• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.2 Rumusan masalah

Kebijakan perikanan di Seram Timur didasarkan pada doktrin milik bersama seperti tidak adanya batasan siapa, kapan, dimana dan bagaimana kegiatan penangkapan ikan yang seharusnya dilakukan telah menyebabkan wilayah perairan di Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur menjadi ajang bagi pihak tertentu untuk berloma-lomba memanfaatkan sumberdaya perikanan tanpa adanya batasan sehingga dapat mengancam keberlangsungan ekologi sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Seram Timur.

Kurangnya fungsi kontrol Pemerintah Seram Timur terhadap wilayah pesisir, dimanfaatkan oleh nelayan luar untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan sehingga menimbulkan konflik antara nelayan lokal dan nelayan luar. Konflik tersebut terjadi akibat perebutan zona tangkapan. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan Pemerintah Daerah Seram BagianTimur dalam pembagian zona tangkapan baik untuk wilayah adat, nelayan lokal sehingga adanya kecemburuan sosial antara nelayan lokal dan nelayan luar yang berhujung pada konflik. Konflik di wilayah pesisir terjadi akibat posisi nelayan lokal sangat lemah dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena hanya menggunakan alat tangkap tradisional. Sedangkan nelayan luar dilengkapi dengan peralatan penangkapan ikan yang lebih moderen dibandingkan masyarakat lokal.

Akibat dari ketidakjelasan tersebut, pengelolaan perikanan tangkap di Kecamatan Seram Timur dinilai gagal memberikan sanksi hukum kepada nelayan luar (asing) yang telah melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari sumberdaya itu sendiri. Selain itu gagal dalam memberikan perlindungan hukum khususnya kepada para nelayan lokal di daerah pesisir maupun bagi sumberdaya perikanan

itu sendiri. Sehingga sistem penguatan terhadap lembaga adat sangat penting untuk dilakukan dengan harapan dapat memberikan perlindungan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Seram Timur. Penguatan perlu dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengendepankan aspek berkelanjutan dari sumberdaya tersebut. Untuk dapat melakukan penguatan tersebut, maka perlu diketahui bagaimana sistem pengelolaan sasi yang ada. Oleh sebab itu penelitian dengan satuan kasus ”Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur” diharapkan dapat menjadi solusi bagi masyarakat pesisir Seram Timur untuk mengelola sumberdaya perikanan secara tradisional dengan pengetahuan lokal yang dimiliki tanpa campur tangan pihak luar.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:

1) Bagaimana sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway;

2) Bagaimana sistem kelembagaan sasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah Desa Keffing dan Desa Kway Kecamatan Seram Timur; dan

3) Bagaimana sistem penguatan terhadap lembaga adat sasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Desa Keffing dan Desa Kway Kecamatan Seram Timur. 1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Identifikasi dan deskripsi sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway;

2) Menganalisis sistem kelembagaan sasi dalam pengelolaan perikanan di Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway; dan

3) Merumuskan strategi penguatan kelembagaan sasi dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan di era otonomi daerah.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1) Memberikan informasi tentang sejarah pengelolaan sasi, sistem pengelolaan

sasi dan sistem penguatan kelembagaan sasi dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Seram Timur; dan

2) Masukan bagi pihak terkait mengenai pentingnya kelembagaan sasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, serta upaya membangun peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di daerah pesisir.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelembagaan

Kelembagaan secara umum merupakan aturan formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain-lain) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama dan tren sosial) yang memfasilitasi kordinasi dan hubungan antar individu maupun kelompok (Kherallah dan Kirsten 2001). Kelembagaan merupakan aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi. Kelembagaan memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom (1985), mengartikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu – rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat. Penataan kelembagaan dapat ditentukan beberapa unsur yaitu: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. North (1990), mengartikan kelembagaan sebagai aturan main dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor ekonomi, sosial dan politik. Menurut Uphoff (1986), kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan norma – norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama.

Menurut Schmid dan Pakpahan (1989), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang yang mendefinisihkan hak -hak mereka. Kelembagaan berhubungan dengan hak – hak orang lain, hak – hak istimewah yang diberikan, serta tanggung jawab yang mereka lakukan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus

kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktifitasnya.

2.1.1 Ciri – Ciri Kelembagaan

Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga kompenon utama yaitu; (1) hak – hak kepemilikan (property rights) berupa hak atas benda, materi maupun non materi; (2) batas yurisdiksi (jurisdictional boundary); dan (3) aturan representasi ( rules of representation) (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989). Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur – unsur kelembagaan.

Hak – hak kepemilikan (property rights) mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan terhadap hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Implikasi dari hal tersebut adalah; (i) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (ii) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (owner ship) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu asset

terdiri atas hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, mendapatkan dan melakukan hak – haknya atas asset (Barzel dalam Basuni 2003).

Batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua – duanya sehingga mengandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur lokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi di pengaruhi oleh empat faktor antara lain:

1) Perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community). Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa yang termasuk dalam masyarakat dan yang tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan;

2) Eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan atas batas yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas yang akhirnya merubah siapa menanggung apa;

3) Homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa; dan

4) Skala ekonomi, menunjukan situasi dimana biaya per satuan terus menurun apabila output di tingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah di bandingkan dengan alternatif

batas yurisdiksi lainnya.

Aturan representasi (rules of representation) merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Proses pengambilan keputasan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang mendasari keputusan yaitu; (i) ongkos membuat keputusan sebagai produk dari partisipasi dalam membuat keputusan; dan (ii) ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi tersebut. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menentukan jenis keputusan yang dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya.

Menurut Gillin dan Gilin (1954) dalam Sugianto (2002), ciri-ciri umum suatu lembaga sosial yaitu:

1) Lembaga sosial merupakan tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib dan lain-lain;

2) Lembaga sosial merupakan suatu pola- pola pemikiran dan perikelakuan yang terwujud melaui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya;

3) Lembaga sosial merupakan suatu tingkatan kekekalan tertentu, umunya lama dan melalui proses yang panjang;

4) Setiap lembaga sosial memiliki satu atau beberapa tujuan;

5) Setiapa lembaga sosial mempunyai alat atau perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; dan

6) Setiap lembaga sosial mempunyai lambang, simbol yang khas yang menggambarakan fungsi dan tujuan.

Secara empiris lembaga sosial (local) yang berkembang di masyarakat dapat bersifat formal dan informal. Ciri-ciri lembaga sosial formal yang bersifat formal yaitu terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum

untuk membentuk lembaga secara legal, pengurus dipilih atas pertimbangan kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah dipengaruhi oleh pihak luar. Ciri-ciri lembaga yang bersifat informal adalah terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah, dinamika aktifitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar (Sugianto 2002).

2.1.2 Tugas dan Wewenang Lembaga Adat

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat,bahwa tugas lembaga adat yaitu:

1) Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat;

2) Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembagunan dan pembinaan masyarakat; dan

3) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.

Hak dan wewenang lembaga adat tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.3 Tahun 1997, Pasal 6 angka 1 tentang hak dan wewenang lembaga adat yaitu:

1) Mewakili masyarakat adat ke luar yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat;

2) Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik; dan

3) Menyelesaikan perselisihan menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2 Hukum Adat

Menurut Wignjodipoero (1967) adat adalah pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke-abad dan adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat bahwa kaidah-kaidah adat berupa kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sedangkan Soekanto (2001) berpendapat bahwa hukum adat merupakan bagian dari adat istiadat, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan konkritisasi daripada kesadaran hukum, khusus pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhanan.

Wignjodipoero (1967) mengutip pengertian tentang hukum adat dari beberapa pakar hukum, yaitu:

1) Prof. Dr. Supomo, SH: Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di alam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh orang yang berwajib, tapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan tersebut mempunyai kekuatan hokum;

2) Dr. Sukanto: Hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sangksi, dan mempunyai akibat hukum;

3) Mr. J.H.P. Bellefroid: Hukum adat sebagai peraturan hidup meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi tetapi masih dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peratutan tersebut berlaku sebagai hukum; 4) Mr. B. Terhaar Bzn: Hukum adat sebagai keseluruhan peraturan yang

menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa, serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris meliputi : Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif).

Hukum adat memiliki dua unsur yaitu; (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum (Wignjodipoero 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menghubungkan

adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitates). Wignjodipoero (1967), menjelaskan bahwa didalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:

1) Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum) merupakan bagian yang terbesar;

2) Hukum yang tertulis (jus scriptum) hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan; 3) Uraian dalam hukum secara tertulis lazimnya uraian ini adalah suatu hasil

penelitian yang dibukukan.

Menurut Depatemen Kelautan dan Perikanan (2001) mengartikan hak ulayat sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil dari sumberdaya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya dan kehidupan yang timbul dari kehidupan secara lahiriah dan batiniah, terun-temurun, serta tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Hak ulayat laut (HUL) mempunyai variabel-variabel pokok dalam kajiannya, yaitu (Wahyono et al 2000):

1) Wilayah

Pengaturan di wilayah laut tidak terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga ekslusivitas wilayah, sumberdaya laut, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasi dan batasan-batasan yang bersifat temporal;

2) Unit sosial pemilik hak (right holding unit)

Unit pemegang hak (right holding unit) beragam mulai dari sifatnya yang individual, kelompok, kekerabatan, komunitas desa hingga negara; dan

3) Legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement)

Dasar hukum mengenai berlakunya hak ulayat laut berupa aturan tertulis dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat (tidak menurut hukum formal), seperti sistem kepercayaan.

Sementara sebagai aturan lokal, hak ulayat laut dalam bahasa inggris yaitu

see tenure merupakan seperangkat aturan atau praktik pengelolaan manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.perangkat aturan hak

6 main types exist: Secular leader Religious leader Right holder Community elders Elected committec Hilred administrators

ulayat laut ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan sesuai dengan sumberdaya yang ada diwilayah laut (Wahyono et al 2000). Dengan demikian, hak ulayat laut tidak hanya bermakna “hak bersama”, melainkan semua esensi pada “otonomi” dan “kedaulatan” dari persekutuan (politik) hidup yang bersangkutan atas suatu teritorial (wilayah) tertentu (Fauzi 2000). Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), dapat dilihat pada (Gambar 1) berikut:

Gambar 1 Prinsip-prinsip desain hak ulayat

Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), yaitu:

1) Otoritas atau kepemimpinan (authority or leadership); sistem manajemen sumberdaya alam berbasis masyarakat telah ada sebelumnya, memiliki fungsi kontrol dan kewenangan secara tradisional yang bervariasi sesuai dengan organisasi sosial;

Main kinds:

Primary (or birthright) Secondary

Exclusion Sharing Tranfer and loan

Nested (right within rights)

Main kinds are those to define: Sea territory of community Eligibility of entrants Inter-community access Use behavior 4 main kinds: Social Economic Physical Supernatural Monitors Enforcers DESIGN PRINCIPLES Authority Leadership Rights Rules Monitoring Accountability & Enforcement Sanctions

2) Hak (rights); sistem manajemen pemanfaatan sumberdaya diatur berdasarkan hak milik atas pemanfaatan sumberda alam. Klaim terhadap sumberdaya dilindungi oleh praktek hukum adat. Hak-hak tersebut mendefinisihkan penggunaan yang sah dipandang secara eksklusif untuk menentukan siapa yang berhak atas wilayah dan sumberdaya tersebut;

3) Aturan (rules); menentukan bagaimana hak kepemilikan diatur dan tindakan yang diperlukan serta dilarang untuk memanfaatkan sumberdaya alam pada waktu tertentu;

4) Pemantauan (monitoring); pemantauan dilakukan untuk melihat tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang ditetapkan dan menjatuhkan sanksi pada pelanggar; dan

5) Sanksi (sanction); sanksi diberikan kepada yang melanggar atau mengabaikan aturan lokal yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya alam.

2.3 Sasi

2.3.1 Definisi sasi

Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi

merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Biley and Zerner 1992). Sedangkan menurut Kissya (1993) sasi

adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati.

Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun 2006). Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang bersama-sama membuat institusi sasi mengikat.

Menurut Pattinama dan Pattipelony (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak

mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari hukum adat tersebut sebagai berikut; (a) penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan; (b) mencegah timbulnya sengketa antara sesama negeri; (c) pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan bersama; (d) kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat; dan (e) mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.

2.3.2 Sejarah sasi

Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala (sejak abad XVII) dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat maupun tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun

tidak tertulis, yang dikenal dengan “ Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu

sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama dan Pattipelony 2003).

Menurut Wahyono (2000), masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara berkesinambungan (sustainable) bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia spiritual, dimana

pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarka dunia spiritual dan sanksi masyarakat (Lakollo 1988).

Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga hal. Pertama adalah sasi

memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.

Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan sasi ini di tentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya 1993).

Gambar 2 Latar Belakang Kearifan lokal (sasi)

Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing soa. Lembaga adat dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari datuk-datuk berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar.

Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya alam yang akan disasi. Lewat rapat kewang ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi tak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya itu, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali (masa buka sasi). Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, lengkap dengan peraturan dan sanksinya bagi yang melanggar. Hal ini selalu dilakukan untuk tetap mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi dan setelah itu, tanda sasi

Kepercayaan spiritual Perilaku masyarakat Pertambahan penduduk

Kehidupan masyarakat yang teratur dan menjaga ketersedian sumberdaya

dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang pemasangannya disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi (Pattinama dan Pattipelony 2003).

2.3.3 Peranan sasi

Peranan sasi adalah sebagai wadah pengamanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, mendidik dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat yang merupakan upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat termasuk upaya pemerataan dan pembagian pendapatan dari sumberdaya alam kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu sasi mempunyai peran sebagai nilai budaya masyarakat, maka perlu menjaga kelestarian. Selain itu kelembagaan sasi juga memiliki peran untuk memberikan kesempatan kepada mahluk hidup (sumber