• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESIGN PRINCIPLES

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sistem Kelembagaan Sasi

5.1.1 Sasi Desa Keffing

Sasi merupakan bentuk aturan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat adat yang telah diterapkan di Maluku. Menurut Pattinama dan Pattipelony (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang telah ada sejak (abad XVII) memiliki nilai hukum substantif yaitu larangan untuk tidak mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai waktu tertentu. Sejarah sasi di Desa Keffing telah ada sejak zaman dahulu sebagai komitmen bersama para nenek moyang mereka untuk menjaga lingkungan dimana mereka tinggal. Hal ini dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak akan hidup dengan tentram. Namun tradisi sasi yang menjadi aset lokal ini tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat setempat kapan diberlakukan. Penerapan sasi di Desa Keffing didasarkan pada petua (pesan/pentuk) yang telah diwariskan secara turun-temurun. Berdasarkan hasil wawancara sasi yang pertama kali digunakan di Desa Keffing yaitu sasi darat dan diterapkan pada dusun kelapa. Sedangkan sasi laut diberlakukan pada saat masyarakat beralih pekerjaan ke wilayah laut. Menurut masyarakat tujuan pemberlakuan sasi laut untuk menjaga sumberdaya disekitar pantai agar dapat memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Pemberlakuan sasi laut

telah dipahami oleh masyarakat setempat, namun pelanggaran terhadap aturan

sasi masi ada. Sasi laut di Desa Keffing dibuka jika ada permintaan dari pembeli, masyarakat serta perayaan adat istiadat (pengangkatan raja).

Menurut kepala adat, sistem sasi di Desa Keffing dibentuk sejak munculnya konflik antara soa di negeri tersebut. Pemicu konflik yaitu adanya kecemburuan sosial antara masyarakat dalam pemanfaatan hasil laut. Masyarakat yang memiliki

marga yang sama dengan kepala adat mengambil hasil laut tanpa batasan, karena masyarakat tersebut merasa kedudukannya lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang lain. Akibat perebutan dalam pengambilan hasil laut menyebabkan kehidupan masyarakat di Desa Keffing menjadi tidak tentram.

Demi terwujudnya kehidupan yang tentram di masyarakat, maka perlu dilakukan penyelesain terhadap konflik antar soa tersebut. Langkah ini mendorong kepala adat mengajak semua soa di Desa Keffing bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik tersebut. Tujuan musyawarah untuk menghindari terjadinya perpecahan antara soa di Desa Keffing. Dalam musyawarah, kepala adat bertindak sebagai penengah untuk menghindari gesekan antara soa, dan kedua soa sepakat untuk berdamai dengan adanya perjanjian. Hasil musyawarah memuat tiga bentuk perjanjian yaitu; (1) perlu adanya lembaga yang mengatur tentang pemanfaatan hasil laut, agar mencegah terjadinya konflik di masyarakat; (2) jika terjadi konflik di masyarakat, maka setiap soa bertanggungjawab menyelesaikan masalah dalam marga masing-masing; dan (3) pentingnya kehidupan yang harmonis di masyarakat adat.

Istilah sasi dalam bahasa negeri Desa Keffing dikenal dengan sebutan

(ngam) yang artinya “larangan”. Larangan tersebut bertujuan untuk mengingatkan

kepada masyarakat tentang pengambilan sumberdaya alam.Sumberdaya alam yang dilarang meliputi wilayah laut maupun di darat sampai batas waktu yang ditentukan. Penelitian ini hanya difokuskan pada sumberdaya alam di wilayah laut. Ada dua jenis larangan yang diterapkan yaitu (1) larangan mengambil hasil laut sebelum waktunya; dan (2) larangan melakukan aktivitas di lokasi sasi. Sumberdaya yang diatur pengambilanya yaitu teripang (Thyone briarcus), ikan karang (Acanthurus sp) dan lola (Trochus sp). Perlunya pengaturan terhadap pemanfatan hasil laut agar mencegah konflik di masyarakat. Selain itu agar

pemanfaatan hasil laut dilakukan secara adil, sehingga dapat menciptakan kehidupan yang tentram di masyarakat.

Menurut hasil wawancara dengan kepala adat, implementasi sasi di Desa Keffing pada awalnya dilimpahkan kepada pengurus masjid. Pengurus masjid merupakan suatu persekutuan yang terdiri dari imam, khatib, mojeng dan marabot. Posisi pengurus masjid di masyarakat sebagai pemuka agama. Kewenangan pelimpahan tersebut dilakukan oleh kepala adat melalui musyawarah. Musyawarah dihadiri oleh perwakilan kedua soa dan pengurus masjid. Kedua soa

yang hadir dalam musyawarah yaitu soa Keffing dan soa Kasongat. Musyawarah dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Setelah kedua soa sepakat, maka pelimpahan kewenangan secara langsung diserahkan oleh kepala adat kepada pengurus masjid. Hasil musyawarah juga disampaikan kepada masyarakat marga

melalui marinyo maupun perwakilan kedua soa yang hadir. Menurut kepala adat, tujuan pelimpahan kewenangan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: (1) mengingat adanya konflik yang terjadi di masyarakat; (2) mencegah adanya kecemburuan sosial antara masyarakat; dan (3) pelimpahan kewenangan bersifat sementara, sampai batas waktu yang ditentukan.

Pelaksanaan kegiatan sasi oleh pengurus masjid di Desa Keffing tidak memiliki aturan berupa sanksi hukum. Menurut kepala adat, pelimpahan kewenangan pengelolaan kegiatan sasi oleh pengurus masjid hanya bersifat sementara. Tujuan pelimpahan kewenangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah konflik yang terjadi di masyarakat. Menurut masyarakat setempat, pelaksanaan kegiatan sasi oleh pengurus masjid tidak berjalan dengan baik, hal ini disebabkan pengurus masjid lebih fokus kepada kegiatan masjid sehingga perhatian terhadap kegiatan sasi menjadi berkurang. Berkurangnya perhatian terhadap kegiatan sasi mengakibatkan ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil laut. Demi mewujudkan kehidupan yang tentram di masyarakat, maka diperlukan pengaturan terhadap pemanfaatan hasil laut. Menurut kepala adat, untuk memutuskan hal tersebut diperlukan kordinasi antara pengurus masjid dengan kepala adat. Kordinasi dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Tujuan kordinasi tersebut yaitu kepala adat memberikan penjelasan kepada pengurus

masjid tentang keluhan masyarakat. Setelah melakukan dialog, pengurus masjid bersedia untuk menyerahkan tugas tersebut kepada kepala adat.

Setelah menerima penyerahan tugas dari pengurus masjid, kepala adat memerintahkan marinyo untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Penyampain informasi oleh marinyo dilakukan dengan cara tabaos. Tabaos

merupakan penyampaian informasi dimanamarinyoberjalan mengelilingi wilayah Desa Keffing sambil berteriak menyampaikan informasi. Tujuan dilakukan tabaos

yaitu untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai waktu dan tempat pelaksanaan musyawarah maupun kegiatan lain. Melalui musyawarah tersebut kedua soa menyarankan untuk membentuk suatu kelembagaan yang dikelola oleh perwakilan dari kedua soa. Menurut masyarakat di Desa Keffing, kelembagaan yang mengatur pengelolaan hasil laut dikenal dengan sebutan (kewang).

Menurut kepala adat, persyaratan menjadi kepala kewang di Desa Keffing yaitu; (1) masyarakat yang lahir dan tinggal di wilayah setempat; (2) masyarakat yang berasal dari marga pada kedua soayaitu marga Rumonin dan marga Rumakat; dan (3) masyarakat yang mencalonkan diri harus mengetahui sejarah

sasi.Dalam pemilihan kepala kewang, posisi kepala adat sebagai penengah diantara kedua soa. Kepala adat berhak memutuskan siapa yang menjadi kepala

kewang sesuai kriteria yang disyaratkan. Setelah kepala kewang terpilih, selanjutnya dilakukan perekrutan anggota kewang. Menurut kepala adat, perekrutan anggota kewang diserahkan kepada soa masing-masing. Setiap soa

mempunyai hak untuk memutuskan siapa yang akan menjadi anggota kewang dari

marga masing-masing. Menurut masyarakat setempat, biasanya yang terpilih menjadi anggota kewang yaitu orang yang lebih tua dalam marga. Maksud orang yang lebih tua (sesepuh marga) yaitu dilihat dari segi usia maupun pengetahuan tentang sasi. Posisi sesepuh marga sangat dihormati dalam keluarga maupun setiap soa masing-masing.

Setelah terbentuknya kewang, harapan dari masyarakat setempat yaitu agar

kewang dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Kewang dapat mangatur pemanfatan hasil laut yang adil bagi masyarakat, sehingga mencegah terjadinya konflik.