. Pada tahun 2001, di Jakarta dilakukan pencacahan ulang PKL yang jumlahnya telah mencapai 141.073, kemudian disusul pencahahan berikutnya tahun 2005, dan jumlahnya turun drastis menjadi 92.751, yang berarti mengalami penurunan sekitar 30%. Ini membuktikan bahwa pemerintah Provinsi DKI sangat serius dalam pengendalian PKL melalui penertiban yang dilakukan selama lima tahun tersebut. Penertiban atau penggusuran PKL terlihat pada lokasi sentra-sentra PKL di Senen, Cawang, Lahan Abang, Kebayoran Lama, Cengkareng, dan sebagainya. Namun pada lokasi-lokasi tertentu dengan jumlah PKL yang tidak banyak pun dilakukan penertiban, terutama terhadap PKL yang menempati

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 29!

badan jalan dan trotoar. Ada kecenderungan bahwa pemrintah DKI Jakarta akan membatasi dan mengurangi jumlah lokasi resmi PKL. Sebagai contoh adalah lokasi resmi Jl. Barito yang akan dihapus dan pedagangnya harus pindah dari lokasi tersebut. Namun di lain pihak pemerintah DKI Jakarta kurang memberikan menyediakan lahan-lahan baru untuk penampungan PKL yang terkena penertiban. Keadaan ini juga terjadi pada daerah-daerah lain seperti Bekasi dan Bogor, di mana PKL digusur tetapi tidak disediakan lokasi baru sebagai penggantinya. Upaya menghambat pertumbuhan PKL melalui pembatasan luas lokasi binaan dan lokasi resmi sebanyak 19.960 PKL, sementara jumlah PKL tidak resmi jauh lebih besar, yaitu sebanyak 72.791 unit. Akibatnya banyak PKL yang menem pati usaha mereka tumpah kem ana-mana dan merambah ke seluruh sudut wilayah ibu kota ini. Dari pengam atan lapangan di lim a wilayah DKI Jakarta juga diketahui bahwa ada satu pun wilayah kelurahan yang bebas dari PKL.

Keadaan di Surabaya tidak se-fantastis di Jakarta karena juml ah PK L di kota ini masih jauh di bawah Jakarta. Namun pertumbuhan yang terus menerus juga tidak dapat dihentikan. P emda Surabaya mencoba mem batasi pertumbuhan PK L dengan hanya memberikan izin sebayak 59 lokasi (sentra) sebagai lokasi resmi dari sekitar 100 lokasi atau sentra PKL. Akan tetapi, dari tahun ke tahun ternyata sentra-sentra PKL terus bermunculan, dan tahun 1991 diperkirakan jumlahnya telah mencapai 33.000 orang/unit usaha, melampaui angka pertumbuhan tahun 1985 sebesar 5% pertahun.

Secara struktural, pertumbuhan PKL atau sektor informal hampir mustahil dapat ditahan sebab kehadirannya memang

dibutuhkan oleh warga kota yang miskin atau yang berpenghasilan rendah, termasuk mereka yang bekerja di sektor formal sendiri. Sebagai ekonomi bazaar,7 pertumbuhan ekonomi sektor informal pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor penawaran, namun faktor pasar tenaga kerja juga ikut menentukan. Sektor ekonomi ini memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang hampir tidak ada titik jenuhnya. Berbeda dengan sektor pertanian yang dapat melahirkan pemiskinan bersama (shared poverty) melalui proses

involusi. Pada sektor ekonomi ini, meskipun tenaga kerja

masuk secara terus menerus, namun tidak akan terjadi pemiskinan bersama, para pekerja di sektor ekonomi ini tetap mendapatkan keuntungan relatif dari kegiatan usahanya, sebesar apapun jumlah tenaga kerja yang terlibat di sini. Hal ini disebabkan pada ekonomi perdagangan terdapat sifat dinamis yang terjadi karena kegiatan pertukarannya. "kue" yang ada di sektor ini tidak akan habis akibat tenaga kerja yang masuk berlangsung secara terus menerus, sebaliknya, karena mereka juga menjadi konsumen pada sektor informal, potensi pasar sektor ekonomi ini justru akan menjadi semakin besar. Dengan demikian, jumlah sektor informal juga akan terus berkembang.

Manajemen usaha PKL mencakup asal barang dagangan, penentu harga barang dagangan, kelayakan harga barang dagangan, sikap terhadap pembeli, pengelolaan hasil usaha, waktu berjualan sekarang. Sedangkan pengelolaan modal usaha PKL mencakup sumber modal usaha, asal modal usaha, jumlah modal usaha awal, taksiran nilai barang dagangan dan peralatan, pendapatan bersih rata-rata perbulan, banyaknya kebutuhan dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata perbulan, dan hambatan pengelolaan modal usaha.

!"#$"%&'()*+&,*%-*'."%-"%&,*)"-"%-&!"!$&+$'" 31!

Asal barang dagangan yang diperdagangkan oleh PKL sebagian besar dibeli dari orang lain dan adanya pemasok tetap. Harga barang dagangan sebagian besar ditentukan oleh penjual, berarti penjual masih mempunyai 'kekuatan' dalam manajemen usahanya, khususnya menyangkut penentuan harga jual. Namun demikian, penentu harga barang dagangan berikutnya adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini, harga ditentukan melalui proses tawar-menawar di antara kedua belah pihak, sampai tercapai harga keseimbangan

(equilibrium) yang disepakati keduanya. Tawar-menawar di

antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas dalam usaha perdagangan para PKL.

Harga barang dagangan yang berlaku saat ini masih dianggap layak. Kelayakan harga jual barang dagangan ini menjadi faktor penting bagi PKL untuk tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan harga yang diberikan kepada pembeli terlalu tinggi, sehingga terkesan menipu pembeli.

Sikap PKL terhadap pembeli cukup bervariasi. Sebagian PKL berusaha untuk menarik perhatian pembeli, namun sebagian lainnya bersikap terserah kepada calon pembeli dalam