• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESIGN PRINCIPLES

2) Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggungjawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2000). Dengan model ini, masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan karena masyarakat dilibatkan dalam pembuatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partispasi masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingan terhadap kelangsungan sumberdaya perianan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria 2002b).

Dengan demikian pengelolaan perikanan berbasis masyarakat lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria 2002a). Kelemahan dari model ini adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah diluar komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi tingginya biaya institusionalisasinya.

Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dapat dibentuk melalui (Nikijuluw 2002):

(1) Pemerintah beserta masyarakat mengakui praktek-praktek pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selam ini;

(2) Pemerintah dan masyarakat kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola perikanan; dan

(3) Pemerintah memeberikan tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

3) Ko-Manajemen

Menurut Nikijuluw (2002), Ko-manajemen perikanan adalah rezim derivative yang dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat (PSPBM) dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau

pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan.

Ditegaskan pula oleh Carter (1996) bahwa sesungguhnya konsep pengelolaan sumberdaya alam yang berakar pada masyarakat (CBM) memiliki beberapa dimensi positif yaitu (1) mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya alam; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Pomeroy and Williams (1994) menyatakan bahwa penerapan Co-Management akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi, maka Co-management

hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan perikanan atau sumberdaya. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu. Beberapa kunci kesuksesan dari model Co-Management menurut (Pomeroy and Williams 1994) adalah sebagai berikut:

(1) Batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi; Batas-batas fisik dari suatu kawasan yang akan dikelola harus dapat ditetapkan dan diketahui secara pasti oleh masyarakat. Dalam hal ini, peranan pemerintah daerah dalam menentukan zoning dan sekaligus melegalisasinya menjadi sangat penting. Batas-batas wilayah tersebut harus berdasarkan pada sebuah ekosistem sehingga sumberdaya alam tersebut dapat lebih mudah untuk diamati dan dipahami;

(2) Kejelasan keanggotaan; Segenap pelaku atau rumahtangga masyarakat yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam di sebuah kawasan dan berpartisipasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus dapat diketahui dan didefinisikan dengan jelas. Jumlah rumahtangga tersebut tidak boleh terlalu banyak sehingga proses komunikasi dan musyawarah yang dilakukan menjadi lebih efektif;

(3) Keterikatan dalam kelompok; Kelompok masyarakat yang terlibat hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan. Dalam konteks ini, maka kebersamaan masyarakat akan kelihatan baik dalam hal etnik, agama, persamaan alat penangkapan dan lain-lain;

(4) Manfaat harus lebih besar dari biaya; Setiap individu masyarakat di sebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari partisipasi mereka dalam Co-Management akan lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkan;

(5) Pengelolaan yang sederhana; Dalam model Co-Management, salah satu kunci kesuksesan adalah penerapan peraturan pengelolaan yang sederhana dan tidak birokratis. Proses monitoring dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri;

(6) Legalisasi dari pengelolaan; Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari Pemerintah Daerah, sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara hukum terlindungi;

(7) Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat; Kunci sukses yang lain adalah adanya individu maupun sebuah kelompok inti yang bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin demi berjalannya proses Co-Management ini. Upaya tersebut termasuk adanya kepemimpinan yang diterima oleh semua pihak khususnya di dalam kalangan masyarakat lokal tersebut;

(8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang; Pemerintah Daerah sebagai bagian dari tripatriat pengelolaan dengan model Co-Management ini perlu memberikan desentralisasi proses administrasi dan pendelegasian tanggung jawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang terlibat; dan

(9) Koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat; Sebuah lembaga koordinasi (badan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

berbasis pada masyarakat) yang berada di luar kelompok masyarakat yang terlibat dan beranggotakan wakil dari masyarakat lokal dan wakil pemerintah merupakan hal yang penting pula dibentuk dalam rangka memonitor penyusunan pengelolaan lokal dan pemecahan konflik.

Tujuan utama Ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, efisien, adil dan merata. Tujuan sekundernya adalah (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3) sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif. 2.5 Dasar Hukum

2.5.1 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Aturan mengenai pengelolaan perikanan secara umum maupun pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal diatur dalam Bab IV, Pasal 6 ayat (1) Undang – undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa “pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat hasil yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan”. Dalam Pasal 6 ayat (2), ditambahkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat atau kearifan lokal serta memperhatikan peran masyarakat dalam pengelolaan perikanan”.

Kegiatan perikanan yang bertanggung jawab merupakan bentuk pengelolaan perikanan yang mengendepankan aspek lingkungan dan kelestarian sumberdaya alam serta memberi ruang kepada hukum adat/kearifan lokal untuk mengelola sumberdaya alam secara tradisional sehingga dapat meminimalisir kerusakan sumberdaya perikanan dan ekologi di wilayah pesisir. Selain itu, membagun peran serta masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan serta perlindungan terhadap sumberdaya alam di wilayah pesisir sesuai dengan amanat Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 2004.

2.5.2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Berdasarkan Pasal 1 angka 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa hak pengusahaan perairan pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Sedangkan dalam Pasal 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa HP-3 dapat diberikan kepada; (a) orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan berdasarkan hokum Indonesia; atau (c) masyarakat adat. Hal ini dimaksud agar dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sasi, Mane’e, Panglima laot dan Awig-awig, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Berdasarkan Pasal 21 angka 4 Undang-undang No 27 Tahun 2007 bahwa pemegang HP-3 mempunyai kewajiban untuk; (a) memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan; (b) mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak adat/masyarakat lokal; (c) memperhatikan hak masyarakat untuk mendapat akses ke sempadan pantai dan muara sungai; dan (d) melakukan rehabilitasi terhadap sumberdaya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.