• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7. Implikasi Pengelolaan

4.7.2. Pengelolaan Metapopulasi

Populasi-populasi macan tutul jawa yang berada dalam non equilibrium metapopulation memiliki resiko kepunahan jangka pendek lebih tinggi dibandingkan tipe metapopulasi lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya konektifitas antar populasi sehingga setiap populasi memiliki resiko punah lokal karena erosi genetik akibat

inbreeding atau faktor demografik seperti tidak tersedianya jantan atau betina dalam populasi tersebut. Jumlah populasi yang tersebar dalam non equilibriium population

cukup besar yaitu 31,25% dari seluruh populasi yang ada di Jawa Tengah. Oleh karena itu, dalam pengelolaan di masa mendatang perlu mendapat perhatian.

Tindakan pengelolaan terhadap non equilibrium metapopulation yang perlu segera dilakukan adalah menghubungkan populasi-populasi yang terisolasi dari populasi terdekatnya. Dalam hal ini pembuatan koridor satwaliar dapat dipertimbangkan untuk menghubungkan populasi-populasi tersebut. Dengan memberikan lintasan untuk perpindahan antar populasi melalui koridor maka dapat meningkatkan peluangnya untuk

survival (Meret, 2007). Manfaat atau keuntungan potensial dari koridor satwaliar adalah (Meret, 2007):

(1) Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman, meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan menghindarkan inbreeding.

(2) Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas. (3) Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran

dan gangguan lainnya.

Beberapa populasi macan tutul yang dalam jangka panjang perlu dihubungkan dengan koridor antara lain :

(1) Populasi di Gunung Merapi dengan populasi di Gunung Merbabu (2) Populasi di Gunung Sindoro dengan populasi di Gunung Sumbing

(3) Populasi di Gunung Sindoro dengan populasi di Pegunungan Dieng dan kelompok hutan Petungkriono (KPH Pekalongan Timur)

(4) Populasi di Gunung Slamet dengan populasi di KPH Pemalang dan KPH Banyumas Barat (Kebasen, Majenang)

(5) Populasi di KPH Banyumas Barat (Majenang) dengan populasi di KPH Ciamis dan KPH Kuningan (Jawa Barat).

Berdasarkan analisis metapopulasi terdapat 21 populasi macan tutul yang perlu mendapat prioritas pengelolaan karena memiliki resiko kepunahan lokal tinggi dan sedang seperti disajikan pada Lampiran 4. Delapan populasi macan tutul jawa yang memiliki resiko kepunahan tinggi dan perlu mendapat prioritas penyelamatannya adalah: RPH Lobongkok, RPH Mandirancan – RPH Kebasen, RPH Cimanggu, RPH Pringombo, RPH Karangsambung, RPH Karangwinong, RPH Besokor dan BKPH Sambirejo. Upaya-upaya yang harus dilakukan pada setiap populasi yang terancam punah tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4.

b. Translokasi atau Reintroduksi

Translokasi adalah pemindahan dan pelepasan satwa dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Translokasi merupakan metode pengendalian populasi tetapi hanya cocok

dilakukan pada situasi yang sangat spesifik dan terbatas (Michigan Department of Natural Resources, 2000). Translokasi bertujuan membangun populasi yang viable di lokasi baru dan menghindarkannya dari kepunahan lokal akibat perburuan, degradasi habitat dan bencana seperti epidemi dan kebakaran di lokasi lama. Translokasi juga bertujuan untuk meminimalkan konflik antara satwa dan masyarakat sekitarnya yang dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian satwa tersebut (WWF, 2003.).

Reintroduksi (Re-introduction) merupakan usaha membangun kembali populasi suatu spesies di suatu tempat yang secara historis pernah menjadi daerah sebarannya, tetapi kini telah punah. Reontroduksi bertujuan meningkatkan daya hidup spesies dalam jangka panjang; membangun kembali populasi spesies kunci (keystone species) dalam suatu ekosstem; memelihara atau merestorasi keanekaragaman hayati alami; memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal dan nasional; dan mempromosikan kepedulian konservasi. Reintroduksi harus dilakukan di daerah yang pernah menjadi sebaran alaminya dan harus dikelola dalam jangka panjang (IUCN/SSC

Re-introduction Specialist Group, 1998).

Translokasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena mengandung banyak resiko, seperti resiko bagi satwa yang ditranslokasi dan satwa yang sudah ada di lokasi baru, resiko keselamatan masyarakat dan resiko bagi kondisi ekosistem di lokasi baru (Michigan Department of Natural Resources, 2000; Sainsbury, 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan dengan perencanaan yang matang sebelum dilaksanakan dan evaluasi serta monitoring setelahnya (Sainsbury, 2009)

Suatu ketika mungkin tindakan translokasi perlu dilakukan terhadap macan tutul jawa dengan tujuan untuk membangun populasi baru yang viable dan menghindarkannya dari kepunahan di suatu lokasi yang sudah tidak sesuai (sutable) lagi sebagai habitatnya. Oleh karena itu pemetaan kesesuaian habitat macan tutul jawa menjadi sangat penting untuk pengelolaan populasi dan habitat macan tutul jawa, khususnya berkaitan dengan rencana translokasi.

Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan dalam melakukan translokasi macan tutul jawa antara lain:

ƒ Jika sering terjadi konflik antara masyarakat dengan macan tutul jawa, misalnya sering terjadi pemangsaan ternak dan macan tutul jawa terancam karena masyarakat memasang jerat atau perangkap. Dalam kasus ini, mungkin

ketersediaan mangsa di habitatnya sudah sangat menurun, sehingga macan tutul memperluas penjelajahannya mencari mangsa sampai ke kebun penduduk dan perkampungan.

ƒ Jika habitatnya terisolasi dan tidak memungkinkan dibuat koridor ke hutan di sekitarnya. Dalam kasus ini translokasi juga bertujuan menghindarkan inbreeding

dan untuk penyegaran genetik.

ƒ Jika terjadi penambahan populasi yang menyebabkan luas habitat yang ada tidak mencukupi lagi untuk pembagian teritori individu jantan. Dalam kasus ini kemungkinan makanan masih tersedia tetapi ruang terirori yang terbatas. Kasus seperti ini diindikasikan dengan keluarnya macan tutul jawa jantan muda dari habitatnya untuk mencari teritori baru karena tidak dapat bersaing dengan jantan dewasa (induknya).

ƒ Jika habitatnya sudah tidak sesuai lagi, misalnya adanya perambahan atau kegiatan manusia yang intensif, kebakaran hutan dan penyempitan kawasan berhutan yang drastis. Keadaan seperti ini, jika tidak ditangani segera maka dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian macan tutul jawa.

Perencanaan translokasi harus mencakup : tujuan program translokasi; jenis satwa yang ditranslokasi; waktu translokasi; ekosistem sumber dan tujuan translokasi; metode dan protokol veteriner yang digunakan; manfaat dan resiko; potensi resiko kesehatan satwa serta resiko ekologi dan ekonomi (CCWHC-OIE, 2001). Metode- metode dan prosedur yang perlu diperhatikan dalam translokasi antara lain : penangkapan satwa, transportasi satwa, pengelolaan dalam kandang sebelum dipindahkan, pakan, prosedur veteriner (kesehatan dan karantina) (CCWHC-OIE, 2001).

Bagi habitat tujuan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

ƒ Memiliki luasan yang cukup untuk membangun satu populasi yang sehat (viable). ƒ Memiliki ketersediaan satwa mangsa yang mampu mendukung kehidupan

populasi macan tutul secara terus menerus.

ƒ Ada jaminan bahwa tidak ada macan tutul jawa yang masih menghuni lokasi tersebut, karena macan tutul jawa merupakan satwa teritorial, apabila di lokasi

tujuan sudah ada macan tutul jawa bisa terjadi penolakan atau perebutan teritori dan yang kalah akan keluar (bisa menggangu masyarakat sekitarnya).

ƒ Diutamakan yang memiliki konektivitas dengan populasi macan tutul jawa lain di sekitarnya.

ƒ Diutamakan kawasan hutannya tidak berbatasan langsung dengan pemukiman tetapi memiliki buffer berupa hutan negara

ƒ Belum pernah ada konflik antara masyarakat dengan satwaliar.

ƒ Calon lokasi tujuan translokasi harus diteliti secara ilmiah yang melibatkan lembaga penelitian.

ƒ Sebelum dilakukan translokasi harus didahului dengan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar hutan yang menjadi tujuan translokasi.

Diperlukan paradigma holistik untuk reintroduksi yang memfokuskan pada sumber dampak dan penerima dampak dari empat kelompok variabel: (1) pertimbangan biologi (ekologi, genetik, teknik reintroduksi, dll.); (2) issue kekuatan kewenangan (pengendalian sumberdaya, peraturan dan perundangan, hubungan antar aktor, dll.); (3) aspek organisasi (struktur program, perilaku birokrasi, kultur organisasi, dll.); dan (4) pertimbangan sosial ekonomi (nilai-nilai dalam masyarakat, sikap, persepsi, kondisi perekonomian, dll.). Paradigma ini dapat membantu masyarakat untuk peduli dan berpartisipasi sehingga reintroduksi dapat berhasil (Richard et al., 2002).

Reintroduksi memerlukan pendekatan multi-disiplin yang melibatkan tim dari beragam latar belakang seperti dari lembaga-lembaga pemerintah (kehutanan dan lingkungan hidup), LSM, lembaga donor, universitas, lembaga veteriner, kebun binatang dan taman safari dengan keahlian yang relevan. Salah satu kunci sukses reintroduksi adalah sosialisai atau penyuluhan masyarakat akan pentingnya menyelamatkan spesies yang diintroduksi, karena banyak kematian dan kepunahan spesies disebabkan oleh konflik dengan masyarakat.

4.7.3. Penetapan Mainland Population sebagai Kawasan Konservasi

Gunung Slemet sebagai “mainland” populasi macan tutul jawa yang menjadi sumber rekolonisasi kantong-kantong habitat di sekitarnya sebaiknya diusulkan menjadi kawasan konservasi, khususnya taman nasional agar dapat lebih menjamin kelestarian macan tutul jawa khususnya dan keanekaragaman hayati di Provinsi Jawa Tengah pada

umumnya. Hal ini karena disamping sebagai pusat populasi macan tutul jawa yang relatif aman, Gunung Slamet juga merupakan pusat keanekaragaman hayati langka lainnya di Jawa Tengah, seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi) (Raptor Indonesia, 2010); owa jawa (Hylobates moloch), rekrekan (Presbytis fredericae) dan lutung (Presbytis comata) (Java Primate Center, 2010).

Gunung Slamet juga memiliki potensi dan peranan hidrologis yang penting bagi delapan Kabupaten/Kota di sekitarnya (Tegal, Slawi, Brebes, Pemalang, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas dan Cilacap). Dari Gunung Slamet ini mengalir 11 sungai penting yaitu sungai Banjaran, S. Logawa, S. Bojo, S. Penaki, S. Gronggongan, S. Lembarang, S. Gung, S.Brengkah, S. Comal, S. Batur, S. Erang (Kompleet, 2001).

Selain potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, kawasan lansekap Gunung Slamet dan sekitarnya juga memiliki potensi wisata alam yang menarik dan sudah berkembang pesat. Kawasan ini juga menyambung dengan bentang alam dataran tinggi Dieng yang memiliki kekayaan peninggalan budaya dan keindahan alam yang bernilai tinggi. Penetapan kawasan Gunung Slamet sebagai kawasan konservasi akan menambah kawasan konservasi daratan di Provinsi Jawa Tengah yang relatif masih sedikit (2,54%).