• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN ALGORITMA LINEAR DISCRIMINANT ANALYSIS (LDA) UNTUK PENGENALAN WAJAH SEBAGAI PEMANTAU KEHADIRAN KARYAWAN

Dalam dokumen Seminar Nasional Informatika SNIf 2013 (1) (Halaman 89-92)

Riyadi J. Iskandar, S.Kom, M.M, M.Kom

ProgramStudi Teknik Informatika – STMIK Widya Dharma Pontianak riyadijiskandar@gmail.com

ABSTRAK

Perkembangan teknologi komputer telah bergeser dari komputasi biasa ke komputer cerdas. Salah satu konsep komputer cerdas adalah apabila komputer mampu mengenali suatu objek. Kemampuan komputer dalam mengenali suatu objek dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keamanan suatu sistem informasi, dengan mengaplikasikannya ke dalam proses presensi karyawan. Teknik identifikasi konvensional untuk mengenali identitas seseorang dengan menggunakan password atau kartu, tidak cukup handal, karena sistem keamanan dapat ditembus ketika password dan kartu tersebut digunakan oleh pengguna yang tidak berwenang. Pengenalan wajah adalah salah satu teknologi biometrik yang telah banyak diaplikasikan dalam sistem keamanan selain pengenalan retina mata, pengenalan sidik jari dan iris mata. Pengenalan wajah menggunakan sebuah kamera untuk menangkap image wajah seseorang kemudian dibandingkan dengan wajah yang sebelumnya telah disimpan di dalam basis data tertentu. Ada beberapa macam metoda pengenalan wajah yaitu neural network, jaringan syaraf tiruan, neuro fuzzy adaptif dan eigenface. Secara khusus dalam tesis ini, algoritma yang akan digunakan adalah algoritma Linear Discriminant Analysis (LDA). Penelitian menggunakan algoritma LDA dengan penggunaan webcam untuk menangkap gambar secara real-time. Metode ini mempunyai komputasi sederhana dan cepat dibandingkan dengan penggunaan metode yang memerlukan banyak pembelajaran seperti jaringan syaraf tiruan.

Kata Kunci - Absensi, Biometrik, Linear Disriminant Analysis, Pengenalan Wajah

1. Pendahuluan

Penelitian terhadap pengenalan wajah manusia sudah banyak dilakukan dengan kelebihan dan kekurangan tertentu. Hal ini disebabkan karena wajah manusia mempresentasikan sesuatu yang kompleks, sehingga untuk mengembangkan model komputasi yang ideal untuk pengenalan wajah manusia adalah sesuatu hal yang sulit. Pengenalan wajah manusia mendapatkan banyak perhatian beberapa tahun terakhir ini, hal ini karena banyak aplikasi yang menerapkannya, antara lain dalam pengamanan gedung, alat identifikasi, ATM (Automatic Teller Machine), Tele-Conference, alat bantu dalam pelacakan pelaku kriminal dan lain- lain.

Wajah merupakan salah satu ukuran fisiologis yang paling mudah dan sering digunakan untuk membedakan identitas individu yang satu dengan yang lainnya. Manusia dapat membedakan wajah antara orang yang satu dengan yang lainnya dan mengingat wajah seseorang dengan cepat dan mudah. Untuk membaca karakteristik wajah dibutuhkan peralatan pembaca, sebuah basis data yang mampu menyimpan data pola wajah dan tentu saja perangkat lunak yang dapat menganalisis data tersebut. Jika seseorang mencoba mengakses sebuah area, sistem akan membandingkan pola wajah yang tersimpan dengan pola wajah yang akan memasuki area tersebut. Sistem yang

menggunakan algoritma pengenalan wajah (face recognition) yang baik akan mampu menentukan apakah pengguna yang sedang mencoba mengakses sebuah area diperkenankan atau tidak memperoleh akses ke area tersebut. Peranan teknologi informasi saat ini sudah sedemikian pesat. Teknologi informasi sebagai salah satu alat bantu sudah banyak digunakan untuk membantu kelancaran kegiatan disegala bidang pekerjaan maupun kegiatan individu. Efisiensi dan efektifitas menjadi salah satu hal yang menyebabkan teknologi informasi dipergunakan.

Secara umum sistem pengenalan suatu

image tidak menggunakan bitmap pixel secara langsung melainkan sistem tersebut bekerja pada domain feature. Image direpresentasikan kedalam bentuk feature yang lebih kompak yang kemudian digunakan untuk pengenalan, dengan demikian dapat menghemat komputasi.

2. Dasar Teori 2.1. Biometrik

Identifikasi merupakan proses yang penting untuk mengenali dan membedakan sesuatu hal dengan hal lainnya, hal ini dapat berupa hewan, tumbuhan, maupun manusia. Identifikasi ini dilakukan dengan mengenali ciri khas yang dimiliki sesuatu hal tersebut. Pengembangan dari metode dasar identifikasi dengan menggunakan karakterisitik alami manusia sebagai basisnya kemudian dikenal dengan biometrik.

Biometrik di sektor teknologi tinggi mengacu pada kelas tertentu dalam teknologi identifikasi. Teknologi ini menggunakan karakter individu biologis yang unik dalam menentukan identitas seseorang. Menurut Vacca[13] Biometrik adalah suatu metode untuk mengenali suatu pola mahluk hidup yang dihubungkan dengan parameter – parameter psikologi maupun tingkah laku. Ciri-ciri yang dianggap termasuk seperti sidik jari, pola retina dan iris, karakteristik wajah dan banyak lagi.

Menurut Das[2], saat ini terdapat 7 bidang utama yang termasuk dalam teknologi biometrik yaitu : Fingerprint Recognition, Hand Geometry Recognition, Facial Recognition, Iris and Retina Recognition, Voice Recognition, Keystroke Recognition dan Signature Recognition.

Teknologi biometrik dikembangkan karena dapat memenuhi dua fungsi yaitu identifikasi dan verifikasi,disamping itu biometrik memiliki karakteristik seperti, tidak dapat hilang, tidak dapat lupa dan tidak mudah dipalsukan karena keberadaanya melekat pada manusia, dimana satu dengan yang lain tidak akan sama, maka keunikannya akan lebih terjamin.

Secara umum ada tiga model autentikasi (menentukan atau mengonfirmasi bahwa seseorang (atau sesuatu) adalah autentik atau asli) yang digunakan dalam mengamankan aset (data) sebuah organisasi menurut Liu dan Silverman[6] yaitu: (1) Something you have (possession): kunci atau kartu identitas (2) Something you know (knowledge): password, PIN atau kata kunci yang digunakan untuk melakukan suatu akses kedalam asset organisasi (3) Something you are (biometric): teknologi biometrik.

Beberapa hal yang mendorong penggunaan identifikasi secara biometrik adalah biometrik bersifat universal. (terdapat pada setiap orang), unik (tiap orang memiliki ciri khas tersendiri), dan tidak mudah dipalsukan. Dengan teknik biometrik seseorang tidak harus membawa suatu alat identifikasi seperti pada teknik konvensional.

Sistem pengenalan biometrik (biometrics recognition system ), atau sering disebut sistem biometrik, merupakan sistem otentikasi (authentication system) dengan menggunakan biometrik. Sistem biometrik akan melakukan pengenalan secara otomatis atas identitas seseorang berdasarkan suatu ciri biometrik dengan mencocokan ciri tersebut dengan ciri biometrik yang telah disimpan pada basis data.

2.2. Pengenalan Wajah (Face Recognition) Face recognition atau pengenalan wajah adalah salah satu teknik identifikasi teknologi biometrik dengan menggunakan wajah individu yang bersangkutan sebagai parameter utamanya.

Secara garis besar proses pengenalan wajah menurut Zhao, et al[15] terdiri dari tiga proses utama, yaitu :deteksi wajah (face detection), ektraksi ciri/wajah (face/feature extraction), dan pengenalan wajah (face recognition)

Pengenalan wajah adalah suatu metode pengenalan yang berorientasi pada wajah. Menurut Marti[7] pengenalan wajah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : Dikenali atau tidak dikenali, setelah dilakukan perbandingan dengan pola yang sebelumnya disimpan di dalam database. Metode ini juga harus mampu mengenali objek bukan wajah. Perhitungan model pengenalan wajah memiliki beberapa masalah. Kesulitan muncul ketika wajah direpresentasikan dalam suatu pola yang berisi informasi unik yang membedakan dengan wajah yang lain.

Proses pengenalan wajah yang dilakukan oleh komputer tidak semudah dan secepat proses pengenalan yang dilakukan oleh manusia. Manusia dapat dengan mudah mengenali wajah seseorang dengan cepat tanpa rasa harus berfikir. Manusia juga tidak terpengaruh oleh orientasi wajah tersebut, misalnya wajah orang tersebut dengan keadaan agak menoleh, merunduk dan menengadah asalkan ada batas-batas yang masih bisa dilihat. Sedangkan komputer selain lamban dalam pengenalan juga kesulitan pada orientasi wajah berlainan, pencahayaan, latar belakang yang berbeda, potongan rambut, kumis atau jenggot, berkacamata atau tidak dan sebagainya

.

2.3. Principal Component Analysis (PCA)

Principal Component Analysis (PCA),

sering disebut sebagai penggunaan eigenfaces, dipelopori oleh Kirby dan Sirivich pada tahun 1988. Menurut Gunadi dan Pongsitanan[3]

Principal Components Analysis (PCA) digunakan untuk mereduksi dimensi dari sekumpulan atau ruang gambar sehingga basis atau sistem koordinat yang baru dapat menggambarkan model yang khas dari kumpulan tersebut dengan lebih baik. Dalam hal ini model yang diinginkan merupakan sekumpulan wajah-wajah yang dilatihkan (training faces). Basis yang baru tersebutkan dibentuk melalui kombinasi linear. Komponen dari basis ruang wajah ini tidak akan saling berkorelasi dan akan memaksimalkan perbedaan yang ada didalam variabel aslinya. Dalam proses pencarian nilai dengan algoritma PCA data image wajah yang akan dilatih (di-

training) dilakukan proses untuk membentuk vektor wajah yang merupakan vektor kolom. Vektor-vektor wajah tersebut disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu matriks X dengan orde n x m, dimana n adalah jumlah pixel (w * h) dan m adalah banyaknya gambar wajah.

Menurut Marti[7], Komponen utama pada PCA adalah vektor eigen yang berasosiasi dengan nilai eigen yang besar. Untuk mendapatkan vektor

eigen dan nilai eigen, dibutuhkan matrik kovarian dari data. Data dalam jumlah yang besar menyebabkan dimensi dari matrik kovarian juga akan membesar, sedangkan nilai eigen dan vektor

eigen harus dievaluasi seluruhnya meskipun hanya vektor eigen yang berasosiasi dengan nilai

eigen yang paling signifikan saja yang akan digunakan.

Rumus yang digunakan dalam algoritma PCA mulai dari proses membentuk matriks nilai rata-rata dari image yang akan menjadi image training, pembentukan matrik kovarian, dan perhitungan eigenvalue dan eigenvector tersaji dalam rumus-rumus berikut:

a) Mencari nilai rata-rata suatu image

Untuk mencari nilai rata-rata image, pertama yang harus dilakukan adalah memasukkan dahulu data tiap pixel dari image kedalam suatu matriks. Setelah proses mendapatkan data image dalam bentuk matrik (matrik u), hal berikut yang dilakukan adalah mencari nilai rata-rata dari image. Rumus untuk mencari nilai rata-rata image adalah:

𝑒 = 1

π‘š 𝑒1,π‘˜

π‘š π‘˜=1

b) Mencari CovarianceMatrix PCA

Covariance matrix PCA dicari dengan

mengalikan matriks u dengan matriks transposenya. Rumus untuk mencari covariance matriks adalah :

𝐢=𝑒 Γ— 𝑒𝑑

Selanjutnya dilakukan dekomposisi eigen, sehingga berlaku rumusan sebagai berikut :

𝐢 ×𝑉= πœ† ×𝑉 𝑉= 𝑉1,1 . . . . 𝑉1,𝑛 . . . . . . . . . . . . . . . . 𝑉𝑛,1 . . . . 𝑉𝑛,𝑛 ,πœ†= πœ†1 0 0 0 0 0 0 πœ†2 0 0 0 0 0 0 πœ†3 0 0 0 0 0 0 . 0 0 0 0 0 0 . 0 0 0 0 0 0 πœ†π‘›

Pencarian nilai eigen value dan eigen vector dapat dibantu dengan menggunakan metode Jacobi.

Eigen value yang didapat akan diurutkan mulai yang terbesar sampai dengan yang terkecil, dan

eigen vector yang bersesuaian dengan eigen value

tersebut juga diurutkan. c) Mencari feature PCA

Feature adalah komponen-komponen penting dari image-image training yang didapat dari hasil proses training. Feature dapat dicari dengan mentransformasi image asal ke dalam ruang eigen

dengan menggunakan persamaan berikut:

𝑓= πΌπ‘–βˆ’ 𝑒 𝑇

π‘š 𝑖=1

×𝑉 Dimana :

I = data tiap pixel dari image training ke-I m = jumlah image training

V = matriks eigen vector f = matriks feature

2.4. Linear Discriminant Analysis (LDA)

Menurut Muntasa, Sirajudin, Purnomo[8]

Linear Discriminant Analysis (LDA) merupakan pengembangan dari algoritma Principal Component Analysis (PCA). LDA dipergunakan untuk memaksimalkan perbedaan ratio matrik

scatter between dan meminimalkan ratio matrik scatter within.

Perbedaan antar kelas direpresentasikan oleh matriks Sb (scatter between class) dan perbedaan dalam kelas direpresentasikan oleh matriks Sw (scatter within class). Matriks covariance

didapatkan dari kedua matriks tersebut. a) Matriks Sb

Sb disebut matriks scatter between class atau penyebaran data antar kelas yang berbeda. Bila pada PCA dicari rata-rata seluruh image saja, maka pada LDA juga harus dicari lebih dahulu rata-rata image yang terdapat dalam satu kelas.

𝑆𝑏= 𝑁𝑖

𝑐 𝑖=1

πœ‡π‘– βˆ’ πœ‡) πœ‡π‘–βˆ’ πœ‡ 𝑇

b) Matriks Sw

Sw disebut matriks scatter within class atau penyebaran data dalam satu kelas yang sama.

𝑆𝑀 = 𝑖=1𝑐 π‘₯π‘˜βˆˆπ‘‹π‘– π‘₯π‘˜βˆ’ πœ‡π‘– π‘₯π‘˜βˆ’ πœ‡π‘– 𝑇

c) Mencari Covariance Matrix LDA

Berbeda dengan PCA yang mendapatkan

covariance matrix dari seluruh image dikurangi rata-rata totalnya, covariance matrix LDA didapatkan dari operasi Sb dan Sw.

𝐢= π‘†π‘π‘†π‘€βˆ’1

dimana C adalah covariance matrix LDA.

Dari covariance matrix berikutnya dicari eigen value dan eigen vectornya dengan menggunakan metode Jacobi seperti halnya pada PCA.

d) Mencari feature LDA

Feature LDA dicari dengan cara yang sama dengan PCA. Rumus untuk mencari feature LDA

adalah : 𝑓= πΌπ‘šπ‘–=1 π‘–βˆ’ 𝑒 𝑇 ×𝑉 (2) (3) (4) (5) (6) (7) Matriks eigen value

Matriks eigen vector

(1)

Linear Discriminant Analysis (LDA) memiliki karakteristik perhitungan matriks yang sama dengan PCA, perbedaan dasarnya adalah pada LDA diusahakan adanya perbedaan yang maksimum antar kelas yang berbeda (kelas adalah kumpulan image-image dari orang yang sama)

dan perbedaan yang minimun dari image-image

dalam kelas.

2.5. Proses Recognition dengan LDA

Berdasarkan yang dijelaskan dari PCA dan LDA, ada beberapa proses yang sama sehingga dalam proses untuk pengenalan image sebagian dari algoritma PCA bisa digunakan dalam algoritma LDA .

Matriks feature yang didapat dari PCA bisa digunakan sebagai nilai input bagi LDA yang akan dicari nilai Sb dan Sw. Pada proses awal, algoritma PCA digunakan untuk mereduksi perhitungan matriks berdimensi n x n (n adalah jumlah pixel) menjadi m x m (m adalah jumlah image training), dari proses reduksi perhitungan

tersebut didapatkan matriks feature dari PCA. Selanjutnya matriks feature PCA ini akan digunakan sebagai input untuk algoritma LDA.

Sebagai contoh, misalnya ada 100 image

training yang berdimensi 100 x 100 = 10.000

pixel. Dengan menggunakan algoritma PCA,

didapatkan feature PCA berupa matriks berdimesi 100 x 100. Matriks ini akan menjadi input bagi algoritma LDA, seakan-akan ada 100 image dengan dimensi 10 x 10 saja. Dari matriks ini didapat matriks Sb dan Sw masing-masing berdimensi 100 x 100, dan matriks untuk eigen value LDA berdimensi 100 x 100. Jika algoritma LDA tidak menggunakan nilai feature dari algoritma PCA maka harus dioperasikan matriks untuk eigen value dari LDA yang berdmensi 10.000 x 10.000

Garis besar dari proses recognition dalam aplikasi ini bisa dilihat dalam flowchart berikut

Gambar 1. Penggabungan PCA dengan LDA Untuk proses recognition, image Ix diperlakukan

rumus yang sama pada proses LDA.

𝑓𝑃𝐢𝐴 = 𝐼π‘₯βˆ’ 𝑒 𝑇 Γ— 𝑉𝑃𝐢𝐴

fPCA adalah feature image dalam PCA yang

nantinya akan diklasifikasikan berdasarkan algoritma LDA.

𝑓𝐿𝐷𝐴 = π‘“π‘ƒπΆπ΄βˆ’ 𝑒 𝑇 Γ— 𝑉𝐿𝐷𝐴

Dari fLDA akan dicari distance minimum dari

feature LDA yang telah tersimpan.

π‘‘π‘–π‘ π‘‘π‘Žπ‘›π‘π‘’= 𝑓π‘₯ βˆ’ π‘“π‘‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘ π‘’

= 𝑓π‘₯1βˆ’ π‘“π‘‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘ π‘’1 2+ 𝑓π‘₯2βˆ’ π‘“π‘‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘ π‘’2 2+ ... + 𝑓π‘₯2π‘§βˆ’ π‘“π‘‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘ π‘’ 𝑧 2 Setelah didapatkan semua distance, maka dicari nilai yang paling minimum yang dengan data image yang tersimpan dalam basis data.

3. Penelitian

Dalam perancangan suatu sistem perlu digunakan suatu metodologi atau pendekatan pengembangan Pada perancangan sistem ini, metodologi yang digunakan untuk proses pengembangan sistem absensi adalah metodologi prototyping.

Metodologi ini digunakan karena tujuan atau perancangan untuk menghasilkan sistem absensi dalam proses pemantauan kehadiran karyawan.

Gambar 2. Model Prototyping

Dalam pengembangan sistem menggunakan model prototyping ada beberapa tahapan yang dilalui pada pengembangkan sistem, yaitu: A. Menetapkan tujuan perancangan (Establish

Prototype Objectives)

Pada tahap ini, dilakukan proses menganalisis permasalahan yang terjadi melalui komunikasi dengan pengguna sistem. Proses komunikasi dilakukan untuk melihat permasalahan-permasalahan yang ada dalam sistem yang sedang dilaksana melalui dokumen-dokumen yang terkait dalam proses perancangan sistem. Dalam tahap ini juga dilihat hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam sistem absensi dengan menggunakan media atau cara yang bisa digunakan untuk masalah yang dihadapi

B. Mendefinisikan fungsi (Define Prototype Functionality)

Dalam tahap ini, setelah diketahui permasalahan yang ada serta diketahui cara terbaru maka dilakukan proses pendefinisian

Image-Image

Training

Dalam dokumen Seminar Nasional Informatika SNIf 2013 (1) (Halaman 89-92)

Garis besar

Dokumen terkait