• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Pengaruh Pemberian Pelatihan Asertivitas terhadap Kecenderungan

(SMK) Bhinneka Karya Surakarta

Masa remaja adalah periode peralihan yang artinya peralihan dari satu perkembangan ke tahap berikutnya (Hurlock, 2002). Dalam periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus

commit to user

dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena memberi waktu pada remaja mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Willis, 2005). Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Salah satu yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya.

Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya apabila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikuti tanpa mempedulikan akibatnya. Perilaku kenakalan remaja juga berlandaskan pada proses belajar, yaitu dipelajari secara negatif dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi.

Menurut Robert Merton (dalam Hadisuprapto, 2008) perbedaan struktur sosial dapat menumbuhkan suatu kondisi pelanggaran terhadap norma-norma Rumitnya situasi yang harus dihadapi remaja dalam mempersiapkan masa dewasanya

commit to user

dapat menimbulkan kecenderungan yang bisa terjadi di sebagian remaja dalam berperilaku di masyarakat.

Remaja-remaja yang berasal dari kelas atas dan menengah tentunya memiliki tata nilai dan norma-norma yang khas sehingga berbeda dari tata nilai dan norma remaja kelas bawah. Kemudahan-kemudahan yang dinikmati remaja kelas atas dan menengah pun hanya menjadi lamunan remaja kelas bawah. Ketidakmerataan kesempatan tersebut dapat menimbulkan kecenderungan remaja kelas bawah untuk melakukan suatu gejala perilaku penyimpangan berupa kecenderungan kenakalan remaja.

Juvenile delinquency adalah perilaku kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 1992). Kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dan tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.

Dari pendapat di atas diketahui bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah tinggi rendahnya kemauan remaja untuk melakukan tindakan melanggar norma agama, norma hukum, dan norma sosial yang dapat mengakibatkan kerugian serta kerusakan baik kepada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Kecenderungan kenakalan remaja sebagai keinginan berperilaku yang melanggar hukum pada umumnya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 15 19 tahun.

commit to user

Terjadinya kecenderungan kenakalan remaja tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja, di antaranya adalah faktor identitas, kontrol diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap fasilitas pendidikan, keluarga, kelas sosial ekonomi, dan khususnya pengaruh lingkungan yaitu faktor teman sebaya (Santrock, 2003).

Pada usia remaja, individu lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dibandingkan dengan berada di rumah. Remaja senang untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya walaupun hal tersebut tidak selalu akan membawa pengaruh-pengaruh baik.

Seringkali sikap remaja tersebut mengganggu ketenteraman rumah karena teman-teman yang begitu sering datang dan seolah tidak mengenal waktu, ataupun remaja yang selalu keluyuran dengan teman-temannya.

Ada pula persaingan di antara pergaulan remaja, yaitu mereka ingin bersaing dalam hal-hal yang lebih mewah. Jika keadaan ekonomi teman-temannya jauh lebih baik, maka remaja menjadi lebih mudah terpengaruh oleh keadaan-keadaan yang indah dan serba mewah; akan tetapi hal ini dapat membuat remaja tenggelam dalam angan-angan semu karena kemampuan orang tuanya yang sangat terbatas (terutama dalam segi materil). Dampak dari keadaan ini adalah remaja dapat lari dari kenyataan dengan melakukan kenakalan remaja, seperti mempergunakan obat-obat bius atau narkotika sebagai alatnya.

commit to user

Pengaruh teman sebaya memang sangat besar pada remaja yang menginjak usia remaja (Hadisuprapto, 2008). Pada usia tersebut ada rasa kebanggaan sendiri bahwa remaja memiliki kawan-kawan, sehingga mereka merasa populer. Di sisi lain remaja merasa lebih nyaman untuk melakukan berbagai macam tindakan apabila dia sedang disekelilingi oleh teman-temannya. Ukuran bagi popularitas itu adalah kemewahan, kekuatan fisik, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika remaja melakukan kenakalan remaja seperti: berkelahi, tawuran, merokok, membolos dengan alasan solidaritas persahabatan.

Para ahli di bidang ilmu sosial pada umumnya berpendapat, bahwa teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap remaja sebagai individu atau pribadi. Di samping pengaruh-pengaruh positif (baik) dari teman sebaya, banyak pula pengaruh-pengaruh negatif (buruk). Apalagi jika teman sebaya berasal dari lingkungan sosial yang kurang baik. Dalam hal ini remaja yang kurang mendapat pengawasan dari orang tuanya dapat dengan mudah memperoleh pengaruh negatif yang berasal dari lingkungan.

Sebagai remaja, banyak sekali tekanan yang dihadapi dari teman sebaya.

Tekanan tersebut dapat berupa rayuan, ajakan, bahkan paksaan untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak ingin dilakukan atau yang tidak pantas dilakukan. Tekanan yang dihadapi remaja perempuan biasanya dalam hal berpakaian, dandan dan bertingkah laku, bergaul, serta ajakan maupun paksaan berhubungan seks. Sedangkan tekanan yang dihadapi remaja laki-laki

commit to user

berupa ajakan merokok, nge-drugs serta paksaan (ancaman) seperti malak memalak maupun tawuran antar sekolah.

Ajakan dan rayuan tersebut biasanya disertai dengan janji yang akan diperoleh jika mau melakukannya atau bahkan ancaman jika menolaknya.

Dalam hal ini banyak remaja yang tidak berani atau ragu-ragu untuk berkata liki teman, takut dimusuhi atau takut di anggap tidak cool.

Suatu masalah yang sulit untuk mengatasi kenakalan remaja adalah bagaimana menanamkan sikap-sikap tertentu di dalam diri remaja, dalam hal menghadapi teman sebayanya. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah kemampuan berkomunikasi untuk menolak pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungannya. Anak-anak yang merasa sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain lebih banyak berperilaku negatif daripada anak yang mampu berkomunikasi. Oleh sebab itu, remaja membutuhkan suatu keterampilan sosial yaitu asertivitas untuk menolak tawaran negatif yang berasal dari lingkungannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Dwiputriadi (2010) diperoleh kesimpulan terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dengan peer pressure (tekanan teman sebaya) negatif. Artinya semakin tinggi perilaku asertif yang dimiliki remaja maka semakin rendah peer pressure negatif yang mempengaruhinya dan sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif yang dimiliki remaja maka semakin tinggi peer pressure negatif yang mempengaruhi.

commit to user

Penelitian lain yang dilakukan oleh Rinawati (2009) menunjukkan hasil yaitu terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dengan kenakalan remaja. Maksud hubungan negatif tersebut adalah semakin tinggi asertivitas maka semakin rendah kenakalan remaja, sebaliknya, semakin rendah asertivitas maka semakin tinggi kenakalan remaja.

Remaja yang cenderung nakal cenderung tidak mampu mengontrol perilakunya dan cenderung melakukan tindakan agresif. Mereka tidak paham dengan perilakunya yang tanpa disadari dapat menyakiti perasaan orang lain.

Oleh sebab itu, perlu ada suatu keterampilan sosial yang dapat memberikan informasi kepada remaja untuk dapat mengontrol perilaku agresif menjadi perilaku yang asertif. Remaja diharapkan memiliki kemampuan mengungkapkan keinginan dan perasaannya tetapi juga memperhatikan hak orang lain yaitu dengan menanamkan asertivitas dalam diri remaja.

Alberti dan Emmons (2002) menawarkan tingkah laku asertif sebagai bentuk keterampilan sosial yang tepat untuk berbagai situasi sosial. Untuk menjalin hubungan interpersonal yang baik, seseorang membutuhkan kemampuan berperilaku asertif. Asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk dapat menikmati haknya, mengungkapkan perasaannya, meminta apa yang diinginkan, menyatakan pendapat, dan semuanya itu dilakukan dengan integritas, kejujuran dan menghormati orang lain.

Asertivitas adalah kemampuan untuk berkata , kemampuan untuk mengatakan tolong untuk meminta bantuan, kemampuan untuk menyatakan ekspresi positif dan perasaan negatif, kemampuan untuk inisiatif, terus, dan

commit to user

mengakhiri percakapan umum. Asertivitas bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak lahir, sehingga untuk membentuk dan membiasakan seseorang berperilaku asertif diperlukan pelatihan asertivitas yang bertahap.

Remaja memerlukan pemahaman untuk mengenal diri sendiri. Remaja seharusnya mampu mengembangkan sistem nilai dan kepercayaan yang membuat dirinya dapat bersikap asertif. Dengan mempelajari keterampilan asertivitas, mulai dari yang bersifat mendasar seperti memperhatikan keinginan orang lain, tetapi tetap mampu mengungkapkan apa yang kita inginkan. Tingkat yang lebih jauh adalah kemampuan meningkatkan skala asersi pada saat sudah mengungkapkannya tetapi hak yang dimiliki tetap dilanggar.

Dalam mengembangkan kemampuan asertivitas, komunikasi dan bahasa tubuh memiliki peranan yang penting. Hal ini mencakup adanya kontak mata dan sikap tubuh yang terbuka pada saat berkomunikasi dengan orang lain.

Ekspresi wajah harus sesuai dengan pesan yang disampaikan, nada suara mantap, dan memilih waktu yang tepat.

pula remaja. Setiap orang akan merasa lebih nyaman karena mendapatkan apa yang sebenarnya diinginkan (tidak menjadi korban karena hal-hal yang tidak diinginkan). Remaja seharusnya mempunyai keberanian dan kemampuan untuk jujur mengenai apa yang dirasakannya. Misalnya saja ketika mendapatkan tawaran merokok atau minuman alkohol, remaja harus mampu

commit to user

membedakan antara teman dengan perilakunya. Remaja dapat tetap berteman tanpa harus mengikuti hal-hal yang dirasa kurang pantas.

Remaja akan menanggung konsekuensi dari setiap apa yang dilakukannya.

Remaja bertanggungjawab terhadap hidupnya sendiri dan keputusan yang dibuatnya. Walaupun remaja melakukan sesuatu karena terpengaruh oleh orang lain, mereka tidak dapat meminta orang lain untuk bertanggungjawab atas konsekuensi dari tindakan mereka. Oleh sebab itu, remaja harus mampu bersikap tegas dan menumbuhkan asertivitas di dalam dirinya.

Porsi terbesar dari kemampuan bersikap tegas terletak pada kekuatan

apa yang diinginkan, serta mengontrol bahasa tubuh untuk mendukung apa yang ingin dinyatakan. Jika kemauan remaja jelas dan dapat mengungkapkan dengan tegas, maka remaja tidak lagi mudah menjadi korban, karena orang lain mengerti apa yang mereka inginkan sehingga tidak bertingkah laku seenaknya.

Pelatihan asertivitas merupakan kegiatan untuk melatih dan membiasakan individu berperilaku asertif dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain di sekitarnya (Setiono, dkk., 2005). Dalam hal ini perilaku yang diharapkan adalah yang menyangkut pengekspresian hak dan perasaan pribadi, kemampuan beradaptasi serta menjalin hubungan dalam situasi interpersonal, kemampuan untuk memberi dan menerima kritik, serta kemampuan komunikasi secara jujur, jelas, langsung, dan terbuka tanpa merugikan diri

commit to user

sendiri serta orang lain bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang baik dan pemecahan masalah bersama.

Pelatihan asertivitas adalah upaya-upaya pemaksimalan kualitas hubungan interpersonal seseorang agar menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pelatihan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran remaja mengenai perilaku yang melekat dalam dirinya sehingga remaja dapat melakukan introspeksi mengenai perilaku yang kurang baik sehingga mampu menjaga keharmonisan dan hubungan yang baik dengan orang lain. Selain itu, remaja diharapkan memiliki ketegasan untuk dapat menolak pengaruh negat if yang dapat merugikan diri sendiri namun tetap menghormati dan menghargai hak orang lain.

Asertivitas bukanlah sesuatu yang ada sejak lahir, sehingga untuk membentuk dan membiasakan seseorang berperilaku asertif diperlukan pelatihan asertivitas yang bertahap. Proses pembentukan perilaku asertif tersebut tidak terlepas dari pengaruh lingkungan tinggal, terutama lingkungan keluarga.

Subyek yang akan diberikan pelatihan adalah siswa kelas X SMK Bhinneka Karya yang berusia 15 19 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.

Tujuan dari pelatihan asertivitas adalah meningkatkan ketegasan dalam diri remaja sehingga remaja mampu menolak ajakan dan rayuan negatif yang berasal dari lingkungannya. Pelatihan asertivitas juga dapat membangun kesadaran remaja mengenai perilakunya saat ini sehingga mereka mampu melakukan introspeksi diri terhadap perilaku yang mendominasinya.

commit to user

D. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana gambaran dari kerangka penelitian ini adalah :

H : Pengaruh Pelatihan Asertivitas terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja Gambar 1

Bagan Kerangka Pemikiran

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah :

Terdapat pengaruh pemberian pelatihan asertivitas terhadap kecenderungan kenakalan remaja pada siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Bhinneka Karya Surakarta

Siswa

commit to user

68

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Variabel tergantung : Kecenderungan kenakalan remaja Variabel bebas : Pelatihan asertivitas

B. Definisi Operasional Definisi operasional variabel-variabel penelitian ini adalah : 1. Kecenderungan Kenakalan Remaja

Kecenderungan kenakalan remaja adalah keinginan remaja untuk melakukan tindakan melanggar norma agama, norma hukum, dan norma sosial yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain serta dilakukan remaja pada usia 15 19 tahun.

Pengukuran kecenderungan kenakalan remaja dalam penelitian ini menggunakan skala kecenderungan kenakalan remaja yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Jensen (dalam Sarwono, 1985) dan Hurlock (1973). Aspek-aspek tersebut yaitu keinginan untuk melakukan tindakan yang menimbulkan korban materi, keinginan untuk menyakiti diri sendiri dan orang lain, kemauan untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali, serta kemauan melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

commit to user

Skala kecenderungan kenakalan remaja ini akan digunakan sebagai pretest yaitu alat ukur sebelum dilakukan perlakuan dan sebagai posttest yaitu alat ukur setelah dilakukan perlakuan. Hal ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan tingkat kecenderungan remaja sebelum perlakuan dengan sesudah perlakuan.

Metode penskalaan yang digunakan dalam menyusun skala kecenderungan kenakalan remaja adalah model skala Likert. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek penelitian, berarti mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat kecenderungan kenakalan remaja yang dimilikinya. Semakin rendah skor yang diperoleh subyek penelitian, berarti mengindikasikan semakin rendah pula tingkat kecenderungan kenakalan remaja yang dimilikinya.

2. Pelatihan Asertivitas

Pelatihan asertivitas adalah prosedur pelatihan yang disusun untuk melatih keterampilan sosial individu untuk dapat mengekspresikan perasaan, pikiran, dan kebutuhan tanpa adanya kecemasan, mengkomunikasikan pendapat secara langsung, jujur, dan tepat, serta kemampuan untuk bersikap tegas menolak permintaan orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan dirinya.

Modul pelatihan asertivitas dimodifikasi dari aspek-aspek Bishop (1999) serta Alberti dan Emmons (2002) yaitu membangun kesadaran diri mengenai bentuk perilaku yang mendominasi dirinya (self awareness), mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia (membina relationships), dan mengekspresikan perasaan dan pikiran dengan nyaman untuk menolak dan menerima permintaan (making and refusing requests).

commit to user

Modul pelatihan asertivitas ini disusun sebagai acuan untuk memberikan perlakuan kepada subjek. Pelatihan asertivitas ini menggunakan pendekatan experiental learning dengan metode presentasi, simulasi dan permainan, studi kasus, sharing, role playing, kristalisasi, dan penayangan video.

C. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental-kuasi (quasi-experimental research) karena dilakukan tanpa randomisasi namun tetap menggunakan manipulasi dan kontrol (Latipun, 2002). Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah nonrandomized control-group pretest-posttest design. Nonrandomized group artinya tidak dilakukan randomisasi dalam menentukan KE (Kelompok Eksperimen) dan KK (Kelompok Kontrol).

Pada desain ini, di awal penelitian dilakukan pengukuran tingkat kecenderungan kenakalan remaja (variabel tergantung) pada kelompok eksperimen. Setelah diberikan perlakuan, dilakukan pengukuran tingkat kecenderungan kenakalan dengan alat ukur yang sama. Sedangkan pada kelompok kontrol dilakukan pengukuran tingkat kenakalan remaja di awal dan akhir, tetapi tanpa diberi perlakuan. Simbol Ilustrasi dari desain ini adalah sebagai berikut:

Kelompok Eksperimen Pretest Perlakuan Posttest Analisis Kelompok Kontrol Pretest Posttest Analisis

Gambar 2. Desain Penelitian Nonrandomized Control-Group Pretest-Posttest Design

Prosedur penelitian akan dilaksanakan sebagai berikut:

commit to user

1. Memberikan pretest dengan skala kecenderungan kenakalan remaja pada kelompok subyek, yaitu siswa kelas X yang sudah ditentukan. Subyek digolongkan berdasarkan tingkat kecenderungan kenakalan remaja dari skor yang diperoleh. Skor tinggi menunjukkan tingkat kecenderungan kenakalan tinggi, skor di tengah-tengah menunjukkan tingkat kecenderungan kenakalan sedang, dan skor rendah menunjukkan tingkat kecenderungan kenakalan rendah.

2. Mengelompokkan subyek yang memiliki skor kecenderungan kenakalan remaja sedang dan tinggi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kecenderungan kenakalan remaja rendah tidak digunakan karena tidak efektif untuk diketahui pengaruhnya. Kelompok eksperimen akan diberikan lembar pernyataan kesediaan untuk mengikuti seluruh rangkaian acara pelatihan asertivitas.

3. Melakukan kontrol terhadap variabel sekunder dengan teknik matching.

Matching dilakukan dengan mengurutkan nilai/skor dari karakteristik subyek, kemudian dibuatkan pasangan berdasarkan urutan tersebut. Dari setiap pasangan, secara acak dikelompokkan menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

4. Memberikan perlakuan pada kelompok eksperimen yaitu pemberian pelatihan asertivitas sebanyak 2 kali pertemuan. Pelatihan akan diberikan oleh trainer dan dibantu co-trainer di SMK Bhineka Karya (BK) Surakarta. Modul pelatihan berupa modul fasilitator dan modul peserta yang berisi makalah

commit to user

mengenai materi asertivitas. Modul tersebut berupa buku panduan yang akan dibagikan kepada peserta pada awal sesi pelatihan.

5. Memberikan posttest berupa skala kencenderungan kenakalan remaja pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk mengukur tingkat

kecenderungan kenakalan remaja setelah perlakuan dan tanpa perlakuan.

6. Melakukan evaluasi pelatihan dengan melakukan wawancara, observasi, dan meminta subyek pada kelompok eksperimen untuk mengisi lembar evaluasi proses dan evaluasi hasil.

7. Menganalisis hasil perlakuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kecenderungan kenakalan remaja pada subyek penelitian.

D. Populasi, Sampel, dan Sampling

a. Populasi adalah kelompok subyek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Bhinneka Karya Surakarta berjumlah 361 siswa.

b. Sampel adalah sebagian dari individu yang diselidiki dan sampel harus memiliki paling sedikit sifat yang sama, baik sifat kodrat maupun pengkhususan (Hadi, 2004). Sampel atau populasi studi merupakan hasil pemilihan subjek dari populasi untuk memperoleh karakteristik populasi. Sampel harus mencerminkan representatif karakter populasinya, akan tetapi tidak berarti identik dengan seluruh karakter populasi (Latipun, 2002).

commit to user

Sampel dalam penelitian adalah siswa kelas X SMK Bhinneka Karya dengan karakteristik sama, yaitu siswa yang memiliki tingkat kecenderungan kenakalan tinggi dan tingkat kecenderungan kenakalan sedang berdasarkan pengukuran tingkat kecenderungan kenakalan remaja menggunakan skala kecenderungan kenakalan remaja.

Jumlah sampel dalam penyebaran skala pretest penelitian adalah 64 siswa yang diperoleh dari perhitungan 15% dari jumlah populasi 361 siswa. Sampel yang akan dipilih sebagai subjek eksperimen pelatihan akan diperoleh dengan cara screening dari hasil pengolahan pretest pada 64 siswa tersebut.

c. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu pemilihan kelompok subyek berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Purposive sampling dipilih karena subyek penelitian berdasarkan kriteria yaitu siswa kelas X yang memiliki tingkat kecenderungan kenakalan remaja tinggi dan tingkat kecenderungan kenakalan remaja sedang.

E. Metode Pengumpulan Data 1. Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau mengambil data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari siswa kelas X SMK Bhinneka Karya Surakarta yang menjadi responden penelitian.

commit to user

Data primer ini berupa skala kecenderungan kenakalan remaja dan modul asertivitas. Skala kecenderungan kenakalan remaja digunakan sebagai pretest dan posttest. Pretest digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui kecenderungan kenakalan remaja sebelum perlakuan. Posttest digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui kecenderungan kenakalan remaja setelah perlakuan untuk kelompok eksperimen dan nonperlakuan untuk kelompok kontrol.

Modul asertivitas digunakan sebagai panduan dalam pelaksanaan pelatihan dan data mengenai modul tersebut akan diperoleh dari lembar evaluasi yang diisi oleh subyek. Selain itu data yang diperoleh di tempat penelitian, yakni berupa dokumentasi untuk pengumpulan data misalnya hasil observasi, interview dan foto yang dapat mendukung penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja

Skala yang digunakan berpedoman pada skala Likert yang telah dimodifikasi.

Skala ini terdiri atas dua aitem yaitu aitem favorable dan aitem unfavorable.

Penilaian aitem favorable dan unfavorable yaitu 1. Sangat Tidak Sesuai, 2. Tidak Sesuai, 3. Sesuai, dan 4. Sangat Sesuai. Setiap aitem favorable yang dijawab STS mendapat skor 1, TS mendapat skor 2, S mendapat skor 3, dan SS mendapat skor 4. Setiap aitem unfavorable yang dijawab STS mendapat skor 4, TS mendapat skor 3, S mendapat skor 2, dan SS mendapat skor 1.

Jumlah total skor tinggi menunjukkan tingkat kecenderungan kenakalan remaja tinggi, sedangkan skor rendah menunjukkan tingkat kecenderungan kenakalan

commit to user

remaja rendah. Selanjutnya peneliti mengkategorikan skor menjadi tiga kategori (Azwar, 2009), yaitu :

Rendah : X < ( - 1,0 )

Sedang : ( - 1,0 ) X < ( + 1,0 ) Tinggi : ( - 1,0 ) X

Adapun tabel blue print skala kecenderungan kenakalan remaja sebagai berikut:

commit to user

Tabel 2

Blue Print (Kisi-kisi) Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja

NO Aspek Indikator No aitem Frek %

commit to user

b. Modul Asertivitas

Modul asertivitas digunakan sebagai panduan untuk memberikan perlakuan kepada subyek, khususnya kelompok eksperimen. Sebelumnya, modul tersebut akan diuji kelayakan oleh professional judgement, diuji-coba oleh dosen, trainer dan mahasiswa, juga diuji-cobakan kepada siswa yang memiliki karakteristik

Modul asertivitas digunakan sebagai panduan untuk memberikan perlakuan kepada subyek, khususnya kelompok eksperimen. Sebelumnya, modul tersebut akan diuji kelayakan oleh professional judgement, diuji-coba oleh dosen, trainer dan mahasiswa, juga diuji-cobakan kepada siswa yang memiliki karakteristik